“Pak Djiwa cuma becanda,” ucap Nila sambil menerima ponselnya dari Arif dan memasukkannya ke dalam tas. Ia melirik sekilas pada Gavin, yang masih berbicara serius dengan Rachel. Berharap, hasil tes DNA mereka lekas keluar, sehingga Nila bisa mengambil langkah selanjutnya. “Nggak usah diambil hati. Dia emang suka ngeselin.”Tatapan Arif tertuju pada Gavin. Melihat pria itu dengan seksama, lalu menggeleng. Ia tahu benar siapa Nila, jadi tidak mungkin ucapan Djiwa barusan benar adanya.Justru, Arif menganggap Djiwa ingin membuat hubungannya dengan Nila menjadi renggang kembali. Dengan begini, ia semakin yakin jika Djiwa memiliki perasaan pada Nila.Karena itulah, Arif merasa harus segera menjadikan Nila kekasihnya kembali, lalu menikahinya. Ia ingin membawa Nila keluar dari Warta dan menjauhkan gadis itu dari Djiwa. Pria yang belakangan ini terlalu sering hadir dalam kehidupan Nila. Arif tidak ingin ada kesempatan sedikit pun bagi Djiwa untuk mendekati Nila.“Ayo pulang,” ajak Arif refle
Setelah berdebat dengan Arif malam itu, Nila memutuskan untuk kembali memblokir nomor pria itu. Tidak hanya nomor lama Arif yang ia blokir, tetapi nomor baru pria itu pun ikut kena imbasnya.Nila hanya ingin menenangkan diri dari masalah percintaan yang membelit hati. Saat ini, fokus Nila tertuju pada urusan tes DNA dirinya dan Gavin. Karena itulah, meski patah hati yang dideritanya begitu menyakitkan, Nila tidak terlalu terpuruk dengan itu semua. Masih ada hal penting yang mengusik hati dan pikirannya, yakni masalah yang ada di dalam keluarganya.“Kenapa belum pulang?” tanya Djiwa meletakkan tas spunbond berwarna biru di meja Nila dan menatap layar komputer yang masih menyala. “Ini hampir jam tujuh.”“Bapak ... ke kantor?” Nila mendongak dan menatap bingung. “Bukannya baru pulang dari Palembang?”“Saya langsung ke sini karena ada yang harus diselesaikan,” ujar Djiwa sambil mengeluarkan dua bungkus makanan yang dikemas rapi dalam plastik vakum dari tas spunbondnya. Ia meletakkannya di
“Mama masak apa?” tanya Nila sembari berjalan ke meja makan dengan langkah gontai. Duduk di kursi, lalu bersandar menatap Kirana yang berada di belakang kompor.“Ini, manasin cuko pempek dari pak Djiwa semalam,” ucap Kirana berbalik sejenak dan menunjuk tudung saji di meja makan. “Pempeknya sudah di meja.”Nila menghela berat. Ia menunggu mamanya selesai dengan kesibukannya dan hanya diam tanpa minat di tempatnya. Setelah Kirana selesai, lalu duduk dan meletakkan cuko yang masih panas, barulah Nila berniat membicarakan semuanya.“Aku mau ngomong serius,” ujar Nila kemudian menaikkan kedua kakinya di kursi untuk bersila.Kirana mengangguk pelan. Melihat ekspresi Nila dan nada bicara putrinya, Kirana mulai merasa tidak tenang. Firasatnya mengatakan, Nila akan kembali bertanya perihal masa lalu yang sudah terkubur dalam-dalam. Tidak hanya itu, Kirana juga khawatir jika Gavin ternyata nekat bicara dengan Nila.“Mau bicara apa?” tanya Kirana bersiap mendengarkan.“Papaku.”Benar dugaan Kir
“Ha—”“Jangan ikut campur dengan urusan pribadi saya!” hardik Nila saat mendengar suara Djiwa.Dibawa masuk ke lift secara paksa oleh Djiwa, membuat Nila ingin berteriak untuk melampiaskan semua amarahnya. Namun, Nila masih sadar diri dengan posisinya saat ini. Selain itu, ia juga masih menghormati pria itu sebagai atasannya. Djiwa hanya menjalankan perintah, agar suasana tidak semakin memanas dan memancing huru hara.“Halo, Pak Beni.” Djiwa bergeser ke hadapan Nila. Menatap datar, dengan ponsel yang menempel di telinga. “Maaf, saya nggak jadi pulang. Tapi tolong masuk ke lobi dan ambil koper saya di resepsionis. Antarkan ke rumah mama, nanti saya ambil di sana. Terima kasih.”Melihat Djiwa ternyata tidak berbicara dengannya, melainkan sedang menelepon seseorang, Nila menunduk. Rasa malu yang teramat sangat kini membanjiri dirinya, karena telah menghardik atasannya.“Maaf,” cicit Nila lalu menggigit bibir bawahnya kuat-kuat.“Urusan pribadi jangan dibawa ke kantor.” Djiwa berbalik, me
Langkah Gavin memelan, ketika mendapati Mila masih berada di ruang tengah. Biasanya, gadis itu tidak pernah tidur selarut ini dan tidak juga pernah menunggunya pulang dari kantor.Ini semua pasti karena kejadian tadi pagi. Gavin belum sempat menjelaskan perihal apa pun, karena kesibukannya yang terlampau padat.“Kenapa belum tidur?” tanya Gavin menghampiri putrinya lalu duduk di sofa tunggal.“Nila,” ucap Mila tidak ingin menunggu sampai besok untuk mendapatkan penjelasan dari Gavin. “Aku nggak pernah ngelarang kalau Papa mau nikah lagi, tapi, aku nggak setuju kalau perempuan itu Nila.”“Kamu sudah salah paham.” Sebenarnya, Gavin ingin menjelaskan dengan menunjukkan surat hasil tes DNA pada Mila agar lebih meyakinkan. Namun, surat itu masih ada di tangan Nila. Bahkan, Gavin sendiri belum sempat mengetahui isi di dalamnya.Akan tetapi, dari reaksi Nila kemarin malam dan pagi tadi, Gavin sudah bisa menyimpulkan jika gadis itu adalah putrinya. Dari amarah Nila, sepertinya gadis itu sudah
“Pak ...” Nila buru-buru menyamakan langkah dengan Djiwa. “Maaf, tapi Bapak nggak marah, kan? Saya, saya cuma kebawa perasaan karena ingat omongannya bu Deswita.”Ada hal-hal yang tidak ditutupi Nila dari Djiwa, karena pria itu sudah mengetahuinya. Terlebih dengan permasalahan Nila dengan keluarga Arif.“Lupakan,” ucap Djiwa enggan memperpanjang percakapannya perihal cinta. “Dan jangan lagi membahas masalah di luar pekerjaan.”“I-iya, Pak.”Nila bergegas mengeluarkan ponselnya yang berdering dan melihat nama Gavin di sana. Ia ingin menolak, tetapi khawatir jika Gavin menghubunginya karena masalah pekerjaan.Sungguh serba salah.“Pagi, Pak,” sapa Nila memelankan langkah di belakang Djiwa.“Pagi, La. Sudah di kantor?”“Sudah, baru datang,” jawab Nila kemudian berhenti di sudut mejanya dan meletakkan tas di sana. “Ada apa, ya, Pak?”“Kapan kita bisa bicara?”“Nggak ada yang harus dibicarakan kecuali masalah pekerjaan,” tegas Nila tanpa basa-basi. Ia telah memutuskan untuk menjalani hidup
“Tokoku mau tutup, jadi cepat!” ujar Kirana ketus. Bersedekap, membuang wajah. Enggan melihat Gavin yang berdiri di depannya. “Mau bicara apa!”Melihat Kirana bertingkah seperti anak kecil yang sedang ngambek, Gavin hanya bisa tersenyum. Namun, senyum itu tidak ia tunjukkan pada Kirana, agar amarah wanita itu tidak semakin memuncak.“Apa nggak ada tempat duduk?” tanya Gavin berusaha mencairkan suasana.“Duduk aja di lantai.”Gavin menatap ke sekeliling ruang. Meskipun terasa penuh dan sesak, tetapi kardus-kardus yang berisi stok barang dagangan Kirana tertata cukup rapi.Namun, Gavin tidak kunjung melihat ada kursi plastik di lantai tersebut. Mungkin karena itulah, Kirana menyuruhnya untuk duduk di lantai.“Kirana.”“Buruan!” Kirana melirik tajam pada Gavin. “Sudah kubilang, tokoku mau tutup dan aku mau pulang istirahat.”“Oke.” Gavin menarik napas panjang. “Aku datang, untuk minta maaf. Aku tahu, kamu pasti sulit memaafkan semua salahku di masa lalu. Tapi, paling nggak izinkan aku ..
“Pak Djiwa apa-apaan?” Nila memberi senyum pada Rachel yang masih berada di meja resepsionis, sambil terus berjalan menuju pintu utama lobi. Cara pandang Rachel terlihat berbeda. Wanita itu tampak bingung, penasaran, atau mungkin curiga melihat Djiwa berjalan sambil memegang lengannya. “Nggak enak dilihat orang.”Detik itu juga, Djiwa melepas tangannya dari lengan Nila. Namun, tetap berjalan di samping gadis itu dan mengarahkan Nila keluar gedung.“Kenapa kamu masih terlibat dengan pak Gavin dan anaknya?” tanya Djiwa kembali meraih tangan Nila dan membelokkan gadis itu ke arah kiri.“Saya cuma ada di tempat dan waktu yang salah,” jawab Nila seketika berhenti melangkah. “Motor saya di basement, Pak.”“Mobil saya parkir di depan, bukan di basement.”“Kan, saya mau pulang.”“Saya terlanjur bilang, mau ajak kamu makan,” balas Djiwa kembali meraih lengan Nila dan membawa gadis itu berjalan menuju mobilnya terparkir.“Tapi saya nggak mau makan.” Bibir Nila mengerucut. Bingung dengan sikap D
Arif terpaku ketika melihat wanita yang duduk tenang di lobi. Tatapan mereka bersirobok dan Arif tahu ia tidak lagi bisa menghindar. Pagi ini juga, ia akan bicara empat mata dengan Deswita.“Mas Arif!”Langkah Arif semakin tertahan, ketika mendengar seseorang memanggilnya. Terlebih, ketika pemilik suara tersebut sudah berada di hadapannya.“Aku mau tanya, cowok yang kemarin di depan lift itu siapa?” Mila bertanya dengan terburu, penuh rasa penasaran.Mila memang sudah tahu nama dan identitas pria itu, tetapi yang belum terjawab adalah hubungannya dengan Arif.“Itu juga yang mau aku tanyakan,” kata Arif pada Mila yang tampak sedikit ngos-ngosan. “Tapi nanti. Karena aku ada urusan yang lebih penting.”“Sekarang.” Mila langsung mencekal lengan Arif sebelum pria itu sempat melangkah pergi. Tatapannya tajam dan menuntut. “Aku cuma mau tahu, dia ada hubungan apa sama kamu?”“Firman.” Arif menghela napas, menatap wanita yang masih duduk di tempatnya sejenak, lalu kembali mengalihkan pandanga
Pada akhirnya, Mila harus menjalankan perusahaan barunya tanpa kehadiran Nila. Ia pun terpaksa mencari seorang karyawan baru, yang ditugaskan sebagai admin yang serba bisa. Selain itu, Mila juga merekrut satu staf tambahan, untuk menjaga kebersihan kantor dan bisa melakukan berbagai hal lainnya.Intinya, Mila tidak mau rugi. Setiap karyawan yang ia rekrut, harus bisa melakuan beberapa hal sekaligus.Untuk sementara, perusahaan kecilnya hanya berjalan dengan dua karyawan. Mila memilih untuk mengikuti saran Gavin, fokus pada perkembangan bisnisnya terlebih dahulu sebelum merekrut lebih banyak tenaga kerja.“Konten buat tiga hari ke depan sudah siap, Bu,” lapor Janice sambil menyembulkan kepala di ruangan Mila. “Bisa dicek dulu. Kalau oke, tinggal atur jadwal seperti biasa.”“Oke!” Mila mengacungkan ibu jarinya. “Aku kabari besok pagi. Dan berapa total sementara yang ikut kelas online raising money for kids kita besok malam?”“Total 97 orang.”“Cut di 100, ya,” pinta Mila. “Dan selebihny
“Yaaa, nggak papa juga, sih.” Mila menggaruk kepala setelah mendengar perkataan Gavin.Papanya dan Djiwa kompak keberatan, jika Nila meneruskan pekerjaannya bersama Mila. Bukan apa-apa, Gavin hanya tidak ingin terjadi fitnah atau kesalahpahaman di kemudian hari, karena Arif bekerja di gedung dan lantai yang sama dengan Nila.Lebih baik mencegah, daripada terlanjur mengobati.“Itu artinya, aku harus cari orang buat gantiin mbak Nila,” sambung Mila sambil memikirkan beberapa hal.“Betul,” jawab Gavin. “Karena perusahaanmu itu masih baru, cari aja satu atau dua admin yang bisa handle semua sekaligus. Jangan maruk harus punya staff ini, staff itu, karena kamu belum tahu bagaimana perputaran uang di perusahaan. Pintar-pintar kamu, bagi jobdesk.”“Aku cari satu dulu,” kata Mila sudah memahami perkataan Gavin. “Nanti aku minta tolong sama tante Atika, buat cari orang sama mau konsul sekalian.”“Tapi, jangan bilang kalau Nila nggak jadi kerja karena Arif,” pinta Gavin yang hanya bisa duduk di
Begitu melihat mobil yang biasa digunakan Mila berhenti di area drop-off lobi. Djiwa bergegas menghampiri dan membuka pintu penumpang belakang. Segera menunduk dan tersenyum lebar ketika melihat putrinya berada di pangkuan Nila.“Sama Papi dulu,” kata Djiwa mengambil alih Emma dari istrinya. “Ke ruanganku atau mau ke kafe?”“Ruangan Papi aja,” jawab Nila sembari keluar dan menutup pintu. Kemudian, ia menoleh pada Mila yang juga baru keluar dari pintu di seberangnya. “Kamu jadi datangin papa?”“Aku ke keuangan aja,” ujar Mila lalu melambai dan melewati keluarga kecil tersebut. Ia tidak ingin menyela kebahagiaan yang ada, karena itu Mila masuk ke dalam lobi dengan segera. “Kabari kalau sudah selesai.”“Pak Budiman baru aja pergi,” ujar Djiwa segera mengajak Nila masuk ke gedung. “Dia bawa cucunya ke sini. Anaknya almarhum.”“Berdua aja?” tanya Nila. “Pak Wahyu sama Anggun nggak ikut?”“Berdua aja.” Djiwa mengangguk. “Cuma berkunjung, ngajak Putra lihat-lihat. Dan kamu tahu, Putra itu mi
“Aduw, aduw, incess-nya Ibuk tambah cantik.” Mila mencium gemas pipi gembil Emma berkali-kali, hingga bayi cantik itu tertawa geli di gendongannya.Mila memang sangat menyayangi satu-satunya keponakan yang dimilikinya saat ini. Setiap melihat baju atau aksesoris yang lucu, tanpa ragu ia akan membelinya untuk Emma.Bahkan, hampir semua baju yang dimiliki bayi itu, berasal dari Mila. Saking sayangnya, Mila tiba-tiba mengubah panggilannya menjadi ibu, tidak mau lagi dipanggil tante.“Nanti habis lihat kantor Ibuk sama mami, kita mampir ke toko oma, ya!” lanjut Mila segera berbalik pergi meninggalkan Nila yang baru keluar kamar mandi. “Aku tunggu di luar, Mbak. Buruan, tante Atika sudah otewe.”Nila tidak menjawab. Ia mematut diri di cermin lalu menghela kecil. Beberapa pakaiannya sebelum hamil sudah tidak muat, karena berat tubuhnya yang belum kunjung turun setelah melahirkan.Namun, apa mau dikata. Setelah melahirkan, porsi makan Nila juga bertambah karena menyusui. Ia jadi cepat lapar d
“Pokoknya, nanti kalau anak kedua laki-laki, harus ada nama Papa nyelip di sana.” Gavin masih saja protes, karena ada gabungan nama Kirana dan Atika pada cucu pertamanya.Ternyata, Arana adalah gabungan dari nama Atika dan Kirana.Nila sudah malas membalas Gavin. Ia sudah bilang hanya akan memiliki satu anak saja, tetapi papanya tetap saja menyinggung perihal anak kedua. Lebih baik ia menghabiskan sarapannya dengan segera, setelah itu kembali ke kamar untuk mengASIhi Emma yang sedang berada di gendongan Gavin.Djiwa saja sampai harus bersabar menunggu giliran menggendong putrinya, ketika Gavin berada di rumah.Untuk sementara, Nila diminta tinggal di kediaman Gavin. Kirana tidak tega jika harus melepas putrinya yang baru melahirkan dan tiba-tiba harus mengurus bayi seorang diri.“Papa! Ayok ke belakang!” ajak Mila yang baru memasuki ruang makan. “Kita berjemur sama Emma.”Nila memangku wajah dengan satu tangan. Terus memakan sarapannya dan membiarkan kedua orang itu membawa Emma untuk
Sambil menahan nyeri yang semakin kuat, Nila bersandar di dada Djiwa, meremas lengan suaminya seakan itu satu-satunya cara untuk menyalurkan rasa sakit yang mendera. Djiwa berdiri di samping ranjang rumah sakit, membiarkan istrinya berpegangan erat. sementara Kirana, duduk di belakang Nila untuk mengusap punggungnya.“Kalau sakitnya gini, anaknya satu aja,” lirih Nila masih sempat-sempatnya protes seraya menahan nyerinya kontraksi.Tatapan Djiwa bertemu dengan Kirana. Ketika wanita itu memberi anggukan, Djiwa segera merespons ucapan istrinya barusan.“Iya, satu aja,” ucap Djiwa dengan terpaksa. Saat ini, Djiwa tidak akan membantah, karena memahami bagaimana kondisi Nila.Mana tahu beberapa tahun lagi pemikiran istrinya bisa berubah dan ingin menambah anak lagi.“Sabar, ya,” ucap Kirana dengan telaten mengusap punggung putrinya untuk menenangkan. “Mama tahu, kamu pasti kuat.”“Apa Mama dulu juga kesakitan gini, waktu mau lahirin aku?” tanya Nila setelah merasa sakitnya mulai berangsur
“Mas, aku gendut banget, ya?” tanya Nila saat berdiri di depan meja riasnya. Berbalik ke kiri dan ke kanan, melihat bentuk tubuhnya yang jauh berbeda seperti sebelum hamil. “Dari pipi sampai ke jempol kaki, bulet semua.”Djiwa baru membuka mulut, tetapi mengatupkannya kembali. Pertanyaan tersebut seperti bumerang. Apa pun jawaban yang nantinya Djiwa beri, akibatnya pasti akan kembali pada dirinya sendiri.“Mas, aku tanya loh,” ujar Nila berbalik dan melihat Djiwa menutup laptop lalu meletakkannya di nakas.“Ini sudah malam dan besok kita diminta datang ke wisuda Nila,” ujar Djiwa berusaha mengalihkan obrolan.“Justru karena mau datang ke wisuda, aku ngerasa—”“Yang terpenting itu, anak kita sehat,” sela Djiwa menyingkap selimut di sampingnya dan meminta sang istri berbaring di sebelahnya. “Masalah badan, nanti setelah lahiran kamu bisa ... yoga atau pilates.”“Anakku siapa yang jaga kalau aku pergi olahraga?” Nila berjalan perlahan menuju tempat tidur, tetapi hanya duduk bersandar pad
“Kamu itu lebay, La,” ujar Nila geleng-geleng setelah mendengar pernyataan Kirana barusan. “Yang ada itu, wisuda baru ditemenin mama sama papa, bukan pas sidang. Kasihan tauk, Mama disuruh nunggu kamu sidang.”“Mama yang mau, kok.” Mila memeletkan lidah pada saudaranya. “Lagian nanti Mama aku bawain laptop, biar bisa nunggu sambil nonton sama ngemil.”“Harusnya jangan mau, Ma,” Nila beralih pada mamanya yang duduk santai di sofa panjang bersama Mila.Sejak pagi, Nila sudah berada di kediaman Gavin karena minta di antar ke rumah tersebut. Ada yang harus dibahas bersama Mila mengenai perusahaan, yang rencananya akan launching awal tahun depan.“Ihh, Mama aja nggak papa. Kok, kamu yang repot, sih, Mbak?” Mila mulai sewot, karena Nila terlalu banyak protes. Padahal, Kirana terlihat santai-santai saja.Nila menyeruput es susu vanilanya, sambil asyik menikmati rujak buah sendirian. Tidak ada yang menemani, karena mangga yang dibeli Kirana rasanya masam. Namun, Nila justru menikmatinya dengan