“Masuk,” titah Djiwa sambil mengangguk ketika melihat Nila mengetuk pintu ruang kerjanya yang terbuka.
“Ini undangan Nena, Pak,” ucap Nila semberi meletakkan undangan berdesain minimalis berwarna krem di atas meja Gavin. Kertas tebal dengan cetakan huruf emas itu terlihat sederhana, tetapi tetap memancarkan kesan elegan.
“Terima kasih.” Djiwa melirik sekilas ke arah undangan tersebut, lalu kembali fokus pada layar monitornya. “Sebelum pulang, tolong panggil Elin dan Sigit ke ruangan saya.”
“Baik, Pak,” ucap Nila tetapi masih berdiri di tempatnya. Hal tersebut membuat Djiwa menoleh dan menatap tanya.
“Ada yang lain?”
“Em ...” Nila mengangkat kedua bahunya sembari mengernyit. “Maaf, tapi ... karena Bapak atasan saya, jadi—”
“To the point, La.”
Nila menghela singkat. “Saya nggak nyaman dengan pak Gavin siang tadi,” ucapnya cepat tanpa jeda. “Dari cara dia melihat saya, terus pertanyaannya, sikapnya yang terlalu ‘memperhatikan’ saya. Bapak ngerasa nggak, sih, Pak?”
Ocehan Nila tersebut akhirnya membuat Djiwa beralih dari layar komputernya. Bersandar pada punggung kursi, lalu bersedekap.
“Mungkin, dia tertarik sama kamu.”
“Pak, please.” Nila menarik kursi di sampingnya lalu duduk di sana tanpa permisi. “Bercanda Bapak nggak lucu.”
“Dia duda, La,” sahut Djiwa dengan nada serius. “Istrinya sudah meninggal lama. Jadi, apa salahnya kalau dia tertarik sama kamu?”
“Bapak!” Nila merengut kesal. “Pak Gavin itu seumuran dengan mama saya.”
“Terus di mana masalahnya?”
“Nggak make sense!” Nila berucap dengan geligi yang mengatup erat.
“Orang yang jatuh cinta, memang sering kehilangan akal.”
Nila bergidik lalu menggeleng keras, karena sempat membayangkan jika Gavin benar-benar menyukainya. “Ck! Tapi ... makasih karena sudah nolongin saya tadi.”
“Kapan saya nolongin kamu?” Djiwa kembali menegakkan tubuh dan menatap layar komputernya.
“Tadi, waktu nyuruh saya ngambil tablet.” Nila mencebik saat pria itu tidak melihatnya lagi. “Bapak ngerti kalau saya nggak nyaman dengan pak Gavin, jadi—”
“Panggil Elin dan Sigit ke sini,” sela Djiwa tanpa menoleh dan merasa tidak perlu memberi penjelasan apa pun pada Nila. “Dan silakan pulang atau kamu saya kasih kerjaan sampai malam.”
“Saya pulang.” Nila berjalan mundur sambil tersenyum, meskipun Djiwa tidak melihatnya. “Dan sekali lagi, terima kasih.”
~~~~~~~~~~~~
“Wah...” Kirana terpukau, matanya menyapu dekorasi mewah yang menghiasi setiap sudut gedung pernikahan saat ia masuk bersama Nila. “Harusnya kamu datang sama Arif. Buat referensi kalau kalian—”
“Aku sudah putus sama dia.” Nila menyela karena tidak ingin membicarakan semua itu.
“Vanila?” Kirana membawa putrinya ke sisi ruangan yang tidak terlalu padat. “kapan? Kenapa baru cerita ke Mama?” Tiba-tiba saja, ingatannya kembali pada pembicaraan mereka di malam itu. Malam di mana Nila bertanya tentang siapa papanya. “Apa ini ada hubungannya dengan ... papamu?”
Nila menggeleng sembari memejam. Helaan napasnya terbuang berat, tetapi ia enggan menceritakan apa pun pada Kirana. “Pacaran, terus putus itu sudah biasa. Nggak ada hubungannya dengan obrolan kita malam itu.”
“Mama tahu kamu bohong.”
“Ma, please.” Nila menggandeng Kirana lalu kembali berjalan menuju pelaminan. “Aku nggak mau bahas itu. Mending kita salaman sama Nena, makan, terus pulang.”
“Oke.” Kirana juga tidak mau menuntut banyak. Sama seperti Nila yang tidak pernah memaksakan kehendaknya, Kirana memilih untuk mengikuti arus tanpa banyak protes. “Tapi kamu tahu, kan, kalau Mama selalu ada buat kamu.”
“Aku tahu.” Nila tersenyum lembut saat menatap Kirana, sambil mengeratkan gandengannya. “Dan makasih banyak karena selalu ada buat aku.”
“Ck, maskara Mama yang murah ini bisa luntur.” gumam Kirana sambil buru-buru mengeluarkan tisu dari tasnya. Ada haru yang mendadak muncul, sehingga tangannya sedikit gemetar saat menepuk-nepuk area matanya. Namun, ia tetap berusaha mengedip cepat, agar tidak ada air mata yang lolos dari sana.
Ucapan Nila memang sederhana, tetapi hal itu sanggup menyentuh hati Kirana lebih dalam daripada yang ia duga. Seolah ada sesuatu yang hangat menjalar di dada, mengingatkan Kirana bahwa meskipun hidup mereka penuh liku, cinta mereka akan selalu menjadi tempat untuk pulang.
“Sudah kubilang, beli maskara yang waterproof.” Berbeda dengan Kirana, Nila justru tertawa dengan perkataan sang mama.
“Ngapain beli mahal-mahal, kalau setahun sekali belum tentu dipake.”
“Terserah, Mamalah.” Nila enggan berdebat. Lebih baik segera mengajak Kirana bersalaman dengan mempelai di pelaminan, lalu segera turun dan menyantap makanan yang disajikan. Setelah itu, Nila hanya ingin pulang dan menikmati malam minggu yang tenang di rumah.
“Pak Djiwa?” Nila menegur pria yang terdiam di hadapan buffet. Seolah sedang berpikir, menu makanan apa yang akan diambilnya malam hari ini.
Djiwa menoleh dan tertegun untuk beberapa saat ketika melihat penampilan Nila yang berbeda. Gadis itu memakai dress midi dengan potongan A-line yang anggun. Bagian atasnya dihiasi lengan ruffle transparan, sementara motif batik modern di bagian bawah memberikan kesan klasik yang menawan. Ditambah, Pita hitam yang melingkar di pinggangnya membuat penampilan gadis itu semakin sempurna.
“Sendirian, Pak?” tanya Nila memangkas jarak dan melihat ke sekelilingnya. “Atau, bawa gandengan.”
“Saya bukan truk gandeng,” balasnya cuek.
Bibir Nila mengerucut. Menahan kesal di dalam dada, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. “Kalau gi—”
“Belum ambil minum juga, La?” Kirana mendekat sembari menatap pria yang berada di hadapan Nila. Sebenarnya, Kirana sedang menunggu Nila di meja dan enggan pergi ke mana-mana. Namun, saat melihat putrinya bicara dengan seorang pria, rasa penasarannya mendadak menyeruak.
“Oh ...” Nila buru-buru menggeleng dan meraih lengan Kirana. “Nggak jadi, kita pulang aja.”
“Dan ...” Kirana mengarahkan telapak tangan pada Djiwa. Penasaran dengan sosok pria tampan dan matang yang sedang bicara dengan putrinya.
“Ahh!” Dengan terpaksa, Nila memperkenalkan Kirana pada Djiwa. “Mama, ini Pak Djiwa, bosku di kantor.”
“Bos?” Kirana mendadak rikuh. Andai tahu pria itu adalah atasan Nila, ia pasti akan tetap duduk di tempatnya. “Maaf. Saya ...” Dengan terpaksa Kirana mengulurkan tangan lebih dulu pada Djiwa. “Saya mamanya Nila.”
“Saya Djiwa,” balasnya segera menyambut uluran tangan wanita itu dengan sopan.
“Semoga Nila nggak merepotkan kalau di kantor,” ucap Kirana berbasa-basi.
“Nggak sama sekali, Bu ...”
“Kirana,” sambar Nila mulai merasa tidak nyaman. Karena itu, ia ingin segera berpamitan dari hadapan Djiwa. “Saya pergi dulu, Pak, permi—”
“Djiwa!”
Nila menoleh ke arah asal suara bersamaan dengan Djiwa. Menatap pria paruh baya yang menghampiri Djiwa dan langsung menepuk keras punggungnya.
“Papa nggak tahu kalau kamu ada di sini juga.”
“Papa?” celetuk Nila tiba-tiba.
Djiwa menarik napas panjang. “Papa ini Nila, sekredku di kantor dan ini mamanya. Ibu Kirana.”
“Saya Irsyad,” ucapnya memperkenalkan diri. Menyalami ibu dan putrinya yang juga memperkenalkan diri secara bergantian. “
“Papa sendirian atau—”
“Sama bosmu,” potong Irsyad memberi anggukan sopan pada Kirana.
“Pak Gavin?” tanya Djiwa memastikan.
“Ya.” Irsyad menunjuk pria paruh baya yang berjalan ke arahnya. “Itu dia. Kami masih ada undangan ja—”
“Maaf, saya permisi,” putus Kirana terburu. “Saya harus ke toilet,” ucapnya memberi anggukan sopan dan segera berbalik pergi tanpa bicara dengan Putrinya.
Nila jadi serba salah. Ia hendak pergi menyusul mamanya, tetapi merasa tidak enak jika harus pergi tanpa menunggu Gavin.
“Vanila? Sendirian?” tanya Gavin setelah berhenti di samping Irsyad.
Nila tersenyum canggung. Kembali, ia melihat Djiwa dengan tatapan penuh harap. Memohon agar kembali diselamatkan seperti hari itu.
“Dia sama ibunya,” jawab Djiwa mengambil alih. “Ini baru mau pulang. Hati-hati di jalan.”
“Bapak juga.” Nila mengangguk sopan dengan perasaan lega. “Saya permisi.”
“Bu Kirana cuma ke toilet,” ralat Irsyad mengerutkan dahi ketika menatap putranya. “Bukan mau pulang.”
“Sebentar.” Gavin menyela sembari menatap Djiwa dan Irsyad bergantian. “Siapa bu Kirana?”
“Ibunya Nila,” jawab Irsyad. “Dia—”
Gavin memejam dengan helaan panjang. Pergi tanpa permisi, mencari sosok Nila yang mendadak hilang dari pandangan sembari menggumam, “Kirana ... Wicaksana.”
Nila baru saja selesai mencuci piring, ketika dering ponselnya terdengar dari meja makan. Awalnya, ia mengira itu panggilan dari nomor asing. Kemungkinan nomor baru Arif, mengingat nomor lamanya sudah diblokir oleh Nila. Namun, saat matanya menangkap nama yang tertera di layar, jantungnya langsung berdebar kencang.Kendati ingin sekali mengabaikan, tetapi Nila tidak bisa melakukannya. Mau tidak mau, ia akhirnya menerima panggilan tersebut dengan sapaan ramah.“Pagi, Pak Gavin,” sapa Nila dengan nada formal.“Pagi. Benar saya bicara dengan Nila? Vanila Wicaksana?”“Betul, Pak.” Nila menahan napas. “Apa ada yang bisa saya bantu?”“Kamu ada acara hari ini?”Nila meringis, mengumpat dalam hati. Merasa geli sendiri dan mulai berpikiran negatif.“Nila, kamu masih di sana?”“Ah, iya, Pak, maaf.” Nila menggeleng cepat untuk mengenyahkan pikiran buruk di kepala. Namun, ia tidak bisa. “Tadi Bapak tanya apa?”“Bisa kita ketemu nanti siang? Jam 12, makan siang?”Nila menghela pelan. Pria itu seol
Djiwa mengerut dahi ketika baru menutup pintu mobil dan menguncinya dari luar. Ia berjalan perlahan menuju restoran, lalu berhenti sejenak di balik pilar untuk mendengarkan ketegangan yang ia lihat sejak memarkirkan mobil. Dalam artian, Djiwa sedang menguping pembicaraan yang terjadi antara Nila dan ketiga orang lainnya.Sedikitnya, Djiwa mulai mengerti di mana letak perdebatan tersebut dan agak terkejut ketika mendengarnya. Lantas, ketika intensitas ketegangan terdengar semakin panas, Djiwa beranjak melewati keempat orang itu sembari berujar, “Nila! Ikut saya masuk ke dalam, sekarang!”Antara kaget, bingung, lega, dan tidak percaya dengan sosok pria yang baru saja berjalan melewatinya. Pria itu hanya melirik, tanpa mau repot-repot berhenti dan menyampaikan maksudnya dengan semestinya.“Maaf, saya permisi,” pamit Nila terburu. Kendati masih berada dalam ketegangan, tetapi ia tetap memberi anggukan sopan sebelum berbalik pergi meninggalkan keluarga Adiningrat.Nila mempercepat langkahn
“Arif! Berdiri!” desis Deswita dengan suara pelan dan tajam. Ia meraih lengan putranya dan mencoba mengangkat tubuh Arif tetapi gagal. “Jangan bikin malu nama keluarga!”“La?” Arif meraih tangan Nila dan menggenggamnya. Ia tidak peduli dengan ucapan Deswita, pun dengan tatapan orang lain padanya. Hatinya sudah jatuh terlalu dalam pada Nila dan tidak ada seorang pun yang dapat mengubahnya. “Ini bukti kalau aku nggak main-main.”“Nila.” Ivan mencoba menengahi sembari meredam emosi. “Jangan mengambil langkah yang salah.”Seketika itu juga, Nila tersadar dengan posisinya. Untuk beberapa saat, Nila sempat luluh dengan apa yang dilakukan Arif. Namun, ucapan Ivan barusan menyadarkan jika semua ini hanya akan berujung sia-sia.“Mas...” Nila menggeleng pelan. Suaranya lirih, hampir tidak terdengar. Menarik cepat tangannya dari genggaman Arif, karena takut akan berubah. “Maaf, aku nggak bisa.”Nila mundur dan menjaga jarak. Melihat ke sekeliling dan kembali menggeleng, kali ini lebih tegas. Nil
“Nila, bangun.” Sudah tiga kali Djiwa memanggil nama gadis itu, tetapi Nila tidak juga kunjung bergerak sedikit pun. Gadis itu masih terlelap, meskipun posisi tidurnya terlihat jauh dari kata nyaman. “Nila.”Karena tidak kunjung bangun dengan teguran, maka Djiwa menepuk-nepuk bahu Nila. “La, bangun, La. Kita sudah sampai.”Nila menggumam pelan. Kelopak matanya mulai bergerak sebelum akhirnya terbuka perlahan. Wajahnya yang sedikit bingung menoleh ke arah Djiwa, seolah mencoba mengingat di mana ia berada. “Sampai?” tanyanya dengan suara serak.“Iya, sudah sampai,” jawab Djiwa sambil menunjuk ke luar jendela mobil. “Tower A1.”Melihat tulisan Tower A1 yang berdiri tegak di atas pelataran lobi apartemen, Nila pun melepas sabuk pengaman lalu menegakkan tubuh dengan perlahan. Menguap sebentar sembari menutup mulut dan terdiam, menghela panjang.“Makasih, ya, Pak,” ucap Nila sambil menegakkan sandaran jok. “Saya jadi nggak enak sama pak Gavin.”“Kamu bisa telpon sugar daddy-mu itu kalau ngg
“Langsung saja,” ucap Deswita tanpa basa-basi. Suaranya tenang, dengan senyum kecil yang mengembang di sudut bibir. Namun, ada ketegasan dingin di balik sorot matanya saat menatap gadis yang duduk berseberangan dengannya saat ini. “Tolong tinggalkan Arif.”Nila membeku di tempat duduknya. Berusaha memberi senyum dan tetap tegar, kendati ucapan ibu dari kekasihnya terasa seperti badai yang menyergap, di tengah keheningan sebuah kafe yang pagi ini tampak lengang.“Tapi kenapa, Tante? Apa saya, selama ini—”“Vanila.” Deswita memotong, masih dengan senyumnya. “Saya baru tahu tentang latar belakang keluargamu. Karena itu, saya yakin kamu bisa mengerti dengan permintaan saya barusan.”“Tapi—”“Ini semua demi kebaikan dan masa depan Arif.” Deswita kembali memotong ucapan gadis itu. “Coba bayangkan kalau kalian menikah dan nggak ada nama ayahmu tertulis di undangan? Ditambah, waktu ijab kabul nanti semua undangan pasti akan tahu kalau istri Arif dan satu-satunya menantu keluarga Adiningrat te
“Sorry, aku baru bisa nemui kamu,” ucap Arif memasang senyum ketika duduk di hadapan Nila. “Sidang hari ini agak molor, jadi ada jadwal yang harus di reschedule dan padat merayap.”“Nggak masalah.” Nila tersenyum kecil pada pria itu.“Tapi, bukannya kamu libur, Yang?” tanya Arif sembari mengedarkan pandangan pada area lobi kantor Nila. Suasananya masih saja ramai, kendati jam normal operasional kerja sudah berakhir dua jam yang lalu.Namun, hal seperti itu tentunya tidak berlaku di perusahaan Nila, karena industri media memang tidak pernah benar-benar tidur.“Tadinya.” Nila mengangkat satu bahunya sekilas. Kemudian, ia menghela panjang tanpa ingin menjelaskan perihal pekerjaannya hari ini. “Aku mau bicara serius.”“Di sini?” tanya Arif kembali melihat ke sekeliling area lobi sejenak. “Kita bisa ke kafe sebelah at—”“Aku ketemu tante Deswita tadi pagi,” sela Nila lalu menarik napas dalam-dalam. Jantungnya mulai berdebar-debar tidak nyaman, karena mengingat pertemuannya dengan Deswita p
“Dji, silakan ambil karyawan dari divisi lain, karena Nila tetap ada di produksi.” Hamid langsung melempar protes ketika masuk ke ruangan Pemimpin Redaksi.“Nila sendiri yang mengajukan diri jadi sekred.” Djiwa yang berdiri di tengah ruang lantas menunjuk Nila yang terpaku di bibir pintu. “Daripada saya buka lowongan dan harus repot dengan ini itunya ...” Djiwa kembali menunjuk Nila. “Jadi saya terima dia dengan tangan terbuka,” ucapnya dengan merentangkan kedua tangan ke arah Nila. “Dji—”“Pak Hamid.” Djiwa mengangkat tangan kanannya pada pria itu. “Kita punya banyak reporter di Warta yang bisa di-rolling dan menggantikan satu dengan yang lain. Jadi, saya rasa nggak ada masalah kalau Nila mundur dari tim produksi. Dan Nena sudah saya suruh untuk lapor ke HRD.”Hamid berdecak. Menatap Nila yang masih terpaku di bibir pintu, lalu menggeleng. “La?”“Saya minta maaf, Pak.” Nila buru-buru mendekat pada Hamid. Semua yang terjadi saat ini, benar-benar di luar dugaannya. “Saya bukannya mau
Arif mengetuk pintu kamar orang tuanya dengan tidak sabar. Saat akhirnya pintu itu dibuka oleh Deswita, Arif langsung melempar protesnya.“Bunda nemui Nila tadi pagi?” tanya Arif, suaranya bergetar menahan emosi. Napasnya sedikit terengah, mencoba meredam gejolak di dada sebelum melontarkan pertanyaan.Deswita mengangkat alis, menatap anaknya dengan sorot tenang. “Ah! Jadi dia sudah ngadu sama kamu,” jawabnya santai, seakan tidak terganggu oleh nada bicara Arif.Arif mendengus, frustasi. Ia mengepalkan kedua tangannya di depan sang bunda, jari-jarinya nyaris gemetar karena tekanan emosinya. “Harusnya Bunda bicara sama aku kalau nggak setuju dengan hubungan kami! Bukan sama Nila!” Suaranya makin meninggi di akhir kalimat, tanda ia tak bisa lagi menahan kekesalannya.“Jaga nada bicaramu, Rif!”Arif menatap ayahnya yang baru saja berdiri di samping Deswita. Menghela panjang, sembari mundur satu langkah. “Ayah tahu, kalau Bunda—”“Ayah tahu,” sela Ivan bersikap sama tenangnya dengan sang
“Nila, bangun.” Sudah tiga kali Djiwa memanggil nama gadis itu, tetapi Nila tidak juga kunjung bergerak sedikit pun. Gadis itu masih terlelap, meskipun posisi tidurnya terlihat jauh dari kata nyaman. “Nila.”Karena tidak kunjung bangun dengan teguran, maka Djiwa menepuk-nepuk bahu Nila. “La, bangun, La. Kita sudah sampai.”Nila menggumam pelan. Kelopak matanya mulai bergerak sebelum akhirnya terbuka perlahan. Wajahnya yang sedikit bingung menoleh ke arah Djiwa, seolah mencoba mengingat di mana ia berada. “Sampai?” tanyanya dengan suara serak.“Iya, sudah sampai,” jawab Djiwa sambil menunjuk ke luar jendela mobil. “Tower A1.”Melihat tulisan Tower A1 yang berdiri tegak di atas pelataran lobi apartemen, Nila pun melepas sabuk pengaman lalu menegakkan tubuh dengan perlahan. Menguap sebentar sembari menutup mulut dan terdiam, menghela panjang.“Makasih, ya, Pak,” ucap Nila sambil menegakkan sandaran jok. “Saya jadi nggak enak sama pak Gavin.”“Kamu bisa telpon sugar daddy-mu itu kalau ngg
“Arif! Berdiri!” desis Deswita dengan suara pelan dan tajam. Ia meraih lengan putranya dan mencoba mengangkat tubuh Arif tetapi gagal. “Jangan bikin malu nama keluarga!”“La?” Arif meraih tangan Nila dan menggenggamnya. Ia tidak peduli dengan ucapan Deswita, pun dengan tatapan orang lain padanya. Hatinya sudah jatuh terlalu dalam pada Nila dan tidak ada seorang pun yang dapat mengubahnya. “Ini bukti kalau aku nggak main-main.”“Nila.” Ivan mencoba menengahi sembari meredam emosi. “Jangan mengambil langkah yang salah.”Seketika itu juga, Nila tersadar dengan posisinya. Untuk beberapa saat, Nila sempat luluh dengan apa yang dilakukan Arif. Namun, ucapan Ivan barusan menyadarkan jika semua ini hanya akan berujung sia-sia.“Mas...” Nila menggeleng pelan. Suaranya lirih, hampir tidak terdengar. Menarik cepat tangannya dari genggaman Arif, karena takut akan berubah. “Maaf, aku nggak bisa.”Nila mundur dan menjaga jarak. Melihat ke sekeliling dan kembali menggeleng, kali ini lebih tegas. Nil
Djiwa mengerut dahi ketika baru menutup pintu mobil dan menguncinya dari luar. Ia berjalan perlahan menuju restoran, lalu berhenti sejenak di balik pilar untuk mendengarkan ketegangan yang ia lihat sejak memarkirkan mobil. Dalam artian, Djiwa sedang menguping pembicaraan yang terjadi antara Nila dan ketiga orang lainnya.Sedikitnya, Djiwa mulai mengerti di mana letak perdebatan tersebut dan agak terkejut ketika mendengarnya. Lantas, ketika intensitas ketegangan terdengar semakin panas, Djiwa beranjak melewati keempat orang itu sembari berujar, “Nila! Ikut saya masuk ke dalam, sekarang!”Antara kaget, bingung, lega, dan tidak percaya dengan sosok pria yang baru saja berjalan melewatinya. Pria itu hanya melirik, tanpa mau repot-repot berhenti dan menyampaikan maksudnya dengan semestinya.“Maaf, saya permisi,” pamit Nila terburu. Kendati masih berada dalam ketegangan, tetapi ia tetap memberi anggukan sopan sebelum berbalik pergi meninggalkan keluarga Adiningrat.Nila mempercepat langkahn
Nila baru saja selesai mencuci piring, ketika dering ponselnya terdengar dari meja makan. Awalnya, ia mengira itu panggilan dari nomor asing. Kemungkinan nomor baru Arif, mengingat nomor lamanya sudah diblokir oleh Nila. Namun, saat matanya menangkap nama yang tertera di layar, jantungnya langsung berdebar kencang.Kendati ingin sekali mengabaikan, tetapi Nila tidak bisa melakukannya. Mau tidak mau, ia akhirnya menerima panggilan tersebut dengan sapaan ramah.“Pagi, Pak Gavin,” sapa Nila dengan nada formal.“Pagi. Benar saya bicara dengan Nila? Vanila Wicaksana?”“Betul, Pak.” Nila menahan napas. “Apa ada yang bisa saya bantu?”“Kamu ada acara hari ini?”Nila meringis, mengumpat dalam hati. Merasa geli sendiri dan mulai berpikiran negatif.“Nila, kamu masih di sana?”“Ah, iya, Pak, maaf.” Nila menggeleng cepat untuk mengenyahkan pikiran buruk di kepala. Namun, ia tidak bisa. “Tadi Bapak tanya apa?”“Bisa kita ketemu nanti siang? Jam 12, makan siang?”Nila menghela pelan. Pria itu seol
“Masuk,” titah Djiwa sambil mengangguk ketika melihat Nila mengetuk pintu ruang kerjanya yang terbuka.“Ini undangan Nena, Pak,” ucap Nila semberi meletakkan undangan berdesain minimalis berwarna krem di atas meja Gavin. Kertas tebal dengan cetakan huruf emas itu terlihat sederhana, tetapi tetap memancarkan kesan elegan.“Terima kasih.” Djiwa melirik sekilas ke arah undangan tersebut, lalu kembali fokus pada layar monitornya. “Sebelum pulang, tolong panggil Elin dan Sigit ke ruangan saya.”“Baik, Pak,” ucap Nila tetapi masih berdiri di tempatnya. Hal tersebut membuat Djiwa menoleh dan menatap tanya.“Ada yang lain?”“Em ...” Nila mengangkat kedua bahunya sembari mengernyit. “Maaf, tapi ... karena Bapak atasan saya, jadi—”“To the point, La.”Nila menghela singkat. “Saya nggak nyaman dengan pak Gavin siang tadi,” ucapnya cepat tanpa jeda. “Dari cara dia melihat saya, terus pertanyaannya, sikapnya yang terlalu ‘memperhatikan’ saya. Bapak ngerasa nggak, sih, Pak?”Ocehan Nila tersebut ak
“Ingat, begitu rapat redaksi selesai, notulennya harus segera dikirim ke e-mail redaksi,” ujar Nena mengingatkan sekali lagi. “Surat masuk harus dicek, ditulis, dan dikonfirmasi secepatnya. Terus—”“Aman,” potong Nila mencoba menenangkan. Meskipun rutinitas barunya sangat padat, tetapi baginya semua ini cukup membosankan. Terbiasa bekerja di lapangan dan bertemu dengan berbagai macam orang, Nila akhirnya merasa jenuh ketika harus duduk di depan komputer dan hanya berada di kantor seharian. Walaupun begitu, ia tetap harus bertanggung jawab dengan semua keputusan yang diambilnya sekaligus mengalihkan pikirannya dari Arif. “Semua sudah aku catat, jadi kamu sudah bisa mikirin pernikahanmu dengan tenang.”Nena membuang napas panjang. “Sebenarnya aku stres karena BB-ku naik dua kilo. Aku takut kebayanya nggak muat.”“Masa’ sih?” Nila menghentikan kesibukannya sebentar. Mengalihkan pandangan dari surat yang baru dibukanya untuk melihat Nena dengan seksama. “Nggak kelihatan kalau naik dua kil
“Pak Djiwa ada?” tanya Nila saat berhenti di sudut meja kerja Nena. Tatapannya tertuju sebentar pada ruang kaca yang sebagian besar di tutup oleh stiker buram, lalu beralih pada Nena.“Di ruangan pak Gavin,” jawab Nena menyebut nama CEO perusahaan yang baru menjabat satu bulan belakangan di Warta. Kemudian, ia menyodorkan sebuah buku catatan yang sudah disiapkan sebelumnya pada Nila. “Ini semua catatan yang harus kamu hapal tentang kebiasaan pak Djiwa.”“Catatan?” Nila mengerjap lalu segera mengambil buku dengan cover berwarna ungu polos tersebut.“Iya!” Nena mengangguk. Memangku wajah dengan kedua tangan dan menatap Nila. “Pastikan selalu ada air mineral di mejanya dan kamu nggak diperkenankan pakai baju kerja bebas selain seragam kantor. Dia nggak suka.”“Serius?” Nila membaca catatan yang ada di buku dengan seksama.Menghela sesekali, karena mengingat semua pembicaraan dengan ibunya tadi malam. Sementara pagi ini, mereka tidak banyak bicara karena Kirana sudah pergi ke toko pagi-pa
Arif mengetuk pintu kamar orang tuanya dengan tidak sabar. Saat akhirnya pintu itu dibuka oleh Deswita, Arif langsung melempar protesnya.“Bunda nemui Nila tadi pagi?” tanya Arif, suaranya bergetar menahan emosi. Napasnya sedikit terengah, mencoba meredam gejolak di dada sebelum melontarkan pertanyaan.Deswita mengangkat alis, menatap anaknya dengan sorot tenang. “Ah! Jadi dia sudah ngadu sama kamu,” jawabnya santai, seakan tidak terganggu oleh nada bicara Arif.Arif mendengus, frustasi. Ia mengepalkan kedua tangannya di depan sang bunda, jari-jarinya nyaris gemetar karena tekanan emosinya. “Harusnya Bunda bicara sama aku kalau nggak setuju dengan hubungan kami! Bukan sama Nila!” Suaranya makin meninggi di akhir kalimat, tanda ia tak bisa lagi menahan kekesalannya.“Jaga nada bicaramu, Rif!”Arif menatap ayahnya yang baru saja berdiri di samping Deswita. Menghela panjang, sembari mundur satu langkah. “Ayah tahu, kalau Bunda—”“Ayah tahu,” sela Ivan bersikap sama tenangnya dengan sang
“Dji, silakan ambil karyawan dari divisi lain, karena Nila tetap ada di produksi.” Hamid langsung melempar protes ketika masuk ke ruangan Pemimpin Redaksi.“Nila sendiri yang mengajukan diri jadi sekred.” Djiwa yang berdiri di tengah ruang lantas menunjuk Nila yang terpaku di bibir pintu. “Daripada saya buka lowongan dan harus repot dengan ini itunya ...” Djiwa kembali menunjuk Nila. “Jadi saya terima dia dengan tangan terbuka,” ucapnya dengan merentangkan kedua tangan ke arah Nila. “Dji—”“Pak Hamid.” Djiwa mengangkat tangan kanannya pada pria itu. “Kita punya banyak reporter di Warta yang bisa di-rolling dan menggantikan satu dengan yang lain. Jadi, saya rasa nggak ada masalah kalau Nila mundur dari tim produksi. Dan Nena sudah saya suruh untuk lapor ke HRD.”Hamid berdecak. Menatap Nila yang masih terpaku di bibir pintu, lalu menggeleng. “La?”“Saya minta maaf, Pak.” Nila buru-buru mendekat pada Hamid. Semua yang terjadi saat ini, benar-benar di luar dugaannya. “Saya bukannya mau