Bab 21Mas Lana menggandeng tanganku sepanjang perjalanan menuju rumah Laila. Kami berjalan kaki sebab rumahku dengan rumah Laila hanya berjarak beberapa ratus meter saja. Malam ini, hatiku seperti dipenuhi taman bunga mendapati sikap Mas Lana. Satu kecupan yang mendarat di wajahku membuat rasaku untuknya makin bertambah setiap saat."Sebentar lagi kita akan merasakan apa yang dirasakan mereka," ucap Mas Lana saat kami sampai di pintu masuk pesta pernikahan Laila. Kepalaku mendongak menatap gapura yang dipenuhi dengan bunga hidup. Aroma kembang sedap malam seketika menyapa hidungku."Bagus banget ya, Mas?" ucapku takjub."Iya. Punya kita nanti juga kayak gini," balas Mas Lana sambil turut menatap gapura yang ada di depan kami. "Cantik bunganya, kayak kamu," bisik Mas Lana tepat di dekat telingaku.Wajahku merona seketika. Sudah tak bisa ku hitung berapa kali beliau mengatakan bahwa aku cantik malam ini.
Bab 22Kugenggam erat kertas tersebut dengan hati sedikit kecewa. Dimalam pernikahan kita yang seharusnya menjadi momen paling menyenangkan bagi setiap pasangan baru, telah dinodai oleh sikapnya dengan mementingkan perempuan itu dari pada istrinya.Aku memang orang baru di hidup Mas Lana tapi tidak seharusnya dia mementingkan orang lama yang pernah singgah di hidupnya.Tak terasa air mataku jatuh membasahi wajah yang baru saja terasa segar. Begitu tega suamiku membuat malam pertama kami berantakan.Ponselku berdering. Nama Mas Lana tertera dalam layar yang menyala itu. Hatiku yang sedang jengkel membuat tanganku dengan cepat menolak panggilan tersebut.Jahat sekali kamu, Mas. Aku terus terisak. Tak lama ponsel pun berhenti berdering. Lalu kembali berdering dengan nada yang berbeda. Sebuah pesan baru saja masuk dan kubaca sekilas melalui bar notifikasi.[Sayang, kamu marah ya? Mas hanya sebentar kok. Mas cuma mastikan dia ngga bunuh diri kayak kemarin.]Sebegitu pedulinya Mas Lana sam
Bab 23Mataku tak henti menatap wajah Mas Lana saat kami sedang berjalan-jalan di Alun-alun kota. Ada tugu besar yang ada di tengah alun-alun ini, dimana di sisi paling kiri tempat tersebut terdapat area bermain khusus untuk anak-anak. Tak hanya tempat bermain, ada banyak pedagang yang berhenti di pinggir tempat tersebut untuk menjajakan dagangannya."Gitu banget lihatnya?" tanya Mas Lana saat aku sedang memandangi wajahnya.Aku tersenyum malu-malu. "Makasih ya? Mas mau menerima aku apa adanya."Mas Lana membalas senyumanku. "Sama-sama. Mas juga makasih kamu mau menerima Mas meskipun kita tidak kenal dekat sebelumnya. Jadi istri Mas yang baik ya?"Aku mengangguk yakin. "Bimbing aku, agar aku bisa menjadi istri yang baik untuk Mas. Karena kita menikah tanpa pacaran dan tanpa tahu bagaimana sifat dan karakter masing-masing.""Saling membantu ya? Mas juga ngga tahu bagaimana kamu sebelum ini jadi kita sama-sama belajar," selanya cepat.Aku tersenyum seraya mengangguk, lalu memasukkan kue
Bab 24Moment pernikahan adalah hal yang paling ditunggu oleh setiap pasangan. Tak hanya serangkaian acara sakral saat pesta, momen bulan madu juga menjadi salah satu hal yang menjadi sesuatu yang sangat di tunggu-tunggu.Seperti saat ini, kami sedang dalam perjalanan menuju pulau Dewata Bali. Ini adalah kali pertama aku menginjakkan kaki di pulau ini bersama suamiku. Jangan tanya bagaimana perasaanku, jelas bahagia. Bahagia sekali."Kamu bahagia?" tanya Mas Lana saat kami dalam perjalanan menuju hotel."Banget, Mas. Makasih ya? Ini tak pernah kubayangkan sebelumnya. Bulan madu ke Bali naik pesawat dan hanya berdua saja bersama suami." Aku menyambut tatapan Mas Lana dengan seulas senyuman hangat dan penuh rasa."Ini sudah menjadi bagian dari impian Mas. Menikah dengan gadis yang sejak kecil sudah Mas incar, lalu bulan madu di pulau Dewata ini berdua." Tangan kekar Mas Lana menyentuh pipiku dengan tatapan yang dalam dan hangat.Kusambut tangan suamiku itu, lalu kugenggam tangan Mas Lan
Bab 25"Hai," sapa tamu yang baru saja kubukakan pintu. Seulas senyum miring terbit di wajahnya yang sudah dipenuhi mekap sepagi ini.Mataku membulat seketika. Tak habis pikir dengan perempuan ini."Untuk apa kamu datang ke rumah kami? Bukannya Mas Lana sudah membantu kamu melalui pengacaranya?" balasku tanpa basa-basi sambil menatap Renata dengan tatapan tegas. Aku merasa bahwa perempuan ini sedang berusaha keras untuk masuk dalam rumah tanggaku dan aku harus melakukan sesuatu sebelum terlambat.Seulas senyum tipis terbit di wajah Renata. Lalu, setelahnya wajah itu kembali datar."Aku hanya ingin berjumpa dengan Maulana. Apa tidak boleh?" sahutnya cuek. "Kemana dia?" Wajahnya celingukan ke arah ruang tamu. Akan tetapi, dengan sigap segera kuhadang dengan badanku agar dia tidak keterlaluan."Mas Lana tidak ada di rumah. Sebaiknya jangan mengganggu keluarga kecil kami dengan drama rumah tanggamu itu." Aku menyahuti dengan tegas."Drama?" balas Renata dengan dahi mengerut. Mungkin ia ta
Bab 26Aku tertegun dengan permintaan Mas Fandy. Bagaimana bisa dia mengajak istri orang untuk pergi ke kafe berdua? Apa tidak terlintas di pikirannya bahwa aku ini sudah jadi istri orang dan tak bisa lagi diajak kemanapun hanya berdua saja?"Bagaimana? Kamu mau kan?" tanya Mas Fandy lagi saat aku tidak merespon permintaannya. Kali ini ia bicara dengan nada yang sedikit memaksa."Kita ke kafe Mas Lana aja gimana?" usulku. Biar tidak ada fitnah setelah ini."Tidak. Jangan sampai dia tahu," sergahnya cepat.Aku terperanjat mendengar jawaban Mas Fandy. Lalu, kakiku refleks mundur beberapa langkah dari hadapannya."Kenapa tidak boleh tahu? Memang apa yang Mas mau katakan?" balasku cepat."Soal kita, Dek. Ini tentang kita." Mas Fandy kembali melangkah maju untuk meraih pergelangan tanganku.Namun, dengan cepat segera kutepis tangan mantan kekasihku itu. "Tentang kita gimana? Kita sudah selesai, Mas. Ngga ada lagi yang harus dibahas antara kita.""Kamu dan Mas sama-sama menikah karena terpa
Bab 27Mas Lana beranjak dari tempat duduknya saat melihatku shock. Ia meraih ponsel dari tanganku untuk dilihat dengan mata kepalanya sendiri."Ada apa, Sayang?" ucapnya saat meraih benda pipih yang kupegang."Bapak, Mas," lirihku tak kuasa menahan tangis."Astagaa," ucap Mas Lana saat ia melihat rekaman tersebut.Seseorang sengaja menabrak Bapak dengan motornya dan direkam oleh yang lainnya lalu dikirim ke nomerku. Bapak jatuh tersungkur dari atas motor. Setelah terjatuh Bapak tergeletak tak berdaya dan si penabrak itu lari tak bertanggung jawab. Sungguh tega yang melakukan itu."Siapa pengirimnya?" tanya Mas Lana saat ia memutar kembali rekaman tersebut.Aku menggeleng lemah. Nomer yang mengirimi video itu tidak tersimpan dalam kontak di ponselku."Kita ke Bapak sekarang ya, Mas? Aku khawatir sama keadaan Bapak," ajakku setelah Mas Lana selesai melihat rekaman tersebut.Mas Lana mengangguk. Ia mengusap bahuku agar aku tenang. "Sabar ya? Kita pergi sekarang.""Iya, Mas. Aku harus pa
Bab 28Bapak mengusap pucuk kepalaku saat aku tiba-tiba saja memeluk badannya sambil terisak. Meskipun kesakitan, Bapak tak serta-merta memintaku pergi. Ia membiarkanku meluapkan rasa yang sedang berkecamuk dalam hati."Kenapa kamu?" tanya Bapak lirih. Kurasakan usapan tangannya di atas pucuk kepalaku dengan lembut."Ini semua gara-gara Rani, Pak. Ini semua salah Rani," racauku sambil terisak."Salah apa kamu?" tanya Ibu setelah beliau mengikutiku ke dalam kamar.Aku makin terisak mendengar suara tegas milik Ibu. Sudah terbayangkan reaksi Ibu jika saja tahu apa yang baru saja kulakukan. Sudah barang pasti beliau akan murka padaku."Dik sudah," ucap Mas Lana berusaha menghentikanku. Ia mendekatiku, lalu meraih badanku agar bangkit dari dudukku."Tidak perlu membuka semuanya di sini, yang penting kamu sudah tahu dan jangan diulangi lagi," bisik Mas Lana saat berusaha menenangkanku."Gara-gara kamu kenapa, Ran? Bilang sama Ibu!" pekik Ibu tak sabaran. Mendadak orang tuaku itu cemas melih
Bab 50PoV Maharani Lelaki itu mengikatku dengan tali, kencang sekali. Kesempatan ini tak kusia-siakan. Aku segera berteriak agar siapapun yang diluaran sana mendengar suaraku."Tolong!" teriakku kencang."Hey! Diam kamu!" sengit lelaki itu sambil menatapku tajam.Tak kupedulikan tatapan lelaki itu. Aku kembali berteriak. "Tolong!" "Dasar kamu!" Lelaki itu kembali menatapku penuh emosi. Ia lantas berjalan keluar dari bangunan tua ini dan kembali dengan membawa kain panjang dan diikatkan di mulutku. Aku tak lagi bisa berontak. Kedua tangan dan kakiku diikat. Entah apa yang akan dia lakukan padaku."Diam kamu kalau tidak mau aku bermain kasar denganmu!" sentak lelaki itu. Ia lantas berjalan keluar dari bangunan ini.Aku hanya bisa menangis sambil berdoa dalam hati. Siapapun itu, diluaran sana, tolong aku. Aku takut di sini. Lelaki itu kembali setelah beberapa saat. Ia mendekatiku, lalu membuka ikatan tanganku tapi tetap memegangi pergelangan tanganku agar aku tak berontak."Jangan
Bab 49PoV Maulana Mobil yang kukendarai melaju dengan kencang menuju jalan raya. Suara teriakan wanita di belakangku membuatku turut panik. Berbagai pikiran buruk terus saja muncul dalam pikiranku.Setibanya di klinik, seorang tenaga medis membantu menaikkan tubuh ibu muda itu ke atas brankar untuk dibawa ke ruangan IGD."Mas, makasih ya? Kalau ngga ada Mas saya ngga tahu lagi harus gimana. Saya ngga bisa bawa istri saya pakai motor sebab khawatir kalau dia kenapa-kenapa di jalan," ucap lelaki itu sambil berulang kali melihat brankar sang istri yang sudah didorong oleh petugas."Sama-sama, Pak. Semoga ibu dan bayinya sehat dan selamat. Saya permisi," ucapku sopan."Aamiin. Hati-hati di jalan, Mas," ucap bapak itu sambil menyelipkan amplop ke dalam tanganku saat aku berpamitan."Ngga usah, Pak. Saya senang bisa bantu Ibu. Ngga pakai ginian," ucapku seraya mengembalikan amplop itu ke dalam tangan pemiliknya."Mas beneran?" Binar di mata bapak muda itu bersinar sambil berkaca-kaca."Be
Bab 48PoV MaharaniMelihat Mas Lana ada di depan mata, rasanya aku tak percaya. Dia bisa sampai disini dan menemukanku untuk mengajaknya kembali.Sayangnya, aku masih kesal padanya sebab dia yang sudah tega menuduhku yang bukan-bukan. Harus kuberi pelajaran dulu agar dia tahu caranya menghargai pasangan.Berulang kali mendapatinya mengejarku membuatku merasa bahwa dia laki-laki yang memang bertanggung jawab. Hasutan Renata mampu membuat suamiku yang baik itu sampai tega melontarkan kata-kata yang menyakitkan padahal selama bersamaku, Mas Lana terbilang dewasa dalam menyikapi setiap permasalahan yang terjadi.Tiga hari, adalah waktu yang kuperkirakan untuk membuat Mas Lana cukup menyesali perbuatannya. Setelah tiga hari, aku akan mulai menerima ajakannya bicara untuk memperbaiki semuanya.Mataku membelalak saat melihat Mas Fandy tiba-tiba saja ada di sini, di rumah Bulik yang jauh dari rumah kami di kota, di hadapanku dengan senyumnya yang masih sama seperti saat kita menjalin hubunga
Bab 47PoV Maulana Setelah beristirahat, badanku sedikit membaik. Perutku pun rasanya minta segera diisi. Sehari kemarin, Bulik yang memberiku makan maka sekarang, aku ingin membalas kebaikannya dengan membelikan makanan untuk seisi rumah.Ikan bakar beserta sambal dan lalapan sudah ada di tanganku. Aku ingat, di awal kehamilan Rani, ia sempat meminta dibelikan makanan ini. Kali ini aku ingin mengulang momen itu, dimana hubungan kami masih baik-baik saja dan tidak ada masalah apapun."Repot-repot aja Nak Lana," ucap Bulik saat aku mengulurkan beberapa kotak berisi ikan padanya."Enggak, Bulik. Kemarin Bulik yang memberiku makan, maka sekarang izinkan Lana mentraktir kalian semua," balasku sambil mengulum senyum. Sayangnya, Rani sama sekali tak melirikku padahal ia sedang duduk di ruang tengah."Walah, rejeki ini namanya. Kebetulan aja Bulik baru mau masak buat makan malam. Sekarang ayo sini kumpul makan dulu," ajak Bulik."Pak, ayo makan dulu," teriak Bulik di ambang pintu dapur. E
Bab 46Pov MaulanaMalam ini adalah malam pertama aku tidur di rumah ini. Panas sekali. Tidak ada AC, hanya ada kipas angin kecil yang sudah usang. Dan itu pun tak bisa sesejuk kipas angin yang masih baru. Tak hanya itu, kipas angin itu berbunyi saat kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri. Ah seharusnya ini kumatikan saja. Tanganku tergerak menekan tombol kipas itu. Dari pada berisik dan aku tak jadi tidur lebih baik tak usah kipas angin.Berulang kali aku harus menghela napas panjang untuk menyesuaikan diri dengan kondisi rumah ini. Berat, tapi demi Rani aku harus rela menelan semua ini.Terpaksa kulepas bajuku agar aku bisa tidur malam ini. Badanku baru terasa sejuk saat aku hanya mengenakan celana pendek saja tanpa atasan. Kulit punggungku menempel pada kain sprei yang meskipun warnanya sudah pudar, kain itu tetap terasa dingin.Keesokan harinya, badanku sakit semuanya. Kasurnya bukan dari springbed tapi dari kasur kapuk yang sepertinya sudah lama. Saat aku tidur tidak ada empukn
Bab 45Rani masih saja mengurung diri di kamar. Ia tak mau menemuiku hingga malam menjelang. Sedangkan aku, tak tahu harus bagaimana lagi untuk merayunya agar mau bertemu dan bicara denganku."Nak Lana sabar aja dulu. Jangan dipaksa terus nanti malah Rani ngga mau keluar." Bulik kembali berujar setelah berulang kali aku mengajak bicara Rani dari depan pintu."Saya merasa bersalah, Bulik. Melihat Rani seperti ini, makin membuat saya tak tenang.""Ya namanya perempuan. Maklum kalau ngambek begitu. Ditunggu aja dulu sampai dia mau keluar sendiri.""Apa Bulik tidak keberatan kalau saya di sini sampai Rani mau keluar?" tanyaku kembali memastikan. Sebab aku tidak tahu kapan Rani akan keluar."Ya enggak. Bulik ini tinggal di rumah ibumu, ya ngga apa-apa kalau kamu mau disini sampai kapan pun. Bulik malah senang bisa dekat sama keponakan, kapan lagi kalian datang ke sini?" Bulik tersenyum setelahnya, menunjukkan bahwa ia tak keberatan dengan keberadaanku dan Rani.Aku tersenyum. Rasa lega kem
Bab 44Sebuah rumah sederhana menjadi tempatku berhenti setelah berulang kali bertanya perihal alamat yang diberikan oleh Bapak. Rumah buliknya Rani, Bu Sulastri.Aku berjalan dengan langkah penuh keyakinan bahwa Rani ada di sini, di rumah ini dan aku bisa segera membawanya kembali ke rumah kami."Permisi, assalamualaikum," ucapku setelah mengetuk pintu. Aku berdiri dengan harap-harap cemas.Dua kali ketukan tak kunjung ada seseorang dari dalam yang menjawab salamku. Akan tetapi, aku tetap sabar menunggu hingga sang pemilik mendengar salamku dan membukakan pintu.Benar saja, tak butuh waktu lama, seseorang membukakan pintu untukku."Waalaikum salam. Cari siapa ya, Nak?" jawab seseorang setelah pintu ruang tamu itu terbuka. Seorang perempuan paruh baya dengan ciput yang membungkus kepalanya. Gamis panjang melekat di tubuhnya yang tidak terlalu gemuk."Saya cari Rani. Apa dia ada di sini?" tanyaku tak sabaran."Rani?" jawab perempuan paruh baya yang sepertinya beliau ini yang bernama Bu
Bab 43PoV Maulana Aku terkekeh mendengar permintaan Fandy. Permintaan macam apa itu? Dia sudah menikah, aku pun sudah menikah. Bagaimana bisa dia meminta Rani untuknya hanya karena setelah membantuku memberi informasi soal keluarganya."Jangan mimpi kamu! Rani sudah sah menjadi milikku dan aku ngga akan melepas dia begitu saja." Aku berucap dengan tegas sambil menatap wajah yang sedang merasa bangga di depanku itu.Fandy terkekeh. Ia mengalihkan pandangannya sejenak dari hadapanku lalu kembali menatapku setelah beberapa saat."Baiklah. Aku tidak akan memberi tahu kamu soal dimana rumah saudara Rani. Silahkan kamu cari tahu sendiri soal ini ke orang tua Rani. Itu pun kalau mereka tidak murka padamu sebab sudah membuat anak mereka pergi dari sini!" Fandy terkekeh setelahnya.Ucapan Fandy itu sedikit membuat ketakutan dalam dadaku makin meningkat. Tapi, sebagai laki-laki aku harus menerima setiap konsekuensi dari apa yang sudah kulakukan pada Rani, sesuai dengan apa yang Mama ucapkan.
Bab 42PoV Maulana Aku menatap geram wajah Renata. Padahal kemarin aku sudah baik padanya, membantu mengatasi masalahnya tapi ini balasan dia padaku?Aku salah mengartikan kebaikannya selama ini. Kukira dia memang benar baik, nyatanya ada maksud yang tersembunyi dari semua kebaikannya padaku.Benar apa yang dilakukan Maharani dengan bersikap tegas pada Renata kemarin. Sekarang aku yang menjadi korban keegoisannya. Aku lupa melindungi keluargaku dari godaan perempuan seperti Renata padahal istriku sudah melakukannya lebih dulu.Aku merasa gagal sebagai suami."Aku minta maaf, Lan. Aku sungguh masih cinta kamu. Aku ingin kita balikan lagi kayak dulu. Aku ngga bisa lepasin kamu," rengek Renata setelah ia menjelaskan semuanya padaku. Tidak ada rasa bersalah sedikitpun dalam diri Renata setelah apa yang ia lakukan padaku. Ia masih berani mengajakku menjalin hubungan setelah rumah tanggaku porak-poranda karenanya.Benar memang Mbak Narti adalah orang suruhannya dan semua itu hasil rekayas