Rutinitas di pagi hari adalah sarapan agar kuat menghadapi kenyataan bukan banyak harapan seperti yang dilakukan Irfan.Lelaki dewasa yang sudah rapi dengan kemeja dipadu dengan celana kain panjang dan sepatu pantofel itu menatap sinis ke arah sang istri yang sedang menghadap kompor."Dek... bisa enggak sih kamu perawatan, aku eneg lihat wajah kamu yang kusam dan dekil apalagi lihat badanmu yang makin hari makin melebar seperti gajah bengkak. Baru aja punya anak satu sudah kek gitu gimana kalau udah punya anak lima. Aku malulah, Dek, punya istri sepertimu, di kantor setiap hari selalu di suguhi wanita cantik, sexy dan wangi. Tapi di rumah selalu di sambut istri yang kucel dan bau bawang!!" omel Irfan. Ia menuju meja makan lantas menarik kursi untuk duduk, tangannya dengan cekatan mengambil piring lalu mengisinya dengan nasi beserta lauk yang di sajikan sang istri. Irfan sarapan dengan raut muka masam memandang sang istri yang memakai daster lecek serta rambut acak-acakan. Wanita berw
Tiga kunci dalam pernikahan ialah senyum istri, do'a istri dan keikhlasan istri. Senyum istri adalah Rezki suami, do'a istri itu kesalamatan suami sedangkan keikhlasan hati istri adalah kunci suksesnya seorang suami.Maka dari itu janganlah seorang suami menyia-nyiakan bidadari yang sudah engkau pilih sebagai pelengkap hidupmu.--------"Sayur mayur, murah meriah..!" teriak penjual sayur yang sudah datang. Ibu-ibu segera menghampiri tak ketinggalan juga, bu Fatma."Kalian lihat deh si Mira, dia itu jorok banget masa baju kotor seperti itu di taruh di kursi," ucap bu Fatma dengan suara yang sengaja di keraskan."Eh iya, iya. Nggak nyangka ternyata Mbak Amira jorok banget orangnya," balas salah satu ibu-ibu itu.Amira yang mendengar bahwa dirinya di bicarakan mengurungkan niat untuk berbelanja. Hatinya terasa kesal, capek, dan sakit bercampur aduk menjadi satu.Hidup berdampingan dengan ibu mertua yang toxic tidaklah mudah. Selama empat tahun Mira memendam perasaan sedihnya sendiri, sa
Kipas angin tergelatak di lantai, dan terlihat ada dua kaki yang bergerak. Mira segera menghampiri lalu mengambil kipas yang ternyata menimpa tubuh mungil Celin."Ya Allah, Celin, kenapa bisa begini. Apa yang sudah kamu lakuin, Nak." Seperti inilah ada saja tingkah Celin yang selalu membuat Mira was-was dan tak bisa meninggalkannya dengan tenang. Entah apa yang di lakukan putrinya sehingga kipas yang berdiri di samping televisi itu bisa ambruk menghantam tubuh Celin.Mira menggendong Celin dan membawanya ke dalam kamar, ia baringkan tubuh mungil itu di atas ranjang. Mira membiarkan Celin menangis kejer, walau tak tega ia harus segera mencari baju ganti dan memakai daster yang tak ribet."Mira, kenapa Celin nangis nggak diam-diam sih. Pasti habis jatuh lagi kan, kamu ngurus satu anak saja enggak becus selalu saja jatuh dan jatuh terus!!" omel bu Fatma. Ia nyelonong masuk begitu saja ke dalam kamar Mira, dan untungnya Mira sudah selesai memakai baju."Maaf 'Bu, tadi aku mandi sebentar,
"Siapa yang nyindir? aku cuma ngomong doang kok," balas Putri ketus. Ia berlalu masuk ke dalam rumah Ibunya, bu Fatma, yang berada di samping rumah Mira."Abang berangkat dulu, Dek. Ini uang belanjanya jangan lupa masak yang enak biar suaminya doyan makan di rumah," ujar Irfan. Selembar pecahan uang berwarna ungu itu ia sodorkan untuk sang istri."La kok cuma sepuluh ribu, Bang. Dapat apa??" tanya Mira. Ia tak langsung menerima pemberian Irfan dan berharap akan dikasih tambahan."Yang lima ribu kan sudah kamu umpetin, ya ini Abang tinggal nambahin. Makanya jadi istri tuh jangan suka korupsi jangan coba-coba membodohi suamimu ini kamu ya," jawab Irfan. Karena ia terburu-buru untuk segera berangkat bekerja, Ifan memilih meletakkan selembar uang sepuluh ribu di samping tempat duduk Mira."Jangan pelit kamu, Bang, biar rezkinya enggak sulit...." Belum selesai Mira mengucapkan kalimatnya, Irfan sudah dulu memotongnya dengan nada membentak, "Enggak usah sok ceramah mending rawatlah dirimu
Celin mengeluarkan kentut yang begitu keras disertai dengan muntah-muntah, badannya terlihat begitu lemas nyaris seperti mau pingsan.Meskipun tidak bersekolah tinggi namun setidaknya Mira tahu bagaimana caranya mengatasi anak yang sedang sakit, zaman sekarang tidaklah sulit untuk mencari informasi tentang apa saja karena kecanggihan internet. Ia pernah membaca tentang perut kembung dan cara mengatasinya.Perut kembung ada berbagai macam penyebabnya, bila penyebabnya akibat penyumbatan usus (ileus obstruktif), area perut tersebut tidak boleh dipijat sedikit pun. Bila ingin memijat harus di periksakan dulu ke dokter apa penyebab kembungnya, jika tidak dilakukan pemeriksaan dan ternyata terjadi penyumbatan usus dan dilakukan pemijatan di area perut bayi akan semakin kembung dan usus semakin tidak bergerak akhirnya terjadilah mampet yang berakibat fatal dan harus segera di operasi."Lepaskan....!!" Mira menepis cengkeraman ibu mertua dan kakak iparnya dengan kuat. Seketika cengkeraman it
Lelaki berseragam putih itu membenarkan jasnya yang sudah rapi guna melihat expresi wanita di depannya yang tengah menunggu kalimat yang terlontar dari bibirnya. Ada rasa tak tega, namun wanita di hadapannya berhak tahu tentang kondisi putrinya."Sebenarnya, Celin mengalami penyumbatan usus dan itu harus dilakukan operasi," tutur Dokter Reyhan.Mendengar kata operasi seketika tubuh Mira menegang, ketakutan yang ia rasakan kini dialami oleh putri kandungnya sendiri. Ia tak bisa membayangkan betapa sakitnya Celine saat perutnya harus di sayat- sayat. Andai bisa meminta, dirinya akan meminta rasa sakit itu biar ia saja yang merasakannya."Apa tidak ada jalan lain selain operasi, Dok??" tanya Mira dengan lirih. Hatinya yang rapuh kini terasa hancur lebur saat mendapat kenyataan sang buah hati harus menjalani operasi."Bisa Bu, dengan pengobatan yang rutin dan pola hidup yang sehat bisa membantu memulihkan luka tersebut. Tetapi kapan waktu sembuh itu saya tidak bisa menentukan, karena kese
"Dokter mah selalu begitu, kalau enggak pandai ngomong ya enggak bakalan dapat duit lah mereka, buktinya tuh nyuruh kamu melunasi pembayaran. Memangnya kamu punya duit," balas bu Fatma dengan ketus. Ia sama sekali tak merasa bersalah sedikit pun, di dalam hatinya ia merasa pendapatnya lah yang paling benar.Amira tak membalas karena memang tak punya uang untuk membayar tagihan rumah sakit, uang hasil nuyul pun tak mungkin cukup untuk menebusnya dan ia hanya berharap Irfan akan peka dengan tanggung jawabnya.Amira memilih diam dan membereskan barang-barang Celin, ia tak membawa banyak barang bahkan dirinya hanya membeli satu setel baju ganti saja selama di rumah sakit."Enggak punya duit kan, lagi-lagi mengandalkan putraku! Kamu memang tak akan bisa apa-apa tanpa putraku. Makanya lain kali tuh jangan membangkang kalau di bilangin, nambah-nambahin beban saja kamu itu. Selama menjadi menantuku apa pernah kamu membahagiakan aku sebagai Ibu mertuamu, hah!. Yang ada justru merepotkan putr
Caption Putri meluluh lantahkan perasaan Mira, ia memejamkan kedua mata untuk menetralkan dadanya yang berdegup menahan gejolak kemarahan."Calon adik ipar yang cantik, baik hati dan tidak sombong plus kaya. Semoga lancar sampai hari H." Caption Putri membuat Mira yakin kalau Irfan memang mendua. Setahunya Danu hanya anak tunggal, tak mungkin wanita itu calon istrinya Robi, adik mereka yang masih sekolah SMA.Ketika Amira hendak keluar dari aplikasi whattsap, ia melihat status yang baru masuk. Status itu milik Irfan, tak mau menunggu lama ia langsung saja mengkliknya.Lagi dan dan lagi Mira dibuat terkejut, wanita yang bersama Irfan itu wanita yang berfoto bersama Putri barusan. Dalam foto itu Irfan merangkul wanita tersebut dengan mesra, mereka tertawa bersama dan terlihat sangat bahagia. Caption itu berisi, "Terima kasih sayang karena kamu sudah mau menerimaku apa adanya"."Benar, bang Irfan telah menodai pernikahan kami. Pantas saja sela
"Raka, kamu beneran ngasih ini semuanya buat kami?" tanya Amira setelah ia melihat mas kawin yang diberikan suaminya."Iya, Mir. Semuanya buat kalian, dan masih banyak lagi yang akan aku berikan buat kalian salah salah satunya kasih sayang," balas Raka."Masya Allah, Raka. Aku enggak meminta harta yang berlimpah, aku hanya meminta kasih sayang dan tanggung jawabmu, tetapi kenapa kamu memberiku sebanyak ini. Dari mana kamu dapatkan ini, Rak? Bahkan kamu bisa menyiapkan semuanya sebaik ini. Apa jangan-jangan kamu keluarga Sultan?" tanya Amira dengan kedua mata yang berkaca-kaca.Setelah selesai akad mereka naik ke atas panggung untuk sesi pemotretan dan lainnya."Iya, semua yang mengurus orang-orangku dari Bali. Hartaku di Bali sangat berlimpah dan aku yakin tidak akan habis di makan tujuh belas turunan. Kamu jangan ngomong kayak gitu, kamu dan anak-anak segalanya untukku. Jadi milikku juga jadi milikmu," ucap Raka menghapus air mata Amira yang mulai berjatuhan."Jangan nangis, Mir. Nan
Hari Minggu yang dinanti akhirnya tiba. Di sebuah ruangan dengan cermin besar berhias lampu, Amira duduk tenang, matanya menatap pantulan wajah yang perlahan berubah semakin memukau di tangan MUA terbaik yang telah dipilih oleh anak buah Raka. Jemarinya yang halus menyentuh gaun yang menjuntai indah, seolah merasakan kehangatan hari istimewa yang sudah di depan mata.Sementara itu, di sudut lain ruangan, Celine, putrinya yang ceria, tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Gadis kecil itu duduk dengan riang saat dirinya dipakaikan gaun yang membuatnya tampak seperti seorang putri dari negeri dongeng. Senyumnya mengembang, matanya berbinar, membayangkan momen di mana ia akan berjalan di samping Amira, dan akhirnya, memiliki seorang ayah. Hari ini bukan hanya hari untuk Amira, tapi juga untuk Celine, yang merasa dunia kecilnya kini lengkap dan penuh cinta.Jantung Amira berdegup semakin cepat seiring waktu berlalu. Pernikahan kali ini terasa jauh lebih mendebarkan dibandingkan sebelumnya
Pikiran Raka melayang-layang di dalam kecemasan, keluarganya di Bali, terutama Ajik dan Biyang—ayah dan ibunya, punya pandangan yang sangat tradisional tentang pernikahan. Status Amira sebagai seorang janda membuat segalanya terasa lebih sulit.“Halo, Bli. Saya sudah menyampaikan pesan kepada Ajik dan Biyang,” suara Pak Wayan terdengar dari seberang sana, tenang namun sedikit berat.Raka terdiam sejenak, mencoba meredakan degup jantungnya yang semakin cepat. “Bagaimana keputusan mereka, Pak?” tanyanya, tak mampu menyembunyikan kegugupannya.Di seberang telepon, Pak Wayan terdiam beberapa saat. Keheningan itu semakin membuat Raka gelisah. Ia tahu betul betapa keras kepala keluarganya dalam urusan pernikahan. Seandainya Amira tidak mendapat restu hanya karena statusnya, ia sudah bertekad tidak akan pernah kembali ke Bali—tanah kelahirannya yang selama ini ia jaga dalam hati.“Ajik dan Biyang setuju, Bli,” akhirnya Pak Wayan berbicara, suaranya terdengar lebih ringan. “Mereka sudah meres
Amira menarik napas dalam-dalam. Rasa haru memenuhi dadanya. Setiap kata yang diucapkan Raka menyentuh hatinya, meski keraguan masih bergelayut di pikirannya. Dengan Bismillah, ia akhirnya berkata, "Iya. Aku."Raka tersenyum lebar, matanya berbinar penuh kegembiraan. "Alhamdulillah, terima kasih, Mira. Terima kasih sudah mau menerimaku. Jujur, aku merasa hidupku kembali berwarna sejak bertemu kamu."Amira tersenyum tipis, "Aku juga bersyukur bisa ketemu sama kamu." Mereka saling tersenyum dan menatap satu sama lain, seakan-akan dunia di sekitar mereka menghilang. Hanya ada mereka berdua, tenggelam dalam keheningan yang penuh makna, seolah-olah waktu berhenti dan semua yang mereka butuhkan hanyalah kehadiran satu sama lain."Aku mau kita menikah Minggu depan ya, aku udah enggak sabar ingin menghalalkanmu, Mir," ujar Raka serius."Hah! Kamu beneran? Nikah itu bukan permainan, Rak, kita harus mengurus ini itu dan banyak hal yang harus di urus. Paling tidak dua bulanan lah," balas Amira.
Setengah jam kemudian mereka sudah sampai di parkiran pelataran gedung bioskop. Mereka berempat akhirnya turun dan masuk ke dalam gedung.Suasana lumayan ramai, kebanyakan pengunjung para muda-mudi dan para keluarga kecil yang ingin mencari hiburan di tempat ini.Raka segera membeli tiket. Setelah itu, tak lupa ia juga membeli cemilan untuk teman mereka nonton sebentar lagi. Kini dua popcorn berukuran jumbo dan empat minuman sudah berada di tangan mereka.Mereka bergegas masuk ke dalam studio yang sebentar lagi akan menayangkan film yang diinginkan Celine dan Kenzo. Mereka langsung mencari tempat duduk yang tadi sudah di pesan, tempat duduk di bagian tengah. Lokasi ternyaman di ruangan ini.Mereka berempat duduk di kursi tersebut. Celine dan Kenzo di tengah, Celine di sebelah kiri Raka sedangkan Kenzo di sebelah kanan sang bunda. "Aku udah enggak sabar, Om, nonton filmnya," ujar Celine."Iya, ini sebentar lagi mau di putar. Sabar ya," balas Raka sembari mengusap pucuk kepala Celine d
Raka serta Amira dan Kenzo menjemput Celine ke sekolah. Mereka berencana untuk jalan-jalan dan makan bersama. Raka mengendarai mobil Amira menuju sekolahan Celine. Raka memutar kemudi perlahan, lalu menepikan mobil di bawah bayangan pohon besar yang menaungi gerbang sekolah. Cuaca siang itu terasa hangat, namun teduh karena dahan pohon yang melindungi dari teriknya matahari. Amira menghela napas ringan saat melihat anak-anak mulai berlari ke arah gerbang, beberapa diantaranya tersenyum lebar menyambut orang tua mereka. “Kita sudah sampai,” ujar Raka seraya mematikan mesin mobil. Ia memandang sekilas ke arah Amira yang tampak sibuk menatap keluar jendela. "Ya, akhirnya. Semoga Celine segera keluar," jawab Amira sambil membuka pintu mobil. Suaranya terdengar lembut, namun ada sedikit nada kelelahan. Sedangkan Kenzo anteng duduk di kursi barisan kedua sambil makan permen lolipop. Begitu Amira menginjakkan kaki di trotoar, angin segar menyapu wajahnya. Ia memicingkan mata, mencoba me
Jantung Amira berdebar tak terkendali. Tiap kali Raka berada di dekatnya, perasaannya selalu bercampur aduk—antara gugup, bahagia, dan sesuatu yang lebih sulit ia ungkapkan. Tatapan Raka begitu tulus, namun Amira berusaha mengabaikan getaran-getaran yang mengguncang hatinya. Ia takut jika terlalu larut, ia akan membuka dirinya pada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang tak siap ia hadapi.Mereka masih berdiri di bawah rembulan yang bersinar menambahkan suasana hangat yang tak membantu menenangkan perasaan Amira. Raka masih menatap ke arahnya seolah berusaha sabar menanti jawaban yang keluar dari bibirnya. Amira berusaha keras tetap tenang, tapi ia tahu wajahnya mungkin sedikit memerah.Raka menarik napas dalam, kemudian berkata pelan, “Mira... Aku nggak tahu gimana caranya bilang ini. Tapi tiap kali aku sama kamu, aku merasa... ada sesuatu yang berbeda. Rasanya seperti... aku menemukan sesuatu yang hilang.”Amira menunduk, hatinya berdebar semakin cepat.
Malam itu begitu cerah. Bulan purnama menggantung di langit, cahayanya memantul di dedaunan, menciptakan bayangan lembut di sekitar markas. Di depan bangunan sederhana itu, pemanggangan sudah siap. Aroma daging yang terbakar perlahan memenuhi udara, membuat suasana semakin akrab. Raka, Amira, Celine, dan Kenzo berkumpul bersama anak-anak jalan, tertawa dan bercanda sambil menyiapkan bahan-bahan untuk acara bakar-bakaran.Kenzo, yang baru pertama kali bertemu mereka, mudah berbaur. Celine, yang awalnya tampak canggung, kini ikut tertawa bersama anak-anak lainnya. Kehangatan mereka terasa menyelimuti malam, membuat Celine dan Kenzo merasa seolah sudah lama menjadi bagian dari kelompok itu.Setelah makan bersama, suasana mulai tenang. Anak-anak mulai duduk bersandar, kekenyangan. Raka, yang sejak awal tampak lebih tenang dan memikirkan sesuatu, akhirnya mengajak Amira berbicara di belakang markas, di bawah bintang yang berkilauan.Amira mengikuti Raka dengan langkah pelan. Mereka berdiri
Rista dan Dimas mengendarai mobil mereka dengan perlahan, menikmati udara malam yang sejuk. Suasana jalanan cukup lengang, hanya beberapa kendaraan berlalu lalang di sekitar mereka. Mereka berniat mencari angin segar, berkeliling tanpa tujuan pasti. Namun, saat mobil melintasi sebuah trotoar di pinggir jalan, pandangan Rista tiba-tiba terpaku pada sekelompok orang yang sedang bercengkerama di sana.“Amira?” gumam Rista, menyipitkan matanya untuk memastikan. Sosok itu berdiri bersama beberapa orang yang juga tak asing baginya, termasuk Celine dan Kenzo. Namun, ada seorang pria lain di antara mereka yang tidak dikenalnya."Mas, berhenti sebentar. Itu Amira," kata Rista cepat-cepat kepada Dimas.Dimas segera memarkirkan mobil di tepi jalan, tak jauh dari Amira dan rombongannya. Rista turun dan memanggil, “Mira?”Amira menoleh, ekspresi wajahnya terkejut namun segera berubah ramah. “Mbak Rista? Wah, enggak nyangka kita ketemu di sini!”Rista tersenyum tipis, lalu menghampiri mereka dengan