Gara-gara temanku mengirimkan Video Dewasa, pembantuku yang menjadi pel4mpiasan. Padahal minggu depan aku akan menikah.
"Halo, Bro." "Iya, kenapa?" "Lagi di mana? di rumah?" "Iya, gue di rumah. Payah banget nyokap gue, masa gue bener-bener dipingit." Terdengar suara Heru tertawa. "Gak papa, Vid, nurut aja apa kata nyokap lu. Di rumah juga pasti rame orang'kan, lo gak bakalan kesepian." "Tahu nih, lagi pada keluar. Rumah sepi. Si Mbak doang adanya. Kenapa, tumben lu nelpon? Sabtu nanti lu jangan lupa jadi bridesman gue." "Iya, siap. Makanya ini, gue ada kirimin video ke HP lu, coba buka dan lu pelajari ha ha ha... lu kan mau jadi manten. Oke!" Baru mau menyanggah, panggilan dari Heru sudah terputus. Aku langsung menekan pesan video yang dikirim oleh Heru lima menit yang lalu. Video apa, sih? Aku mendelik saat gambar pertama adalah wanita berpakaian begitu terbuka sedang berada di dapur. Lalu... dan seterusnya... jakunku naik turun melihat adegan demi adegan. Keringat sebesar biji ketumbar bermunculan di kening dan juga punggung. Bajuku basah, padahal AC di kamar menyala. Detak jantungku juga sangat cepat. Aku benar-benar gelisah dan menyesal karena sudah melihat yang seharusnya jangan aku lihat. Tok! Tok! "Mas David, saya Sri. Mau anterin makan." Aku terlonjak kaget. "Masuk." Fokusku masih pada ponsel. Suara pintu memang terdengar terbuka, tetapi aku sama sekali tidak menoleh ke arah Sri. "Mas David, makannya saya taruh meja, jusnya juga. Apa ada yang lain?" aku bisa gila jika semua yang menyesakkan ini tidak dituntaskan. Sri berdiri di depanku sambil memegang nampan. Seperti biasa, ia selalu menggunakan baju kebesaran dan selalu berpakaian sopan di rumahku. Usianya lebih tua dua tahun dariku. Sejenak aku menekan tombol jeda pada video. "Mbak Sri bisa bantu bereskan lemari saya? Pakaian saya tolong disusun agar nanti pakaian istri saya bisa muat di lemari." "Oh, baik, Mas." Sri menaruh nampannya di atas meja kerjaku. Lalu ia mulai mengerjakan apa yang aku perintahkan. Aku kembali menekan tombol play dan aku lupa jika suara dari video itu tidak aku silent. Sri seperti ingin menoleh ke arahku, tapi ia ragu. Sri bukan gadis lagi. Dia sudah punya suami, apa... aku berjalan ke arah pintu kamar, lalu menguncinya. Sri menoleh ke arahku dengan tatapan bingung. "Mas, k-kenapa p-pintunya dikunci?" *** "Mbak Sri, i-ini sudah terjadi. Maafkan saya ya. Oh, iya, ini ada sedikit untuk Mbak Sri kirim ke kampung." Aku mengambil sembarangan uang dari dalam tasku. Mungkin ada sekitar tiga ju-ta di sana. Aku tidak ingat persis. Uangnya aku ambil semua dan aku berikan pada ART mamaku itu. Mbak Sri masih diam sambil merapikan bajunya. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi dan melakukan apa karena menjadi salah tingkah sendiri akibat kelakuanku. Kedua kaki pun ikut gemetar. Ini pengalaman pertamaku sebagai pria. Ia bergerak turun dari ranjangku. Tidak lupa nampan yang tadi di atas meja kerjaku. Uang yang aku sodorkan padanya, sama sekali tidak ia lirik. Mbak Sri keluar begitu saja dari kamarku dengan jalan sedikit kepayahan. Apa yang terjadi dengan Mbak Sri? Kenapa jalannya susah? Perasaan yang di video tadi gak papa perempuannya. Apa yang sudah aku lakukan? Aku sampai menepuk pipi ini cukup keras untuk memastikan aku tidak sedang bermimpi. Sakit sekali, ternyata aku tidak mimpi. Keperjaka4n yang aku pertahankan dan ingin aku berikan pada istriku kelak, kini harus rela aku berikan pada ART yang sudah bersuami pula dan itu semua karena hasutan s3tan. *** Hari pernikahan yang dinantikan pun semakin dekat. Sesekali aku mencuri pandang jika Mbak Sri mondar-mandir disuruh ini dan itu oleh mamaku. Wanita itu biasa saja. Sepertinya sama sekali tidak mengingat apa yang sudah kami lakukan waktu itu. Lebih tepatnya aku yang memaksa. Sri sempat marah, tetapi karena aku paksa dan aku ancam, Sri akhirnya menurut. "Ke mana, Sri?" "Lagi masuk angin kayaknya. Dari pagi muntah-muntah." "Kecapean kayaknya yang semalam habis acara pengajian. Tapi udah Mama suruh minum obat." "Ya udah, Ma, gak usah diganggu dulu. Sri orang yang paling capek di rumah ini karena dia sendiri yang kerjakan." Aku mendengar percakapan antara mama, papa, dan juga tante Erin; adik dari mama yang sejak semalam menginap di rumahku. Pantas saja hari ini aku tidak melihat mbak Sri, rupanya lagi sakit. Calon Istri Sayang, aku gak bisa tidur nih. Kamu lagi apa? Aku membaca pesan dari Mayang; wanita yang besok akan menjadi istriku. Seorang wanita cerdas yang berprofesi sebagai dokter anak. Sama, Yank, aku juga gak bisa tidur. Rasanya pengen langsung besok pagi aja he he he... tapi kamu jangan capek-capek ya, usahakan tidur aja walau harus dipaksa. Aku terus berkirim pesan pada Mayang hingga akhirnya aku tertidur. Pagi hari, semua sibuk dengan acara pernikahan. Tim MUA yang merias ku sudah datang sejak jam empat subuh. Jam tujuh pagi, semua sudah rapi dan langsung berangkat. Pengantinku cantik sekali. Mayang menggunakan kebaya putih dengan siger khas Sunda yang dipakai sangat pas di kepalanya. Ekor baju kebaya itu nampak manis dan indah terlihat di mata saat Mayang berjalan mendekat ke arahku. Ijab qabul baru saja aku lafadzkan, setelah itu barulah Mayang menghampiriku dengan didampingi oleh dua bridesmaid yang aku tahu, keduanya adalah teman dokternya Mayang. Aku senang sekali karena berhasil mempersunting Mayang setelah sejak SMA kami berpacaran. "Kamu cantik sekali, Sayang." "Makasih, Sayang." Aku mengecup punggung tangan istriku. Kami menerima ucapan selamat dan doa dari tamu silih berganti. Acara akad dilaksanakan di Masjid At-tin Taman Mini. Dilanjut dengan acara resepsi yang berada masih di kawasan Taman Mini Indonesia Indah. Kami pun akan langsung pergi berbulan madu ke Bali di malam hari setelah urusan pernikahan selesai. Mayang mendapatkan sponsor pernikahan dari salah satu petinggi rumah sakit tempat Mayang bertugas. "Kalau capek, kita cancel tiket aja. Biar besok perginya," kataku saat melihat Mayang kelelahan. Istriku itu, masih menerima konsultasi pasien, padahal sudah cuti dari rumah sakit. "Jangan, Sayang, biar capeknya sekalian tuntas, Yank. Kita langsung aja." Aku mengangguk. Kami makan di ruang ganti karena pakaian harus segera dibawa lagi oleh tim salon menyewakan pakaian pernikahan kami. "Lagian kalau cape, sekarang udah ada suami yang mijitin aku," kata Mayang sambil mengusap pipiku dengan lembut. "Siap, Sayang. Jangankan mijit, yang lain juga aku siap." Kami berdua tertawa cekikikan. "Jadi kalian langsung ke bandara?" tanya mama mertua yang tiba-tiba menghampiri kami. "Iya, Ma, biar sekalian capeknya," jawab Mayang. "Syukurlah kalau begitu. Besok baru istirahat ya, David. Itu juga kalau bisa," sahut papa mertua yang ikutan nimbrung. "Pa, nanti minta tolong Robi anter Mbak Sri ke dokter aja. Makin parah katanya sakitnya." Aku langsung merasa tidak enak hati mendengar Mbak Sri sakit. "Sakit apa pembantunya, Mbak?" tanya mama mertua pada mamaku. "Muntah-muntah." "Hamil kali. Sri ada suaminya'kan?" Perutku langsung terasa mulas. Syukurlah kalau mbak Sri hamil, berarti anak suaminya. "Hamil gimana, wong suaminya udah lama meninggal. Sri itu janda, Mbak Nin. Malah denger-denger, suaminya meninggal persis setelah ijab qabul. Jadi Sri itu masing ting ting!" "Apa, mbak Sri janda ting-ting? Aku merasa pandanganku menggelap. Bersambung"Sayang, bangun." Suara lembut Mayang membuatku membuka mata. Pandangan ini masih samar, tapi aku masih dapat melihat sosok Mayang yang sekarang duduk di dekatku sambil menggenggam tangan ini. "Akhirnya kamu sadar juga, Sayang. Tensi kamu rendah sekali. Pantas saja pingsan." "Bisa-bisa pengantin lelaki pingsan. Dasar manja! Mentang-mentang punya istri dokter," ledek mamaku. Aku pun memaksakan senyum. "Belom malam pertama udah KO!" "Kudu minum suplemen ini, mah!" "Jangan, nanti malah sakit yang lain. Serahkan sama istrinya saja." Semua keluarga yang ada di dalam ruangan meledekku. Entah apa saja celotehan mereka, aku hanya bisa tersenyum tipis saja. Mereka tidak tahu bahwa saat ini aku sedang tidak baik-baik saja. "Maaf ya, Sayang, karena aku, kita cancel penerbangan." Aku menyentuh tangan Mayang yang sangat cantik dengan hiasan hena berwarna putih. Wanita itu mengangguk sambil tersenyum. "Kamu pulih dulu, baru kita honeymoon. Meski jatah honeymoon gak bisa lama, Yank. Aku
"Emang ada apa? Siapa yang hamil?" mama juga tiba-tiba muncul dari belakang Mayang. Aku semakin panik saja, tetapi aku berusaha tenang sambil memikirkan alasan siapa yang hamil. "Kurir paket langganan mas David, istrinya hamil dan katanya ngidam foto sama mas David, jadinya saya sampaikan pesan itu, Bu, Mbak." Aku akhirnya bisa menghela napas setelah sekian detik menahan napas. Sri langsung menjawab dengan tema yang masuk akal. "Oh, yang namanya Budi itu ya?""Bukan, Bu, namanya Mamat. Mari saya permisi." Aku tersenyum pada mama dan istriku. Kurir langganan ku adalah Budi, kalau Mamat, aku beneran gak tahu siapa. "Ma, saya masuk dulu ya. Pengantin baru ini belum pernah masuk soalnya." Guyonanku membuat mama tertawa, sedangkan Mayang ikut tersipu malu. Aku pun menggandeng Mayang masuk ke kamar. Acara belah durian berjalan cukup alot karena Mayang sempat kesakitan. Namun, aku membujuk dan akhirnya bisa, meski bulir air mata itu keluar juga dari sudut matanya. Keadaan yang sama deng
"Oh, itu orang tua Sri. Dia nitip transfer karena ibunya sakit. Sri gak bisa ke ATM.""Oh... " wajah Mayang nampak ragu. "Emang sering gini, titip transfer. Kenapa, Sayang? Mukanya kok gitu?""Kamu deket sama Sri?""Ngga, biasanya aja, kenapa?" aku tahu Mayang merasa sedikit cemburu, tetapi memang kebohongan ini terpaksa aku buat demi menjaga keutuhan rumah tangga yang baru saja aku bina. "Aneh aja kalau pembantu titip transfer. Pembantuku soalnya gak ada yang gitu, Mas." Aku mengusap rambutnya penuh sayang. "Kenapa jadi bicarakan Sri? Mending kita tidur. Besok kita pulang ke rumah mama Nindi ya. Karena lusanya aku mau kerja. Besok sudah rabu kan? ""Iya, Mas, aku kamis ke Gorontalo dua minggu. Kamu di rumah mamaku aja." Aku mengangguk setuju. Kami pun tidur dalam keadaan berpelukan. Aku terbangun jam tiga pagi karena haus. Air yang dibawa semalam sudah habis. Dengan langkah malas, aku turun ke dapur. Tepat di saat Sri juga baru muncul di dapur. "Aduh, kaget!" Pekik kami bersamaa
"Mas, kamu kenapa? Sejak tadi banyak bengong," tanya Mayang. Sudah jam sebelas malam dan mataku tidak mengantuk sama sekali. Pikiranku benar-benar kalut, khawatir Sri hamil. Jika beneran hamil, maka bisa dipastikan itu adalah anakku. Aku memerawani Sri dan aku merusak masa depannya. Lalu---"Mas, hey! Kamu kenapa sih?" Mayang mengipaskan tangannya di depan wajahku. "Oh, itu, Sayang, ada meeting regional dan aku ada tugas. Belum sempat aku kerjakan. Jadi lagi mikirin gimana dan mana dulu yang ----""Beneran karena itu?" Mayang berbaring menyamping, menatap ke arahku. Aku mengangguk sambil tersenyum. "Maaf kalau udah bikin kamu khawatir dan gak bisa tidur. Ayo, tidur! Ak---" suara ini tertahan saat Mayang menyentuh pelan bibirku. "Sayang, jangan malam ini ya, pikiran aku benar-benar bercabang." Mayang tersenyum mafhum. Istriku menciyum bibir ini sekilas, lalu berbalik badan sambil memeluk guling. Aku menghela napas, merapalkan ucapan maaf yang hanya bisa ada di dalam hati. Aku bisa g
"Sayang, aku bisa jelaskan. Ini gak seperti apa yang kamu pikirkan. Aku dan Sri gak ada apa-apa. Kenapa kamu malah bilang aku terlalu berlebihan pada Sri?" aku berusaha menggenggam tangan istriku, tapi ia menepisnya dengan kasar. "Sayang, jangan begini. Aku minta maaf kalau udah buat kamu cemburu. Tadi itu aku---""HP kamu gak aktif, Mas. Kamu gak ada kabar sejak jam lima lewat tiga puluh menit. Sampai aku tiba di rumah dan mamaku nanyain kamu. Aku capek banget hari ini pasien full dan aku malah harus lihat kamu berada di rumah mama kamu dan begitu khawatir pada Sri. Istri mana yang gak cemburu! Jujur aku kesal dan kecewa sama kamu!" Mayang memuqul lenganku berkali-kali. Ya, kami pulang dengan mobil Mayang karena gak mungkin aku biarkan. Mayang menyetir sendiri. Motor aku tinggal di rumah mama agar aku bisa mengendarai mobil Mayang. "Puqul aku yang kenceng, Sayang. Aku ikhlas, kamu mau aku lakukan apa, biar kamu percaya? Aku beneran gak ada hubungan dengan Sri. Sri itu sakit lambun
Dewasa (21+) "Mayang, ada apa , Nak, kamu kenapa Sayang?" papa mertuaku menengahi. Papa Deni menoleh ke arahku, lalu menggerakkan kepalanya mengangguk. Aku masih diam karena jika aku sanggah, Mayang akan semakin marah. "Duduk!" Titah papa Deni membuat Mayang duduk. Namun, napas istriku masih naik turun, menandakan ia masih sangat emosi, ditambah air matanya berlinang sangat deras. Baru begini saja, Mayang sudah sangat marah, apalagi kalau sampai Mayang tahu, bahwa aku sudah tidur dengan Sri. "Papa tahu kamu lagi pusing dengan persiapan ke Gorontalo, tapi bukan begini juga dengan suami. Sri itu pembantu mertua kamu, jika kamu mau Sri dipecat, maka kamu yang bicara dengan mertua kamu, bukan marah dan minta David memecat Sri. Jangan egois, Nak. Kamu sudah menikah dan ada suami yang harus kamu hormati. Udah, bertengkar di meja makan bukan hal baik, kita lanjutkan makan.""Mayang ke rumah sakit saja, Pa. Sarapan di sana saja." Mayang berdiri dengan wajah marahnya. "Biar aku antar," se
Hampir saja aku menabrak mobil di depanku. Perkataan ibu dari Sri, benar-benar membuatku takut. Tidak mungkin aku menikahi Sri. Aku sudah punya Mayang dan aku mencintai istriku. Sri hanya bagian dari kesalahan yang tidak akan pernah mau aku ulangi lagi. Sri bilang apa dengan ibunya? Kenapa jadi rumit begini? Begitu tiba di rumah mertuaku, aku langsung masuk ke kamar. Untung semua penghuni rumah sudah pada tidur. Aku langsung berganti pakaian dan bersiap untuk tidur, meskipun aku tidak tahu, apakah aku benar-benar bisa tidur atau tidak. Sri, tadi ibu kamu telepon saya. Kamu bilang apa? Kenapa saya harus menikahi kamu? SendAku tahu Sri pasti sudah tidur, tetapi baru besar ini masih terus mengganjal jika aku tidak bertanya langsung. Aku benar-benar tidak mau, baik keluargaku atau keluarga Mayang tahu, tentang malam yang aku lalui bersama Sri. SriJangan pedulikan, Mas. Nanti saya yang bujuk. Mas David tenang saja. Hidupmu bahagia bersama istri tersayang, sedangkan saya harus menola
POV Sri"Halo, kamu lagi apa, Sri?""Halo, Mas Farhan, saya lagi beberes dapur. Orang rumah baru aja pergi ngurusin persiapan pernikahan anak majikan.""Oh, yang mau nikah sama dokter itu?""Iya, Mas. Makanya begitu rumah sepi, saya mau beberes. Adanya mas David doang di rumah. Masih dipingit.""He he he... orang kota masih jaman dipingit ya. Ya udah kalau gitu, kamu pasti lagi repot. Nanti saya telepon lagi deh.""Ada apa, Mas? Cerita aja sekarang.""Gak papa. Nanti saja.""Tentang Sukma ya?""Mmm.... " aku sudah bisa menebak kenapaas Farhan menelepon, pasti karena permintaan orang tua mas Farhan yang menginginkan putranya yang aparat negara ini berjodoh dengan pera-wan ting ting, bukan janda sepertiku. Apalagi aku hanya tamatan SMP. "Iya, soal itu---""Gak papa, Mas, saya udah bilang sejak kemarin. Hubungan ini terlalu dipaksakan. Kita ini temboknya tinggi sekali. Turuti saja kehendak orang tua Mas, pasti barokah. Udah dulu ya, Mas, saya mau lanjut beresin dapur. Assalamu'alaikum."
"Hati-hati ya.""Iya, Mas, makasih udah anter saya." Sri menciyum punggung tanganku. Aku menghela napas kasar saat harus melepaskan Sri kuliah offline hari ini. Padahal aku gak papa kalau Sri tidak sarjana. Aku tetap menghargainya dan sayang sebagai ibu anak-anakku, tapi Sri tetap ingin kuliah. Ia bahkan sangat semangat. Bagaimana nanti kalau di kampus ada mahasiswa yang naksir Sri? Atau gimana kalau ada dosen yang naksir dia? Bisa saja kan? Ditambah aku belum bisa memberikan nafkah batin untuk istriku, makin takut saja jadinya.Aku memutuskan tidak langsung berangkat ke sekolah milikku, tetapi aku masuk ke area parkir kampus. Ya, aku ingin tahu kelas Sri dan teman-temannya. Ruangan kelasnya ada di lantai dua. Aku pun bergegas ke sana. Namun, langkahku terhenti saat melihat Sri sedang bercakap-cakap dengan lelaki muda berkaca mata. Terlihat tampan dan gagah. Mau apa lelaki itu? Aku mengendap-endap mendekat ke arah keduanya. Sri tersenyum, lelaki itu terpesona. Apa ia tidak tahu Sri i
PoV David"Halo, Her, lu masih nyimpen vide0 yang waktu itu?""Gak tahu deh, kayaknya udah aku hapus. HP juga udah gue ganti, kenapa emang?""Ck, gue perlu nih! Belum ada tanda-tanda gue sembuh.""Ya ampun, kasihan sekali kita.""Ya, elu masih bangun, gue? Lelap banget. Aduh, gue gak enak banget sama istri. Kirimin lagi deh! Cari di gdrive!""Oke, Oke, nanti gue cari.""Jangan nanti, gue perlunya sekarang." "Ih, bawel! Iya, gue cari!"Sambungan itu langsung diputuskan oleh Heru. Sri masih ada di dalam kamar mandi, sedang bersih-bersih sebelum tidur. Untung saja anak-anak sudah mau tidur di kamar berdua, sehingga aku dan Sri tidak harus satu kamar dengan anak-anak. Hanya saja, bila malam tiba, aku bingung mau bicara apa lagi dengan Sri. Mau melakukan apa karena kami sama-sama terbatas. Sri terbatas dengan trauma, lalu aku terkendala sakit dari bagian paling penting dalam hidupku sebagai seorang lelaki. "Mas." Aku menoleh dengan terkejut. Sri rupanya sudah selesai mengganti pakaiannya
"Mas, ada apa? Lagi melamun apa?" tanya sang Istri sambil menggerakkan telapak tangannya di depan wajah David. Pria itu tersentak. Di dalam bayangannya, Sri memakai baju terbuka dan sedang duduk di pangkuannya. Mereka berciyuman dengan sangat bergairah, tapi ternyata.... "Mas, kenapa?" tanya Sri lagi. "Ah, gak papa, Sri. K-kamu sudah selesai di kamar mandi?" Sri mengangguk. Wanita itu langsung naik ke ranjang yang masih dipenuhi kelopak bunga. "Mau langsung tidur?" tanya David lagi. Sri mengangguk, lalu detik kemudian ia menguap lebar. "Sini, Mas! Kita tidur!" Sri menepuk sisi sampingnya. Meminta David untuk berbaring juga. Akhirnya David ikut saja. Jika di dalam hayalannya ia begitu berani menyentuh Sri, sebaliknya Sri pun juga senang dengan sentuhannya, maka di saat nyata seperti ini, nyalinya tidak sebesar gairahnya. Apalagi Sri memakai pakaian lengkap. Pasangan piyama dengan celana panjang. "Kamu beneran udah ngantuk?" tanya David lagi. "Belum terlalu, Mas, cuma capek aja."
"Kalau suaranya merdu, berarti enak, Mbak. Kalau suaranya serak, berarti enak banget ha ha ha huk! huk! huk!""Kualat sama anak itu namanya! Malah gibah di depan kamar pengantin anak sendiri!" Deni menarik tangan Eva udah segera beranjak dari depan kamar anaknya. "Ayo, pulang! Dasar emak-emak! Kayak gak pernah muda aja! Untung gak dilihat karyawan hotel!" Asih tersenyum melihat besannya yang berjalan masuk ke dalam lift. Ponselnya berdering karena Robi yang menelepon. "Halo, Robi.""Halo, Bu, kembar udah nunggu di mobil sama Robi, Ela, sama bibik. Ibu ikut pulang gak?""Eh, iya, Ibu ikut, Robi. Tungguin ya!""Iya, Robi jemput di lobi ya, Bu. Ibu tunggu di depan aja!" "Iya, makasih ya." Asih segera berjalan cepat untuk masuk ke dalam lift yang kebetulan terbuka. Ia tidak mau sampai ditinggal pulang oleh Robi dan kedua cucunya. Apalagi ia diamanahi Sri untuk mengurus si Kembar kurang lebih tiga hari. "Asih." Wanita itu mengangkat kepalanya saat menyadari siapa yang baru saja masuk k
"Ma, bagaimana? Ampun, deh, ini nanti kitab terlambat, Ma! Emang belum selesai juga?" David terus mengomel karena Sri belum juga siap, sedangkan mereka harus segera berangkat ke tempat acara akad nikah yang disambung dengan acara resepsi. "Sudah, Nak David. Sri sudah selesai. Katanya Nak David duluan, nanti Sri menyusul dengan mobil yang satunya. Malu katanya," jawab Asih sambil tersenyum. "Malu gimana? Orang udah tahu aslinya!" Lelaki itu mendengus. Gara-gara pesan yang tidak pernah dibaca dan dibalas oleh Sri sejak semalam, David benar-benar kesal dan gemas. "Sudah, nanti kalau kamu ngambek, Sri malah kabur." Eva meledek. David akhirnya memutuskan masuk ke dalam mobil sang Mama yang sudah disulap menjadi mobil pengantin. Ia mengira bisa naik mobil bersama Sri menuju tempat akad, tapi ternyata ia harus berdua mamanya duduk di kursi penumpang. Lalu Sri, naik di mobil yang dikendarai oleh Robi. Mereka pun tiba bersamaan. Lagi-lagi Sri tidak mau melihat calon suaminya, sedangkan lel
"Ibu kenapa?" tanya Sri yang memperhatikan ibunya sejak tadi diam saja. Sepulang dari fitting baju, ibunya tidak banyak bicara dan tetap di dalam kamar saja. "Ibu, Ibu kenapa?" tanya Sri lagi sambil menyentuh pundak ibunya. "Eh, gak papa, Sri. Ibu cuma terharu aja, anak Ibu akhirnya menikah juga." Sri memeluk ibunya. "Semua berkat doa Ibu.""Ya sudah, Sri temani anak-anak main dulu." Asih tersenyum sambil mengangguk. Sri pun keluar dari kamarnya.Setelah melewati aneka rangkaian perawatan pra nikah, Sri akhirnya memiliki waktu untuk bermain bersama si Kembar. Ia memperhatikan wajah dan gerak-gerik buah hatinya yang sejak kejadian kelam lima bulan lalu, kini sudah pulih dan semakin membaik. Anak-anak terlihat lebih berisi dan juga sehat. Aktif dan juga baik hati untuk itu oma dan opa si Kembar sangat senang bermain bersama cucu mereka. Ponselnya berdering. Papanya kembar. Itulah nama kontak yang muncul di layar ponselnya. Sri mengambil benda pipih yang tergeletak begitu saja di ata
"Apa kata dokter?" tanya Eva pada putranya. David mengulum senyum sambil melirik Sri yang keluar dari ruang periksa dengan santai. "Disuruh praktek langsung, Ma," jawab David. Eva dan Asih tertawa. "Mana masih tiga belas hari lagi. Masih lama dong ya.""Gak papa, Ma, masih ada waktu buat latihan." David kembali mencolek lengan Sri. Wanita itu mengangkat bahunya karena tak paham. Sepulang dari rumah sakit, mereka langsung pulang ke rumah. Sri tidak diizinkan keluar rumah lagi sampai waktu pernikahan tiba. Mungkin terdengar lucu, ada janda yang dipingit, tapi begitulah Eva dan David inginkan pada Sri. Kelakuan Sri yang sering kabur-kaburan membuat ibu dan anak itu khawatir. Sri tetap disibukkan dengan kuliah yang terpaksa ia lakukan secara online. Untung saja ia mengambil kelas ekstensi sehingga waktu kuliah sabtu dan minggu saja. Semua tugas bisa ia kerjakan dari rumah, tentu saja dibantu oleh David yang kapan saja bersedia menolong calon istri. "Jadi cukup tiga ratus undangan saj
"Ma, aku dilamar." Eva mengernyit. "Siapa?" tanyanya balik. "Aku, Ma.""Yang benar saja, mana ada lelaki dilamar. Yang ada, lelaki melamar. Kamu pulang-pulang dari Yogyakarta kenapa malah anget gini luar dalam." Eva menaruh punggung tangannya di kening sang Putra. David tertawa dan langsung memeluk mamanya. "Kenapa sih, pulang-pulang senang banget? Aneh!" Eva melepas pelukan anaknya. David menggenggam tangan Eva sambil menciyumnya. "Dari sore jam tiga, David udah sampai, Ma. David jenguk anak-anak dan ibunya. Alhamdulillah semuanya sehat. Apalagi ibunya, lebih sehat lagi. Soalnya tambah cantik dan tambah bener ha ha ha.... ""Maksudnya?" Eva belum mengerti arah pembicaraan David. Wanita itu membetulkan posisi duduknya agar bisa mendengarkan David bercerita. "Mbak Sri udah mau jadi istri David, Ma," kata pria itu dengan semringah. Bukannya gembira, Eva malah menertawakan kekonyolan putranya. "Kamu pikir, Mama percaya? Sri itu udah gak mau sama kamu. Udah, jangan maksa! Mama udah
"Jadi lu cerai dari Mira?" tanya David pada Heru yang saat ini berkunjung ke sekolah tempat David bekerja. Ya, bekerja sekaligus ownernya. "Iya, Vid, mama minta cucu dan Mira kandungannya lemah. Mama suruh gue poligami. Gue mau aja sih, tapi Mira gak mau dan dia milih nyerah." Heru menyandarkan kepalanya di sofa. David yang melihat teman baiknya begitu cemas, ikut duduk di samping pria itu."Kita ini udah sama-sama dewasa, tapi untuk urusan percintaan, kenapa kita gak pernah menang? Tidak ada perempuan yang kuat berlama-lama menjalin hubungan dengan kita." David menepuk pundak Heru. "Apa berawal dari video itu?" tanya Heru menebak. Sontak David tertawa. "Video durasi empat detik, merubah semua rencana hidup yang udah gue susun. Semuanya, tapi gue tetap happy karena gue punya anak. Tunggu, emangnya lu gak ada anak sama Lalisa? Wanita malam itu bukannya udah sempat lu nikahin?" Heru menggeleng kepala. "Gue gak tahu itu anak gue apa bukan. Lalisa udah nikah lagi dengan sodara Mira. T