[Papa sudah tahu apa yang terjadi. Jangan sampai Sarah mengajukan tuntutan cerai ke pengadilan. Nama baik kita yang akan jadi taruhannya.]Raka terhenyak kaget saat membaca pesan itu. Dia merasa seolah ada bom waktu yang siap meledak kapan saja. Mungkin dia belum sepenuhnya menyesali kepergian Sarah, tetapi ancaman tuntutan cerai itu membuatnya merenung. Dia pun mengetikkan balasan dengan segera.Apakah semua ini akan berujung pada keruntuhan namanya? Raka tidak pernah berpikir jauh tentang dampak dari pernikahan yang tidak bahagia ini. Dia hanya ingin bebas dari perasaan bersalah yang menyelimutinya, dari rasa tak berdaya yang selalu mengikutinya ketika berada di dekat Sarah.“Ada apa?” tanya Nadia, temannya yang mulai dekat belakangan ini, saat mereka duduk bersama di kafe dekat kampus.“Eh, enggak. Aku hanya memikirkan banyak hal,” jawab Raka sambil berusaha tersenyum.Nadia mengamati wajahnya dengan cermat, seolah bisa merasakan ketegangan yang tersimpan di dalam diri Raka. “Kamu
“Sarah, kenapa kamu begini?” Istrinya itu malah terkekeh samar. “Maksud Anda? Bukankah selama ini kehadiran saya tidak perlu diketahui banyak orang. Anggaplah sekarang petemuan kita yang pertama.” “Sarah?” “Apa lagi, Pak? Jangan sampai orang-orang melihat kita.” Sarah menepis pelan tangan Raka yang hendak mencekalnya. Belum sempat Raka kembali bersuara, Nadia tiba-tiba muncul dari balik kerumunan. Wajahnya pucat dan matanya berbinar dengan kemarahan yang tak tertahan. Raka merasa jantungnya berdegup kencang melihat sang mantan kekasih melangkah maju, ekspresinya menunjukkan ketidakpuasan saat melihat interaksi Raka dengan Sarah. “Wah, siapa ini?” “Jangan membuat orang-orang menaruh curiga, Nadia.” Raka mencoba mengingatkan. “Oh, sungguh mengejutkan ternyata. Aku enggak nyangka ada perempuan cacat yang bisa lolos magang di sini,” ejek Nadia, nada suaranya penuh sarkasme. Wajah Raka memanas, keinginan untuk membela Sarah membara di dadanya. “Nadia, tolong jangan mulai lagi,” ujar
Apa yang dikatakan oleh Nadia benar juga. Raka mengiyakannya di dalam hati. Namun, ancaman sang papa masih saja mengganggu pikiran pria itu. Pada akhirnya dia pun menghentikan langkah saat ingin mengejar Sarah. Sementara kini Sarah sudah disibukkan dengan pekerjaan baru di hari pertama magangnya tersebut. Dirinya sama sekali enggan memikirkan masalah rumah tangga yang ada.“Ra, kantin yuk!” Ajakan barusan membuat Sarah yang sebelumnya fokus di depan komputer kini menoleh ke arah samping. Gadis itu tersenyum lembut.“Lira ke mana?” tanya Sarah kemudian.Sang teman lantas menjawab, “Udah ada janji makan siang sama pacarnya. Kita yang tim jomblo abadi harus tahu diri dong, Ra. Yuk! Aku udah laper nih.” Sarah mengiyakan lewat anggukan kepala. Tangannya meraih tongkat yang sedari tadi berdiri di belakang meja. Dengan gerakan pelan dia mulai menyejajarkan langkah di samping Dini yang bersikap siaga.“Enggak usah, Din. Aku bisa sendiri kok,”
“Aku sudah tahu hanya dengan melihat senyummu, Ka.”Nadia memandang Raka dengan senyuman tipis yang samar-samar menyimpan kekecewaan. Nadanya lembut namun menyiratkan sesuatu yang dingin, membuat Raka tertegun sejenak.“Maksudmu apa, Nad?” tanya Raka lagi.“Tentu saja kamu lebih pilih aku. Lagian mana mungkin Sarah bisa menggantikan posisiku. Kita udah sama-sama sejak SMA, Ka,” tutur Nadia begitu percaya diri.Raka mencoba tersenyum, meski dalam hati ia merasakan sesuatu yang mengganggu. Entah mengapa kalimat Nadia tadi terdengar seperti sebuah ancaman baginya.Sesuai dengan janji sebelumnya, Sarah duduk di sudut kafe, menatap ke arah jalan sambil menunggu kedatangan Raka. Ia sudah tahu apa yang akan mereka bicarakan, dan dalam hati, ia sudah mempersiapkan jawabannya. Raka tiba beberapa menit kemudian, wajahnya terlihat lelah namun serius.“Papa melarang kita untuk berpisah,” ucap Raka begitu mereka duduk, langsung ke inti masalah. Tatapannya beralih ke cangkir kopi di depannya, mengh
“Cie cie. Ada yang nganterin nih!”Alih-alih merespon suara barusan, Sarah hanya menghela napas dan menutup pintu kosannya, merasa sedikit lega setelah lepas dari perhatian Raka. Namun, perasaan tidak tenang tak sepenuhnya hilang.Pertemuan mereka tadi di kafe menyisakan tanda tanya. Meski tak mengharapkan banyak dari pernikahan ini, Sarah masih bingung dengan sikap Raka yang terlihat semakin sering memperhatikannya. Apakah karena perintah dari papanya ataukah ada hal lain?“Ih, Ra! Kok main kabur aja sih? Habis dianterin Pak Raka ya? Tuh kan, sahabat kita ini diem-diem beruntung banget!” goda Lira sambil tersenyum lebar.Sarah tersenyum kecil. Ia tak mungkin menceritakan yang sebenarnya, meski kadang rasa lelah menyembunyikan rahasia ini mulai mengganggu. “Ah, kebetulan aja ketemu di jalan tadi. Ya, mungkin dia kasihan lihat aku sendirian uamh cacat ini.”Dini tertawa sambil mengangguk penuh percaya diri. “Jangan ngomong gitu, Ra. Mungkin aja dia memang care,” katanya sambil berkedip
Sarah terperanjat, tak menyangka bertemu dengan Nadia dalam situasi seperti ini. Wajah Nadia penuh amarah, matanya menyiratkan kecurigaan yang terpendam sejak lama.“Mau apa kamu ke sini, hah?!” Nadia mengulang pertanyaannya dengan nada yang semakin tajam.Sarah menelan ludah, berusaha menahan diri. “Saya… cuma mau menemui Pak Raka, Mbak. Beliau supervisor saya sekarang,” ujarnya dengan suara pelan, mencoba menjaga sikap tetap tenang.Nadia menyilangkan tangan di dada sambil melangkah mendekat, pandangannya penuh sinis. “Supervisor? Oh, jadi kamu merasa perlu banget deket-deket sama Raka sekarang hanya karena dia jadi supervisormu, gitu?”Sarah menghela napas, merasa percuma menjelaskan, namun ia tetap mencoba untuk bersikap sopan. “Saya hanya menjalankan tugas, Mbak. Kita di sini profesional.”“Profesional?” Nadia mendengus. “Jangan sok polos, Sarah! Aku tahu banget tipe cewek sepertimu. Kamu pikir aku nggak sadar, ya? Selalu mendekat ke Raka, berusaha mencuri perhatiannya. Dan sekar
“Aku bukan orang bodoh ya, Ka. Aku melihat cara kamu menatap Sarah tadi. Tidak seperti biasanya.”Nadia menghela napas panjang, tatapannya tak lepas dari wajah Raka. Matanya menyipit, seolah berusaha menembus dinding yang pria itu bangun di sekeliling hatinya.Raka terdiam. Ia ingin menyangkal, tetapi tak bisa mengelak dari perasaan yang perlahan-lahan mulai mengganggu sejak Sarah muncul di hidupnya kembali. Tapi ia juga tahu, memberi tahu Nadia hanya akan memperumit keadaan.“Nad,” ujarnya pelan, mencoba meredakan suasana, “Sarah itu hanya anak magang. Aku bertanggung jawab membimbingnya. Mungkin kamu salah paham.”“Anak magang, ya?” Nadia mencondongkan tubuhnya, suara tawanya terdengar sinis. “Raka, aku sudah bersama kamu cukup lama. Aku tahu cara kamu berinteraksi dengan orang lain. Dengan Sarah, kamu berbeda.”Senyuman di wajah Raka perlahan memudar. Ia mulai merasa terpojok, tetapi Na
Setelah semua orang keluar ruangan, Sarah tetap tinggal sejenak, hendak memastikan apa yang ia dengar saat rapat tadi. “Pak Raka,” panggilnya kemudian.Raka yang sedang mengobrol bersama sekretarisnya menoleh sejenak. Lantas menyuruh orang tersebut agar meninggalkan ruangan terlebih dahulu. Menyisakan dia dan Sarah yang ada di sana.“Ada apa?” tanya Raka setelah itu.“Apa Bapak tidak salah orang?” tanya Sarah secara gamblang.“Maksudnya? Apa yang salah?” ucap Raka bali bertanya. Matanya menatap netra Sarah yang tampak gelisah.“Saya tidak ingin membuat tim kesusahan karena kondisi saya yang —““Kita ke sana bukan untuk lomba lari, Sarah. Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” potong Raka cepat. “Kamu harus professional. Itu ‘kan yang selalu kamu katakan?”“Baiklah, tentang proyek di luar kota ini… apakah ada hal khusus yang
"Aku punya waktu tiga minggu. Tolong di masa ini jangan ganggu hubungan kami. Selebihnya, terserahmu," kata Raka dengan nada tegas, namun matanya menyiratkan harapan.Rafly menyandarkan tubuhnya ke kursi, memutar cangkir teh di tangannya. Ia menatap Raka dengan ekspresi datar, seolah sedang menilai seberapa serius ucapan pria itu. Setelah mengangkat cangkir teh tadi, ia meniupnya perlahan lalu berkata, “Tiga minggu? Om yakin cukup buat memperbaiki semuanya?”“Cukup atau tidak, aku akan coba,” balas Raka tegas.Rafly tertawa kecil, lalu menyesap tehnya. “Baiklah, Om. Aku enggak akan ganggu. Tapi, kalau setelah tiga minggu Om masih gagal... jangan salahkan aku kalau aku yang akan maju.”Raka mengangguk kecil, meski keraguan masih memenuhi pikirannya. Dengan berat hati, ia meninggalkan ruangan tempat mereka bertemu, menuju klinik untuk menjemput Sarah dengan langkah cepat. Namun, perasaan cemas tetap menghantui. Apak
“Ganti semua, Om bilang?” Rafly menyeringai tipis. “Aku enggak pernah minta gantinya, kok. Lagipula, yang aku kasih itu bukan buat Om, tapi buat Sarah.” Nada suaranya penuh sindiran.Raka mengepalkan tangannya di sisi tubuh, menahan dorongan emosinya. “Aku enggak mau istri aku berutang apa pun sama orang lain. Terutama kamu!!”Rafly tertawa kecil, terdengar hambar di tengah rintik hujan yang mulai turun membasahi bumi. “Kalau gitu pastikan saja, Om. Jangan sampai Ara lebih butuh aku daripada suaminya sendiri.”Raka melangkah mendekat, hingga hanya berjarak beberapa langkah dari Rafly. “Kamu enggak punya hak bicara soal istri aku. Kalau kamu benar peduli sama Sarah, mundurlah. Jangan ganggu hidup kami lagi.”“Ganggu?” balas Rafly, suaranya lebih pelan tetapi penuh arti. “Aku ada di sini karena Ara butuh seseorang yang mengerti dia. Dan sepertinya, itu bukan dari suaminya yang &md
Pagi itu, setelah sarapan sederhana bersama, Sarah sedang bersiap untuk pergi menjalani terapi. Udara di kontrakan masih terasa dingin meskipun sinar matahari mulai mengintip dari balik tirai jendela. Raka, dengan wajah yang sudah segar setelah mandi, berdiri di depan pintu dengan jaketnya."Mas antar ya," ucap Raka dengan nada mantap.Sarah menoleh, menatapnya dengan alis yang sedikit terangkat. "Aku bisa sendiri. Lagian Mas harus ngantor ‘kan?""Enggak, Sarah. Aku ingin pastikan kamu aman. Aku akan ambil cuti. Sebentar ya aku hubungi ke kantor dulu," jawab Raka, matanya menatap lembut ke arah Sarah dengan nada bicara yang seolah tidak memberikan ruang untuk bantahan.Namun, sebelum Sarah sempat membalas, suara ketukan pintu membuat mereka berdua menoleh. Ketukan itu keras, seolah si tamu tidak sabar menunggu. Sarah buru-buru membuka pintu dan mendapati sosok Rafly berdiri di sana.Rafly terlihat berbeda pagi itu. Wajahnya tidak seceria biasa,
“Tiga minggu 'kan? Kamu sudah setuju, Sarah. Jadi biarkan aku memanfaatkan waktu sebaik mungkin."Raka mengembangkan senyumnya, lebar dan penuh percaya diri, sebuah ekspresi yang tidak asing tetapi kini terasa berbeda di mata Sarah. Ia tidak tahu harus merasa apa—antara jengkel atau bingung—sehingga hanya bisa berdiri mematung di tempat. Jawaban spontan itu benar-benar membuatnya tidak siap."Ayo, masuk! Sudah malam," lanjut Raka, kali ini nadanya lebih lembut. Tanpa menunggu respons Sarah, ia menarik tangannya dengan perlahan, memastikan sentuhannya tidak terasa memaksa.Sarah pun hanya bisa menghela napas. Ia tahu tak ada gunanya menentang, bukan hanya karena mereka sedang di luar rumah, tetapi karena sesuatu dalam cara Raka berbicara malam ini membuatnya tak ingin memulai perdebatan.Begitu mereka masuk ke dalam kontrakan, keheningan menyelimuti ruangan. Tempat itu tidak luas, hanya terdiri dari ruang tamu kecil yang langsung tersambung ke dapur, serta sebuah kamar tidur di bagian
"Aku bisa sendiri, Mas."Sarah berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Raka. Namun, Raka justru memeluk pinggangnya dengan erat."Ayolah, Sarah. Aku yang akan mengantarmu terapi," ujar Raka dengan nada memohon, tatapan matanya penuh kesungguhan.Sarah menatapnya sejenak. Ada perasaan yang berkecamuk di hatinya—keinginan untuk percaya, namun juga takut terluka lagi. Setelah perdebatan kecil, Sarah akhirnya menurut dan masuk ke dalam mobil.Perjalanan menuju klinik terasa hening, hanya diiringi suara gemericik hujan di luar jendela. Sarah memilih diam, menatap tetesan air yang mengalir di kaca. Sementara itu, Raka beberapa kali meliriknya melalui spion tengah, mencoba mencari celah untuk berbicara.“Sarah,” panggil Raka tiba-tiba, suaranya lembut tapi terdengar mantap. “Apa yang kamu lihat di taman itu hanya salah paham. Aku ingin mempernaiki hubungan kita dan menjelaskannya pada Nadia.”Sarah menoleh sedikit
Rafly bertanya dengan suara lirih, nyaris tak terdengar, tetapi cukup untuk membuat Sarah terpaku. Gadis itu terdiam sejenak. Kemudian, dengan pandangan yang kosong, ia mengangguk pelan. Pengakuan tersebut membuat Rafly menghela napas berat, jelas terlihat betapa ia terkejut. “Jadi, selama ini... Om Raka itu...” Rafly tak mampu melanjutkan kalimatnya, tatapan matanya berubah sendu, seolah tak percaya. Sarah menunduk, menghindari tatapan Rafly. “Aku enggak mau begini juga, Raf... Pernikahan kami bukan karena cinta,” katanya pelan. “Itu semua terjadi setelah kecelakaan yang merenggut nyawa Ayah. Saat itu aku dalam keadaan terburuk, merasa hancur, dan akhirnya Mas Raka datang… lalu kami menikah. Semua terjadi begitu cepat.” Rafly diam, menyerap penjelasan Sarah dengan wajah yang tampak menyimpan kekecewaan. “Jadi... kalian menikah karena terpaksa?” Sarah mengangguk, lalu menghela napas. “Ya. Saat itu aku merasa pernikahan ini adalah tanggung jawab, bukan pilihan. Mas Raka merasa bersa
Raka berdiri di hadapan Rafly dengan tegas, menatapnya tajam, lalu mengulangi kata-kata yang ingin ia tegaskan sejak awal.“Aku adalah suaminya,” katanya lagi dengan suara mantap.Rafly terdiam. Kalimat itu seperti petir yang menyambar, menggetarkan seluruh benaknya. Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Wajahnya seketika berubah menjadi lebih serius, memandang Raka dengan campuran rasa tak percaya dan kemarahan yang sulit ia sembunyikan. Setelah beberapa saat, Rafly menggeleng, menahan senyum sinis.“Aku enggak percaya,” katanya dengan suara rendah. “Kalau Om benar-benar suaminya Ara, enggak mungkin dia jadi begini. Enggak mungkin dia hidup sendirian, bahkan untuk menjalani terapi saja dia enggak bisa. Padahal Om ‘kan punya cukup materi untuk itu.” Rafly mendekat ke arah Raka, menatapnya lurus. “Jangan mengada-ada, Om.”Perkataan Rafly terasa seperti pukulan telak bagi Raka. Kata-kata itu membawa p
“Semoga kamu betah ya, Ra, tinggal di sini. Besok kita mulai terapinya,” ucap Rafly sambil tersenyum lebar. Sarah hanya mengangguk, matanya mengambang pada fasilitas yang baru saja diperlihatkan Rafly padanya. Kamar yang cukup luas dengan perabotan baru dan nyaman, lengkap dengan fasilitas yang mendukung proses pemulihannya. Semua terlihat sempurna—terlalu sempurna, bahkan. “Aku enggak tahu harus bilang apa. Terima kasih banget, Raf,” jawab Sarah dengan suara yang agak serak, menahan rasa terharu. Rafly tersenyum bangga. “Gak perlu terima kasih, Ra. Yang penting kamu sehat dan bisa hidup lebih mandiri. Omku yang dokter lulusan dari spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi bakal bantu terapi kamu agar bisa jalan tanpa tongkat lagi.” Sarah menatapnya dengan mata berbinar. “Aku akan berusaha, Raf. Aku juga enggak mau bergantung sama tongkat terus.” Rafly menepuk pundaknya. “Semangat ya. Kalau kamu butuh apa-apa, aku pasti bantu.” Sarah memandangi kamar yang baru saja disiapkan un
Suara Rafly yang terdengar tiba-tiba membuat Raka yang kebetulan hendak ke kamar mandi menghentikan langkah. Dia menoleh dan mendapati Sarah serta Rafly berdiri tidak jauh darinya, menatap dengan ekspresi yang sulit diartikan.Raka merasa perlu menjelaskan situasinya, tetapi sebelum sempat mengatakan apapun, Nadia tiba-tiba menggenggam lengannya dengan ekspresi manis yang sama sekali tidak cocok dengan keadaan. “Ya, kita lagi ngobrol serius aja, sih. Mungkin kelihatan romantis dari jauh ya?” kata Nadia, sengaja melirik ke arah Sarah dengan senyum yang mengisyaratkan sesuatu yang lebih.Sarah hanya diam, matanya tertuju pada tangan Nadia yang masih mencengkeram lengan Raka. Wajahnya datar, tapi ada perasaan sakit yang sulit ia sembunyikan di balik tatapannya yang beku.“Bukan urusan kami,” Sarah berkata pelan, suaranya begitu datar, dan dia melirik ke arah Rafly sambil berkata, “Kita pergi yuk, Raf.”Rafly menatap Raka dengan ekspresi kebingungan yang jelas terlihat di wajahnya, lalu m