Bab 28Bapak mengusap pucuk kepalaku saat aku tiba-tiba saja memeluk badannya sambil terisak. Meskipun kesakitan, Bapak tak serta-merta memintaku pergi. Ia membiarkanku meluapkan rasa yang sedang berkecamuk dalam hati."Kenapa kamu?" tanya Bapak lirih. Kurasakan usapan tangannya di atas pucuk kepalaku dengan lembut."Ini semua gara-gara Rani, Pak. Ini semua salah Rani," racauku sambil terisak."Salah apa kamu?" tanya Ibu setelah beliau mengikutiku ke dalam kamar.Aku makin terisak mendengar suara tegas milik Ibu. Sudah terbayangkan reaksi Ibu jika saja tahu apa yang baru saja kulakukan. Sudah barang pasti beliau akan murka padaku."Dik sudah," ucap Mas Lana berusaha menghentikanku. Ia mendekatiku, lalu meraih badanku agar bangkit dari dudukku."Tidak perlu membuka semuanya di sini, yang penting kamu sudah tahu dan jangan diulangi lagi," bisik Mas Lana saat berusaha menenangkanku."Gara-gara kamu kenapa, Ran? Bilang sama Ibu!" pekik Ibu tak sabaran. Mendadak orang tuaku itu cemas melih
Bab 29Mas Lana makin menunjukkan perhatiannya setelah tahu bahwa rahimku terisi oleh benihnya. Ia makin membatasi ruang gerakku sebab tak mau janin dalam perutku ini kenapa-kenapa."Sudah, jangan minta yang aneh-aneh. Jangan minta kerja-kerja lagi. Kamu rebahan aja. Kalau bosen di rumah, kamu boleh main ke rumah Mama atau ke tempat Ibu. Atau bisa juga kamu ikut Mas ke kafe." Mas Lana masih saja mengomel saat dalam perjalanan pulang dari klinik."Baik, Mas. Aku di rumah aja. Tapi kalau aku bosen, apa aku boleh beli novel buat baca-baca di rumah?" tanyaku membuat pertimbangan."Boleh, Sayang. Nanti kita ke toko buku sama-sama. Kamu boleh beli novel apapun yang kamu suka," balas Mas Lana sumringah."Astaga Mas. Ngapain beli keluar. Kan pake aplikasi di ponselku bisa. Tinggal top up koin, kita udah bisa baca." Aku mencoba menjelaskan. Sejak tidak bekerja, aku sering menghabiskan waktu dengan membaca."Oalah. Mas ngga tahu. Boleh lah. Asal kamu senang di rumah dan ngga bosen.""Makasih ya
Bab 30Mas Fandy mengerutkan dahinya sambil menatapku dengan tatapan bingung. Ia hanya diam, tanpa menyela apalagi menyahuti ocehanku."Sebaiknya jangan berteman karena istrimu tak terima dengan hubungan baik kita ini! Sudah, jangan lagi menyapaku jika bertemu sebab kalau istrimu tahu keluargaku yang jadi sasarannya!" racauku lagi. "Aku ngga paham apa maksud ucapanmu! Ada apa sebenarnya? Jelaskan padaku." Mas Fandy menyahuti dengan tatapan bingung."Kemarin, saat Mas mengantarku ke kafe Mas Lana, seseorang mengiriminya foto kita berdua. Entah siapa yang mengambil gambar itu, aku tak paham. Lalu, setelahnya aku mendapatkan kiriman video Bapak ditabrak seseorang. Dan itu perbuatan Laila. Dia khawatir kalau kita ada apa-apa dibelakang dia. Jadi sebaiknya Mas jangan lagi dekat-dekat denganku." Aku berusaha menjelaskan duduk perkaranya.Mas Fandy melongo mendengar penuturanku. Ia terkejut dengan tingkah ngawur istrinya itu yang dapat mem
Bab 31Mataku membelalak saat tanganku berhasil membuka pintu ruangan Mas Lana. Di depanku, Renata sedang duduk di atas meja menghadap suamiku dengan pandangan intens. Jarak keduanya tak ada satu meter.Mas Lana hanya duduk diam tanpa ekspresi. Tangannya menumpu dagu. Saat aku masuk, Mas Lana segera berdiri dari duduknya. Demikian juga dengan Renata. Ia turun dari meja dan berdiri dengan tangan bersidekap."Sayang, kamu datang?" tanya Mas Lana sambil berjalan mendekat ke arahku."Ada apa ini, Mas? Sedang apa kalian berdua di sini?" tanyaku sambil menyapu pandangan. Napasku mulai memburu, seiring dengan prasangka-prasangka yang satu per satu mulai bercokol dalam pikiran."Tidak, Sayang. Tidak ada apa-apa dengan kami. Kami hanya bicara berdua saja. Tidak ada maksud lainnya." Mas Lana berusaha menyentuhku tapi bergerak aku menjauh.Renata menyeringai licik. Sorot matanya menatapku dengan tatapan meremehkan. "Aku hanya sedang mengajaknya menjalin hubungan sebab aku masih cinta.""Tidak b
Bab 32Mataku terbuka perlahan dan mendapati diriku sudah berada di ruangan serba putih. Kepalaku terasa pening sekali hingga aku tak berani banyak bergerak."Dik, kamu ngga apa-apa?" tanya sebuah suara yang tak asing bagiku. Pandanganku terarah pada sumber suara itu. Betapa terkejutnya aku saat mendapati pemilik suara itu yang ternyata adalah Mas Fandy."Mas Fandy? Kenapa ada di sini?" tanyaku kaget."Bukannya kamu yang kirim pesan buat nyuruh Mas datang? Kamu bilang suamimu sedang ada kerjaan di luar kota dan ngga bisa antar. Saat Mas datang, kamu sudah tergeletak." Mas Fandy menjelaskan dengan menggebu."Mengirim pesan?" lirihku mengulang ucapannya. Kupaksa kepalaku untuk berpikir, apa yang terjadi sebelum aku pingsan. Seingatku, aku hanya minum susu lalu perutku terasa nyeri. Bagaimana mungkin Mas Fandy bilang bahwa aku mengiriminya pesan?"Ini pesannya masih ada. Mas belum hapus." Mas Fandy segera meraih ponselnya di dalam saku. Jemarinya menari di atas layar, lalu ditunjukannya
Bab 33Aku menunggu dengan sabar kedatangan Mas Lana setelah pergi sejak pertengkaran kami tadi. Ia tak juga menghubungiku. Baru kali ini Mas Lana seperti ini padaku.Saat aku sedang duduk sambil menangis, Mama datang dengan tergesa. Ia segera masuk setelah membuka pintu ruang perawatan."Assalamualaikum," ucap Mama sambil berjalan ke arahku. Ia memelukku tanpa suara."Waalaikum salam, Ma. Ma, maafkan Rani. Ngga ada maksud gimana pun. Ini semua diluar kendali Rani. Rani ngga tau ada apa di minuman itu sampai menyebabkan semua ini terjadi." Aku terisak dalam pelukan Mama.Tangan Mama mengusap punggungku dengan perlahan. "Tenang ya, Sayang? Ceritakan pada Mama apa yang sebenarnya terjadi," ucap Mama tenang.Mendengar suara Mama yang lembut, perlahan tangisku mereda. Sepertinya beliau tidak marah, seperti Mas Lana."Mama tidak marah?" tanyaku setelah Mama mengurai pelukannya. Aku menatap Mama dengan tatapan penuh harap."Mengapa harus marah? Anak itu rejeki. Kita ngga bisa berbuat apapun
Bab 34"Dia bisa lakuin itu kemarin karena marah sama Mas. Kalau sekarang, apa yang membuat dia bisa lakuin itu sama kamu sementara Mas ngga pernah lagi ketemu kamu? Ngga ada yang mendasari dia untuk menyakiti kamu. Coba pikir sekali lagi," sahut Mas Fandy kembali meyakinkanku bahwa bukan istrinya yang menjadi dalang dari semua yang menimpaku ini.Aku kembali terdiam. Benar saja. Setelah kejadian itu aku dan Mas Fandy tidak lagi pernah lagi bertemu, apalagi melakukan hal yang bisa membuat Laila marah padaku. Lalu siapa orangnya?"Dik?" panggil Mas Fandy saat aku lama terdiam."Iya, Mas benar. Kita sudah lama ngga ketemu." Aku kembali bersuara. Lemas, aku tak tahu apa yang sekarang harus kulakukan."Coba ingat-ingat lagi, kamu pernah konflik sama siapa?" Pertanyaan Mas Fandy sukses membuatku berpikir dengan serius.Namun, belum sampai aku mendapatkan jawaban dari pertanyaan Mas Fandy, pintu ruangan kembali terbuka. Segera kuletakkan ponselku agar Mama tak tahu bahwa aku sedang menghub
Bab 35Mas Lana tidak benar-benar meninggalkanku sendirian di rumah sakit ini. Ia lebih banyak duduk di luar ruang perawatan dari pada berada di dalam ruangan bersamaku.Entahlah, setinggi apa emosinya hingga dia sekeras ini diam padaku. Padahal aku juga korban, tidak tahu menahu soal obat penggugur kandungan yang seseorang masukkan ke dalam minumanku.Siang ini, dokter sudah mengizinkanku pulang ke rumah. Meskipun tidak mengajak bicara, Mas Lana masih sigap membantuku membereskan semua barang-barang."Bawa aku ke rumah Ibu saja kalau Mas masih menyimpan amarah soal ini terhadapku," ucapku membuka suara. Tidak ada obrolan antara kami sejak pertengkaran kemarin. Mas Lana dan aku sama-sama bungkam."Keputusan belum diambil, tidak mungkin aku mengembalikanmu pada kedua orang tuamu." Mas Lana menjawab tanpa menoleh kepadaku. Tangannya sibuk memasukkan pakaian kami ke dalam tas besar yang sejak kemarin menjadi saksi kebisuan antara kami.Aku terdiam. Benar, lebih baik aku bertahan di rumah
Bab 50PoV Maharani Lelaki itu mengikatku dengan tali, kencang sekali. Kesempatan ini tak kusia-siakan. Aku segera berteriak agar siapapun yang diluaran sana mendengar suaraku."Tolong!" teriakku kencang."Hey! Diam kamu!" sengit lelaki itu sambil menatapku tajam.Tak kupedulikan tatapan lelaki itu. Aku kembali berteriak. "Tolong!" "Dasar kamu!" Lelaki itu kembali menatapku penuh emosi. Ia lantas berjalan keluar dari bangunan tua ini dan kembali dengan membawa kain panjang dan diikatkan di mulutku. Aku tak lagi bisa berontak. Kedua tangan dan kakiku diikat. Entah apa yang akan dia lakukan padaku."Diam kamu kalau tidak mau aku bermain kasar denganmu!" sentak lelaki itu. Ia lantas berjalan keluar dari bangunan ini.Aku hanya bisa menangis sambil berdoa dalam hati. Siapapun itu, diluaran sana, tolong aku. Aku takut di sini. Lelaki itu kembali setelah beberapa saat. Ia mendekatiku, lalu membuka ikatan tanganku tapi tetap memegangi pergelangan tanganku agar aku tak berontak."Jangan
Bab 49PoV Maulana Mobil yang kukendarai melaju dengan kencang menuju jalan raya. Suara teriakan wanita di belakangku membuatku turut panik. Berbagai pikiran buruk terus saja muncul dalam pikiranku.Setibanya di klinik, seorang tenaga medis membantu menaikkan tubuh ibu muda itu ke atas brankar untuk dibawa ke ruangan IGD."Mas, makasih ya? Kalau ngga ada Mas saya ngga tahu lagi harus gimana. Saya ngga bisa bawa istri saya pakai motor sebab khawatir kalau dia kenapa-kenapa di jalan," ucap lelaki itu sambil berulang kali melihat brankar sang istri yang sudah didorong oleh petugas."Sama-sama, Pak. Semoga ibu dan bayinya sehat dan selamat. Saya permisi," ucapku sopan."Aamiin. Hati-hati di jalan, Mas," ucap bapak itu sambil menyelipkan amplop ke dalam tanganku saat aku berpamitan."Ngga usah, Pak. Saya senang bisa bantu Ibu. Ngga pakai ginian," ucapku seraya mengembalikan amplop itu ke dalam tangan pemiliknya."Mas beneran?" Binar di mata bapak muda itu bersinar sambil berkaca-kaca."Be
Bab 48PoV MaharaniMelihat Mas Lana ada di depan mata, rasanya aku tak percaya. Dia bisa sampai disini dan menemukanku untuk mengajaknya kembali.Sayangnya, aku masih kesal padanya sebab dia yang sudah tega menuduhku yang bukan-bukan. Harus kuberi pelajaran dulu agar dia tahu caranya menghargai pasangan.Berulang kali mendapatinya mengejarku membuatku merasa bahwa dia laki-laki yang memang bertanggung jawab. Hasutan Renata mampu membuat suamiku yang baik itu sampai tega melontarkan kata-kata yang menyakitkan padahal selama bersamaku, Mas Lana terbilang dewasa dalam menyikapi setiap permasalahan yang terjadi.Tiga hari, adalah waktu yang kuperkirakan untuk membuat Mas Lana cukup menyesali perbuatannya. Setelah tiga hari, aku akan mulai menerima ajakannya bicara untuk memperbaiki semuanya.Mataku membelalak saat melihat Mas Fandy tiba-tiba saja ada di sini, di rumah Bulik yang jauh dari rumah kami di kota, di hadapanku dengan senyumnya yang masih sama seperti saat kita menjalin hubunga
Bab 47PoV Maulana Setelah beristirahat, badanku sedikit membaik. Perutku pun rasanya minta segera diisi. Sehari kemarin, Bulik yang memberiku makan maka sekarang, aku ingin membalas kebaikannya dengan membelikan makanan untuk seisi rumah.Ikan bakar beserta sambal dan lalapan sudah ada di tanganku. Aku ingat, di awal kehamilan Rani, ia sempat meminta dibelikan makanan ini. Kali ini aku ingin mengulang momen itu, dimana hubungan kami masih baik-baik saja dan tidak ada masalah apapun."Repot-repot aja Nak Lana," ucap Bulik saat aku mengulurkan beberapa kotak berisi ikan padanya."Enggak, Bulik. Kemarin Bulik yang memberiku makan, maka sekarang izinkan Lana mentraktir kalian semua," balasku sambil mengulum senyum. Sayangnya, Rani sama sekali tak melirikku padahal ia sedang duduk di ruang tengah."Walah, rejeki ini namanya. Kebetulan aja Bulik baru mau masak buat makan malam. Sekarang ayo sini kumpul makan dulu," ajak Bulik."Pak, ayo makan dulu," teriak Bulik di ambang pintu dapur. E
Bab 46Pov MaulanaMalam ini adalah malam pertama aku tidur di rumah ini. Panas sekali. Tidak ada AC, hanya ada kipas angin kecil yang sudah usang. Dan itu pun tak bisa sesejuk kipas angin yang masih baru. Tak hanya itu, kipas angin itu berbunyi saat kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri. Ah seharusnya ini kumatikan saja. Tanganku tergerak menekan tombol kipas itu. Dari pada berisik dan aku tak jadi tidur lebih baik tak usah kipas angin.Berulang kali aku harus menghela napas panjang untuk menyesuaikan diri dengan kondisi rumah ini. Berat, tapi demi Rani aku harus rela menelan semua ini.Terpaksa kulepas bajuku agar aku bisa tidur malam ini. Badanku baru terasa sejuk saat aku hanya mengenakan celana pendek saja tanpa atasan. Kulit punggungku menempel pada kain sprei yang meskipun warnanya sudah pudar, kain itu tetap terasa dingin.Keesokan harinya, badanku sakit semuanya. Kasurnya bukan dari springbed tapi dari kasur kapuk yang sepertinya sudah lama. Saat aku tidur tidak ada empukn
Bab 45Rani masih saja mengurung diri di kamar. Ia tak mau menemuiku hingga malam menjelang. Sedangkan aku, tak tahu harus bagaimana lagi untuk merayunya agar mau bertemu dan bicara denganku."Nak Lana sabar aja dulu. Jangan dipaksa terus nanti malah Rani ngga mau keluar." Bulik kembali berujar setelah berulang kali aku mengajak bicara Rani dari depan pintu."Saya merasa bersalah, Bulik. Melihat Rani seperti ini, makin membuat saya tak tenang.""Ya namanya perempuan. Maklum kalau ngambek begitu. Ditunggu aja dulu sampai dia mau keluar sendiri.""Apa Bulik tidak keberatan kalau saya di sini sampai Rani mau keluar?" tanyaku kembali memastikan. Sebab aku tidak tahu kapan Rani akan keluar."Ya enggak. Bulik ini tinggal di rumah ibumu, ya ngga apa-apa kalau kamu mau disini sampai kapan pun. Bulik malah senang bisa dekat sama keponakan, kapan lagi kalian datang ke sini?" Bulik tersenyum setelahnya, menunjukkan bahwa ia tak keberatan dengan keberadaanku dan Rani.Aku tersenyum. Rasa lega kem
Bab 44Sebuah rumah sederhana menjadi tempatku berhenti setelah berulang kali bertanya perihal alamat yang diberikan oleh Bapak. Rumah buliknya Rani, Bu Sulastri.Aku berjalan dengan langkah penuh keyakinan bahwa Rani ada di sini, di rumah ini dan aku bisa segera membawanya kembali ke rumah kami."Permisi, assalamualaikum," ucapku setelah mengetuk pintu. Aku berdiri dengan harap-harap cemas.Dua kali ketukan tak kunjung ada seseorang dari dalam yang menjawab salamku. Akan tetapi, aku tetap sabar menunggu hingga sang pemilik mendengar salamku dan membukakan pintu.Benar saja, tak butuh waktu lama, seseorang membukakan pintu untukku."Waalaikum salam. Cari siapa ya, Nak?" jawab seseorang setelah pintu ruang tamu itu terbuka. Seorang perempuan paruh baya dengan ciput yang membungkus kepalanya. Gamis panjang melekat di tubuhnya yang tidak terlalu gemuk."Saya cari Rani. Apa dia ada di sini?" tanyaku tak sabaran."Rani?" jawab perempuan paruh baya yang sepertinya beliau ini yang bernama Bu
Bab 43PoV Maulana Aku terkekeh mendengar permintaan Fandy. Permintaan macam apa itu? Dia sudah menikah, aku pun sudah menikah. Bagaimana bisa dia meminta Rani untuknya hanya karena setelah membantuku memberi informasi soal keluarganya."Jangan mimpi kamu! Rani sudah sah menjadi milikku dan aku ngga akan melepas dia begitu saja." Aku berucap dengan tegas sambil menatap wajah yang sedang merasa bangga di depanku itu.Fandy terkekeh. Ia mengalihkan pandangannya sejenak dari hadapanku lalu kembali menatapku setelah beberapa saat."Baiklah. Aku tidak akan memberi tahu kamu soal dimana rumah saudara Rani. Silahkan kamu cari tahu sendiri soal ini ke orang tua Rani. Itu pun kalau mereka tidak murka padamu sebab sudah membuat anak mereka pergi dari sini!" Fandy terkekeh setelahnya.Ucapan Fandy itu sedikit membuat ketakutan dalam dadaku makin meningkat. Tapi, sebagai laki-laki aku harus menerima setiap konsekuensi dari apa yang sudah kulakukan pada Rani, sesuai dengan apa yang Mama ucapkan.
Bab 42PoV Maulana Aku menatap geram wajah Renata. Padahal kemarin aku sudah baik padanya, membantu mengatasi masalahnya tapi ini balasan dia padaku?Aku salah mengartikan kebaikannya selama ini. Kukira dia memang benar baik, nyatanya ada maksud yang tersembunyi dari semua kebaikannya padaku.Benar apa yang dilakukan Maharani dengan bersikap tegas pada Renata kemarin. Sekarang aku yang menjadi korban keegoisannya. Aku lupa melindungi keluargaku dari godaan perempuan seperti Renata padahal istriku sudah melakukannya lebih dulu.Aku merasa gagal sebagai suami."Aku minta maaf, Lan. Aku sungguh masih cinta kamu. Aku ingin kita balikan lagi kayak dulu. Aku ngga bisa lepasin kamu," rengek Renata setelah ia menjelaskan semuanya padaku. Tidak ada rasa bersalah sedikitpun dalam diri Renata setelah apa yang ia lakukan padaku. Ia masih berani mengajakku menjalin hubungan setelah rumah tanggaku porak-poranda karenanya.Benar memang Mbak Narti adalah orang suruhannya dan semua itu hasil rekayas