Bab 26Aku tertegun dengan permintaan Mas Fandy. Bagaimana bisa dia mengajak istri orang untuk pergi ke kafe berdua? Apa tidak terlintas di pikirannya bahwa aku ini sudah jadi istri orang dan tak bisa lagi diajak kemanapun hanya berdua saja?"Bagaimana? Kamu mau kan?" tanya Mas Fandy lagi saat aku tidak merespon permintaannya. Kali ini ia bicara dengan nada yang sedikit memaksa."Kita ke kafe Mas Lana aja gimana?" usulku. Biar tidak ada fitnah setelah ini."Tidak. Jangan sampai dia tahu," sergahnya cepat.Aku terperanjat mendengar jawaban Mas Fandy. Lalu, kakiku refleks mundur beberapa langkah dari hadapannya."Kenapa tidak boleh tahu? Memang apa yang Mas mau katakan?" balasku cepat."Soal kita, Dek. Ini tentang kita." Mas Fandy kembali melangkah maju untuk meraih pergelangan tanganku.Namun, dengan cepat segera kutepis tangan mantan kekasihku itu. "Tentang kita gimana? Kita sudah selesai, Mas. Ngga ada lagi yang harus dibahas antara kita.""Kamu dan Mas sama-sama menikah karena terpa
Bab 27Mas Lana beranjak dari tempat duduknya saat melihatku shock. Ia meraih ponsel dari tanganku untuk dilihat dengan mata kepalanya sendiri."Ada apa, Sayang?" ucapnya saat meraih benda pipih yang kupegang."Bapak, Mas," lirihku tak kuasa menahan tangis."Astagaa," ucap Mas Lana saat ia melihat rekaman tersebut.Seseorang sengaja menabrak Bapak dengan motornya dan direkam oleh yang lainnya lalu dikirim ke nomerku. Bapak jatuh tersungkur dari atas motor. Setelah terjatuh Bapak tergeletak tak berdaya dan si penabrak itu lari tak bertanggung jawab. Sungguh tega yang melakukan itu."Siapa pengirimnya?" tanya Mas Lana saat ia memutar kembali rekaman tersebut.Aku menggeleng lemah. Nomer yang mengirimi video itu tidak tersimpan dalam kontak di ponselku."Kita ke Bapak sekarang ya, Mas? Aku khawatir sama keadaan Bapak," ajakku setelah Mas Lana selesai melihat rekaman tersebut.Mas Lana mengangguk. Ia mengusap bahuku agar aku tenang. "Sabar ya? Kita pergi sekarang.""Iya, Mas. Aku harus pa
Bab 28Bapak mengusap pucuk kepalaku saat aku tiba-tiba saja memeluk badannya sambil terisak. Meskipun kesakitan, Bapak tak serta-merta memintaku pergi. Ia membiarkanku meluapkan rasa yang sedang berkecamuk dalam hati."Kenapa kamu?" tanya Bapak lirih. Kurasakan usapan tangannya di atas pucuk kepalaku dengan lembut."Ini semua gara-gara Rani, Pak. Ini semua salah Rani," racauku sambil terisak."Salah apa kamu?" tanya Ibu setelah beliau mengikutiku ke dalam kamar.Aku makin terisak mendengar suara tegas milik Ibu. Sudah terbayangkan reaksi Ibu jika saja tahu apa yang baru saja kulakukan. Sudah barang pasti beliau akan murka padaku."Dik sudah," ucap Mas Lana berusaha menghentikanku. Ia mendekatiku, lalu meraih badanku agar bangkit dari dudukku."Tidak perlu membuka semuanya di sini, yang penting kamu sudah tahu dan jangan diulangi lagi," bisik Mas Lana saat berusaha menenangkanku."Gara-gara kamu kenapa, Ran? Bilang sama Ibu!" pekik Ibu tak sabaran. Mendadak orang tuaku itu cemas melih
Bab 29Mas Lana makin menunjukkan perhatiannya setelah tahu bahwa rahimku terisi oleh benihnya. Ia makin membatasi ruang gerakku sebab tak mau janin dalam perutku ini kenapa-kenapa."Sudah, jangan minta yang aneh-aneh. Jangan minta kerja-kerja lagi. Kamu rebahan aja. Kalau bosen di rumah, kamu boleh main ke rumah Mama atau ke tempat Ibu. Atau bisa juga kamu ikut Mas ke kafe." Mas Lana masih saja mengomel saat dalam perjalanan pulang dari klinik."Baik, Mas. Aku di rumah aja. Tapi kalau aku bosen, apa aku boleh beli novel buat baca-baca di rumah?" tanyaku membuat pertimbangan."Boleh, Sayang. Nanti kita ke toko buku sama-sama. Kamu boleh beli novel apapun yang kamu suka," balas Mas Lana sumringah."Astaga Mas. Ngapain beli keluar. Kan pake aplikasi di ponselku bisa. Tinggal top up koin, kita udah bisa baca." Aku mencoba menjelaskan. Sejak tidak bekerja, aku sering menghabiskan waktu dengan membaca."Oalah. Mas ngga tahu. Boleh lah. Asal kamu senang di rumah dan ngga bosen.""Makasih ya
Bab 30Mas Fandy mengerutkan dahinya sambil menatapku dengan tatapan bingung. Ia hanya diam, tanpa menyela apalagi menyahuti ocehanku."Sebaiknya jangan berteman karena istrimu tak terima dengan hubungan baik kita ini! Sudah, jangan lagi menyapaku jika bertemu sebab kalau istrimu tahu keluargaku yang jadi sasarannya!" racauku lagi. "Aku ngga paham apa maksud ucapanmu! Ada apa sebenarnya? Jelaskan padaku." Mas Fandy menyahuti dengan tatapan bingung."Kemarin, saat Mas mengantarku ke kafe Mas Lana, seseorang mengiriminya foto kita berdua. Entah siapa yang mengambil gambar itu, aku tak paham. Lalu, setelahnya aku mendapatkan kiriman video Bapak ditabrak seseorang. Dan itu perbuatan Laila. Dia khawatir kalau kita ada apa-apa dibelakang dia. Jadi sebaiknya Mas jangan lagi dekat-dekat denganku." Aku berusaha menjelaskan duduk perkaranya.Mas Fandy melongo mendengar penuturanku. Ia terkejut dengan tingkah ngawur istrinya itu yang dapat mem
Bab 31Mataku membelalak saat tanganku berhasil membuka pintu ruangan Mas Lana. Di depanku, Renata sedang duduk di atas meja menghadap suamiku dengan pandangan intens. Jarak keduanya tak ada satu meter.Mas Lana hanya duduk diam tanpa ekspresi. Tangannya menumpu dagu. Saat aku masuk, Mas Lana segera berdiri dari duduknya. Demikian juga dengan Renata. Ia turun dari meja dan berdiri dengan tangan bersidekap."Sayang, kamu datang?" tanya Mas Lana sambil berjalan mendekat ke arahku."Ada apa ini, Mas? Sedang apa kalian berdua di sini?" tanyaku sambil menyapu pandangan. Napasku mulai memburu, seiring dengan prasangka-prasangka yang satu per satu mulai bercokol dalam pikiran."Tidak, Sayang. Tidak ada apa-apa dengan kami. Kami hanya bicara berdua saja. Tidak ada maksud lainnya." Mas Lana berusaha menyentuhku tapi bergerak aku menjauh.Renata menyeringai licik. Sorot matanya menatapku dengan tatapan meremehkan. "Aku hanya sedang mengajaknya menjalin hubungan sebab aku masih cinta.""Tidak b
Bab 32Mataku terbuka perlahan dan mendapati diriku sudah berada di ruangan serba putih. Kepalaku terasa pening sekali hingga aku tak berani banyak bergerak."Dik, kamu ngga apa-apa?" tanya sebuah suara yang tak asing bagiku. Pandanganku terarah pada sumber suara itu. Betapa terkejutnya aku saat mendapati pemilik suara itu yang ternyata adalah Mas Fandy."Mas Fandy? Kenapa ada di sini?" tanyaku kaget."Bukannya kamu yang kirim pesan buat nyuruh Mas datang? Kamu bilang suamimu sedang ada kerjaan di luar kota dan ngga bisa antar. Saat Mas datang, kamu sudah tergeletak." Mas Fandy menjelaskan dengan menggebu."Mengirim pesan?" lirihku mengulang ucapannya. Kupaksa kepalaku untuk berpikir, apa yang terjadi sebelum aku pingsan. Seingatku, aku hanya minum susu lalu perutku terasa nyeri. Bagaimana mungkin Mas Fandy bilang bahwa aku mengiriminya pesan?"Ini pesannya masih ada. Mas belum hapus." Mas Fandy segera meraih ponselnya di dalam saku. Jemarinya menari di atas layar, lalu ditunjukannya
Bab 33Aku menunggu dengan sabar kedatangan Mas Lana setelah pergi sejak pertengkaran kami tadi. Ia tak juga menghubungiku. Baru kali ini Mas Lana seperti ini padaku.Saat aku sedang duduk sambil menangis, Mama datang dengan tergesa. Ia segera masuk setelah membuka pintu ruang perawatan."Assalamualaikum," ucap Mama sambil berjalan ke arahku. Ia memelukku tanpa suara."Waalaikum salam, Ma. Ma, maafkan Rani. Ngga ada maksud gimana pun. Ini semua diluar kendali Rani. Rani ngga tau ada apa di minuman itu sampai menyebabkan semua ini terjadi." Aku terisak dalam pelukan Mama.Tangan Mama mengusap punggungku dengan perlahan. "Tenang ya, Sayang? Ceritakan pada Mama apa yang sebenarnya terjadi," ucap Mama tenang.Mendengar suara Mama yang lembut, perlahan tangisku mereda. Sepertinya beliau tidak marah, seperti Mas Lana."Mama tidak marah?" tanyaku setelah Mama mengurai pelukannya. Aku menatap Mama dengan tatapan penuh harap."Mengapa harus marah? Anak itu rejeki. Kita ngga bisa berbuat apapun
Bab 45Rani masih saja mengurung diri di kamar. Ia tak mau menemuiku hingga malam menjelang. Sedangkan aku, tak tahu harus bagaimana lagi untuk merayunya agar mau bertemu dan bicara denganku."Nak Lana sabar aja dulu. Jangan dipaksa terus nanti malah Rani ngga mau keluar." Bulik kembali berujar setelah berulang kali aku mengajak bicara Rani dari depan pintu."Saya merasa bersalah, Bulik. Melihat Rani seperti ini, makin membuat saya tak tenang.""Ya namanya perempuan. Maklum kalau ngambek begitu. Ditunggu aja dulu sampai dia mau keluar sendiri.""Apa Bulik tidak keberatan kalau saya di sini sampai Rani mau keluar?" tanyaku kembali memastikan. Sebab aku tidak tahu kapan Rani akan keluar."Ya enggak. Bulik ini tinggal di rumah ibumu, ya ngga apa-apa kalau kamu mau disini sampai kapan pun. Bulik malah senang bisa dekat sama keponakan, kapan lagi kalian datang ke sini?" Bulik tersenyum setelahnya, menunjukkan bahwa ia tak keberatan dengan keberadaanku dan Rani.Aku tersenyum. Rasa lega kem
Bab 44Sebuah rumah sederhana menjadi tempatku berhenti setelah berulang kali bertanya perihal alamat yang diberikan oleh Bapak. Rumah buliknya Rani, Bu Sulastri.Aku berjalan dengan langkah penuh keyakinan bahwa Rani ada di sini, di rumah ini dan aku bisa segera membawanya kembali ke rumah kami."Permisi, assalamualaikum," ucapku setelah mengetuk pintu. Aku berdiri dengan harap-harap cemas.Dua kali ketukan tak kunjung ada seseorang dari dalam yang menjawab salamku. Akan tetapi, aku tetap sabar menunggu hingga sang pemilik mendengar salamku dan membukakan pintu.Benar saja, tak butuh waktu lama, seseorang membukakan pintu untukku."Waalaikum salam. Cari siapa ya, Nak?" jawab seseorang setelah pintu ruang tamu itu terbuka. Seorang perempuan paruh baya dengan ciput yang membungkus kepalanya. Gamis panjang melekat di tubuhnya yang tidak terlalu gemuk."Saya cari Rani. Apa dia ada di sini?" tanyaku tak sabaran."Rani?" jawab perempuan paruh baya yang sepertinya beliau ini yang bernama Bu
Bab 43PoV Maulana Aku terkekeh mendengar permintaan Fandy. Permintaan macam apa itu? Dia sudah menikah, aku pun sudah menikah. Bagaimana bisa dia meminta Rani untuknya hanya karena setelah membantuku memberi informasi soal keluarganya."Jangan mimpi kamu! Rani sudah sah menjadi milikku dan aku ngga akan melepas dia begitu saja." Aku berucap dengan tegas sambil menatap wajah yang sedang merasa bangga di depanku itu.Fandy terkekeh. Ia mengalihkan pandangannya sejenak dari hadapanku lalu kembali menatapku setelah beberapa saat."Baiklah. Aku tidak akan memberi tahu kamu soal dimana rumah saudara Rani. Silahkan kamu cari tahu sendiri soal ini ke orang tua Rani. Itu pun kalau mereka tidak murka padamu sebab sudah membuat anak mereka pergi dari sini!" Fandy terkekeh setelahnya.Ucapan Fandy itu sedikit membuat ketakutan dalam dadaku makin meningkat. Tapi, sebagai laki-laki aku harus menerima setiap konsekuensi dari apa yang sudah kulakukan pada Rani, sesuai dengan apa yang Mama ucapkan.
Bab 42PoV Maulana Aku menatap geram wajah Renata. Padahal kemarin aku sudah baik padanya, membantu mengatasi masalahnya tapi ini balasan dia padaku?Aku salah mengartikan kebaikannya selama ini. Kukira dia memang benar baik, nyatanya ada maksud yang tersembunyi dari semua kebaikannya padaku.Benar apa yang dilakukan Maharani dengan bersikap tegas pada Renata kemarin. Sekarang aku yang menjadi korban keegoisannya. Aku lupa melindungi keluargaku dari godaan perempuan seperti Renata padahal istriku sudah melakukannya lebih dulu.Aku merasa gagal sebagai suami."Aku minta maaf, Lan. Aku sungguh masih cinta kamu. Aku ingin kita balikan lagi kayak dulu. Aku ngga bisa lepasin kamu," rengek Renata setelah ia menjelaskan semuanya padaku. Tidak ada rasa bersalah sedikitpun dalam diri Renata setelah apa yang ia lakukan padaku. Ia masih berani mengajakku menjalin hubungan setelah rumah tanggaku porak-poranda karenanya.Benar memang Mbak Narti adalah orang suruhannya dan semua itu hasil rekayas
Bab 41PoV MaharaniAku pergi dengan membawa hati yang penuh luka. Sepanjang perjalanan aku hanya bisa menangis saja, menyesali semua yang sudah terjadi.Ya, aku menyesal. Menyesal karena telah grusah-grusuh menentukan pilihan yang kini berakhir luka. Meskipun menyesal, aku berusaha untuk selalu mencari sisi positif dari apa yang terjadi ini.Aku tidak sepenuhnya menyalahkan Mas Lana sebab ia pun korban. Seandainya ia tahu bahwa semua ini adalah ulah Renata, aku yakin Mas Lana tetap ada di pihakku. Ia akan terus mendampingiku apapun yang terjadi. Sayangnya, Mas Lana hanya manusia biasa yang mudah termakan hasutan. Apalagi hasutan itu datang dari orang yang pernah singgah di hatinya. Entah karena terlalu percaya pada Renata atau karena masih cinta aku tak tahu.Kulihat ponsel yang sejak pergi kumatikan. Aku belum ingin membagi kabar kepergianku pada siapapun. Biarlah Mas Lana yang bertanggung jawab pada semua orang jika mereka mencari keberadaanku. Biar Mas Lana yang mencari alasan pa
Bab 40Fandy membiarkanku pergi setelah ia menghajarku hingga puas. Biar, aku salah memang. Aku pantas dihajar olehnya. Aku yang sudah menikahi Rani dan mengambil Rani dari tangannya malah kusia-siakan seperti ini.Aku salah. Aku pantas dihukum. Kalau kalian mau mengahajarku, silahkan. Aku memang pantas dihukum.Kupukul bundaran setir dengan tanganku hingga aku puas. Aku tidak tahu kemana Rani pergi. Melihat reaksi Fandy, aku makin merasa bersalah kali ini.Astaga, Rani. Kamu di mana? Maafkan aku. Kututup wajahku dengan kedua tangan. Selain karena Mama, baru kali ini aku menangis karena perempuan. Seharusnya kemarin aku menunggunya, merawatnya saat dia juga butuh support dari suami.Aku malah marah pada Rani dan melontarkan kalimat yang menyakitkan. Ya Allah, maafkan aku.Bertahun-tahun mereka menjalin hubungan dan baik-baik saja, sedangkan aku, baru beberapa waktu menjalin hubungan tapi sudah membuat Rani pergi dari rumah seperti ini. Kemana Rani pergi jika di rumah orang tuanya ti
Bab 39Aku terdiam tak berani menjawab pertanyaan Bapak. Rani anak satu-satunya, bagaimana jika Bapak tahu bahwa aku sudah menyakiti putri semata wayangnya? Beliau pasti murka padaku.Sebaiknya aku berpikir cepat untuk mencari alasan. Sebab tidak mungkin kukatakan sekarang bahwa Rani pergi dari rumah karena kecerobohanku."'Nak Lana? Rani mana?" tanya Bapak sekali lagi.Mataku mengerjap, memberanikan diri menatap wajah Bapak."Em ... Anu, Pak. Saya ... saya cuma mau ambilkan baju Rani saja. Dia lagi saya suruh istirahat di rumah. Dia minta diambilkan baju kesukaannya yang biasa dipakai," jawabku tergagap. Jika apa yang kuucapkan itu terkesan aneh, maka biarlah. Yang penting aku selamat dari murka kedua orang tua Rani hari ini."Oalah, Rani kok ya ada-ada saja. Baju saja sampai suaminya diminta ambilkan ke rumah," jawab Bapak sambil geleng-geleng kepala. "Ya sudah, masuk sana bilang ke ibumu, biar diambilkan Ibu bajunya yang mana," sambung Bapak lagi sambil menunjuk bagian dalam rumah.
Bab 38PoV MaulanaAku kesal sekali pada istriku. Bisa-bisanya dia meminum obat untuk menggugurkan kandungannya, padahal anak itu sudah sangat kuharapkan.Emosiku makin memuncak saat aku datang ke rumah sakit dan melihat laki-laki itu di sana. Mengapa harus mantannya yang dihubungi bukan aku atau orang tua kami?Astaga. Maharani, kukira kamu perempuan cerdas. Tapi ternyata, kamu masih saja terbelenggu dengan masa lalu kamu."Pusing sekali kelihatannya," ujar Renata saat siang itu dia datang ke kafe. Dia datang di waktu yang tepat. Aku butuh teman bicara. Sejak kejadian itu, aku seperti orang gila yang memendam masalahku sendiri."Iya. Aku sedang pusing." Aku menjawab sambil memijit kepalaku yang memang terasa pusing."Kenapa? Cerita sama aku. Aku masih sama seperti yang dulu. Kamu bisa cerita apapun sama aku, bahkan kalau kamu butuh bantuan, aku akan bersedia membantumu." Renata tersenyum sumringah. Wajahnya masih sama seperti saat kami dekat dulu. Dia memang pandai merawat diri.Maha
Bab 37Mbak Narti meraung memohon ampun padaku saat aku masih sibuk mengontrol emosi. Bisa-bisanya perempuan itu, diam-diam merencanakan ini semua padaku. Sedendam ini kah Renata padaku hingga tega membunuh bayi yang tak berdosa ini?Astaghfirullah. Kuremas perut yang menjadi tempat persinggahan sementara calon bayiku. Hanya sebentar saja dia bertahan di sini dan sekarang harus pergi karena keegoisan perempuan itu."Saya mohon ampun, Bu," ucap Mbak Narti lagi, tak peduli pada dua anak yang sedang mengintip di balik tirai rumahnya. Ia bersimpuh di kakiku, berharap aku akan membiarkannya begitu saja."Saya akan memaafkan Mbak Narti asal dengan satu syarat," balasku tak mau begitu saja melepasnya. Dia sudah memulai semuanya berarti dia juga yang harus menyelesaikan masalah ini."Tolong, jangan bawa saya ke kantor polisi, Bu. Saya takut. Saya melakukan ini semua karena terdesak. Saya tak punya pilihan lainnya." Air mata Mbak Narti terus saja mengucur deras. "Apapun masalah Mbak Narti, s