Raka terbangun oleh suara samar di lantai bawah, suara yang asing namun memanggil nalurinya untuk bangkit. Jam menunjukkan pukul 3 dini hari. Di rumah itu, hanya ada dirinya dan Sarah, tetapi malam ini terasa lebih sunyi dari biasanya, seolah ada sesuatu yang hilang tanpa suara.
Ia turun perlahan, mendapati lampu ruang tamu masih menyala. Di meja ada secangkir teh yang sudah dingin, dan sebuah kotak kecil dengan secarik kertas tergeletak di sampingnya. Raka merasa dadanya berdebar tak nyaman.
“Sarah?” panggilnya lirih. Namun, tak ada jawaban.
Raka melangkah ke ruang tamu, melihat ke sekeliling, dan yang tersisa hanyalah kesunyian yang pekat. Dengan ragu, ia membuka kotak kecil itu. Di dalamnya, terdapat seutas kalung yang pernah ia berikan saat pertama kali mereka menikah. Sebuah simbol kecil yang selama ini mungkin tak bermakna baginya, tapi jelas menjadi sesuatu yang sangat berarti bagi Sarah. Dan di sebelahnya, terdapat secarik kertas dengan tulisan tangan Sarah.
Raka menelan ludah, membaca perlahan tulisan di sana:
Mas Raka, aku tahu bahwa kehadiranku mungkin tidak pernah benar-benar berarti bagimu. Aku tahu, kita menikah bukan atas dasar cinta, melainkan karena sebuah tanggung jawab yang berat. Tapi selama ini, aku tetap berusaha, Mas. Aku berusaha untuk membuatmu bahagia, berharap suatu hari kamu akan melihatku seperti yang dulu kamu lihat pada seseorang yang kini kembali hadir di hidupmu.
Namun, mungkin aku terlalu banyak berharap. Sudah cukup bagiku untuk menyadari satu hal: aku tidak pernah ada di dalam hatimu."
Aku memutuskan pergi, Mas. Aku harap kepergianku ini bisa memberimu waktu untuk menemukan apa yang benar-benar kamu inginkan. Jangan mencariku. Aku akan belajar merelakan semua ini.
Selamat tinggal.
Raka menggenggam kertas itu erat-erat, jantungnya berdegup tak karuan. Pikirannya berputar. Mungkinkah Sarah benar-benar pergi? Secepat itu? Ia mencoba mengingat percakapan mereka kemarin malam, ketika Sarah menyiratkan keinginan untuk memberinya ruang. Namun ia tidak pernah menyangka keputusannya akan seserius ini.
Perlahan, Raka duduk di sofa, perasaan yang tak pernah ia kenal sebelumnya menyeruak dari dadanya. Kepergian Sarah meninggalkan ruang kosong yang tak bisa ia pahami. Tanpa Sarah, rumah itu terasa asing. Ia mulai memutar ulang dalam ingatannya, hari-hari ketika ia merasa tak peduli, saat ia lebih memilih meninggalkan rumah atau terdiam daripada berbicara dengannya.
Seketika, sebuah perasaan bersalah mulai merayapi pikirannya. Wajah Sarah, dengan senyum lembutnya, terlintas di benaknya, dan kata-kata terakhirnya dalam surat itu terasa lebih pedih daripada yang bisa ia bayangkan.
Ia membuka ponselnya, mencari kontak Sarah, lalu mengetik pesan singkat:
[Sarah, kamu di mana]
Namun tak ada tanda-tanda pesan itu terkirim, seolah-olah Sarah sudah memutuskan semua yang pernah menghubungkan mereka.
Hari-hari berlalu dan bayangan Sarah masih membayang di setiap sudut rumah. Setiap kali Raka membuka lemari, menyentuh piring, atau sekadar menatap ruang kosong di ruang tamu, ia merasakan ketidakhadiran Sarah sebagai rasa sakit yang tak bisa diabaikan.
“Dia pergi sementara,” jawab Raka ketika Rini, ibu tirinya bertanya.
Rini melipat tangannya, tatapannya tajam, dan senyuman sinis pun mulai terlihat. “Kamu tahu, Raka, mungkin ini yang terbaik. Kepergian Sarah justru memberi kesempatan bagimu untuk bernafas. Siapa yang butuh beban seperti dia? Kamu bisa lebih fokus pada dirimu sendiri dan masa depan.”
Raka merasa hatinya tercekat. “Ibu, jangan bilang seperti itu. Sarah…” Ia terhenti, sulit mengungkapkan perasaannya. “Dia tetap istriku, meski kita menikah bukan karena cinta.”
“Bisa jadi itu alasan yang baik,” Rini menjawab dengan nada dingin. “Sekarang kamu punya kesempatan untuk mencari apa yang kamu inginkan. Bukankah Nadia selalu ada untukmu?”
Nama Nadia menggema di telinga Raka, dan perasaan bersalah mulai melanda. Dia mengingat kenangan-kenangan indah yang dibagikannya dengan Nadia, bagaimana mereka berbagi tawa dan cerita. Namun, bayangan Sarah tetap menghantui pikirannya. Raka tidak bisa sepenuhnya melupakan betapa dalamnya cinta yang pernah ada, meski itu sudah rusak.
Rini melanjutkan, “Nadia sudah menunggumu, Raka. Dia perempuan yang lebih pantas untukmu. Jika kamu tidak memperdulikan Sarah, jangan ragu untuk melangkah maju.”
Raka berusaha untuk tidak terpengaruh. Dalam hatinya, dia merasa bingung antara rasa sakit dan keinginan untuk maju. Akankah semua ini memang keputusan yang tepat? Akankah kepergian Sarah memberi ruang bagi sesuatu yang lebih baik?
Hari-hari berlalu tanpa Sarah, dan Raka merasa terasing. Dia sering menjumpai Nadia. Mereka mulai berbincang lebih sering, dan Raka merasa seolah ada cahaya baru yang masuk ke hidupnya. Namun, rasa bersalah selalu mengikutinya, terutama saat teringat akan surat yang ditinggalkan Sarah.
“Raka,” Nadia memanggil saat mereka duduk di kafe dekat kampus, matanya menatap dalam ke arah Raka. “Kamu baik-baik saja? Ada yang dipikirin?”
Raka mengangguk, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. “Ya, hanya… banyak yang terjadi belakangan ini.”
Nadia menjulurkan tangannya, meraih tangan Raka. “Kamu tahu, aku di sini untukmu. Aku tidak ingin kamu merasa sendirian.”
Tindakan kecil itu menghangatkan hati Raka, tapi dia teringat kembali pada Sarah. Seketika, dia merasa terjebak antara dua dunia—satu dengan rasa sakit yang mengikatnya, dan satu lagi dengan harapan baru yang mungkin takkan pernah sepenuhnya dia terima.
Saat Raka bersandar di kursinya, merasakan tatapan Nadia yang penuh perhatian, sebuah pesan masuk ke ponselnya. Dengan cepat, dia mengeluarkan ponsel dari saku, dan saat melihat layar, dunia seolah terhenti.
[Papa sudah tahu apa yang terjadi. Jangan sampai Sarah mengajukan tuntutan cerai ke pengadilan. Nama baik kita yang akan jadi taruhannya.]Raka terhenyak kaget saat membaca pesan itu. Dia merasa seolah ada bom waktu yang siap meledak kapan saja. Mungkin dia belum sepenuhnya menyesali kepergian Sarah, tetapi ancaman tuntutan cerai itu membuatnya merenung. Dia pun mengetikkan balasan dengan segera.Apakah semua ini akan berujung pada keruntuhan namanya? Raka tidak pernah berpikir jauh tentang dampak dari pernikahan yang tidak bahagia ini. Dia hanya ingin bebas dari perasaan bersalah yang menyelimutinya, dari rasa tak berdaya yang selalu mengikutinya ketika berada di dekat Sarah.“Ada apa?” tanya Nadia, temannya yang mulai dekat belakangan ini, saat mereka duduk bersama di kafe dekat kampus.“Eh, enggak. Aku hanya memikirkan banyak hal,” jawab Raka sambil berusaha tersenyum.Nadia mengamati wajahnya dengan cermat, seolah bisa merasakan ketegangan yang tersimpan di dalam diri Raka. “Kamu
“Sarah, kenapa kamu begini?”Istrinya itu malah terkekeh samar. “Maksud Anda? Bukankah selama ini kehadiran saya tidak perlu diketahui banyak orang. Anggaplah sekarang petemuan kita yang pertama.”“Sarah?”“Apa lagi, Pak? Jangan sampai orang-orang melihat kita.” Sarah menepis pelan tangan Raka yang hendak mencekalnya.Belum sempat Raka kembali bersuara, Nadia tiba-tiba muncul dari balik kerumunan. Wajahnya pucat dan matanya berbinar dengan kemarahan yang tak tertahan.Raka merasa jantungnya berdegup kencang melihat sang mantan kekasih melangkah maju, ekspresinya menunjukkan ketidakpuasan saat melihat interaksi Raka dengan Sarah. “Wah, siapa ini?”“Jangan membuat orang-orang menaruh curiga, Nadia.” Raka mencoba mengingatkan.“Oh, sungguh mengejutkan ternyata. Aku enggak nyangka ada perempuan cacat yang bisa lolos magang di sini,” ejek Nadia, nada suaranya penuh sarkasme.Wajah Raka memanas, keinginan untuk membela Sarah membara di dadanya. “Nadia, tolong jangan mulai lagi,” ujarnya, be
"Mas, kamu pulang terlambat lagi."Suara Sarah terdengar pelan, hampir tenggelam dalam keheningan ruang tamu yang sepi. Dia duduk di sofa dengan tongkat tergeletak di samping. Wajahnya tampak lelah, matanya sayu menatap pintu yang baru saja terbuka. Di meja, hidangan makan malam yang sudah mulai dingin tersusun rapi dan masih tak tersentuh.Raka masuk tanpa menoleh, hanya melemparkan tas kerjanya ke sofa. "Aku capek, Sarah. Jangan mulai lagi," katanya singkat, suaranya kering dan dingin, seolah dinding yang tebal memisahkan mereka berdua.Sarah menggigit bibir, menahan perasaan yang terus mengusik hati. Matanya menatap punggung Raka yang bergerak menuju dapur, tak mempedulikan kehadirannya. Dia menarik napas panjang, berusaha meredakan sesak di yang kembali menyeruak di dalam dada."Aku hanya ingin tahu bagaimana harimu, Mas Raka," katanya pelan, hampir berbisik, seolah takut suara itu akan pecah jika dikeluarkan terlalu keras.Langkah Raka terhenti sejenak, tetapi dia tidak berbalik.
Sarah merasakan tubuhnya melemas. Setiap kata di pesan itu terasa menghantam ulu hati. Ini lebih dari sekadar kecurigaan. Ia tahu Nadia adalah bagian dari masa lalu Raka, namun ia tak pernah menyangka Raka akan kembali bertemu dengannya setelah pernikahan mereka.Ketika langkah kaki Raka terdengar mendekat, Sarah buru-buru meletakkan ponsel itu kembali. Namun, pikirannya sudah dipenuhi dengan rasa sakit dan ketidakpastian. Sudah hampir seminggu Raka kembali pulang larut malam. Kali ini Sarah tidak lagi bertanya. Ada sesuatu yang sudah diputuskan dalam dirinya. Sebuah kerinduan, dan mungkin rasa sakit, yang kini ia simpan sendiri.Raka tampak tidak peduli. Bahkan ketika melihat meja makan yang kembali tertata rapi dengan hidangan yang belum disentuh, ia hanya melirik sekilas, lalu beranjak ke kamar.Sarah melangkah keluar rumah untuk mencari udara segar. Namun, begitu melihat ke luar halaman, ia melihat sebuah mobil berhenti tidak jauh dari rumah mereka. Ada seorang wanita
Hari-hari berlalu, dan Raka semakin sering pulang hampir dini hari. Setiap malam, Sarah menunggu dengan sabar, berharap suaminya itu setidaknya akan menyapa, atau bahkan sekadar bertanya. Namun, seiring waktu, rumah terasa semakin sunyi, hanya dihiasi langkah-langkah Raka yang langsung menuju kamar tanpa satu kata pun untuknya.Malam itu, Raka lagi-lagi tiba lewat tengah malam. Sarah duduk di ruang tamu, wajahnya tertunduk lesu menunggu suaminya yang tampak sibuk menanggalkan jas dan tas kerjanya tanpa menoleh.“Mas, bisa bicara sebentar?” tanya Sarah pelan, mencoba menguatkan suaranya yang hampir tenggelam.Raka berhenti sejenak, lalu menoleh dengan wajah lelah. “Apa lagi, Sarah?”“Aku cuma mau kita bisa ngobrol, Mas. Setidaknya aku ingin tahu apa yang sedang kamu rasakan. Ini sudah terlalu lama...” Sarah menelan ludah, mencoba menenangkan perasaannya.Raka mendesah, mengusap wajahnya. “Sarah, aku bekerja seharian. Jujur saja, aku lelah kalau tiap malam harus ngobrolin hal yang sama.