Satu bulan kemudian.. Irfan yang berniat untuk kembali bekerja meski kondisinya masih lemah tiba-tiba harus pulang lagi. Ia turun dari mobil dengan langkah lesu. "Kamu kok pulang lagi, Fan? Apa ada yang ketinggalan?" tanya Putri yang duduk di teras rumah Ibunya. Irfan mendekat, ia duduk di sebelah Kakaknya dengan pandangan menerawang. "Aku di pecat, Mbak. Sekarang aku nganggur, entah bagaimana hidup kita ke depannya. Aku nggak yakin bisa mencari pekerjaan lainnya," jawab Irfan. "Di pecat? Memang kamu salah apa, Fan. Dan kenapa kamu nggak bisa cari kerja lainnya sebenarnya kamu itu sakit apa sih, Fan. Apa kamu sudah periksa ke dokter?" tanya Putri beruntun. "Posisiku di kantor sudah di gantikan yang lainnya, Mbak, karena aku jarang masuk. Kata Pak Guntoro yang menggantikan aku kinerjanya jauh lebih baik makanya Pak Guntoro lebih baik mengundurkan diriku. Aku sudah pernah periksa dan aku sakit mag kronis," balas Irfan. Obrolan kakak beradik itu mengalir begitu saja, apapun merek
"Cepat jawab, Bu, buat apa semua uang-uang itu. Padahal aku sudah sering memberi Ibu uang kan!!" Irfan mendesak Ibunya agar segera mengaku. "Uang itu untuk membayar biaya kuliah dan sekolahnya adik-adikmu, Fan," ucap Bu Fatma dengan menunduk. "Auuww...!!" terdengar jeritan Rahma dari luar. "Rahma!!" ucap Bu Fatma, Irfan, dan Putri bersamaan. Mereka saling pandang dan bertanya dengan kode ada apa ribut-ribut di luar. Irfan segera berdiri diikuti oleh Putri dan Bu Fatma. Mereka penasaran dengan keributan yang terjadi di luar rumah. "Ada apa ini, kenapa ribut-ribut?" tanya Irfan. Rahma sudah menangis dan memegeng pipinya yang kemerahan bahkan darah segar mengalir dari sudut bibirnya. "Ooh baguslah ternyata keluarga pelakor ini ada di rumah semua. Hei.. Aku peringatin sama kalian semua ya, kalau pelakor ini masih berani ganggu suamiku akan aku buat hidup kalian hancur!!" ucap wanita berbadan gempal, berpakaian modis nan mewah itu. "Sudah, Ma, ayo pulang. Malu di lihatin banyak ora
Satu minggu telah berlalu, Rahmi, putra bungsu Bu Fatma tak kunjung pulang. Nomernya dihubungi tak pernah bisa, surat dari sekolahan tentang di keluarkannya Rahmi pun sudah sampai di tangan Bu Fatma. Rahmi sudah tujuh bulan belum membayar uang bulanan dan uang lainnya, dia juga sering membolos dan selalu membuat keonaran di sekolah. Rahmi duduk di kelas dua SMA, ia jarang mengikuti mata pelajaran, bahkan pernah ketahuhan minum-minuman keras di belakang sekolah bersama kedua temannya. "Ibu.. Ada surat dari kepala sekolah," ujar Lulu' saat pulang sekolah. "Surat apa? Kamu nakal ya di sekolah, kok dapat surat. Ini pasti surat teguran," balas Putri yang sedang menonton tv, ia mengambil secara kasar dari tangan anaknya. Putri membaca dengan seksama lampiran kertas itu, ia menganga bahkan ia malu terhadap anaknya sendiri. Putri menghela nafas ia tak menyangka hidupnya akan semengenaskan ini. "Lu', maafin Ibu ya. Saat ini Ibu belum punya uang buat melunasi biaya sekolahmu, adikmu juga
Irfan yang lemah tak kuat lagi untuk menyetir, keadaan tubuhnya terasa semakin memburuk dan dia akan cepat kelelahan. Mereka memutuskan untuk membayar tetangganya yang bisa menyetir agar mengantar mereka ke rumah sakit. Setelah bertanya kepada resepsionis, mereka menuju ruang ICU dimana Rahmi berada. Tepat mereka sampai di sana, seorang dokter bersama asistennya keluar dari ruang ICU. "Permisi, Dok, bagaimana keadaan Rahmi? Kami keluarganya," cecar Putri. "Syukurlah kalau keluarga pasien sudah datang. Kami membawa kabar buruk tentang keadaan Rahmi, dia koma karena terjadi benturan keras di kepalanya sehingga terjadi penyumbatan darah di otak besarnya. Saya sarankan untuk segera di oprasi, tetapi kami tidak bisa menjamin kesembuhan Rahmi. Hidup dan mati manusia hanya Tuhan yang tahu, kita sebagai manusia hanya bisa berdoa dan berusaha. Bagaimana, apa Rahmi akan segera di oprasi karena keadaan sudah darurat dan tak bisa menunggu lebih lama lagi, kami menunggu persetujuan dari keluarg
Akhirnya Lula segera dioperasi, lagi dan lagi biaya operasi Lula memakan biaya yang sangat tinggi, Irfan dengan berat hati menjual harta satu-satunya yang dia punya yaitu rumahnya. Apalagi ia harus cuci darah, tentu saja itu tidak bisa menggunakan biaya BPJS tentu saja akan memakan biaya yang tak sedikit juga. Di rumah Rahma marah-marah saat mendapat kabar dari Suryo kalau rumah itu akan segera dijual. "Semua dijual, memang kita mau tinggal dimana? Kita mau tidur di kolong jembatan gitu, ogah!!" teriak Rahma dengan emosi. Rahma segera mengemasi pakaiannya dan dia ingin pergi saja tak ingin tidur di kolong jembatan. "Rahma kamu mau kemana, Nak?" tanya Bu Fatma saat melihat anaknya berkemas. "Aku mau pergi, Bu, aku nggak mau jadi gelandangan. Lebih baik aku jadi simpanan om-om dari pada jadi gembel yang tidur di jalanan!!" balas Rahma. Ia sudah siap keluar dari rumah membawa sejuta emosi."Rahma, jangan pergi Ibu mohon. Nanti kita bisa cari kontrakan, Nak," cegah Bu Fatma. "Lepasi
Mira menghela nafas sejenak, ia tak menyangka David akan mengungkapkan isi hatinya seromantis ini, tak dapat di pungkiri ia nyaman bersama David apalagi David baik dan perhatian. Bahkan Irfan juga begitu saat masih pacaran dengannya pun sikapnya juga lemah lembut dan penuh perhatian seperti David, namun apa nyatanya Irfan telah melukai hatinya. Maka dari itu ia tak percaya lagi dengan cinta, ia masih trauma dengan rumah tangga dan menyembuhkan luka itu membutuhkan waktu yang tak sebentar. "Terima kasih, Mas, kamu sudah berani jujur sama aku. Aku hargai usahamu, tapi... Maafkan aku, aku masih belum bisa membina rumah tangga kembali. Aku sudah bahagia dan tenang hidup bersama anak-anak. Aku hanya ingin fokus dengan masa depan kedua anakku. Semoga, Mas David, bisa menemukan jodoh yang jauh lebih sempurna dari aku dan bisa menggapai surga-Nya bersama wanita yang bisa melengkapi hidupnya Nas David," balas Mira dengan tenang. "Terima kasih, Mira, atas jawabannya. Aku tidak akan melupaka
Siang hari Irfan mengemas dagangannya, ia sudah bersiap untuk pulang ke rumah. Namun siapa sangka di tengah jalan ia tertabrak sepeda motor yang tak bertanggung jawab."Woy sialan, tanggung jawab Lo!" Maki Irfan. Dagangannya berserakan, lengannya terluka namun pengendara sepeda motor itu melarikan diri.Irfan berdiri terhuyung di tengah jalan raya yang ramai. Suara klakson mobil dan motor yang melintas menambah kekacauan suasana. Beberapa orang di sekitar berhenti dan mencoba membantunya, mengumpulkan barang dagangan yang berserakan. Irfan merasakan sakit di lengannya yang terluka, tapi lebih dari itu, amarahnya memuncak karena pengendara motor yang tidak bertanggung jawab itu.Sambil menahan sakit, Irfan berusaha menghubungi keluarganya untuk meminta bantuan. Seorang pemuda yang melihat kejadian itu mendekatinya."Mas, kamu butuh bantuan? Mari saya antar ke klinik terdekat," ujar pemuda itu dengan nada prihatin.Irfan mengangguk pelan, menerima bantuan pemuda itu. Mereka berjalan me
*Cara terbaik untuk menghargai pekerjaan adalah membayangkan dirimu tanpa pekerjaan. Jadi jalani lah apapun pekerjaanmu saat ini, kerjakan dengan ikhlas dan semangat. Yakinlah semua itu pasti akan terasa lebih ringan*______"A-ayah!" seru Celine. "Celine!" Irfan sangat terkejut. Ia tak menyangka bisa bertemu dengan putrinya di situasi seperti ini."Ayah jualan di sini?" tanya Celine membuat Irfan menganggukkan kepalanya. Mata Irfan bersinar melihat putrinya, namun ada sedikit rasa malu yang tergambar di wajahnya.Suasana panas dan cerah menyelimuti tempat itu. Matahari bersinar terik, dan keringat mengalir di dahi Irfan. "Celine, kenapa kamu bisa di sini?" tanya Irfan, suaranya masih bergetar dengan rasa malu dan haru yang campur aduk."Aku sedang mampir kesini, katanya ini waduk baru buka. Karena penasaran jadi aku ngajak Bunda kesini," jawab Celine sambil tersenyum. Ia menoleh ke arah kerumunan di sekitar waduk, mencari-cari seseorang. "Bunda sama Kenzo sedang di sana, lihat-liha
"Raka, kamu beneran ngasih ini semuanya buat kami?" tanya Amira setelah ia melihat mas kawin yang diberikan suaminya."Iya, Mir. Semuanya buat kalian, dan masih banyak lagi yang akan aku berikan buat kalian salah salah satunya kasih sayang," balas Raka."Masya Allah, Raka. Aku enggak meminta harta yang berlimpah, aku hanya meminta kasih sayang dan tanggung jawabmu, tetapi kenapa kamu memberiku sebanyak ini. Dari mana kamu dapatkan ini, Rak? Bahkan kamu bisa menyiapkan semuanya sebaik ini. Apa jangan-jangan kamu keluarga Sultan?" tanya Amira dengan kedua mata yang berkaca-kaca.Setelah selesai akad mereka naik ke atas panggung untuk sesi pemotretan dan lainnya."Iya, semua yang mengurus orang-orangku dari Bali. Hartaku di Bali sangat berlimpah dan aku yakin tidak akan habis di makan tujuh belas turunan. Kamu jangan ngomong kayak gitu, kamu dan anak-anak segalanya untukku. Jadi milikku juga jadi milikmu," ucap Raka menghapus air mata Amira yang mulai berjatuhan."Jangan nangis, Mir. Nan
Hari Minggu yang dinanti akhirnya tiba. Di sebuah ruangan dengan cermin besar berhias lampu, Amira duduk tenang, matanya menatap pantulan wajah yang perlahan berubah semakin memukau di tangan MUA terbaik yang telah dipilih oleh anak buah Raka. Jemarinya yang halus menyentuh gaun yang menjuntai indah, seolah merasakan kehangatan hari istimewa yang sudah di depan mata.Sementara itu, di sudut lain ruangan, Celine, putrinya yang ceria, tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Gadis kecil itu duduk dengan riang saat dirinya dipakaikan gaun yang membuatnya tampak seperti seorang putri dari negeri dongeng. Senyumnya mengembang, matanya berbinar, membayangkan momen di mana ia akan berjalan di samping Amira, dan akhirnya, memiliki seorang ayah. Hari ini bukan hanya hari untuk Amira, tapi juga untuk Celine, yang merasa dunia kecilnya kini lengkap dan penuh cinta.Jantung Amira berdegup semakin cepat seiring waktu berlalu. Pernikahan kali ini terasa jauh lebih mendebarkan dibandingkan sebelumnya
Pikiran Raka melayang-layang di dalam kecemasan, keluarganya di Bali, terutama Ajik dan Biyang—ayah dan ibunya, punya pandangan yang sangat tradisional tentang pernikahan. Status Amira sebagai seorang janda membuat segalanya terasa lebih sulit.“Halo, Bli. Saya sudah menyampaikan pesan kepada Ajik dan Biyang,” suara Pak Wayan terdengar dari seberang sana, tenang namun sedikit berat.Raka terdiam sejenak, mencoba meredakan degup jantungnya yang semakin cepat. “Bagaimana keputusan mereka, Pak?” tanyanya, tak mampu menyembunyikan kegugupannya.Di seberang telepon, Pak Wayan terdiam beberapa saat. Keheningan itu semakin membuat Raka gelisah. Ia tahu betul betapa keras kepala keluarganya dalam urusan pernikahan. Seandainya Amira tidak mendapat restu hanya karena statusnya, ia sudah bertekad tidak akan pernah kembali ke Bali—tanah kelahirannya yang selama ini ia jaga dalam hati.“Ajik dan Biyang setuju, Bli,” akhirnya Pak Wayan berbicara, suaranya terdengar lebih ringan. “Mereka sudah meres
Amira menarik napas dalam-dalam. Rasa haru memenuhi dadanya. Setiap kata yang diucapkan Raka menyentuh hatinya, meski keraguan masih bergelayut di pikirannya. Dengan Bismillah, ia akhirnya berkata, "Iya. Aku."Raka tersenyum lebar, matanya berbinar penuh kegembiraan. "Alhamdulillah, terima kasih, Mira. Terima kasih sudah mau menerimaku. Jujur, aku merasa hidupku kembali berwarna sejak bertemu kamu."Amira tersenyum tipis, "Aku juga bersyukur bisa ketemu sama kamu." Mereka saling tersenyum dan menatap satu sama lain, seakan-akan dunia di sekitar mereka menghilang. Hanya ada mereka berdua, tenggelam dalam keheningan yang penuh makna, seolah-olah waktu berhenti dan semua yang mereka butuhkan hanyalah kehadiran satu sama lain."Aku mau kita menikah Minggu depan ya, aku udah enggak sabar ingin menghalalkanmu, Mir," ujar Raka serius."Hah! Kamu beneran? Nikah itu bukan permainan, Rak, kita harus mengurus ini itu dan banyak hal yang harus di urus. Paling tidak dua bulanan lah," balas Amira.
Setengah jam kemudian mereka sudah sampai di parkiran pelataran gedung bioskop. Mereka berempat akhirnya turun dan masuk ke dalam gedung.Suasana lumayan ramai, kebanyakan pengunjung para muda-mudi dan para keluarga kecil yang ingin mencari hiburan di tempat ini.Raka segera membeli tiket. Setelah itu, tak lupa ia juga membeli cemilan untuk teman mereka nonton sebentar lagi. Kini dua popcorn berukuran jumbo dan empat minuman sudah berada di tangan mereka.Mereka bergegas masuk ke dalam studio yang sebentar lagi akan menayangkan film yang diinginkan Celine dan Kenzo. Mereka langsung mencari tempat duduk yang tadi sudah di pesan, tempat duduk di bagian tengah. Lokasi ternyaman di ruangan ini.Mereka berempat duduk di kursi tersebut. Celine dan Kenzo di tengah, Celine di sebelah kiri Raka sedangkan Kenzo di sebelah kanan sang bunda. "Aku udah enggak sabar, Om, nonton filmnya," ujar Celine."Iya, ini sebentar lagi mau di putar. Sabar ya," balas Raka sembari mengusap pucuk kepala Celine d
Raka serta Amira dan Kenzo menjemput Celine ke sekolah. Mereka berencana untuk jalan-jalan dan makan bersama. Raka mengendarai mobil Amira menuju sekolahan Celine. Raka memutar kemudi perlahan, lalu menepikan mobil di bawah bayangan pohon besar yang menaungi gerbang sekolah. Cuaca siang itu terasa hangat, namun teduh karena dahan pohon yang melindungi dari teriknya matahari. Amira menghela napas ringan saat melihat anak-anak mulai berlari ke arah gerbang, beberapa diantaranya tersenyum lebar menyambut orang tua mereka. “Kita sudah sampai,” ujar Raka seraya mematikan mesin mobil. Ia memandang sekilas ke arah Amira yang tampak sibuk menatap keluar jendela. "Ya, akhirnya. Semoga Celine segera keluar," jawab Amira sambil membuka pintu mobil. Suaranya terdengar lembut, namun ada sedikit nada kelelahan. Sedangkan Kenzo anteng duduk di kursi barisan kedua sambil makan permen lolipop. Begitu Amira menginjakkan kaki di trotoar, angin segar menyapu wajahnya. Ia memicingkan mata, mencoba me
Jantung Amira berdebar tak terkendali. Tiap kali Raka berada di dekatnya, perasaannya selalu bercampur aduk—antara gugup, bahagia, dan sesuatu yang lebih sulit ia ungkapkan. Tatapan Raka begitu tulus, namun Amira berusaha mengabaikan getaran-getaran yang mengguncang hatinya. Ia takut jika terlalu larut, ia akan membuka dirinya pada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang tak siap ia hadapi.Mereka masih berdiri di bawah rembulan yang bersinar menambahkan suasana hangat yang tak membantu menenangkan perasaan Amira. Raka masih menatap ke arahnya seolah berusaha sabar menanti jawaban yang keluar dari bibirnya. Amira berusaha keras tetap tenang, tapi ia tahu wajahnya mungkin sedikit memerah.Raka menarik napas dalam, kemudian berkata pelan, “Mira... Aku nggak tahu gimana caranya bilang ini. Tapi tiap kali aku sama kamu, aku merasa... ada sesuatu yang berbeda. Rasanya seperti... aku menemukan sesuatu yang hilang.”Amira menunduk, hatinya berdebar semakin cepat.
Malam itu begitu cerah. Bulan purnama menggantung di langit, cahayanya memantul di dedaunan, menciptakan bayangan lembut di sekitar markas. Di depan bangunan sederhana itu, pemanggangan sudah siap. Aroma daging yang terbakar perlahan memenuhi udara, membuat suasana semakin akrab. Raka, Amira, Celine, dan Kenzo berkumpul bersama anak-anak jalan, tertawa dan bercanda sambil menyiapkan bahan-bahan untuk acara bakar-bakaran.Kenzo, yang baru pertama kali bertemu mereka, mudah berbaur. Celine, yang awalnya tampak canggung, kini ikut tertawa bersama anak-anak lainnya. Kehangatan mereka terasa menyelimuti malam, membuat Celine dan Kenzo merasa seolah sudah lama menjadi bagian dari kelompok itu.Setelah makan bersama, suasana mulai tenang. Anak-anak mulai duduk bersandar, kekenyangan. Raka, yang sejak awal tampak lebih tenang dan memikirkan sesuatu, akhirnya mengajak Amira berbicara di belakang markas, di bawah bintang yang berkilauan.Amira mengikuti Raka dengan langkah pelan. Mereka berdiri
Rista dan Dimas mengendarai mobil mereka dengan perlahan, menikmati udara malam yang sejuk. Suasana jalanan cukup lengang, hanya beberapa kendaraan berlalu lalang di sekitar mereka. Mereka berniat mencari angin segar, berkeliling tanpa tujuan pasti. Namun, saat mobil melintasi sebuah trotoar di pinggir jalan, pandangan Rista tiba-tiba terpaku pada sekelompok orang yang sedang bercengkerama di sana.“Amira?” gumam Rista, menyipitkan matanya untuk memastikan. Sosok itu berdiri bersama beberapa orang yang juga tak asing baginya, termasuk Celine dan Kenzo. Namun, ada seorang pria lain di antara mereka yang tidak dikenalnya."Mas, berhenti sebentar. Itu Amira," kata Rista cepat-cepat kepada Dimas.Dimas segera memarkirkan mobil di tepi jalan, tak jauh dari Amira dan rombongannya. Rista turun dan memanggil, “Mira?”Amira menoleh, ekspresi wajahnya terkejut namun segera berubah ramah. “Mbak Rista? Wah, enggak nyangka kita ketemu di sini!”Rista tersenyum tipis, lalu menghampiri mereka dengan