"Sayang, bangun." Suara lembut Mayang membuatku membuka mata. Pandangan ini masih samar, tapi aku masih dapat melihat sosok Mayang yang sekarang duduk di dekatku sambil menggenggam tangan ini.
"Akhirnya kamu sadar juga, Sayang. Tensi kamu rendah sekali. Pantas saja pingsan." "Bisa-bisa pengantin lelaki pingsan. Dasar manja! Mentang-mentang punya istri dokter," ledek mamaku. Aku pun memaksakan senyum. "Belom malam pertama udah KO!" "Kudu minum suplemen ini, mah!" "Jangan, nanti malah sakit yang lain. Serahkan sama istrinya saja." Semua keluarga yang ada di dalam ruangan meledekku. Entah apa saja celotehan mereka, aku hanya bisa tersenyum tipis saja. Mereka tidak tahu bahwa saat ini aku sedang tidak baik-baik saja. "Maaf ya, Sayang, karena aku, kita cancel penerbangan." Aku menyentuh tangan Mayang yang sangat cantik dengan hiasan hena berwarna putih. Wanita itu mengangguk sambil tersenyum. "Kamu pulih dulu, baru kita honeymoon. Meski jatah honeymoon gak bisa lama, Yank. Aku ada pelatihan ke Gorontalo dia minggu." Semakin tidak enak hati ini pada Mayang, tetapi mau bagaimana lagi. Tubuhku benar-benar lemas. Selama dalam masa perawatan, aku sama sekali tidak mendengar keluargaku berbicara tentang Mbak Sri. Robi yang semalam menjengukku pun biasa saja. Semoga Mbak Sri bukan hamil dan semoga dia sehat kembali. Hari ini aku sudah diperbolehkan pulang ke rumah, setelah dua hari dirawat. Rasanya lega sekali karena di rumah sakit meski di kamar VIP, tetap saja tidurku tak nyenyak. Lebih nyaman kasur sendiri. "Sayang, ayo." Mayang menghampiriku bersama perawat lelaki yang mendorong kursi roda. "Aku bisa jalan, Sayang. Masa pake kursi roda? Aku belum jompo, Sayang." Mayang tertawa. Lalu memberikan kode pada perawat untuk membawa keluar kembali kursi roda itu. "Pulang ke rumah mama ya," kataku saat kami sudah berada di dalam lift. "Loh, bukannya ke rumah mamaku, Mas?" "Aku tiba-tiba pengen tidur di kasurku he he he... semalam doang, setelah itu baru ke rumah mama Nindi." Mama Nindi adalah nama ibu mertuaku yang berprofesi sebagai dosen senior di Universitas Negeri terkemuka di Jakarta. "Ya sudah, oke." Mayang mengalah. Aku meminta maaf dalam hati atas alasan yang aku utarakan. Bukan karena aku ingin tidur di kasurku, tetapi aku harus memastikan keadaan Mbak Sri. Paling tidak, aku harus tahu bahwa ia tidak hamil. Bisa kacau kalau pembantuku itu sampai hamil. Duh, kenapa aku baru tahu kalau dia janda ditinggal meninggal? Sungguh aku benar-benar bajing4n! Begitu sampai di rumah, aku disambut mama dan Mbak Sri. Mama begitu senang kami memutuskan menginap di rumahnya. Sri membantu menurunkan tas dari dalam mobil istriku. ART-ku itu sama sekali tidak menoleh kearahku. Ia hanya sedikit tersenyum pada Mayang. "Sri, langsung tata meja makan. Pengantin pasti lapar ini," titah mamaku. "Baik, Bu." Sri mengangguk. Ia menaruh tas pakaian ke dalam kamarku, setelah itu berlalu begitu saja masih sambil menunduk. Satu hal yang aku syukuri, Sri sudah sembuh. "Mas mau makan di kamar atau di ruang makan?" tanya Mayang. "Di ruang makan aja." Mayang mengangguk. Kami berdua pun berjalan menuju ruang makan. Aneka hidangan sudah ada di atas meja. Baru matang dan terlihat begitu menggoda selera. Ada semur daging kesukaanku dan juga sayur acar kuning, wortel dan timun. Ada jus buah original tanpa gula yang pastinya untuk Mayang. Sri hapal betul karena Mayang sering datang berkunjung ke sini dan Sri yang buatkan minumnya. "Makanannya spesial banget ini untuk pengantin baru," kata mamaku. "Makasih, Ma. Banyak banget gini. Tahu aja kalau putranya pengantin baru belum unboxing. Masih perjak4 ting ting loh, Ma," sambung Mayang sambil tertawa. "Waduh, masa anak Mama ting ting?" mamaku tidak percaya. "Iya, Ma, Mayang paling tahu siapa mas David, Ma. Siapa temennya dan bagaimana lingkungan kerjanya. InsyaAllah semua menjamin bahwa anak lelaki Mama ini masih ting ting he he he... " aku menatap pada Sri yang baru saja menaruh semangkuk sop di atas meja. Ia pun tidak sengaja melihat ke arah ku juga, tetapi sekian detik itu juga, ia memutuskan pandangan. Kami makan dengan ruang karena Mayang senang bercerita. Mayang menciptakan suasana hangat di ruang makan, membuatku merasa senang sekaligus merasa bersalah padanya. Selesai makan, Mayang masuk ke kamar karena ada telepon penting, begitu juga mama yang memilih masuk ke kamar untuk tidur siang. Tinggal aku di meja makan dan Sri yang akan merapikan meja. "Mbak Sri b-baik-baik saja?" tanyaku gugup. Ia hanya mengangguk. "Maaf s-saya gak tahu kalau Mbak t-tidak ada s-suami. Itu saya.... " "Udah terjadi, lupakan saja, Mas." "Yang kemarin sakit, Mbak Sri b-bukan hamil'kan?" tanyaku lagi sambil menelan ludah. "Siapa yang hamil, Sayang?" aku sontak berbalik karena tiba-tiba Mayang ada di belakangku. Bersambung"Emang ada apa? Siapa yang hamil?" mama juga tiba-tiba muncul dari belakang Mayang. Aku semakin panik saja, tetapi aku berusaha tenang sambil memikirkan alasan siapa yang hamil. "Kurir paket langganan mas David, istrinya hamil dan katanya ngidam foto sama mas David, jadinya saya sampaikan pesan itu, Bu, Mbak." Aku akhirnya bisa menghela napas setelah sekian detik menahan napas. Sri langsung menjawab dengan tema yang masuk akal. "Oh, yang namanya Budi itu ya?""Bukan, Bu, namanya Mamat. Mari saya permisi." Aku tersenyum pada mama dan istriku. Kurir langganan ku adalah Budi, kalau Mamat, aku beneran gak tahu siapa. "Ma, saya masuk dulu ya. Pengantin baru ini belum pernah masuk soalnya." Guyonanku membuat mama tertawa, sedangkan Mayang ikut tersipu malu. Aku pun menggandeng Mayang masuk ke kamar. Acara belah durian berjalan cukup alot karena Mayang sempat kesakitan. Namun, aku membujuk dan akhirnya bisa, meski bulir air mata itu keluar juga dari sudut matanya. Keadaan yang sama deng
"Oh, itu orang tua Sri. Dia nitip transfer karena ibunya sakit. Sri gak bisa ke ATM.""Oh... " wajah Mayang nampak ragu. "Emang sering gini, titip transfer. Kenapa, Sayang? Mukanya kok gitu?""Kamu deket sama Sri?""Ngga, biasanya aja, kenapa?" aku tahu Mayang merasa sedikit cemburu, tetapi memang kebohongan ini terpaksa aku buat demi menjaga keutuhan rumah tangga yang baru saja aku bina. "Aneh aja kalau pembantu titip transfer. Pembantuku soalnya gak ada yang gitu, Mas." Aku mengusap rambutnya penuh sayang. "Kenapa jadi bicarakan Sri? Mending kita tidur. Besok kita pulang ke rumah mama Nindi ya. Karena lusanya aku mau kerja. Besok sudah rabu kan? ""Iya, Mas, aku kamis ke Gorontalo dua minggu. Kamu di rumah mamaku aja." Aku mengangguk setuju. Kami pun tidur dalam keadaan berpelukan. Aku terbangun jam tiga pagi karena haus. Air yang dibawa semalam sudah habis. Dengan langkah malas, aku turun ke dapur. Tepat di saat Sri juga baru muncul di dapur. "Aduh, kaget!" Pekik kami bersamaa
"Mas, kamu kenapa? Sejak tadi banyak bengong," tanya Mayang. Sudah jam sebelas malam dan mataku tidak mengantuk sama sekali. Pikiranku benar-benar kalut, khawatir Sri hamil. Jika beneran hamil, maka bisa dipastikan itu adalah anakku. Aku memerawani Sri dan aku merusak masa depannya. Lalu---"Mas, hey! Kamu kenapa sih?" Mayang mengipaskan tangannya di depan wajahku. "Oh, itu, Sayang, ada meeting regional dan aku ada tugas. Belum sempat aku kerjakan. Jadi lagi mikirin gimana dan mana dulu yang ----""Beneran karena itu?" Mayang berbaring menyamping, menatap ke arahku. Aku mengangguk sambil tersenyum. "Maaf kalau udah bikin kamu khawatir dan gak bisa tidur. Ayo, tidur! Ak---" suara ini tertahan saat Mayang menyentuh pelan bibirku. "Sayang, jangan malam ini ya, pikiran aku benar-benar bercabang." Mayang tersenyum mafhum. Istriku menciyum bibir ini sekilas, lalu berbalik badan sambil memeluk guling. Aku menghela napas, merapalkan ucapan maaf yang hanya bisa ada di dalam hati. Aku bisa g
"Sayang, aku bisa jelaskan. Ini gak seperti apa yang kamu pikirkan. Aku dan Sri gak ada apa-apa. Kenapa kamu malah bilang aku terlalu berlebihan pada Sri?" aku berusaha menggenggam tangan istriku, tapi ia menepisnya dengan kasar. "Sayang, jangan begini. Aku minta maaf kalau udah buat kamu cemburu. Tadi itu aku---""HP kamu gak aktif, Mas. Kamu gak ada kabar sejak jam lima lewat tiga puluh menit. Sampai aku tiba di rumah dan mamaku nanyain kamu. Aku capek banget hari ini pasien full dan aku malah harus lihat kamu berada di rumah mama kamu dan begitu khawatir pada Sri. Istri mana yang gak cemburu! Jujur aku kesal dan kecewa sama kamu!" Mayang memuqul lenganku berkali-kali. Ya, kami pulang dengan mobil Mayang karena gak mungkin aku biarkan. Mayang menyetir sendiri. Motor aku tinggal di rumah mama agar aku bisa mengendarai mobil Mayang. "Puqul aku yang kenceng, Sayang. Aku ikhlas, kamu mau aku lakukan apa, biar kamu percaya? Aku beneran gak ada hubungan dengan Sri. Sri itu sakit lambun
Dewasa (21+) "Mayang, ada apa , Nak, kamu kenapa Sayang?" papa mertuaku menengahi. Papa Deni menoleh ke arahku, lalu menggerakkan kepalanya mengangguk. Aku masih diam karena jika aku sanggah, Mayang akan semakin marah. "Duduk!" Titah papa Deni membuat Mayang duduk. Namun, napas istriku masih naik turun, menandakan ia masih sangat emosi, ditambah air matanya berlinang sangat deras. Baru begini saja, Mayang sudah sangat marah, apalagi kalau sampai Mayang tahu, bahwa aku sudah tidur dengan Sri. "Papa tahu kamu lagi pusing dengan persiapan ke Gorontalo, tapi bukan begini juga dengan suami. Sri itu pembantu mertua kamu, jika kamu mau Sri dipecat, maka kamu yang bicara dengan mertua kamu, bukan marah dan minta David memecat Sri. Jangan egois, Nak. Kamu sudah menikah dan ada suami yang harus kamu hormati. Udah, bertengkar di meja makan bukan hal baik, kita lanjutkan makan.""Mayang ke rumah sakit saja, Pa. Sarapan di sana saja." Mayang berdiri dengan wajah marahnya. "Biar aku antar," se
Hampir saja aku menabrak mobil di depanku. Perkataan ibu dari Sri, benar-benar membuatku takut. Tidak mungkin aku menikahi Sri. Aku sudah punya Mayang dan aku mencintai istriku. Sri hanya bagian dari kesalahan yang tidak akan pernah mau aku ulangi lagi. Sri bilang apa dengan ibunya? Kenapa jadi rumit begini? Begitu tiba di rumah mertuaku, aku langsung masuk ke kamar. Untung semua penghuni rumah sudah pada tidur. Aku langsung berganti pakaian dan bersiap untuk tidur, meskipun aku tidak tahu, apakah aku benar-benar bisa tidur atau tidak. Sri, tadi ibu kamu telepon saya. Kamu bilang apa? Kenapa saya harus menikahi kamu? SendAku tahu Sri pasti sudah tidur, tetapi baru besar ini masih terus mengganjal jika aku tidak bertanya langsung. Aku benar-benar tidak mau, baik keluargaku atau keluarga Mayang tahu, tentang malam yang aku lalui bersama Sri. SriJangan pedulikan, Mas. Nanti saya yang bujuk. Mas David tenang saja. Hidupmu bahagia bersama istri tersayang, sedangkan saya harus menola
POV Sri"Halo, kamu lagi apa, Sri?""Halo, Mas Farhan, saya lagi beberes dapur. Orang rumah baru aja pergi ngurusin persiapan pernikahan anak majikan.""Oh, yang mau nikah sama dokter itu?""Iya, Mas. Makanya begitu rumah sepi, saya mau beberes. Adanya mas David doang di rumah. Masih dipingit.""He he he... orang kota masih jaman dipingit ya. Ya udah kalau gitu, kamu pasti lagi repot. Nanti saya telepon lagi deh.""Ada apa, Mas? Cerita aja sekarang.""Gak papa. Nanti saja.""Tentang Sukma ya?""Mmm.... " aku sudah bisa menebak kenapaas Farhan menelepon, pasti karena permintaan orang tua mas Farhan yang menginginkan putranya yang aparat negara ini berjodoh dengan pera-wan ting ting, bukan janda sepertiku. Apalagi aku hanya tamatan SMP. "Iya, soal itu---""Gak papa, Mas, saya udah bilang sejak kemarin. Hubungan ini terlalu dipaksakan. Kita ini temboknya tinggi sekali. Turuti saja kehendak orang tua Mas, pasti barokah. Udah dulu ya, Mas, saya mau lanjut beresin dapur. Assalamu'alaikum."
Air mata permohonan yang turun dengan deras tidak menyurutkan gerakan mas David. Lelaki itu terus melakukan apa yang diinginkan h4sratnya. Aku berteriak berhenti, tetapi mas David tetap meneruskannya. Tu6uhku yang memang sudah kelelahan, tidak bisa lagi melaw4n dengan tenaga ekstra. Aku benar-benar lemas dan merasa kesakit4n. "Luar biasa rasanya," gumam lelaki itu. "Mas, sudah, s-sakit." Aku tidak tahu apa yang terjadi, setelah setengah jam, akhirnya mas David berhenti setelah gerakan bola mata li4rnya perlahan meredup. Lelaki itu menjatuhkan diri ke samping dengan tubuh berpeluh, sedangkan aku sudah tidak tahu lagi apa yang terjadi selanjutnya. Aku terbangun saat merasakan beban berat pada p3rut. Perlahan aku membuka mata dan melihat tangan kiri mas David ada di atas p3rutku. Aku menggeser tangan itu dengan hati-hati agar ia tidak terbangun. Namun, harapanku musn4h, karena saat itu, mas David bangun dan menatap ke arahku dengan tatapan bingung. "Sri, k-kamu --- ini tadi kita ---
Asih cemas setelah kepergian Sri. Ibu mana yang tidak khawatir, saat putrinya pergi dari rumah? apalagi sering membawa beban masalah yang berat. Asih jelas sangat cemas, takut Sri berlaku macam-macam di luar sana. Lalu Wanita senja itu memberanikan diri lagi datang ke ibukota sendiri. Semua dia lakukan demi mencari sang buah hati yang pergi meninggalkannya dalam keadaan yang kurang sehat. "Ibu harus ke mana lagi nyari kamu Sri?" gumam Asih, dia sangat mengkhawatirkan keadaan Sang Putri. "Pokoknya aku harus cari kemana pun."Akhirnya asih memutuskan untuk mencari Sri. Langkah kakinya membawa ia mendatangi semua tempat teman-teman Sri, mereka para pekerja rumah tangga di Jakarta. Sudah mendatangi beberapa tempat, tapi sama sekali tidak ada yang mengetahui di mana keberadaan anak gadisnya itu."Rina, kamu bener-bener nggak tahu keberadaan Sri di mana?” Asih bertanya kepada seorang gadis bernama Rina, karena terakhir kali ia tahu sering menghubungi Rina. Rina menggelengkan kepalanya.
Pov Sri"Kamu pasti hamil, makanya kamu sakit-sakitan," cecar ibuku yang terus saja mendesakku untuk test pack. Aku menggelengkan kepala. "Percaya Sri, Bu. Sri gak hamil. Ibu gak bisa maksa orang untuk nikahi Sri. Apalagi suami orang. Cukup Ibu yang merusak rumah tangga orang lain, sehingga karma Tuhan terus menghantui kita sampai saat ini. Sri gak mau, Bu. Biar ini jadi ----""Kamu malah menyalahkan Ibu? Ibu itu terpaksa. Nenek kamu miskin dan kami gak punya apa-apa. Gak ada anak bujangan yang mau sama orang miskin seperti Ibu. Untuk itu Ibu terpaksa. Satu-satunya cara agar Ibu gak tersesat jadi wanita malam adalah dengan menjadi simpanan suami or ----""Sudahlah, Bu, kita jangan berdebat terus. Dokter bilang, saya cuma maag dan tadi sudah dapat obat. Jadi cukup istirahat saja. Sri mau tidur ya, Bu, ini sudah malam." Padahal masih jam tujuh, tetapi aku gak mau terus-menerus berdebat dengan ibu. Lambung ini belum lagi pulih dan tubuhku juga masih lemas. Aku tidak hamil, tetapi ibu ga
Mau menghindar rasanya sudah tidak mungkin. Semua sudah terjadi dan aku harus mempertanggungjawabkan apa yang sudah aku perbuat. Bukan salah Sri, tapi salahku. Termasuk terus membohongi Mayang dengan berbagai alasan. Apakah setelah ini, rumah tangga ku akan berakhir? Tentu saja aku tidak ingin hal itu terjadi. Sampai titik da-rah penghabisan, aku akan tetap mempertahankan pernikahan ini. "Lu mau ke mana? " tanya Heru saat aku memasukkan ponsel ke dalam saku celana bahan. Aku juga sudah mematikan laptop, padahal baru jam empat sore. Mama yang membuatku jadi begini. "Mau pulang lebih cepat. Udah bilang bos.""Kenapa? Apa ada yang sakit?" aku mengangguk. "Ya, rasanya sebentar lagi, aku akan sakit jiwa." Setelah mengatakan hal itu, aku pun segera berlalu dari ruangan kerjaku. Namun, aku tiba-tiba ingat satu hal yang ingin aku tanyakan pada Heru. "Jadi, lu udah nikah siri sama cewek itu?" tanyaku berbisik. Heru mengangguk. "Lu pake gak?" tanyaku lagi. Heru menggelengkan kepala. "Gue
Aku menekan kenop pintu kamar Robi. Adikku yang berusia dua puluh tahun itu sedang duduk bersandar di kepala ranjang. Ia tersenyum di depan ponsel, lalu ia menoleh ke arahku sebentar."Kenapa, Mas?" tanya Robi. Aku melangkah masuk dan ikut duduk di ranjang ukuran single miliknya."Kamu kenapa?""Gak papa. Pasti Mas David ada di tim mama ya?" aku tertawa pelan."Gak ada di tim siapa-siapa. Emangnya mama kenapa? Soalnya tadi mama gak cerita. Mama suruh aku tanya langsung sama kamu.""Robi kehilangan banget mbak Sri, Mas. Robi rasa, Robi naksir mbak Sri. Emangnya gak boleh?" aku menghela napas. Otak Robi sepertinya sedang tidak baik-baik saja."Ini Robi lagi wa-an sama mbak Sri. Nanya kabarnya dan tanya kapan bisa kembali kerja.""Katanya apa?" aku mendadak kepo."Katanya gak tahu. Nunggu bener-bener sehat dulu. Hari Minggu nanti, Robi mau ke sana." "Mau apa? Jangan!" Robi mengernyit."Kenapa jangan?""Namanya orang lagi sakit, butuh istirahat. Kamu gak usah ke sana. Nanti saja kalau Sr
PoV DavidAku sudah sampai di rumah jam tujuh malam. Mama dan papa mertuaku sedang tidak ada di rumah. Hanya ada bibik dan juga Meta; adik iparku yang masih SMA, tapi remaja itu pun sudah berada di kamarnya. Aku makan sendirian di ruang makan sambil terus memikirkan jawaban apa yang akan aku berikan untuk istriku, perihal uwang yang aku transfer. Kring! KringNomor Sri memanggil. Langsung saja aku mengangkatnya karena aku memang perlu bicara dengan Sri. "Halo, Sri.""Halo, Mas David kirim uang lagi? Untuk apa? Saya udah bilang gak usah kirim saya uang. ""Iya, i-itu honor. Eh, bukan, itu pesangon yang diberikan mama untuk kamu. Kata mama buat nambahin biaya berobat.""Oh, gitu, jadi uangnya dari Bu Eva ya.""Iya, kamu GR sekali saya kirim uang terus! Oh, iya, nanti kalau Mayang telepon kamu, bilang uangnya dari mama untuk kamu berobat. Paham'kan? Istriku soalnya cemburu sama kamu.""Oh, iya, Mas, makasih. Sampaikan salam saya untuk ibu.""Iya, oke, kamu udah sehat? Halo, halo!" sam
Air mata permohonan yang turun dengan deras tidak menyurutkan gerakan mas David. Lelaki itu terus melakukan apa yang diinginkan h4sratnya. Aku berteriak berhenti, tetapi mas David tetap meneruskannya. Tu6uhku yang memang sudah kelelahan, tidak bisa lagi melaw4n dengan tenaga ekstra. Aku benar-benar lemas dan merasa kesakit4n. "Luar biasa rasanya," gumam lelaki itu. "Mas, sudah, s-sakit." Aku tidak tahu apa yang terjadi, setelah setengah jam, akhirnya mas David berhenti setelah gerakan bola mata li4rnya perlahan meredup. Lelaki itu menjatuhkan diri ke samping dengan tubuh berpeluh, sedangkan aku sudah tidak tahu lagi apa yang terjadi selanjutnya. Aku terbangun saat merasakan beban berat pada p3rut. Perlahan aku membuka mata dan melihat tangan kiri mas David ada di atas p3rutku. Aku menggeser tangan itu dengan hati-hati agar ia tidak terbangun. Namun, harapanku musn4h, karena saat itu, mas David bangun dan menatap ke arahku dengan tatapan bingung. "Sri, k-kamu --- ini tadi kita ---
POV Sri"Halo, kamu lagi apa, Sri?""Halo, Mas Farhan, saya lagi beberes dapur. Orang rumah baru aja pergi ngurusin persiapan pernikahan anak majikan.""Oh, yang mau nikah sama dokter itu?""Iya, Mas. Makanya begitu rumah sepi, saya mau beberes. Adanya mas David doang di rumah. Masih dipingit.""He he he... orang kota masih jaman dipingit ya. Ya udah kalau gitu, kamu pasti lagi repot. Nanti saya telepon lagi deh.""Ada apa, Mas? Cerita aja sekarang.""Gak papa. Nanti saja.""Tentang Sukma ya?""Mmm.... " aku sudah bisa menebak kenapaas Farhan menelepon, pasti karena permintaan orang tua mas Farhan yang menginginkan putranya yang aparat negara ini berjodoh dengan pera-wan ting ting, bukan janda sepertiku. Apalagi aku hanya tamatan SMP. "Iya, soal itu---""Gak papa, Mas, saya udah bilang sejak kemarin. Hubungan ini terlalu dipaksakan. Kita ini temboknya tinggi sekali. Turuti saja kehendak orang tua Mas, pasti barokah. Udah dulu ya, Mas, saya mau lanjut beresin dapur. Assalamu'alaikum."
Hampir saja aku menabrak mobil di depanku. Perkataan ibu dari Sri, benar-benar membuatku takut. Tidak mungkin aku menikahi Sri. Aku sudah punya Mayang dan aku mencintai istriku. Sri hanya bagian dari kesalahan yang tidak akan pernah mau aku ulangi lagi. Sri bilang apa dengan ibunya? Kenapa jadi rumit begini? Begitu tiba di rumah mertuaku, aku langsung masuk ke kamar. Untung semua penghuni rumah sudah pada tidur. Aku langsung berganti pakaian dan bersiap untuk tidur, meskipun aku tidak tahu, apakah aku benar-benar bisa tidur atau tidak. Sri, tadi ibu kamu telepon saya. Kamu bilang apa? Kenapa saya harus menikahi kamu? SendAku tahu Sri pasti sudah tidur, tetapi baru besar ini masih terus mengganjal jika aku tidak bertanya langsung. Aku benar-benar tidak mau, baik keluargaku atau keluarga Mayang tahu, tentang malam yang aku lalui bersama Sri. SriJangan pedulikan, Mas. Nanti saya yang bujuk. Mas David tenang saja. Hidupmu bahagia bersama istri tersayang, sedangkan saya harus menola
Dewasa (21+) "Mayang, ada apa , Nak, kamu kenapa Sayang?" papa mertuaku menengahi. Papa Deni menoleh ke arahku, lalu menggerakkan kepalanya mengangguk. Aku masih diam karena jika aku sanggah, Mayang akan semakin marah. "Duduk!" Titah papa Deni membuat Mayang duduk. Namun, napas istriku masih naik turun, menandakan ia masih sangat emosi, ditambah air matanya berlinang sangat deras. Baru begini saja, Mayang sudah sangat marah, apalagi kalau sampai Mayang tahu, bahwa aku sudah tidur dengan Sri. "Papa tahu kamu lagi pusing dengan persiapan ke Gorontalo, tapi bukan begini juga dengan suami. Sri itu pembantu mertua kamu, jika kamu mau Sri dipecat, maka kamu yang bicara dengan mertua kamu, bukan marah dan minta David memecat Sri. Jangan egois, Nak. Kamu sudah menikah dan ada suami yang harus kamu hormati. Udah, bertengkar di meja makan bukan hal baik, kita lanjutkan makan.""Mayang ke rumah sakit saja, Pa. Sarapan di sana saja." Mayang berdiri dengan wajah marahnya. "Biar aku antar," se