Share

SN ~ 4

Author: Kanietha
last update Last Updated: 2025-01-21 20:56:55

Arif mengetuk pintu kamar orang tuanya dengan tidak sabar. Saat akhirnya pintu itu dibuka oleh Deswita, Arif langsung melempar protesnya.

“Bunda nemui Nila tadi pagi?” tanya Arif, suaranya bergetar menahan emosi. Napasnya sedikit terengah, mencoba meredam gejolak di dada sebelum melontarkan pertanyaan.

Deswita mengangkat alis, menatap anaknya dengan sorot tenang. “Ah! Jadi dia sudah ngadu sama kamu,” jawabnya santai, seakan tidak terganggu oleh nada bicara Arif.

Arif mendengus, frustasi. Ia mengepalkan kedua tangannya di depan sang bunda, jari-jarinya nyaris gemetar karena tekanan emosinya. “Harusnya Bunda bicara sama aku kalau nggak setuju dengan hubungan kami! Bukan sama Nila!” Suaranya makin meninggi di akhir kalimat, tanda ia tak bisa lagi menahan kekesalannya.

“Jaga nada bicaramu, Rif!”

Arif menatap ayahnya yang baru saja berdiri di samping Deswita. Menghela panjang, sembari mundur satu langkah. “Ayah tahu, kalau Bunda—”

“Ayah tahu,” sela Ivan bersikap sama tenangnya dengan sang istri. “Kami sudah membicarakannya dan memutuskan Nila bukan perempuan yang pantas buat kamu.”

“Apa?” Arif tercengang, hampir tidak percaya dengan kesepakatan sepihak yang dibuat oleh kedua orangtuanya. “Kenapa baru sekarang? Kenapa setelah dua tahun aku—”

“Karena kamu berniat melamar Nila.” Kini Deswita yang memotong ucapan putranya. “Tadinya, kami mengira kalau kamu cuma, ya ... pacaran terus putus. Sama seperti sebelum-sebelumnya.” Deswita menghabiskan jarak. Saat tangannya terulur untuk merangkul Arif, putranya mundur, menjaga jarak dengan gelengan.

“Aku serius sama Nila,” ucap Arif penuh keyakinan.

“Dan sampai kapan pun, kami nggak akan setuju dan memberi restu,” balas Ivan tegas.

“Cuma karena dia nggak punya ayah?” buru Arif kembali meninggikan nada bicaranya. “Apa salah Nila? Yang salah itu orang tuanya, jadi nggak ada hubungannya dengan Nila!”

“Yang salah memang orang tuanya, tapi kesalahan itu bisa berimbas dengan keluarga kita kalau kamu tetap menikah dengannya,” sahut Deswita melirik cepat pada sang suami. Memberi isyarat, agar segera menghampiri Arif.

“Ada reputasi yang harus kita jaga, Rif.” Ivan mengangguk kecil pada Deswita. Ia menghampiri Arif, menepuk ringan bahu putranya yang masih berdiri kaku, seolah hendak menyalurkan ketenangan. “Apa kamu nggak malu dan nggak masalah kalau jadi bulan-bulanan kolegamu karena menikah dengan perempuan seperti Nila?”

“Perempuan seperti Nila?” Arif mengulang ucapan ayahnya dengan mengerut dahi. “Ayah, Nila itu perempuan baik-baik. Dia pekerja keras dan—”

“Dia nggak punya ayah dan ibunya sampai sekarang nggak pernah menikah.” Nada bicara Deswita mulai meninggi. Ia geregetan karena Arif tidak mau memahami alasan kedua orang tuanya. “Kami melakukan semua ini demi kamu, demi masa depanmu, supaya orang-orang di luar sana nggak akan merendahkan kamu karena menikah dengan anak haram.”

“Bunda!” Hardikan itu terlepas begitu saja. Emosi yang sudah disimpan Arif sejak tadi, akhirnya meledak. “Nila nggak pernah minta dilahirkan dalam situasi seperti itu. Jadi, dia nggak pernah salah!” serunya sembari menghampiri Deswita.

Melihat hal tersebut, Ivan buru-buru menengahi. Ia melangkah ke tengah, berdiri di antara istri dan putranya dengan kedua tangan terangkat. “Ini sudah malam dan kita bicarakan lagi besok pagi,” ucapnya dengan nada datar, tetapi tegas. Bergantian menatap Deswita dan Arif.

“Oke.” Arif menghela napas panjang. Mengusap kasar wajahnya dan mengangguk setuju dengan perkataan ayahnya. Arif memang sudah lelah dan harus beristirahat agar situasi saat ini tidak semakin memburuk. “Tapi ingat satu hal, keputusanku nggak akan berubah. Aku, tetap akan menikahi Nila, dengan atau tanpa restu kalian.”

~~~~~~~~~~~~

“Akhirnya kamu pulang juga.” Kirana segera mematikan televisi layar datar yang ditontonnya dengan remote, kemudian beranjak menuju meja makan ketika melihat putrinya pulang. “Bukannya kamu libur hari ini? Tapi kenapa jam segini baru pulang? Mana nggak ngabarin Mama sama sekali.”

“Maaf.”

Nila berjalan perlahan menuju meja makan, langkahnya terasa berat. Ruang tamu yang sederhana ia lewati, langsung menghubungkan pandangannya pada meja makan kecil dan dapur terbuka di sudut ruangan. Apartemen yang ditempati Kirana memang tidak terlalu besar, hanya memiliki dua kamar kecil untuk Nila dan mamanya.

“Sudah makan?” tanya Kirana seraya membuka tudung saji. “Mama goreng ayam—”

“Siapa papaku, Ma?”

Pertanyaan yang tidak terduga itu, membuat Kirana menghentikan gerakannya. Tudung saji yang sudah dipegangnya perlahan ia letakkan kembali ke meja dengan perlahan.

“Kita ... sudah pernah bicara semua ini, kan?” Kirana mencoba mengenyahkan getaran dari suaranya. Jika dahulu selalu ada orang tuanya yang mendampingi, kini Kirana harus menghadapi Nila seorang diri. “Papamu meninggal, seminggu sebelum kami menikah.”

Nila mengangguk pelan. Berdiri di belakang kursi makan sambil mencengkram tali tas yang menyilang di tubuhnya. Nila sudah berdamai dengan statusnya sebagai anak yang lahir di luar nikah, karena ibunya mengandung lebih dulu sebelum pernikahan itu ada. Namun, tidak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa status itu akan menjadi penghalang dalam hubungannya dengan seseorang—setidaknya hingga pertemuannya dengan Deswita pagi ini.

“Aku tanya siapa dia,” ulang Nila tetapi tetap merendahkan suaranya. Ia tahu mamanya pasti terluka, tetapi Nila harus mengenyahkan kegusaran di dadanya. “Mama cuma ngasih tahu namanya, tapi aku nggak pernah tahu bagaimana keluarganya dan di mana makamnya.”

“Mama nggak tahu.” Kirana menahan napas sejenak. “Karena ... Mama sudah pernah cerita, kan? Kalau hubungan kami nggak direstui? Jadi ... keluarga papamu langsung memutus hubungan dan menutup semua informasi. Mereka menjauh dan ... kami juga memutuskan untuk melanjutkan hidup. Kakekmu jual rumah dan tanah warisan, supaya kita bisa tinggal di apartemen dan supaya nggak punya tetangga yang bergosip ini itu. Jadi tolong, kita sudahi pembicaraan ini sampai di sini dan jangan dibahas lagi.”

 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Dewi Soetanto
nilaaa... sabarrrrr yaaaa
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Setitik Nila   SN ~ 5

    “Pak Djiwa ada?” tanya Nila saat berhenti di sudut meja kerja Nena. Tatapannya tertuju sebentar pada ruang kaca yang sebagian besar di tutup oleh stiker buram, lalu beralih pada Nena.“Di ruangan pak Gavin,” jawab Nena menyebut nama CEO perusahaan yang baru menjabat satu bulan belakangan di Warta. Kemudian, ia menyodorkan sebuah buku catatan yang sudah disiapkan sebelumnya pada Nila. “Ini semua catatan yang harus kamu hapal tentang kebiasaan pak Djiwa.”“Catatan?” Nila mengerjap lalu segera mengambil buku dengan cover berwarna ungu polos tersebut.“Iya!” Nena mengangguk. Memangku wajah dengan kedua tangan dan menatap Nila. “Pastikan selalu ada air mineral di mejanya dan kamu nggak diperkenankan pakai baju kerja bebas selain seragam kantor. Dia nggak suka.”“Serius?” Nila membaca catatan yang ada di buku dengan seksama.Menghela sesekali, karena mengingat semua pembicaraan dengan ibunya tadi malam. Sementara pagi ini, mereka tidak banyak bicara karena Kirana sudah pergi ke toko pagi-pa

    Last Updated : 2025-01-23
  • Setitik Nila   SN ~ 6

    “Ingat, begitu rapat redaksi selesai, notulennya harus segera dikirim ke e-mail redaksi,” ujar Nena mengingatkan sekali lagi. “Surat masuk harus dicek, ditulis, dan dikonfirmasi secepatnya. Terus—”“Aman,” potong Nila mencoba menenangkan. Meskipun rutinitas barunya sangat padat, tetapi baginya semua ini cukup membosankan. Terbiasa bekerja di lapangan dan bertemu dengan berbagai macam orang, Nila akhirnya merasa jenuh ketika harus duduk di depan komputer dan hanya berada di kantor seharian. Walaupun begitu, ia tetap harus bertanggung jawab dengan semua keputusan yang diambilnya sekaligus mengalihkan pikirannya dari Arif. “Semua sudah aku catat, jadi kamu sudah bisa mikirin pernikahanmu dengan tenang.”Nena membuang napas panjang. “Sebenarnya aku stres karena BB-ku naik dua kilo. Aku takut kebayanya nggak muat.”“Masa’ sih?” Nila menghentikan kesibukannya sebentar. Mengalihkan pandangan dari surat yang baru dibukanya untuk melihat Nena dengan seksama. “Nggak kelihatan kalau naik dua kil

    Last Updated : 2025-01-23
  • Setitik Nila   SN ~ 7

    “Masuk,” titah Djiwa sambil mengangguk ketika melihat Nila mengetuk pintu ruang kerjanya yang terbuka.“Ini undangan Nena, Pak,” ucap Nila semberi meletakkan undangan berdesain minimalis berwarna krem di atas meja Gavin. Kertas tebal dengan cetakan huruf emas itu terlihat sederhana, tetapi tetap memancarkan kesan elegan.“Terima kasih.” Djiwa melirik sekilas ke arah undangan tersebut, lalu kembali fokus pada layar monitornya. “Sebelum pulang, tolong panggil Elin dan Sigit ke ruangan saya.”“Baik, Pak,” ucap Nila tetapi masih berdiri di tempatnya. Hal tersebut membuat Djiwa menoleh dan menatap tanya.“Ada yang lain?”“Em ...” Nila mengangkat kedua bahunya sembari mengernyit. “Maaf, tapi ... karena Bapak atasan saya, jadi—”“To the point, La.”Nila menghela singkat. “Saya nggak nyaman dengan pak Gavin siang tadi,” ucapnya cepat tanpa jeda. “Dari cara dia melihat saya, terus pertanyaannya, sikapnya yang terlalu ‘memperhatikan’ saya. Bapak ngerasa nggak, sih, Pak?”Ocehan Nila tersebut ak

    Last Updated : 2025-02-07
  • Setitik Nila   SN ~ 8

    Nila baru saja selesai mencuci piring, ketika dering ponselnya terdengar dari meja makan. Awalnya, ia mengira itu panggilan dari nomor asing. Kemungkinan nomor baru Arif, mengingat nomor lamanya sudah diblokir oleh Nila. Namun, saat matanya menangkap nama yang tertera di layar, jantungnya langsung berdebar kencang.Kendati ingin sekali mengabaikan, tetapi Nila tidak bisa melakukannya. Mau tidak mau, ia akhirnya menerima panggilan tersebut dengan sapaan ramah.“Pagi, Pak Gavin,” sapa Nila dengan nada formal.“Pagi. Benar saya bicara dengan Nila? Vanila Wicaksana?”“Betul, Pak.” Nila menahan napas. “Apa ada yang bisa saya bantu?”“Kamu ada acara hari ini?”Nila meringis, mengumpat dalam hati. Merasa geli sendiri dan mulai berpikiran negatif.“Nila, kamu masih di sana?”“Ah, iya, Pak, maaf.” Nila menggeleng cepat untuk mengenyahkan pikiran buruk di kepala. Namun, ia tidak bisa. “Tadi Bapak tanya apa?”“Bisa kita ketemu nanti siang? Jam 12, makan siang?”Nila menghela pelan. Pria itu seol

    Last Updated : 2025-02-07
  • Setitik Nila   SN ~ 9

    Djiwa mengerut dahi ketika baru menutup pintu mobil dan menguncinya dari luar. Ia berjalan perlahan menuju restoran, lalu berhenti sejenak di balik pilar untuk mendengarkan ketegangan yang ia lihat sejak memarkirkan mobil. Dalam artian, Djiwa sedang menguping pembicaraan yang terjadi antara Nila dan ketiga orang lainnya.Sedikitnya, Djiwa mulai mengerti di mana letak perdebatan tersebut dan agak terkejut ketika mendengarnya. Lantas, ketika intensitas ketegangan terdengar semakin panas, Djiwa beranjak melewati keempat orang itu sembari berujar, “Nila! Ikut saya masuk ke dalam, sekarang!”Antara kaget, bingung, lega, dan tidak percaya dengan sosok pria yang baru saja berjalan melewatinya. Pria itu hanya melirik, tanpa mau repot-repot berhenti dan menyampaikan maksudnya dengan semestinya.“Maaf, saya permisi,” pamit Nila terburu. Kendati masih berada dalam ketegangan, tetapi ia tetap memberi anggukan sopan sebelum berbalik pergi meninggalkan keluarga Adiningrat.Nila mempercepat langkahn

    Last Updated : 2025-02-07
  • Setitik Nila   SN ~ 10

    “Arif! Berdiri!” desis Deswita dengan suara pelan dan tajam. Ia meraih lengan putranya dan mencoba mengangkat tubuh Arif tetapi gagal. “Jangan bikin malu nama keluarga!”“La?” Arif meraih tangan Nila dan menggenggamnya. Ia tidak peduli dengan ucapan Deswita, pun dengan tatapan orang lain padanya. Hatinya sudah jatuh terlalu dalam pada Nila dan tidak ada seorang pun yang dapat mengubahnya. “Ini bukti kalau aku nggak main-main.”“Nila.” Ivan mencoba menengahi sembari meredam emosi. “Jangan mengambil langkah yang salah.”Seketika itu juga, Nila tersadar dengan posisinya. Untuk beberapa saat, Nila sempat luluh dengan apa yang dilakukan Arif. Namun, ucapan Ivan barusan menyadarkan jika semua ini hanya akan berujung sia-sia.“Mas...” Nila menggeleng pelan. Suaranya lirih, hampir tidak terdengar. Menarik cepat tangannya dari genggaman Arif, karena takut akan berubah. “Maaf, aku nggak bisa.”Nila mundur dan menjaga jarak. Melihat ke sekeliling dan kembali menggeleng, kali ini lebih tegas. Nil

    Last Updated : 2025-02-07
  • Setitik Nila   SN ~ 11

    “Nila, bangun.” Sudah tiga kali Djiwa memanggil nama gadis itu, tetapi Nila tidak juga kunjung bergerak sedikit pun. Gadis itu masih terlelap, meskipun posisi tidurnya terlihat jauh dari kata nyaman. “Nila.”Karena tidak kunjung bangun dengan teguran, maka Djiwa menepuk-nepuk bahu Nila. “La, bangun, La. Kita sudah sampai.”Nila menggumam pelan. Kelopak matanya mulai bergerak sebelum akhirnya terbuka perlahan. Wajahnya yang sedikit bingung menoleh ke arah Djiwa, seolah mencoba mengingat di mana ia berada. “Sampai?” tanyanya dengan suara serak.“Iya, sudah sampai,” jawab Djiwa sambil menunjuk ke luar jendela mobil. “Tower A1.”Melihat tulisan Tower A1 yang berdiri tegak di atas pelataran lobi apartemen, Nila pun melepas sabuk pengaman lalu menegakkan tubuh dengan perlahan. Menguap sebentar sembari menutup mulut dan terdiam, menghela panjang.“Makasih, ya, Pak,” ucap Nila sambil menegakkan sandaran jok. “Saya jadi nggak enak sama pak Gavin.”“Kamu bisa telpon sugar daddy-mu itu kalau ngg

    Last Updated : 2025-02-11
  • Setitik Nila   SN ~ 1

    “Langsung saja,” ucap Deswita tanpa basa-basi. Suaranya tenang, dengan senyum kecil yang mengembang di sudut bibir. Namun, ada ketegasan dingin di balik sorot matanya saat menatap gadis yang duduk berseberangan dengannya saat ini. “Tolong tinggalkan Arif.”Nila membeku di tempat duduknya. Berusaha memberi senyum dan tetap tegar, kendati ucapan ibu dari kekasihnya terasa seperti badai yang menyergap, di tengah keheningan sebuah kafe yang pagi ini tampak lengang.“Tapi kenapa, Tante? Apa saya, selama ini—”“Vanila.” Deswita memotong, masih dengan senyumnya. “Saya baru tahu tentang latar belakang keluargamu. Karena itu, saya yakin kamu bisa mengerti dengan permintaan saya barusan.”“Tapi—”“Ini semua demi kebaikan dan masa depan Arif.” Deswita kembali memotong ucapan gadis itu. “Coba bayangkan kalau kalian menikah dan nggak ada nama ayahmu tertulis di undangan? Ditambah, waktu ijab kabul nanti semua undangan pasti akan tahu kalau istri Arif dan satu-satunya menantu keluarga Adiningrat te

    Last Updated : 2025-01-10

Latest chapter

  • Setitik Nila   SN ~ 11

    “Nila, bangun.” Sudah tiga kali Djiwa memanggil nama gadis itu, tetapi Nila tidak juga kunjung bergerak sedikit pun. Gadis itu masih terlelap, meskipun posisi tidurnya terlihat jauh dari kata nyaman. “Nila.”Karena tidak kunjung bangun dengan teguran, maka Djiwa menepuk-nepuk bahu Nila. “La, bangun, La. Kita sudah sampai.”Nila menggumam pelan. Kelopak matanya mulai bergerak sebelum akhirnya terbuka perlahan. Wajahnya yang sedikit bingung menoleh ke arah Djiwa, seolah mencoba mengingat di mana ia berada. “Sampai?” tanyanya dengan suara serak.“Iya, sudah sampai,” jawab Djiwa sambil menunjuk ke luar jendela mobil. “Tower A1.”Melihat tulisan Tower A1 yang berdiri tegak di atas pelataran lobi apartemen, Nila pun melepas sabuk pengaman lalu menegakkan tubuh dengan perlahan. Menguap sebentar sembari menutup mulut dan terdiam, menghela panjang.“Makasih, ya, Pak,” ucap Nila sambil menegakkan sandaran jok. “Saya jadi nggak enak sama pak Gavin.”“Kamu bisa telpon sugar daddy-mu itu kalau ngg

  • Setitik Nila   SN ~ 10

    “Arif! Berdiri!” desis Deswita dengan suara pelan dan tajam. Ia meraih lengan putranya dan mencoba mengangkat tubuh Arif tetapi gagal. “Jangan bikin malu nama keluarga!”“La?” Arif meraih tangan Nila dan menggenggamnya. Ia tidak peduli dengan ucapan Deswita, pun dengan tatapan orang lain padanya. Hatinya sudah jatuh terlalu dalam pada Nila dan tidak ada seorang pun yang dapat mengubahnya. “Ini bukti kalau aku nggak main-main.”“Nila.” Ivan mencoba menengahi sembari meredam emosi. “Jangan mengambil langkah yang salah.”Seketika itu juga, Nila tersadar dengan posisinya. Untuk beberapa saat, Nila sempat luluh dengan apa yang dilakukan Arif. Namun, ucapan Ivan barusan menyadarkan jika semua ini hanya akan berujung sia-sia.“Mas...” Nila menggeleng pelan. Suaranya lirih, hampir tidak terdengar. Menarik cepat tangannya dari genggaman Arif, karena takut akan berubah. “Maaf, aku nggak bisa.”Nila mundur dan menjaga jarak. Melihat ke sekeliling dan kembali menggeleng, kali ini lebih tegas. Nil

  • Setitik Nila   SN ~ 9

    Djiwa mengerut dahi ketika baru menutup pintu mobil dan menguncinya dari luar. Ia berjalan perlahan menuju restoran, lalu berhenti sejenak di balik pilar untuk mendengarkan ketegangan yang ia lihat sejak memarkirkan mobil. Dalam artian, Djiwa sedang menguping pembicaraan yang terjadi antara Nila dan ketiga orang lainnya.Sedikitnya, Djiwa mulai mengerti di mana letak perdebatan tersebut dan agak terkejut ketika mendengarnya. Lantas, ketika intensitas ketegangan terdengar semakin panas, Djiwa beranjak melewati keempat orang itu sembari berujar, “Nila! Ikut saya masuk ke dalam, sekarang!”Antara kaget, bingung, lega, dan tidak percaya dengan sosok pria yang baru saja berjalan melewatinya. Pria itu hanya melirik, tanpa mau repot-repot berhenti dan menyampaikan maksudnya dengan semestinya.“Maaf, saya permisi,” pamit Nila terburu. Kendati masih berada dalam ketegangan, tetapi ia tetap memberi anggukan sopan sebelum berbalik pergi meninggalkan keluarga Adiningrat.Nila mempercepat langkahn

  • Setitik Nila   SN ~ 8

    Nila baru saja selesai mencuci piring, ketika dering ponselnya terdengar dari meja makan. Awalnya, ia mengira itu panggilan dari nomor asing. Kemungkinan nomor baru Arif, mengingat nomor lamanya sudah diblokir oleh Nila. Namun, saat matanya menangkap nama yang tertera di layar, jantungnya langsung berdebar kencang.Kendati ingin sekali mengabaikan, tetapi Nila tidak bisa melakukannya. Mau tidak mau, ia akhirnya menerima panggilan tersebut dengan sapaan ramah.“Pagi, Pak Gavin,” sapa Nila dengan nada formal.“Pagi. Benar saya bicara dengan Nila? Vanila Wicaksana?”“Betul, Pak.” Nila menahan napas. “Apa ada yang bisa saya bantu?”“Kamu ada acara hari ini?”Nila meringis, mengumpat dalam hati. Merasa geli sendiri dan mulai berpikiran negatif.“Nila, kamu masih di sana?”“Ah, iya, Pak, maaf.” Nila menggeleng cepat untuk mengenyahkan pikiran buruk di kepala. Namun, ia tidak bisa. “Tadi Bapak tanya apa?”“Bisa kita ketemu nanti siang? Jam 12, makan siang?”Nila menghela pelan. Pria itu seol

  • Setitik Nila   SN ~ 7

    “Masuk,” titah Djiwa sambil mengangguk ketika melihat Nila mengetuk pintu ruang kerjanya yang terbuka.“Ini undangan Nena, Pak,” ucap Nila semberi meletakkan undangan berdesain minimalis berwarna krem di atas meja Gavin. Kertas tebal dengan cetakan huruf emas itu terlihat sederhana, tetapi tetap memancarkan kesan elegan.“Terima kasih.” Djiwa melirik sekilas ke arah undangan tersebut, lalu kembali fokus pada layar monitornya. “Sebelum pulang, tolong panggil Elin dan Sigit ke ruangan saya.”“Baik, Pak,” ucap Nila tetapi masih berdiri di tempatnya. Hal tersebut membuat Djiwa menoleh dan menatap tanya.“Ada yang lain?”“Em ...” Nila mengangkat kedua bahunya sembari mengernyit. “Maaf, tapi ... karena Bapak atasan saya, jadi—”“To the point, La.”Nila menghela singkat. “Saya nggak nyaman dengan pak Gavin siang tadi,” ucapnya cepat tanpa jeda. “Dari cara dia melihat saya, terus pertanyaannya, sikapnya yang terlalu ‘memperhatikan’ saya. Bapak ngerasa nggak, sih, Pak?”Ocehan Nila tersebut ak

  • Setitik Nila   SN ~ 6

    “Ingat, begitu rapat redaksi selesai, notulennya harus segera dikirim ke e-mail redaksi,” ujar Nena mengingatkan sekali lagi. “Surat masuk harus dicek, ditulis, dan dikonfirmasi secepatnya. Terus—”“Aman,” potong Nila mencoba menenangkan. Meskipun rutinitas barunya sangat padat, tetapi baginya semua ini cukup membosankan. Terbiasa bekerja di lapangan dan bertemu dengan berbagai macam orang, Nila akhirnya merasa jenuh ketika harus duduk di depan komputer dan hanya berada di kantor seharian. Walaupun begitu, ia tetap harus bertanggung jawab dengan semua keputusan yang diambilnya sekaligus mengalihkan pikirannya dari Arif. “Semua sudah aku catat, jadi kamu sudah bisa mikirin pernikahanmu dengan tenang.”Nena membuang napas panjang. “Sebenarnya aku stres karena BB-ku naik dua kilo. Aku takut kebayanya nggak muat.”“Masa’ sih?” Nila menghentikan kesibukannya sebentar. Mengalihkan pandangan dari surat yang baru dibukanya untuk melihat Nena dengan seksama. “Nggak kelihatan kalau naik dua kil

  • Setitik Nila   SN ~ 5

    “Pak Djiwa ada?” tanya Nila saat berhenti di sudut meja kerja Nena. Tatapannya tertuju sebentar pada ruang kaca yang sebagian besar di tutup oleh stiker buram, lalu beralih pada Nena.“Di ruangan pak Gavin,” jawab Nena menyebut nama CEO perusahaan yang baru menjabat satu bulan belakangan di Warta. Kemudian, ia menyodorkan sebuah buku catatan yang sudah disiapkan sebelumnya pada Nila. “Ini semua catatan yang harus kamu hapal tentang kebiasaan pak Djiwa.”“Catatan?” Nila mengerjap lalu segera mengambil buku dengan cover berwarna ungu polos tersebut.“Iya!” Nena mengangguk. Memangku wajah dengan kedua tangan dan menatap Nila. “Pastikan selalu ada air mineral di mejanya dan kamu nggak diperkenankan pakai baju kerja bebas selain seragam kantor. Dia nggak suka.”“Serius?” Nila membaca catatan yang ada di buku dengan seksama.Menghela sesekali, karena mengingat semua pembicaraan dengan ibunya tadi malam. Sementara pagi ini, mereka tidak banyak bicara karena Kirana sudah pergi ke toko pagi-pa

  • Setitik Nila   SN ~ 4

    Arif mengetuk pintu kamar orang tuanya dengan tidak sabar. Saat akhirnya pintu itu dibuka oleh Deswita, Arif langsung melempar protesnya.“Bunda nemui Nila tadi pagi?” tanya Arif, suaranya bergetar menahan emosi. Napasnya sedikit terengah, mencoba meredam gejolak di dada sebelum melontarkan pertanyaan.Deswita mengangkat alis, menatap anaknya dengan sorot tenang. “Ah! Jadi dia sudah ngadu sama kamu,” jawabnya santai, seakan tidak terganggu oleh nada bicara Arif.Arif mendengus, frustasi. Ia mengepalkan kedua tangannya di depan sang bunda, jari-jarinya nyaris gemetar karena tekanan emosinya. “Harusnya Bunda bicara sama aku kalau nggak setuju dengan hubungan kami! Bukan sama Nila!” Suaranya makin meninggi di akhir kalimat, tanda ia tak bisa lagi menahan kekesalannya.“Jaga nada bicaramu, Rif!”Arif menatap ayahnya yang baru saja berdiri di samping Deswita. Menghela panjang, sembari mundur satu langkah. “Ayah tahu, kalau Bunda—”“Ayah tahu,” sela Ivan bersikap sama tenangnya dengan sang

  • Setitik Nila   SN ~ 3

    “Dji, silakan ambil karyawan dari divisi lain, karena Nila tetap ada di produksi.” Hamid langsung melempar protes ketika masuk ke ruangan Pemimpin Redaksi.“Nila sendiri yang mengajukan diri jadi sekred.” Djiwa yang berdiri di tengah ruang lantas menunjuk Nila yang terpaku di bibir pintu. “Daripada saya buka lowongan dan harus repot dengan ini itunya ...” Djiwa kembali menunjuk Nila. “Jadi saya terima dia dengan tangan terbuka,” ucapnya dengan merentangkan kedua tangan ke arah Nila. “Dji—”“Pak Hamid.” Djiwa mengangkat tangan kanannya pada pria itu. “Kita punya banyak reporter di Warta yang bisa di-rolling dan menggantikan satu dengan yang lain. Jadi, saya rasa nggak ada masalah kalau Nila mundur dari tim produksi. Dan Nena sudah saya suruh untuk lapor ke HRD.”Hamid berdecak. Menatap Nila yang masih terpaku di bibir pintu, lalu menggeleng. “La?”“Saya minta maaf, Pak.” Nila buru-buru mendekat pada Hamid. Semua yang terjadi saat ini, benar-benar di luar dugaannya. “Saya bukannya mau

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status