Share

SN ~ 3

Author: Kanietha
last update Last Updated: 2025-01-21 20:56:23

“Dji, silakan ambil karyawan dari divisi lain, karena Nila tetap ada di produksi.” Hamid langsung melempar protes ketika masuk ke ruangan Pemimpin Redaksi.

“Nila sendiri yang mengajukan diri jadi sekred.” Djiwa yang berdiri di tengah ruang lantas menunjuk Nila yang terpaku di bibir pintu. “Daripada saya buka lowongan dan harus repot dengan ini itunya ...” Djiwa kembali menunjuk Nila. “Jadi saya terima dia dengan tangan terbuka,” ucapnya dengan merentangkan kedua tangan ke arah Nila.  

“Dji—”

“Pak Hamid.” Djiwa mengangkat tangan kanannya pada pria itu. “Kita punya banyak reporter di Warta yang bisa di-rolling dan menggantikan satu dengan yang lain. Jadi, saya rasa nggak ada masalah kalau Nila mundur dari tim produksi. Dan Nena sudah saya suruh untuk lapor ke HRD.”

Hamid berdecak. Menatap Nila yang masih terpaku di bibir pintu, lalu menggeleng. “La?”

“Saya minta maaf, Pak.” Nila buru-buru mendekat pada Hamid. Semua yang terjadi saat ini, benar-benar di luar dugaannya. “Saya bukannya mau melangkahi Bapak, tapi saya juga nggak tahu kalau Nena langsung bicara dengan pak Djiwa. Saya—”

“Saya kasih kamu waktu untuk berpikir ulang malam ini,” ucap Hamid tegas. “Dan temui saya besok pagi di ruangan.” Hamid mengangguk singkat pada Djiwa, sebelum akhirnya ia pergi dari ruangan tersebut tanpa kata.

Nila refleks menghela panjang untuk meredam kegugupan yang ada. Semua ini salahnya, karena mengambil keputusan terlalu cepat dan membicarakan hal tersebut pada Nena, sekretaris redaksi yang akan mengundurkan diri sebentar lagi.

“Pak Dji—”

“Jangan plin plan.” Djiwa segera memotong sambil berjalan menuju meja kerjanya. Ia duduk di sisi meja, lalu menyilang kaki dan bersedekap. Menatap tajam, menelisik penampilan Nila dari ujung rambut hingga kaki dengan perlahan. “Kamu yang mengajukan diri untuk menggantikan Nena, jadi kamu harus bertanggung jawab.”

“Saya ...” Nila menelan ludah. Mulai merasa menyesal dengan keputusan yang diambilnya tanpa pikir panjang. Semua ini adalah imbas pertemuannya dengan Deswita, sehingga ia larut dalam emosi dan ingin pindah tugas agar bisa membuang semua kenangan tentang Arif. “Saya pasti bertanggung jawab.”

Djiwa menggeleng. Meragukan ucapan Nila sepenuhnya, karena gadis itu tampak bimbang. “Besok, pergi ke HRD dan tanda tangani kontrak barumu setelah bicara dengan pak Hamid. Tapi sebelum itu, ada satu pasal tambahan yang harus kamu ketahui.” Djiwa menunjuk ke arah pintu yang masih terbuka. “Tutup pintu,” titahnya sembari beranjak lalu duduk pada kursi kerjanya.

Nila mengangguk dan segera menuruti perintah pria itu. Setelahnya, ia kembali berdiri di tengah ruang dan menunggu instruksi selanjutnya.

“Kamu TI-DAK diperkenankan menikah selama masih terikat dengan kontrak dan ada penalti yang harus dibayar jika melanggar,” ucap Djiwa kembali bersedekap dan memberi tatapan tegas. Penuh peringatan, karena ia tidak main-main dalam hal ini. “Jadi, kalau kamu punya rencana menikah dalam waktu dekat dengan Arif, silakan pergi dari sini dan jangan pernah kembali ke redaksi.”

“Saya nggak akan nikah.” Nila menggeleng cepat. Tidak mungkin menarik ucapannya di hadapan Djiwa.

Percakapannya dengan Deswita pagi ini, telah memberi Nila sudut pandang baru tentang pernikahan. Yakni, menikah bukan sekadar menyatukan dua hati, tetapi juga melibatkan keluarga mereka. Dengan pemahaman itu, Nila memutuskan untuk tidak lagi menjalin hubungan dengan siapa pun, demi menghindari luka yang sama.

Karena tidak menutup kemungkinan, jika keluarga kekasihnya kelak juga akan berpikiran seperti Deswita. Untuk itu, Nila rasa tidak ada salahnya jika ia memutuskan untuk hidup selibat. Sebuah keputusan yang sama, seperti yang diambil oleh ibunya selama ini. Memilih hidup tanpa pria dan hanya fokus membesarkan Nila.

“Nggak akan nikah?” Djiwa mengulang, memastikan kalimat yang baru saja meluncur dari bibir Nila. “Atau belum punya rencana menikah?”

Nila menahan napas, matanya bertemu dengan tatapan tajam pria berusia 34 tahun itu. Djiwa bukan tipe yang mudah diyakinkan dengan jawaban setengah hati. Jadi, Nila harus bisa menyusun kata-kata yang tepat dan tegas agar bisa mengakhiri pembicaraannya dengan Djiwa.

Sebenarnya, Nila sudah mantap untuk meninggalkan pekerjaannya sebagai reporter. Namun, sikap Djiwa yang tidak bisa sesantai Hamidlah yang membuatnya ragu. Tekanan saat berhadapan langsung seperti sekarang, sontak membuat nyalinya mendadak ciut.

“Saya sudah selesai sama mas Arif,” ucapnya jujur agar semuanya jelas. Tidak perlu menutupi, karena lambat laun semua orang juga akan tahu jika Nila dan Arif telah putus. Sama seperti dulu, saat hubungan mereka baru saja dimulai, lalu kabar kedekatan itu pun menyebar dengan sendirinya. “Jadi, saya—”

“Kamu jadikan posisi sekred sebagai pelarian,” todong Djiwa tanpa ragu lagi.

“Bukan begitu, Pak,” sahut Nila cepat. “Saya—”

“Kapan kalian putus?” selidik Djiwa tanpa melepas tatapan tajamnya pada Nila.

“Urusan pribadi saya nggak ada sangkut pautnya dengan pekerjaan.”

“Dan bagaimana kalau urusan pribadimu itu sampai mengacaukan pekerjaan?” Djiwa berdiri, tubuhnya condong ke depan saat kedua tangannya mencengkeram tepi meja dengan tegas. “Kamu siap saya pecat? Tanpa pesangon dan surat referensi?”

Nila menelan ludah, tenggorokannya tercekat oleh ketegangan yang menggantung di udara. Ia mencoba mempertahankan tatapan tegas, agar Djiwa tidak lagi menaruh keraguan sama sekali. Tidak ada yang bisa diharapkan dari Arif dengan sikap penolakan Deswita. Untuk itu, Nila rasa ia tidak perlu mundur dan harus siap dengan semua konsekuensi yang akan terjadi.

“Bagaimana?” tegur Djiwa tersenyum miring nan remeh pada Nila yang belum memberinya jawaban. “Siap dipecat?”

Nila akhirnya mengangguk. Meskipun masih ada segaris kebimbangan, tetapi ia boleh membiarkan Djiwa meremehkannya.

“Kalau sampai urusan pribadi saya mengacaukan pekerjaan.” Nila menarik napas singkat. “Saya ... siap dipecat.”

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (8)
goodnovel comment avatar
ciproet
aq kira pak djiwa tuh udah tuir....eehh baru 35
goodnovel comment avatar
Christina Natalia
mas sabda..,anggun mas wahyu
goodnovel comment avatar
mega silvia
karakter djiwa kayak pak Pras...tegas dan suka mengintimidasi
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Setitik Nila   SN ~ 4

    Arif mengetuk pintu kamar orang tuanya dengan tidak sabar. Saat akhirnya pintu itu dibuka oleh Deswita, Arif langsung melempar protesnya.“Bunda nemui Nila tadi pagi?” tanya Arif, suaranya bergetar menahan emosi. Napasnya sedikit terengah, mencoba meredam gejolak di dada sebelum melontarkan pertanyaan.Deswita mengangkat alis, menatap anaknya dengan sorot tenang. “Ah! Jadi dia sudah ngadu sama kamu,” jawabnya santai, seakan tidak terganggu oleh nada bicara Arif.Arif mendengus, frustasi. Ia mengepalkan kedua tangannya di depan sang bunda, jari-jarinya nyaris gemetar karena tekanan emosinya. “Harusnya Bunda bicara sama aku kalau nggak setuju dengan hubungan kami! Bukan sama Nila!” Suaranya makin meninggi di akhir kalimat, tanda ia tak bisa lagi menahan kekesalannya.“Jaga nada bicaramu, Rif!”Arif menatap ayahnya yang baru saja berdiri di samping Deswita. Menghela panjang, sembari mundur satu langkah. “Ayah tahu, kalau Bunda—”“Ayah tahu,” sela Ivan bersikap sama tenangnya dengan sang

    Last Updated : 2025-01-21
  • Setitik Nila   SN ~ 5

    “Pak Djiwa ada?” tanya Nila saat berhenti di sudut meja kerja Nena. Tatapannya tertuju sebentar pada ruang kaca yang sebagian besar di tutup oleh stiker buram, lalu beralih pada Nena.“Di ruangan pak Gavin,” jawab Nena menyebut nama CEO perusahaan yang baru menjabat satu bulan belakangan di Warta. Kemudian, ia menyodorkan sebuah buku catatan yang sudah disiapkan sebelumnya pada Nila. “Ini semua catatan yang harus kamu hapal tentang kebiasaan pak Djiwa.”“Catatan?” Nila mengerjap lalu segera mengambil buku dengan cover berwarna ungu polos tersebut.“Iya!” Nena mengangguk. Memangku wajah dengan kedua tangan dan menatap Nila. “Pastikan selalu ada air mineral di mejanya dan kamu nggak diperkenankan pakai baju kerja bebas selain seragam kantor. Dia nggak suka.”“Serius?” Nila membaca catatan yang ada di buku dengan seksama.Menghela sesekali, karena mengingat semua pembicaraan dengan ibunya tadi malam. Sementara pagi ini, mereka tidak banyak bicara karena Kirana sudah pergi ke toko pagi-pa

    Last Updated : 2025-01-23
  • Setitik Nila   SN ~ 6

    “Ingat, begitu rapat redaksi selesai, notulennya harus segera dikirim ke e-mail redaksi,” ujar Nena mengingatkan sekali lagi. “Surat masuk harus dicek, ditulis, dan dikonfirmasi secepatnya. Terus—”“Aman,” potong Nila mencoba menenangkan. Meskipun rutinitas barunya sangat padat, tetapi baginya semua ini cukup membosankan. Terbiasa bekerja di lapangan dan bertemu dengan berbagai macam orang, Nila akhirnya merasa jenuh ketika harus duduk di depan komputer dan hanya berada di kantor seharian. Walaupun begitu, ia tetap harus bertanggung jawab dengan semua keputusan yang diambilnya sekaligus mengalihkan pikirannya dari Arif. “Semua sudah aku catat, jadi kamu sudah bisa mikirin pernikahanmu dengan tenang.”Nena membuang napas panjang. “Sebenarnya aku stres karena BB-ku naik dua kilo. Aku takut kebayanya nggak muat.”“Masa’ sih?” Nila menghentikan kesibukannya sebentar. Mengalihkan pandangan dari surat yang baru dibukanya untuk melihat Nena dengan seksama. “Nggak kelihatan kalau naik dua kil

    Last Updated : 2025-01-23
  • Setitik Nila   SN ~ 7

    “Masuk,” titah Djiwa sambil mengangguk ketika melihat Nila mengetuk pintu ruang kerjanya yang terbuka.“Ini undangan Nena, Pak,” ucap Nila semberi meletakkan undangan berdesain minimalis berwarna krem di atas meja Gavin. Kertas tebal dengan cetakan huruf emas itu terlihat sederhana, tetapi tetap memancarkan kesan elegan.“Terima kasih.” Djiwa melirik sekilas ke arah undangan tersebut, lalu kembali fokus pada layar monitornya. “Sebelum pulang, tolong panggil Elin dan Sigit ke ruangan saya.”“Baik, Pak,” ucap Nila tetapi masih berdiri di tempatnya. Hal tersebut membuat Djiwa menoleh dan menatap tanya.“Ada yang lain?”“Em ...” Nila mengangkat kedua bahunya sembari mengernyit. “Maaf, tapi ... karena Bapak atasan saya, jadi—”“To the point, La.”Nila menghela singkat. “Saya nggak nyaman dengan pak Gavin siang tadi,” ucapnya cepat tanpa jeda. “Dari cara dia melihat saya, terus pertanyaannya, sikapnya yang terlalu ‘memperhatikan’ saya. Bapak ngerasa nggak, sih, Pak?”Ocehan Nila tersebut ak

    Last Updated : 2025-02-07
  • Setitik Nila   SN ~ 8

    Nila baru saja selesai mencuci piring, ketika dering ponselnya terdengar dari meja makan. Awalnya, ia mengira itu panggilan dari nomor asing. Kemungkinan nomor baru Arif, mengingat nomor lamanya sudah diblokir oleh Nila. Namun, saat matanya menangkap nama yang tertera di layar, jantungnya langsung berdebar kencang.Kendati ingin sekali mengabaikan, tetapi Nila tidak bisa melakukannya. Mau tidak mau, ia akhirnya menerima panggilan tersebut dengan sapaan ramah.“Pagi, Pak Gavin,” sapa Nila dengan nada formal.“Pagi. Benar saya bicara dengan Nila? Vanila Wicaksana?”“Betul, Pak.” Nila menahan napas. “Apa ada yang bisa saya bantu?”“Kamu ada acara hari ini?”Nila meringis, mengumpat dalam hati. Merasa geli sendiri dan mulai berpikiran negatif.“Nila, kamu masih di sana?”“Ah, iya, Pak, maaf.” Nila menggeleng cepat untuk mengenyahkan pikiran buruk di kepala. Namun, ia tidak bisa. “Tadi Bapak tanya apa?”“Bisa kita ketemu nanti siang? Jam 12, makan siang?”Nila menghela pelan. Pria itu seol

    Last Updated : 2025-02-07
  • Setitik Nila   SN ~ 9

    Djiwa mengerut dahi ketika baru menutup pintu mobil dan menguncinya dari luar. Ia berjalan perlahan menuju restoran, lalu berhenti sejenak di balik pilar untuk mendengarkan ketegangan yang ia lihat sejak memarkirkan mobil. Dalam artian, Djiwa sedang menguping pembicaraan yang terjadi antara Nila dan ketiga orang lainnya.Sedikitnya, Djiwa mulai mengerti di mana letak perdebatan tersebut dan agak terkejut ketika mendengarnya. Lantas, ketika intensitas ketegangan terdengar semakin panas, Djiwa beranjak melewati keempat orang itu sembari berujar, “Nila! Ikut saya masuk ke dalam, sekarang!”Antara kaget, bingung, lega, dan tidak percaya dengan sosok pria yang baru saja berjalan melewatinya. Pria itu hanya melirik, tanpa mau repot-repot berhenti dan menyampaikan maksudnya dengan semestinya.“Maaf, saya permisi,” pamit Nila terburu. Kendati masih berada dalam ketegangan, tetapi ia tetap memberi anggukan sopan sebelum berbalik pergi meninggalkan keluarga Adiningrat.Nila mempercepat langkahn

    Last Updated : 2025-02-07
  • Setitik Nila   SN ~ 10

    “Arif! Berdiri!” desis Deswita dengan suara pelan dan tajam. Ia meraih lengan putranya dan mencoba mengangkat tubuh Arif tetapi gagal. “Jangan bikin malu nama keluarga!”“La?” Arif meraih tangan Nila dan menggenggamnya. Ia tidak peduli dengan ucapan Deswita, pun dengan tatapan orang lain padanya. Hatinya sudah jatuh terlalu dalam pada Nila dan tidak ada seorang pun yang dapat mengubahnya. “Ini bukti kalau aku nggak main-main.”“Nila.” Ivan mencoba menengahi sembari meredam emosi. “Jangan mengambil langkah yang salah.”Seketika itu juga, Nila tersadar dengan posisinya. Untuk beberapa saat, Nila sempat luluh dengan apa yang dilakukan Arif. Namun, ucapan Ivan barusan menyadarkan jika semua ini hanya akan berujung sia-sia.“Mas...” Nila menggeleng pelan. Suaranya lirih, hampir tidak terdengar. Menarik cepat tangannya dari genggaman Arif, karena takut akan berubah. “Maaf, aku nggak bisa.”Nila mundur dan menjaga jarak. Melihat ke sekeliling dan kembali menggeleng, kali ini lebih tegas. Nil

    Last Updated : 2025-02-07
  • Setitik Nila   SN ~ 11

    “Nila, bangun.” Sudah tiga kali Djiwa memanggil nama gadis itu, tetapi Nila tidak juga kunjung bergerak sedikit pun. Gadis itu masih terlelap, meskipun posisi tidurnya terlihat jauh dari kata nyaman. “Nila.”Karena tidak kunjung bangun dengan teguran, maka Djiwa menepuk-nepuk bahu Nila. “La, bangun, La. Kita sudah sampai.”Nila menggumam pelan. Kelopak matanya mulai bergerak sebelum akhirnya terbuka perlahan. Wajahnya yang sedikit bingung menoleh ke arah Djiwa, seolah mencoba mengingat di mana ia berada. “Sampai?” tanyanya dengan suara serak.“Iya, sudah sampai,” jawab Djiwa sambil menunjuk ke luar jendela mobil. “Tower A1.”Melihat tulisan Tower A1 yang berdiri tegak di atas pelataran lobi apartemen, Nila pun melepas sabuk pengaman lalu menegakkan tubuh dengan perlahan. Menguap sebentar sembari menutup mulut dan terdiam, menghela panjang.“Makasih, ya, Pak,” ucap Nila sambil menegakkan sandaran jok. “Saya jadi nggak enak sama pak Gavin.”“Kamu bisa telpon sugar daddy-mu itu kalau ngg

    Last Updated : 2025-02-11

Latest chapter

  • Setitik Nila   Bonchap~5

    Arif terpaku ketika melihat wanita yang duduk tenang di lobi. Tatapan mereka bersirobok dan Arif tahu ia tidak lagi bisa menghindar. Pagi ini juga, ia akan bicara empat mata dengan Deswita.“Mas Arif!”Langkah Arif semakin tertahan, ketika mendengar seseorang memanggilnya. Terlebih, ketika pemilik suara tersebut sudah berada di hadapannya.“Aku mau tanya, cowok yang kemarin di depan lift itu siapa?” Mila bertanya dengan terburu, penuh rasa penasaran.Mila memang sudah tahu nama dan identitas pria itu, tetapi yang belum terjawab adalah hubungannya dengan Arif.“Itu juga yang mau aku tanyakan,” kata Arif pada Mila yang tampak sedikit ngos-ngosan. “Tapi nanti. Karena aku ada urusan yang lebih penting.”“Sekarang.” Mila langsung mencekal lengan Arif sebelum pria itu sempat melangkah pergi. Tatapannya tajam dan menuntut. “Aku cuma mau tahu, dia ada hubungan apa sama kamu?”“Firman.” Arif menghela napas, menatap wanita yang masih duduk di tempatnya sejenak, lalu kembali mengalihkan pandanga

  • Setitik Nila   Bonchap~4

    Pada akhirnya, Mila harus menjalankan perusahaan barunya tanpa kehadiran Nila. Ia pun terpaksa mencari seorang karyawan baru, yang ditugaskan sebagai admin yang serba bisa. Selain itu, Mila juga merekrut satu staf tambahan, untuk menjaga kebersihan kantor dan bisa melakukan berbagai hal lainnya.Intinya, Mila tidak mau rugi. Setiap karyawan yang ia rekrut, harus bisa melakuan beberapa hal sekaligus.Untuk sementara, perusahaan kecilnya hanya berjalan dengan dua karyawan. Mila memilih untuk mengikuti saran Gavin, fokus pada perkembangan bisnisnya terlebih dahulu sebelum merekrut lebih banyak tenaga kerja.“Konten buat tiga hari ke depan sudah siap, Bu,” lapor Janice sambil menyembulkan kepala di ruangan Mila. “Bisa dicek dulu. Kalau oke, tinggal atur jadwal seperti biasa.”“Oke!” Mila mengacungkan ibu jarinya. “Aku kabari besok pagi. Dan berapa total sementara yang ikut kelas online raising money for kids kita besok malam?”“Total 97 orang.”“Cut di 100, ya,” pinta Mila. “Dan selebihny

  • Setitik Nila   Bonchap~3

    “Yaaa, nggak papa juga, sih.” Mila menggaruk kepala setelah mendengar perkataan Gavin.Papanya dan Djiwa kompak keberatan, jika Nila meneruskan pekerjaannya bersama Mila. Bukan apa-apa, Gavin hanya tidak ingin terjadi fitnah atau kesalahpahaman di kemudian hari, karena Arif bekerja di gedung dan lantai yang sama dengan Nila.Lebih baik mencegah, daripada terlanjur mengobati.“Itu artinya, aku harus cari orang buat gantiin mbak Nila,” sambung Mila sambil memikirkan beberapa hal.“Betul,” jawab Gavin. “Karena perusahaanmu itu masih baru, cari aja satu atau dua admin yang bisa handle semua sekaligus. Jangan maruk harus punya staff ini, staff itu, karena kamu belum tahu bagaimana perputaran uang di perusahaan. Pintar-pintar kamu, bagi jobdesk.”“Aku cari satu dulu,” kata Mila sudah memahami perkataan Gavin. “Nanti aku minta tolong sama tante Atika, buat cari orang sama mau konsul sekalian.”“Tapi, jangan bilang kalau Nila nggak jadi kerja karena Arif,” pinta Gavin yang hanya bisa duduk di

  • Setitik Nila   Bonchap~2

    Begitu melihat mobil yang biasa digunakan Mila berhenti di area drop-off lobi. Djiwa bergegas menghampiri dan membuka pintu penumpang belakang. Segera menunduk dan tersenyum lebar ketika melihat putrinya berada di pangkuan Nila.“Sama Papi dulu,” kata Djiwa mengambil alih Emma dari istrinya. “Ke ruanganku atau mau ke kafe?”“Ruangan Papi aja,” jawab Nila sembari keluar dan menutup pintu. Kemudian, ia menoleh pada Mila yang juga baru keluar dari pintu di seberangnya. “Kamu jadi datangin papa?”“Aku ke keuangan aja,” ujar Mila lalu melambai dan melewati keluarga kecil tersebut. Ia tidak ingin menyela kebahagiaan yang ada, karena itu Mila masuk ke dalam lobi dengan segera. “Kabari kalau sudah selesai.”“Pak Budiman baru aja pergi,” ujar Djiwa segera mengajak Nila masuk ke gedung. “Dia bawa cucunya ke sini. Anaknya almarhum.”“Berdua aja?” tanya Nila. “Pak Wahyu sama Anggun nggak ikut?”“Berdua aja.” Djiwa mengangguk. “Cuma berkunjung, ngajak Putra lihat-lihat. Dan kamu tahu, Putra itu mi

  • Setitik Nila   Bonchap~1

    “Aduw, aduw, incess-nya Ibuk tambah cantik.” Mila mencium gemas pipi gembil Emma berkali-kali, hingga bayi cantik itu tertawa geli di gendongannya.Mila memang sangat menyayangi satu-satunya keponakan yang dimilikinya saat ini. Setiap melihat baju atau aksesoris yang lucu, tanpa ragu ia akan membelinya untuk Emma.Bahkan, hampir semua baju yang dimiliki bayi itu, berasal dari Mila. Saking sayangnya, Mila tiba-tiba mengubah panggilannya menjadi ibu, tidak mau lagi dipanggil tante.“Nanti habis lihat kantor Ibuk sama mami, kita mampir ke toko oma, ya!” lanjut Mila segera berbalik pergi meninggalkan Nila yang baru keluar kamar mandi. “Aku tunggu di luar, Mbak. Buruan, tante Atika sudah otewe.”Nila tidak menjawab. Ia mematut diri di cermin lalu menghela kecil. Beberapa pakaiannya sebelum hamil sudah tidak muat, karena berat tubuhnya yang belum kunjung turun setelah melahirkan.Namun, apa mau dikata. Setelah melahirkan, porsi makan Nila juga bertambah karena menyusui. Ia jadi cepat lapar d

  • Setitik Nila   SN ~ 70

    “Pokoknya, nanti kalau anak kedua laki-laki, harus ada nama Papa nyelip di sana.” Gavin masih saja protes, karena ada gabungan nama Kirana dan Atika pada cucu pertamanya.Ternyata, Arana adalah gabungan dari nama Atika dan Kirana.Nila sudah malas membalas Gavin. Ia sudah bilang hanya akan memiliki satu anak saja, tetapi papanya tetap saja menyinggung perihal anak kedua. Lebih baik ia menghabiskan sarapannya dengan segera, setelah itu kembali ke kamar untuk mengASIhi Emma yang sedang berada di gendongan Gavin.Djiwa saja sampai harus bersabar menunggu giliran menggendong putrinya, ketika Gavin berada di rumah.Untuk sementara, Nila diminta tinggal di kediaman Gavin. Kirana tidak tega jika harus melepas putrinya yang baru melahirkan dan tiba-tiba harus mengurus bayi seorang diri.“Papa! Ayok ke belakang!” ajak Mila yang baru memasuki ruang makan. “Kita berjemur sama Emma.”Nila memangku wajah dengan satu tangan. Terus memakan sarapannya dan membiarkan kedua orang itu membawa Emma untuk

  • Setitik Nila   SN ~ 69

    Sambil menahan nyeri yang semakin kuat, Nila bersandar di dada Djiwa, meremas lengan suaminya seakan itu satu-satunya cara untuk menyalurkan rasa sakit yang mendera. Djiwa berdiri di samping ranjang rumah sakit, membiarkan istrinya berpegangan erat. sementara Kirana, duduk di belakang Nila untuk mengusap punggungnya.“Kalau sakitnya gini, anaknya satu aja,” lirih Nila masih sempat-sempatnya protes seraya menahan nyerinya kontraksi.Tatapan Djiwa bertemu dengan Kirana. Ketika wanita itu memberi anggukan, Djiwa segera merespons ucapan istrinya barusan.“Iya, satu aja,” ucap Djiwa dengan terpaksa. Saat ini, Djiwa tidak akan membantah, karena memahami bagaimana kondisi Nila.Mana tahu beberapa tahun lagi pemikiran istrinya bisa berubah dan ingin menambah anak lagi.“Sabar, ya,” ucap Kirana dengan telaten mengusap punggung putrinya untuk menenangkan. “Mama tahu, kamu pasti kuat.”“Apa Mama dulu juga kesakitan gini, waktu mau lahirin aku?” tanya Nila setelah merasa sakitnya mulai berangsur

  • Setitik Nila   SN ~ 68

    “Mas, aku gendut banget, ya?” tanya Nila saat berdiri di depan meja riasnya. Berbalik ke kiri dan ke kanan, melihat bentuk tubuhnya yang jauh berbeda seperti sebelum hamil. “Dari pipi sampai ke jempol kaki, bulet semua.”Djiwa baru membuka mulut, tetapi mengatupkannya kembali. Pertanyaan tersebut seperti bumerang. Apa pun jawaban yang nantinya Djiwa beri, akibatnya pasti akan kembali pada dirinya sendiri.“Mas, aku tanya loh,” ujar Nila berbalik dan melihat Djiwa menutup laptop lalu meletakkannya di nakas.“Ini sudah malam dan besok kita diminta datang ke wisuda Nila,” ujar Djiwa berusaha mengalihkan obrolan.“Justru karena mau datang ke wisuda, aku ngerasa—”“Yang terpenting itu, anak kita sehat,” sela Djiwa menyingkap selimut di sampingnya dan meminta sang istri berbaring di sebelahnya. “Masalah badan, nanti setelah lahiran kamu bisa ... yoga atau pilates.”“Anakku siapa yang jaga kalau aku pergi olahraga?” Nila berjalan perlahan menuju tempat tidur, tetapi hanya duduk bersandar pad

  • Setitik Nila   SN ~ 67

    “Kamu itu lebay, La,” ujar Nila geleng-geleng setelah mendengar pernyataan Kirana barusan. “Yang ada itu, wisuda baru ditemenin mama sama papa, bukan pas sidang. Kasihan tauk, Mama disuruh nunggu kamu sidang.”“Mama yang mau, kok.” Mila memeletkan lidah pada saudaranya. “Lagian nanti Mama aku bawain laptop, biar bisa nunggu sambil nonton sama ngemil.”“Harusnya jangan mau, Ma,” Nila beralih pada mamanya yang duduk santai di sofa panjang bersama Mila.Sejak pagi, Nila sudah berada di kediaman Gavin karena minta di antar ke rumah tersebut. Ada yang harus dibahas bersama Mila mengenai perusahaan, yang rencananya akan launching awal tahun depan.“Ihh, Mama aja nggak papa. Kok, kamu yang repot, sih, Mbak?” Mila mulai sewot, karena Nila terlalu banyak protes. Padahal, Kirana terlihat santai-santai saja.Nila menyeruput es susu vanilanya, sambil asyik menikmati rujak buah sendirian. Tidak ada yang menemani, karena mangga yang dibeli Kirana rasanya masam. Namun, Nila justru menikmatinya dengan

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status