“Pagi, Pak Gavin,” sapa Djiwa saat melihat pria itu berdiri di depan lift bersama seorang gadis.“Pagi, Dji,” balas Gavin lalu sedikit melangkah mundur. “Kenalkan, ini putri saya, Kamila. Dia magang di sini untuk tiga bulan ke depan, di bagian keuangan.”Kamila tersenyum ramah dan lebih dulu mengulurkan tangan pada Djiwa dengan percaya diri. “Kamila Nadeem. Panggil aja Mila.”“Djiwa,” balasnya sambil menjabat Kamila dengan formal dan tidak berniat bertanya lebih. Ia sudah tahu Kamila adalah putri Gavin, tetapi ini kali pertama Djiwa bertemu dengan gadis itu secara langsung.“Nila baik-baik aja kemarin?” tanya Gavin bersamaan dengan pintu lift yang terbuka.Djiwa menarik napas panjang. Mempersilakan Gavin dan putrinya masuk ke lift lebih dulu. “Baik.”“Waktu saya keluar restoran, kalian berdua sudah nggak ada,” ucap Gavin lagi. “Kalian pergi berdua?” selidiknya.“Saya antar dia pulang, karena khawatir dia kenapa-napa di jalan dengan kondisi seperti itu.”Gavin mengangguk pelan. Bisa me
“Maaf, kalau waktunya kurang tepat, tapi bisa kita bicara sebentar.”Kirana membuang napas pelan, mencoba mengatur debaran jantung yang terasa sangat menyakitkan. Bukan secara fisik, tetapi lebih pada emosi yang menghantamnya secara tiba-tiba. Perasaan sesak itu mulai menggerogoti dan menghimpit menekan dada.“Kirana?”“Bu.” Yani menyentuh lengan Kirana. Menyadarkan wanita itu dari lamunan dan keterdiamannya. “Ibu nggak papa?”Kirana menoleh, menatap Yani dengan emosi yang sulit dijelaskan. Napasnya pelan, seolah tengah berusaha mengendalikan sesuatu yang hampir saja meledak. Kirana harus mengendalikan diri, agar tidak menunjukkan betapa rapuhnya ia saat ini.“Nggak papa,” ucap Kirana pada akhirnya. “Tolong tinggalkan kami sebentar, Yan.”Meskipun masih dilanda kebingungan, tetapi Yani tidak membantah. Ia berbalik pergi dan memilih berada di balkon kecil di samping dapur sambil membawa camilannya.“Tetap di situ dan jangan masuk,” pinta Kirana menguatkan diri. “Nggak ada hal penting y
“Mau apa kamu?” Djiwa hampir saja bertabrakan dengan Nila, ketika ia terburu keluar ruangan. Gadis itu sepertinya berencana menemui Djiwa, sehingga mereka bertemu tepat di bibir pintu.“Pak Gavin minta ketemu di White Cafe,” jawab Nila cepat.“Tinggal datang dan temui.” Djiwa bergeser, lalu melangkah tergesa meninggalkan gadis itu.Nila mencebik. Segera berbalik dan menyusul Djiwa yang berjalan ke arah koridor lift. “Bapak mau ke mana? Bukannya baru datang?”“Laptop saya tertinggal di mobil.” Djiwa berdiri di depan lift yang kebetulan langsung terbuka. Ia membiarkan karyawan lain keluar lebih dulu, barulah ia masuk dan menekan tombol menuju lantai lobi.Nila buru-buru masuk dan berdiri menghadap Djiwa. “Kenapa, ya, Pak Gavin—”“Nila, tolong jangan lagi membahas masalah pribadimu dengan saya,” potong Djiwa tegas. “Mulai sekarang, yang kita bahas hanya masalah pekerjaan. Mengerti?”“Maaf.” Nila menunduk dan mundur dengan wajah yang mulai memanas. Terdiam dan menunggu sampai lift berhent
“Nila.” Kirana mengetuk pintu kamar Nila, karena putrinya tidak kunjung keluar kamar. Matahari sudah terasa menyengat, tetapi tidak ada tanda-tanda Nila akan pergi bekerja. “Nila, Mama masuk.”Tidak mendengar jawaban dari putrinya, Kirana pun membuka pintu kamar dengan perlahan. Ia sedikit terkejut, karena melihat Nila masih berada di tempat tidur dan menutup tubuh dengan selimut.Semalam, Nila memang terlihat lesu ketika pulang dari kantor. Gadis itu hanya meletakkan sebuah paper bag di meja makan dan mengatakan itu adalah pemberian Djiwa. Setelahnya, Nila masuk ke kamar dan beristirahat tanpa banyak bicara.“La, kamu sakit?” tanya Kirana menghampiri dan duduk di tepi tempat tidur. Menyentuh dahi Nila yang masih memejamkan mata, tetapi tidak merasakan perubahan suhu sama sekali.Nila yang berbaring miring itu menggumam tanpa membuka mata. “Sakit kepala.”“Mama bikinin teh anget dulu,” ucap Kirana sembari mengusap puncak kepala putrinya. “Habis itu Mama pesenin bubur di bawah.”Nila m
“Kita bisa tes DNA, biar semuanya jelas.”Nila membaca pesan yang dikirimkan Gavin dan terdiam. Pikirannya melayang, mengingat kembali pertemuan mereka tadi malam.Ada bagian dari dirinya yang ingin percaya bahwa Gavin berkata jujur. Terlebih lagi, Kirana sempat mencari tahu tentang Gavin, meskipun mamanya melakukan dengan cara yang sangat halus, nyaris tak kentara.Andai saja Gavin tidak mengatakan bahwa dia adalah ayahnya, mungkin percakapan singkat di lift bersama Kirana hanya akan berlalu tanpa meninggalkan jejak di pikirannya.Jika Gavin benar ayah kandungnya, mengapa selama ini Kirana harus berbohong sedemikian rupa?Jangan-jangan, Gavin dan Kirana menjalin hubungan tanpa restu. Nekat melakukan sesuatu di luar batas agar bisa menikah, tetapi berujung sia-sia.“Pak.” Nila buru-buru menyapa Djiwa, sebelum pria itu masuk ke ruangannya. “Maaf, izin tanya.”Djiwa berhenti tepat di depan pintu ruang kerjanya yang terbuka. Menaikkan kedua alisnya, “tanya aja, nggak usah minta izin.”“I
“Kenapa belum pulang?” Djiwa berhenti tepat di ujung meja Nila dan melihat jam tangannya. Sejak tadi, ia berada di Master Control Room dan baru kembali ke ruangannya. “Sudah setengah tujuh.”“Tiga kali pesan taksi, tiga kali cancel,” jawab Nila sembari menatap ponselnya yang tergeletak di meja. Arif juga tidak bisa menjemput, karena terjebak macet dan akan memakan waktu lama jika harus pergi ke kantor Nila. “Habis hujan, Pak. Jalanan macet.”“Nggak bawa motor?”“Nggak, Pak,” jawab Nila singkat dan enggan bercerita semua kejadian di balik itu. Untuk sementara, ia tidak mau memikirkan masalah yang kini sedang menghimpitnya.“Tunggu 10 menit lagi,” ujar Djiwa sambil berlalu menuju ruangannya. “Kalau belum dapat juga, nanti saya antar. Kita searah.”“Nggak u—”“10 menit,” potong Djiwa sudah memasuki ruangannya.Nila mencebik. Kembali membuka aplikasi transportasi online di ponselnya dan berusaha mencari taksi yang bisa menjemputnya. Namun, ternyata usahanya sia-sia. Tidak ada sopir yang b
“Kamu balikan sama Arif?” tanya Kirana dengan banyak hal yang berkecamuk di kepala.Sejak Gavin datang, Kirana tidak bisa tidur dengan tenang. Terlebih ketika putrinya saat ini bekerja di kantor yang sama dengan pria itu. Sebenarnya, ada yang ingin Kirana tanyakan perihal Gavin pada Nila, tetapi ia khawatir putrinya akan curiga.“Nggak.” Nila berusaha terus meyakinkan diri, agar tidak luluh dengan semua perhatian Arif.“Sebenarnya kalian putus itu karena apa?” selidik Kirana setelah melihat hubungan keduanya masih baik-baik saja. “Apa Arif selingkuh?”“Mas Arif nggak kayak gitu,” bela Nila sambil membersihkan sisi bagian bawah sepatu ketsnya. Sepatu itu akan ia kenakan untuk bekerja, tetapi sisa lumpur dari hujan semalam masih menempel di sana, membuatnya sedikit kotor. Ia enggan menggunakan sepatu pantofel yang baru dibelinya, karena merasa tidak bebas bergerak ke sana kemari. Seringkali membuat tumit serta ujung jemarinya sakit, jika digunakan untuk berjalan terlalu lama.“Terus ken
“Mbak Nila, ada tamu di bawah atas nama Julian. Katanya sudah ada janji.”“Oia, tolong suruh tunggu sebentar,” pinta Nila pada resepsionis yang menghubunginya via telepon. Ia menebak, jika tamu tersebut adalah orang suruhan Gavin. “Makasih, Mbak Rachel.”Setelah menutup panggilannya, Nila segera mengeluarkan beberapa helai rambut yang telah dibungkus rapi dalam plastik dari tasnya. Sebelum berangkat bekerja pagi tadi, ia memang sudah menyiapkan semuanya agar tidak perlu repot lagi ketika berada di kantor.“Tolong fotokopi surat ini tiga rangkap sekarang, karena mau saya bawa sebentar lagi,” pinta Djiwa berhenti sebentar untuk meletakkan selembar kertas di meja Nila, lalu kembali berjalan ke ruangannya. “Satu buat arsip kamu. Pake kertas berkop.”Nila hanya bisa mencebik dari balik punggung Djiwa. Tidak melontarkan sepatah kata pun, karena sudah terbiasa dengan sikap Djiwa yang seperti itu. Dengan segera, ia pergi menuju mesin fotokopi yang berada di sudut ruang dan melakukan perintah
Arif terpaku ketika melihat wanita yang duduk tenang di lobi. Tatapan mereka bersirobok dan Arif tahu ia tidak lagi bisa menghindar. Pagi ini juga, ia akan bicara empat mata dengan Deswita.“Mas Arif!”Langkah Arif semakin tertahan, ketika mendengar seseorang memanggilnya. Terlebih, ketika pemilik suara tersebut sudah berada di hadapannya.“Aku mau tanya, cowok yang kemarin di depan lift itu siapa?” Mila bertanya dengan terburu, penuh rasa penasaran.Mila memang sudah tahu nama dan identitas pria itu, tetapi yang belum terjawab adalah hubungannya dengan Arif.“Itu juga yang mau aku tanyakan,” kata Arif pada Mila yang tampak sedikit ngos-ngosan. “Tapi nanti. Karena aku ada urusan yang lebih penting.”“Sekarang.” Mila langsung mencekal lengan Arif sebelum pria itu sempat melangkah pergi. Tatapannya tajam dan menuntut. “Aku cuma mau tahu, dia ada hubungan apa sama kamu?”“Firman.” Arif menghela napas, menatap wanita yang masih duduk di tempatnya sejenak, lalu kembali mengalihkan pandanga
Pada akhirnya, Mila harus menjalankan perusahaan barunya tanpa kehadiran Nila. Ia pun terpaksa mencari seorang karyawan baru, yang ditugaskan sebagai admin yang serba bisa. Selain itu, Mila juga merekrut satu staf tambahan, untuk menjaga kebersihan kantor dan bisa melakukan berbagai hal lainnya.Intinya, Mila tidak mau rugi. Setiap karyawan yang ia rekrut, harus bisa melakuan beberapa hal sekaligus.Untuk sementara, perusahaan kecilnya hanya berjalan dengan dua karyawan. Mila memilih untuk mengikuti saran Gavin, fokus pada perkembangan bisnisnya terlebih dahulu sebelum merekrut lebih banyak tenaga kerja.“Konten buat tiga hari ke depan sudah siap, Bu,” lapor Janice sambil menyembulkan kepala di ruangan Mila. “Bisa dicek dulu. Kalau oke, tinggal atur jadwal seperti biasa.”“Oke!” Mila mengacungkan ibu jarinya. “Aku kabari besok pagi. Dan berapa total sementara yang ikut kelas online raising money for kids kita besok malam?”“Total 97 orang.”“Cut di 100, ya,” pinta Mila. “Dan selebihny
“Yaaa, nggak papa juga, sih.” Mila menggaruk kepala setelah mendengar perkataan Gavin.Papanya dan Djiwa kompak keberatan, jika Nila meneruskan pekerjaannya bersama Mila. Bukan apa-apa, Gavin hanya tidak ingin terjadi fitnah atau kesalahpahaman di kemudian hari, karena Arif bekerja di gedung dan lantai yang sama dengan Nila.Lebih baik mencegah, daripada terlanjur mengobati.“Itu artinya, aku harus cari orang buat gantiin mbak Nila,” sambung Mila sambil memikirkan beberapa hal.“Betul,” jawab Gavin. “Karena perusahaanmu itu masih baru, cari aja satu atau dua admin yang bisa handle semua sekaligus. Jangan maruk harus punya staff ini, staff itu, karena kamu belum tahu bagaimana perputaran uang di perusahaan. Pintar-pintar kamu, bagi jobdesk.”“Aku cari satu dulu,” kata Mila sudah memahami perkataan Gavin. “Nanti aku minta tolong sama tante Atika, buat cari orang sama mau konsul sekalian.”“Tapi, jangan bilang kalau Nila nggak jadi kerja karena Arif,” pinta Gavin yang hanya bisa duduk di
Begitu melihat mobil yang biasa digunakan Mila berhenti di area drop-off lobi. Djiwa bergegas menghampiri dan membuka pintu penumpang belakang. Segera menunduk dan tersenyum lebar ketika melihat putrinya berada di pangkuan Nila.“Sama Papi dulu,” kata Djiwa mengambil alih Emma dari istrinya. “Ke ruanganku atau mau ke kafe?”“Ruangan Papi aja,” jawab Nila sembari keluar dan menutup pintu. Kemudian, ia menoleh pada Mila yang juga baru keluar dari pintu di seberangnya. “Kamu jadi datangin papa?”“Aku ke keuangan aja,” ujar Mila lalu melambai dan melewati keluarga kecil tersebut. Ia tidak ingin menyela kebahagiaan yang ada, karena itu Mila masuk ke dalam lobi dengan segera. “Kabari kalau sudah selesai.”“Pak Budiman baru aja pergi,” ujar Djiwa segera mengajak Nila masuk ke gedung. “Dia bawa cucunya ke sini. Anaknya almarhum.”“Berdua aja?” tanya Nila. “Pak Wahyu sama Anggun nggak ikut?”“Berdua aja.” Djiwa mengangguk. “Cuma berkunjung, ngajak Putra lihat-lihat. Dan kamu tahu, Putra itu mi
“Aduw, aduw, incess-nya Ibuk tambah cantik.” Mila mencium gemas pipi gembil Emma berkali-kali, hingga bayi cantik itu tertawa geli di gendongannya.Mila memang sangat menyayangi satu-satunya keponakan yang dimilikinya saat ini. Setiap melihat baju atau aksesoris yang lucu, tanpa ragu ia akan membelinya untuk Emma.Bahkan, hampir semua baju yang dimiliki bayi itu, berasal dari Mila. Saking sayangnya, Mila tiba-tiba mengubah panggilannya menjadi ibu, tidak mau lagi dipanggil tante.“Nanti habis lihat kantor Ibuk sama mami, kita mampir ke toko oma, ya!” lanjut Mila segera berbalik pergi meninggalkan Nila yang baru keluar kamar mandi. “Aku tunggu di luar, Mbak. Buruan, tante Atika sudah otewe.”Nila tidak menjawab. Ia mematut diri di cermin lalu menghela kecil. Beberapa pakaiannya sebelum hamil sudah tidak muat, karena berat tubuhnya yang belum kunjung turun setelah melahirkan.Namun, apa mau dikata. Setelah melahirkan, porsi makan Nila juga bertambah karena menyusui. Ia jadi cepat lapar d
“Pokoknya, nanti kalau anak kedua laki-laki, harus ada nama Papa nyelip di sana.” Gavin masih saja protes, karena ada gabungan nama Kirana dan Atika pada cucu pertamanya.Ternyata, Arana adalah gabungan dari nama Atika dan Kirana.Nila sudah malas membalas Gavin. Ia sudah bilang hanya akan memiliki satu anak saja, tetapi papanya tetap saja menyinggung perihal anak kedua. Lebih baik ia menghabiskan sarapannya dengan segera, setelah itu kembali ke kamar untuk mengASIhi Emma yang sedang berada di gendongan Gavin.Djiwa saja sampai harus bersabar menunggu giliran menggendong putrinya, ketika Gavin berada di rumah.Untuk sementara, Nila diminta tinggal di kediaman Gavin. Kirana tidak tega jika harus melepas putrinya yang baru melahirkan dan tiba-tiba harus mengurus bayi seorang diri.“Papa! Ayok ke belakang!” ajak Mila yang baru memasuki ruang makan. “Kita berjemur sama Emma.”Nila memangku wajah dengan satu tangan. Terus memakan sarapannya dan membiarkan kedua orang itu membawa Emma untuk
Sambil menahan nyeri yang semakin kuat, Nila bersandar di dada Djiwa, meremas lengan suaminya seakan itu satu-satunya cara untuk menyalurkan rasa sakit yang mendera. Djiwa berdiri di samping ranjang rumah sakit, membiarkan istrinya berpegangan erat. sementara Kirana, duduk di belakang Nila untuk mengusap punggungnya.“Kalau sakitnya gini, anaknya satu aja,” lirih Nila masih sempat-sempatnya protes seraya menahan nyerinya kontraksi.Tatapan Djiwa bertemu dengan Kirana. Ketika wanita itu memberi anggukan, Djiwa segera merespons ucapan istrinya barusan.“Iya, satu aja,” ucap Djiwa dengan terpaksa. Saat ini, Djiwa tidak akan membantah, karena memahami bagaimana kondisi Nila.Mana tahu beberapa tahun lagi pemikiran istrinya bisa berubah dan ingin menambah anak lagi.“Sabar, ya,” ucap Kirana dengan telaten mengusap punggung putrinya untuk menenangkan. “Mama tahu, kamu pasti kuat.”“Apa Mama dulu juga kesakitan gini, waktu mau lahirin aku?” tanya Nila setelah merasa sakitnya mulai berangsur
“Mas, aku gendut banget, ya?” tanya Nila saat berdiri di depan meja riasnya. Berbalik ke kiri dan ke kanan, melihat bentuk tubuhnya yang jauh berbeda seperti sebelum hamil. “Dari pipi sampai ke jempol kaki, bulet semua.”Djiwa baru membuka mulut, tetapi mengatupkannya kembali. Pertanyaan tersebut seperti bumerang. Apa pun jawaban yang nantinya Djiwa beri, akibatnya pasti akan kembali pada dirinya sendiri.“Mas, aku tanya loh,” ujar Nila berbalik dan melihat Djiwa menutup laptop lalu meletakkannya di nakas.“Ini sudah malam dan besok kita diminta datang ke wisuda Nila,” ujar Djiwa berusaha mengalihkan obrolan.“Justru karena mau datang ke wisuda, aku ngerasa—”“Yang terpenting itu, anak kita sehat,” sela Djiwa menyingkap selimut di sampingnya dan meminta sang istri berbaring di sebelahnya. “Masalah badan, nanti setelah lahiran kamu bisa ... yoga atau pilates.”“Anakku siapa yang jaga kalau aku pergi olahraga?” Nila berjalan perlahan menuju tempat tidur, tetapi hanya duduk bersandar pad
“Kamu itu lebay, La,” ujar Nila geleng-geleng setelah mendengar pernyataan Kirana barusan. “Yang ada itu, wisuda baru ditemenin mama sama papa, bukan pas sidang. Kasihan tauk, Mama disuruh nunggu kamu sidang.”“Mama yang mau, kok.” Mila memeletkan lidah pada saudaranya. “Lagian nanti Mama aku bawain laptop, biar bisa nunggu sambil nonton sama ngemil.”“Harusnya jangan mau, Ma,” Nila beralih pada mamanya yang duduk santai di sofa panjang bersama Mila.Sejak pagi, Nila sudah berada di kediaman Gavin karena minta di antar ke rumah tersebut. Ada yang harus dibahas bersama Mila mengenai perusahaan, yang rencananya akan launching awal tahun depan.“Ihh, Mama aja nggak papa. Kok, kamu yang repot, sih, Mbak?” Mila mulai sewot, karena Nila terlalu banyak protes. Padahal, Kirana terlihat santai-santai saja.Nila menyeruput es susu vanilanya, sambil asyik menikmati rujak buah sendirian. Tidak ada yang menemani, karena mangga yang dibeli Kirana rasanya masam. Namun, Nila justru menikmatinya dengan