Bab 15 "Bulan madu?" lirihku menyela ucapan Mas Lana. "Kenapa? Ngga mau di Bali? Maunya di mana?" balas Mas Lana seolah meminta pendapatku. Aku menggeleng cepat. Bukan maksud tak setuju, aku hanya kaget dengan apa yang diucapkan Mas Lana. Bulan madu adalah hal yang tak pernah terpikirkan sama sekali olehku. Cukup menikah secara sah dan mengadakan resepsi saja sudah membuatku bahagia luar biasa. Apalagi bulan madu ke Bali, pasti aku tampak seperti orang dari desa saat di sana nanti. "Siapkan pesta yang terbaik saja. Soal harga jangan khawatir." Mas Lana kembali bicara pada lelaki di depan kami itu. "Baiklah, Pak. Acara di adakan bulan depan, tepatnya tanggal 24 November di ballroom hotel Raden Wijaya pada pukul 10.00-selesai." Lelaki itu membaca sebuah catatan di tangannya. Mas Lana mengangguk yakin. "Kalau ada yang perlu ditanyakan lagi, Bapak bisa hubungi nomor saya saja."
Bab 16Mataku membulat saat melihat satu sosok yang sedang berdiri menghadap kami dengan tangan bersidekap di depan dada. Sorot matanya tampak tenang tapi cukup membuatku salah tingkah dan merasa bersalah karena telah mengingkari janjiku padanya."Mas," lirihku takut-takut. "A—aaku cu—ma mau antar undangan ini," sambungku sambil meraih undangan yang baru saja kuletakkan di atas meja untuk kuangkat di hadapannya.Pemilik suara itu melirik undangan yang kubawa lalu ekor matanya bergerak menatapku dengan tatapan tajam."Apa mengantar undangan harus di tempat seperti ini? Ini lebih seperti sedang kencan," balas laki-laki itu yang tak lain adalah Mas Lana."Jangan salah paham dulu. Ini aku yang minta, jangan salahkan Maharani." Mas Fandy berusaha membela sebab dari tatapannya Mas Lana mulai berubah."Tidak. Kamu tenang saja. Aku tidak salahkan siapapun. Hanya saja ... Aku merasa sudah ada yang melanggar janjinya padaku." Seulas senyum miring terbit di wajah Mas Lana sambil melirikku.Aku m
Bab 17 Mas Lana menatapku disela-sela konsentrasinya mengemudi. Dengan sabar ia menungguku menjawab ucapannya. Sayangnya, hingga beberapa saat berlalu aku masih saja enggan bersuara. "Dik?" panggilnya lagi. "Kamu ngga pergi tanpa pamit, kan?" Aku mengangkat wajahku untuk membalas tatapan Mas Lana. Sorot mata yang penuh kekhawatiran itu tampak jelas tercipta di wajahnya yang bersih. Lalu, aku kembali menunduk sebelum bibirku tergerak menjawab pertanyaannya. "Aku tadi bilang sama Ibu sama Bapak kalau disuruh Mas beli skincare," ucapku sambil memilin ujung hijab yang basah sebab keringat yang mengucur dari telapak tanganku. Untuk sesaat aku belum berani mengangkat wajahku, takut jika respon Mas Lana diluar dugaan. Akan tetapi, tiba-tiba tangan kekar miliknya itu meraih tanganku yang sibuk menghilangkan rasa khawatir dalam dada. Rasa hangat seketika menjalari seluruh aliran dar
Bab 18PoV Fandy"Kita sudah selesai sejak Mas memutuskan untuk menikahi Laila. Kalau sekarang tidak jadi menikah dengan dia itu urusan kamu, Mas!" Ucapan Maharani itu sungguh menancap dalam di dasar hatiku. Maknanya jelas, bahwa aku adalah orang yang menyebabkan semua ini terjadi. Jika saja tak punya hutang, maka aku tidak harus patuh pada juragan dan musibah ini tak akan menimpaku. Betapa sialnya nasibku.Kehilangan cinta sungguh membuatku malas melakukan apapun. Bahkan untuk kerja saja sekarang sudah kehilangan semangat. Tidak ada lagi alasan untuk aku berjuang dengan keras."Fan!" panggil Mbok Nar. Beliau menepuk lenganku sedikit keras hingga membuatku urung memejamkan mata."Apa sih, Mbok! Kenceng amat teriaknya!" sungutku kesal. Suaranya membuat rasa kantuk yang mulai datang tiba-tiba saja pergi tanpa pamit."Kamu ngga dengar lagi ada perang di dalam? Kok bisa-bisanya tiduran di sini!" omel si Mbok sambil mengupas buah jeruk di tangannya."Ya terus mau apa emangnya? Aku cuma t
Bab 19Dengan cepat Mas Lana menginjak pedal rem agar mobil yang kami kendarai segera berhenti. Bahkan kepalaku hampir terantuk dashboar karena tak ada persiapan apapun."Ck! Ngga punya mata ya!" sungut Mas Lana kesal.Beruntung mobil Mas Lana berhenti sebelum mengenai perempuan itu dan akhirnya dia selamat. Kulihat dia sedang berjongkok sambil memegangi kepalanya, seolah sedang melingungi dirinya dengan kedua tangannya dari hantaman kendaraan yang akan menabraknya.Tanpa permisi, Mas Lana segera turun untuk menghampiri perempuan itu. Ia berjalan cepat menuju sosok yang masih saja berjongkok itu."Mbaknya ngga apa-apa?" tanya Mas Lana cemas sambil turut berjongkok mengamati perempuan itu.Tak mau ketinggalan, aku pun turut turun menghampiri perempuan itu. Apa yang dilakukannya itu sungguh sangat berbahaya, bisa membahayakan nyawanya sendiri. terlebih Mas Lana harus bertanggung jawab jika dia sampai tertabrak dan mengalami l
Bab 20Kampung tempat tinggal kami mendadak heboh dengan berita menikahnya Laila dengan Mas Fandy. Kabar itu kian santer dibicarakan warga hingga kabar soal hamilnya Laila.Banyak yang mengira mereka diam-diam menjalin hubungan. Bahkan ada yang berasumsi ketika Mas Fandy masih jadi kekasihku mereka sudah menjalin hubungan."Apa bener ya yang mereka bilang, kalau Fandy diam-diam menjalin hubungan sama Laila?" Ibu turut termakan kabar itu."Bener atau enggak sudah bukan lagi jadi urusan Ibu. Biarkan mereka menjalani takdir mereka masing-masing," jawab Bapak saat kami sedang makan siang.Aku diam saja sambil menikmati makanan dalam piringku. Aku tak mau mendengar kabar itu, terlepas benar atau tidaknya. Sekarang kami sudah hidup masing-masing, aku tak mau merusak hidupku dengan memikirkan masa lalu yang sudah sama-sama kami sepakati untuk selesai."Kalau kamu mau datang ke pernikahan mereka, ajak Nak Lana. Jangan pergi sendirian," ucap Ibu yang seketika membuatku menatapnya.Aku menggele
Bab 21Mas Lana menggandeng tanganku sepanjang perjalanan menuju rumah Laila. Kami berjalan kaki sebab rumahku dengan rumah Laila hanya berjarak beberapa ratus meter saja. Malam ini, hatiku seperti dipenuhi taman bunga mendapati sikap Mas Lana. Satu kecupan yang mendarat di wajahku membuat rasaku untuknya makin bertambah setiap saat."Sebentar lagi kita akan merasakan apa yang dirasakan mereka," ucap Mas Lana saat kami sampai di pintu masuk pesta pernikahan Laila. Kepalaku mendongak menatap gapura yang dipenuhi dengan bunga hidup. Aroma kembang sedap malam seketika menyapa hidungku."Bagus banget ya, Mas?" ucapku takjub."Iya. Punya kita nanti juga kayak gini," balas Mas Lana sambil turut menatap gapura yang ada di depan kami. "Cantik bunganya, kayak kamu," bisik Mas Lana tepat di dekat telingaku.Wajahku merona seketika. Sudah tak bisa ku hitung berapa kali beliau mengatakan bahwa aku cantik malam ini.
Bab 22Kugenggam erat kertas tersebut dengan hati sedikit kecewa. Dimalam pernikahan kita yang seharusnya menjadi momen paling menyenangkan bagi setiap pasangan baru, telah dinodai oleh sikapnya dengan mementingkan perempuan itu dari pada istrinya.Aku memang orang baru di hidup Mas Lana tapi tidak seharusnya dia mementingkan orang lama yang pernah singgah di hidupnya.Tak terasa air mataku jatuh membasahi wajah yang baru saja terasa segar. Begitu tega suamiku membuat malam pertama kami berantakan.Ponselku berdering. Nama Mas Lana tertera dalam layar yang menyala itu. Hatiku yang sedang jengkel membuat tanganku dengan cepat menolak panggilan tersebut.Jahat sekali kamu, Mas. Aku terus terisak. Tak lama ponsel pun berhenti berdering. Lalu kembali berdering dengan nada yang berbeda. Sebuah pesan baru saja masuk dan kubaca sekilas melalui bar notifikasi.[Sayang, kamu marah ya? Mas hanya sebentar kok. Mas cuma mastikan dia ngga bunuh diri kayak kemarin.]Sebegitu pedulinya Mas Lana sam
Bab 45Rani masih saja mengurung diri di kamar. Ia tak mau menemuiku hingga malam menjelang. Sedangkan aku, tak tahu harus bagaimana lagi untuk merayunya agar mau bertemu dan bicara denganku."Nak Lana sabar aja dulu. Jangan dipaksa terus nanti malah Rani ngga mau keluar." Bulik kembali berujar setelah berulang kali aku mengajak bicara Rani dari depan pintu."Saya merasa bersalah, Bulik. Melihat Rani seperti ini, makin membuat saya tak tenang.""Ya namanya perempuan. Maklum kalau ngambek begitu. Ditunggu aja dulu sampai dia mau keluar sendiri.""Apa Bulik tidak keberatan kalau saya di sini sampai Rani mau keluar?" tanyaku kembali memastikan. Sebab aku tidak tahu kapan Rani akan keluar."Ya enggak. Bulik ini tinggal di rumah ibumu, ya ngga apa-apa kalau kamu mau disini sampai kapan pun. Bulik malah senang bisa dekat sama keponakan, kapan lagi kalian datang ke sini?" Bulik tersenyum setelahnya, menunjukkan bahwa ia tak keberatan dengan keberadaanku dan Rani.Aku tersenyum. Rasa lega kem
Bab 44Sebuah rumah sederhana menjadi tempatku berhenti setelah berulang kali bertanya perihal alamat yang diberikan oleh Bapak. Rumah buliknya Rani, Bu Sulastri.Aku berjalan dengan langkah penuh keyakinan bahwa Rani ada di sini, di rumah ini dan aku bisa segera membawanya kembali ke rumah kami."Permisi, assalamualaikum," ucapku setelah mengetuk pintu. Aku berdiri dengan harap-harap cemas.Dua kali ketukan tak kunjung ada seseorang dari dalam yang menjawab salamku. Akan tetapi, aku tetap sabar menunggu hingga sang pemilik mendengar salamku dan membukakan pintu.Benar saja, tak butuh waktu lama, seseorang membukakan pintu untukku."Waalaikum salam. Cari siapa ya, Nak?" jawab seseorang setelah pintu ruang tamu itu terbuka. Seorang perempuan paruh baya dengan ciput yang membungkus kepalanya. Gamis panjang melekat di tubuhnya yang tidak terlalu gemuk."Saya cari Rani. Apa dia ada di sini?" tanyaku tak sabaran."Rani?" jawab perempuan paruh baya yang sepertinya beliau ini yang bernama Bu
Bab 43PoV Maulana Aku terkekeh mendengar permintaan Fandy. Permintaan macam apa itu? Dia sudah menikah, aku pun sudah menikah. Bagaimana bisa dia meminta Rani untuknya hanya karena setelah membantuku memberi informasi soal keluarganya."Jangan mimpi kamu! Rani sudah sah menjadi milikku dan aku ngga akan melepas dia begitu saja." Aku berucap dengan tegas sambil menatap wajah yang sedang merasa bangga di depanku itu.Fandy terkekeh. Ia mengalihkan pandangannya sejenak dari hadapanku lalu kembali menatapku setelah beberapa saat."Baiklah. Aku tidak akan memberi tahu kamu soal dimana rumah saudara Rani. Silahkan kamu cari tahu sendiri soal ini ke orang tua Rani. Itu pun kalau mereka tidak murka padamu sebab sudah membuat anak mereka pergi dari sini!" Fandy terkekeh setelahnya.Ucapan Fandy itu sedikit membuat ketakutan dalam dadaku makin meningkat. Tapi, sebagai laki-laki aku harus menerima setiap konsekuensi dari apa yang sudah kulakukan pada Rani, sesuai dengan apa yang Mama ucapkan.
Bab 42PoV Maulana Aku menatap geram wajah Renata. Padahal kemarin aku sudah baik padanya, membantu mengatasi masalahnya tapi ini balasan dia padaku?Aku salah mengartikan kebaikannya selama ini. Kukira dia memang benar baik, nyatanya ada maksud yang tersembunyi dari semua kebaikannya padaku.Benar apa yang dilakukan Maharani dengan bersikap tegas pada Renata kemarin. Sekarang aku yang menjadi korban keegoisannya. Aku lupa melindungi keluargaku dari godaan perempuan seperti Renata padahal istriku sudah melakukannya lebih dulu.Aku merasa gagal sebagai suami."Aku minta maaf, Lan. Aku sungguh masih cinta kamu. Aku ingin kita balikan lagi kayak dulu. Aku ngga bisa lepasin kamu," rengek Renata setelah ia menjelaskan semuanya padaku. Tidak ada rasa bersalah sedikitpun dalam diri Renata setelah apa yang ia lakukan padaku. Ia masih berani mengajakku menjalin hubungan setelah rumah tanggaku porak-poranda karenanya.Benar memang Mbak Narti adalah orang suruhannya dan semua itu hasil rekayas
Bab 41PoV MaharaniAku pergi dengan membawa hati yang penuh luka. Sepanjang perjalanan aku hanya bisa menangis saja, menyesali semua yang sudah terjadi.Ya, aku menyesal. Menyesal karena telah grusah-grusuh menentukan pilihan yang kini berakhir luka. Meskipun menyesal, aku berusaha untuk selalu mencari sisi positif dari apa yang terjadi ini.Aku tidak sepenuhnya menyalahkan Mas Lana sebab ia pun korban. Seandainya ia tahu bahwa semua ini adalah ulah Renata, aku yakin Mas Lana tetap ada di pihakku. Ia akan terus mendampingiku apapun yang terjadi. Sayangnya, Mas Lana hanya manusia biasa yang mudah termakan hasutan. Apalagi hasutan itu datang dari orang yang pernah singgah di hatinya. Entah karena terlalu percaya pada Renata atau karena masih cinta aku tak tahu.Kulihat ponsel yang sejak pergi kumatikan. Aku belum ingin membagi kabar kepergianku pada siapapun. Biarlah Mas Lana yang bertanggung jawab pada semua orang jika mereka mencari keberadaanku. Biar Mas Lana yang mencari alasan pa
Bab 40Fandy membiarkanku pergi setelah ia menghajarku hingga puas. Biar, aku salah memang. Aku pantas dihajar olehnya. Aku yang sudah menikahi Rani dan mengambil Rani dari tangannya malah kusia-siakan seperti ini.Aku salah. Aku pantas dihukum. Kalau kalian mau mengahajarku, silahkan. Aku memang pantas dihukum.Kupukul bundaran setir dengan tanganku hingga aku puas. Aku tidak tahu kemana Rani pergi. Melihat reaksi Fandy, aku makin merasa bersalah kali ini.Astaga, Rani. Kamu di mana? Maafkan aku. Kututup wajahku dengan kedua tangan. Selain karena Mama, baru kali ini aku menangis karena perempuan. Seharusnya kemarin aku menunggunya, merawatnya saat dia juga butuh support dari suami.Aku malah marah pada Rani dan melontarkan kalimat yang menyakitkan. Ya Allah, maafkan aku.Bertahun-tahun mereka menjalin hubungan dan baik-baik saja, sedangkan aku, baru beberapa waktu menjalin hubungan tapi sudah membuat Rani pergi dari rumah seperti ini. Kemana Rani pergi jika di rumah orang tuanya ti
Bab 39Aku terdiam tak berani menjawab pertanyaan Bapak. Rani anak satu-satunya, bagaimana jika Bapak tahu bahwa aku sudah menyakiti putri semata wayangnya? Beliau pasti murka padaku.Sebaiknya aku berpikir cepat untuk mencari alasan. Sebab tidak mungkin kukatakan sekarang bahwa Rani pergi dari rumah karena kecerobohanku."'Nak Lana? Rani mana?" tanya Bapak sekali lagi.Mataku mengerjap, memberanikan diri menatap wajah Bapak."Em ... Anu, Pak. Saya ... saya cuma mau ambilkan baju Rani saja. Dia lagi saya suruh istirahat di rumah. Dia minta diambilkan baju kesukaannya yang biasa dipakai," jawabku tergagap. Jika apa yang kuucapkan itu terkesan aneh, maka biarlah. Yang penting aku selamat dari murka kedua orang tua Rani hari ini."Oalah, Rani kok ya ada-ada saja. Baju saja sampai suaminya diminta ambilkan ke rumah," jawab Bapak sambil geleng-geleng kepala. "Ya sudah, masuk sana bilang ke ibumu, biar diambilkan Ibu bajunya yang mana," sambung Bapak lagi sambil menunjuk bagian dalam rumah.
Bab 38PoV MaulanaAku kesal sekali pada istriku. Bisa-bisanya dia meminum obat untuk menggugurkan kandungannya, padahal anak itu sudah sangat kuharapkan.Emosiku makin memuncak saat aku datang ke rumah sakit dan melihat laki-laki itu di sana. Mengapa harus mantannya yang dihubungi bukan aku atau orang tua kami?Astaga. Maharani, kukira kamu perempuan cerdas. Tapi ternyata, kamu masih saja terbelenggu dengan masa lalu kamu."Pusing sekali kelihatannya," ujar Renata saat siang itu dia datang ke kafe. Dia datang di waktu yang tepat. Aku butuh teman bicara. Sejak kejadian itu, aku seperti orang gila yang memendam masalahku sendiri."Iya. Aku sedang pusing." Aku menjawab sambil memijit kepalaku yang memang terasa pusing."Kenapa? Cerita sama aku. Aku masih sama seperti yang dulu. Kamu bisa cerita apapun sama aku, bahkan kalau kamu butuh bantuan, aku akan bersedia membantumu." Renata tersenyum sumringah. Wajahnya masih sama seperti saat kami dekat dulu. Dia memang pandai merawat diri.Maha
Bab 37Mbak Narti meraung memohon ampun padaku saat aku masih sibuk mengontrol emosi. Bisa-bisanya perempuan itu, diam-diam merencanakan ini semua padaku. Sedendam ini kah Renata padaku hingga tega membunuh bayi yang tak berdosa ini?Astaghfirullah. Kuremas perut yang menjadi tempat persinggahan sementara calon bayiku. Hanya sebentar saja dia bertahan di sini dan sekarang harus pergi karena keegoisan perempuan itu."Saya mohon ampun, Bu," ucap Mbak Narti lagi, tak peduli pada dua anak yang sedang mengintip di balik tirai rumahnya. Ia bersimpuh di kakiku, berharap aku akan membiarkannya begitu saja."Saya akan memaafkan Mbak Narti asal dengan satu syarat," balasku tak mau begitu saja melepasnya. Dia sudah memulai semuanya berarti dia juga yang harus menyelesaikan masalah ini."Tolong, jangan bawa saya ke kantor polisi, Bu. Saya takut. Saya melakukan ini semua karena terdesak. Saya tak punya pilihan lainnya." Air mata Mbak Narti terus saja mengucur deras. "Apapun masalah Mbak Narti, s