Share

4. AKU PERGI

Penulis: A mum to be
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-06 05:59:45

Raka terbangun oleh suara samar di lantai bawah, suara yang asing namun memanggil nalurinya untuk bangkit. Jam menunjukkan pukul 3 dini hari. Di rumah itu, hanya ada dirinya dan Sarah, tetapi malam ini terasa lebih sunyi dari biasanya, seolah ada sesuatu yang hilang tanpa suara.

Ia turun perlahan, mendapati lampu ruang tamu masih menyala. Di meja ada secangkir teh yang sudah dingin, dan sebuah kotak kecil dengan secarik kertas tergeletak di sampingnya. Raka merasa dadanya berdebar tak nyaman.

“Sarah?” panggilnya lirih. Namun, tak ada jawaban.

Raka melangkah ke ruang tamu, melihat ke sekeliling, dan yang tersisa hanyalah kesunyian yang pekat. Dengan ragu, ia membuka kotak kecil itu. Di dalamnya, terdapat seutas kalung yang pernah ia berikan saat pertama kali mereka menikah. Sebuah simbol kecil yang selama ini mungkin tak bermakna baginya, tapi jelas menjadi sesuatu yang sangat berarti bagi Sarah. Dan di sebelahnya, terdapat secarik kertas dengan tulisan tangan Sarah.

Raka menelan ludah, membaca perlahan tulisan di sana:

Mas Raka, aku tahu bahwa kehadiranku mungkin tidak pernah benar-benar berarti bagimu. Aku tahu, kita menikah bukan atas dasar cinta, melainkan karena sebuah tanggung jawab yang berat. Tapi selama ini, aku tetap berusaha, Mas. Aku berusaha untuk membuatmu bahagia, berharap suatu hari kamu akan melihatku seperti yang dulu kamu lihat pada seseorang yang kini kembali hadir di hidupmu.

Namun, mungkin aku terlalu banyak berharap. Sudah cukup bagiku untuk menyadari satu hal: aku tidak pernah ada di dalam hatimu."

Aku memutuskan pergi, Mas. Aku harap kepergianku ini bisa memberimu waktu untuk menemukan apa yang benar-benar kamu inginkan. Jangan mencariku. Aku akan belajar merelakan semua ini.

Selamat tinggal.

Raka menggenggam kertas itu erat-erat, jantungnya berdegup tak karuan. Pikirannya berputar. Mungkinkah Sarah benar-benar pergi? Secepat itu? Ia mencoba mengingat percakapan mereka kemarin malam, ketika Sarah menyiratkan keinginan untuk memberinya ruang. Namun ia tidak pernah menyangka keputusannya akan seserius ini.

Perlahan, Raka duduk di sofa, perasaan yang tak pernah ia kenal sebelumnya menyeruak dari dadanya. Kepergian Sarah meninggalkan ruang kosong yang tak bisa ia pahami. Tanpa Sarah, rumah itu terasa asing. Ia mulai memutar ulang dalam ingatannya, hari-hari ketika ia merasa tak peduli, saat ia lebih memilih meninggalkan rumah atau terdiam daripada berbicara dengannya.

Seketika, sebuah perasaan bersalah mulai merayapi pikirannya. Wajah Sarah, dengan senyum lembutnya, terlintas di benaknya, dan kata-kata terakhirnya dalam surat itu terasa lebih pedih daripada yang bisa ia bayangkan.

Ia membuka ponselnya, mencari kontak Sarah, lalu mengetik pesan singkat:

[Sarah, kamu di mana?]

Namun tak ada tanda-tanda pesan itu terkirim, seolah-olah Sarah sudah memutuskan semua yang pernah menghubungkan mereka.

Hari-hari berlalu dan bayangan Sarah masih membayang di setiap sudut rumah. Setiap kali Raka membuka lemari, menyentuh piring, atau sekadar menatap ruang kosong di ruang tamu, ia merasakan ketidakhadiran Sarah sebagai rasa sakit yang tak bisa diabaikan.

“Dia pergi sementara,” jawab Raka ketika Rini, ibu tirinya bertanya.

Rini melipat tangannya, tatapannya tajam, dan senyuman sinis pun mulai terlihat. “Kamu tahu, Raka, mungkin ini yang terbaik. Kepergian Sarah justru memberi kesempatan bagimu untuk bernafas. Siapa yang butuh beban seperti dia? Kamu bisa lebih fokus pada dirimu sendiri dan masa depan.”

Raka merasa hatinya tercekat. “Ibu, jangan bilang seperti itu. Sarah…” Ia terhenti, sulit mengungkapkan perasaannya. “Dia tetap istriku, meski kita menikah bukan karena cinta.”

“Bisa jadi itu alasan yang baik,” Rini menjawab dengan nada dingin. “Sekarang kamu punya kesempatan untuk mencari apa yang kamu inginkan. Bukankah Nadia selalu ada untukmu?”

Nama Nadia menggema di telinga Raka, dan perasaan bersalah mulai melanda. Dia mengingat kenangan-kenangan indah yang dibagikannya dengan Nadia, bagaimana mereka berbagi tawa dan cerita. Namun, bayangan Sarah tetap menghantui pikirannya. Raka tidak bisa sepenuhnya melupakan betapa dalamnya cinta yang pernah ada, meski itu sudah rusak.

Rini melanjutkan, “Nadia sudah menunggumu, Raka. Dia perempuan yang lebih pantas untukmu. Jika kamu tidak memperdulikan Sarah, jangan ragu untuk melangkah maju.”

Raka berusaha untuk tidak terpengaruh. Dalam hatinya, dia merasa bingung antara rasa sakit dan keinginan untuk maju. Akankah semua ini memang keputusan yang tepat? Akankah kepergian Sarah memberi ruang bagi sesuatu yang lebih baik?

Hari-hari berlalu tanpa Sarah, dan Raka merasa terasing. Dia sering menjumpai Nadia. Mereka mulai berbincang lebih sering, dan Raka merasa seolah ada cahaya baru yang masuk ke hidupnya. Namun, rasa bersalah selalu mengikutinya, terutama saat teringat akan surat yang ditinggalkan Sarah.

“Raka,” Nadia memanggil saat mereka duduk di kafe dekat kampus, matanya menatap dalam ke arah Raka. “Kamu baik-baik saja? Ada yang dipikirin?”

Raka mengangguk, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. “Ya, hanya… banyak yang terjadi belakangan ini.”

Nadia menjulurkan tangannya, meraih tangan Raka. “Kamu tahu, aku di sini untukmu. Aku tidak ingin kamu merasa sendirian.”

Tindakan kecil itu menghangatkan hati Raka, tapi dia teringat kembali pada Sarah. Seketika, dia merasa terjebak antara dua dunia—satu dengan rasa sakit yang mengikatnya, dan satu lagi dengan harapan baru yang mungkin takkan pernah sepenuhnya dia terima.

Saat Raka bersandar di kursinya, merasakan tatapan Nadia yang penuh perhatian, sebuah pesan masuk ke ponselnya. Dengan cepat, dia mengeluarkan ponsel dari saku, dan saat melihat layar, dunia seolah terhenti.

Bab terkait

  • Setelah Istriku Memilih Pergi   5. BERTEMU LAGI

    [Papa sudah tahu apa yang terjadi. Jangan sampai Sarah mengajukan tuntutan cerai ke pengadilan. Nama baik kita yang akan jadi taruhannya.]Raka terhenyak kaget saat membaca pesan itu. Dia merasa seolah ada bom waktu yang siap meledak kapan saja. Mungkin dia belum sepenuhnya menyesali kepergian Sarah, tetapi ancaman tuntutan cerai itu membuatnya merenung. Dia pun mengetikkan balasan dengan segera.Apakah semua ini akan berujung pada keruntuhan namanya? Raka tidak pernah berpikir jauh tentang dampak dari pernikahan yang tidak bahagia ini. Dia hanya ingin bebas dari perasaan bersalah yang menyelimutinya, dari rasa tak berdaya yang selalu mengikutinya ketika berada di dekat Sarah.“Ada apa?” tanya Nadia, temannya yang mulai dekat belakangan ini, saat mereka duduk bersama di kafe dekat kampus.“Eh, enggak. Aku hanya memikirkan banyak hal,” jawab Raka sambil berusaha tersenyum.Nadia mengamati wajahnya dengan cermat, seolah bisa merasakan ketegangan yang tersimpan di dalam diri Raka. “Kamu

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-06
  • Setelah Istriku Memilih Pergi   6. BERUBAH

    “Sarah, kenapa kamu begini?” Istrinya itu malah terkekeh samar. “Maksud Anda? Bukankah selama ini kehadiran saya tidak perlu diketahui banyak orang. Anggaplah sekarang petemuan kita yang pertama.” “Sarah?” “Apa lagi, Pak? Jangan sampai orang-orang melihat kita.” Sarah menepis pelan tangan Raka yang hendak mencekalnya. Belum sempat Raka kembali bersuara, Nadia tiba-tiba muncul dari balik kerumunan. Wajahnya pucat dan matanya berbinar dengan kemarahan yang tak tertahan. Raka merasa jantungnya berdegup kencang melihat sang mantan kekasih melangkah maju, ekspresinya menunjukkan ketidakpuasan saat melihat interaksi Raka dengan Sarah. “Wah, siapa ini?” “Jangan membuat orang-orang menaruh curiga, Nadia.” Raka mencoba mengingatkan. “Oh, sungguh mengejutkan ternyata. Aku enggak nyangka ada perempuan cacat yang bisa lolos magang di sini,” ejek Nadia, nada suaranya penuh sarkasme. Wajah Raka memanas, keinginan untuk membela Sarah membara di dadanya. “Nadia, tolong jangan mulai lagi,” ujar

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-06
  • Setelah Istriku Memilih Pergi   7. KEBINGUNGAN RAKA

    Apa yang dikatakan oleh Nadia benar juga. Raka mengiyakannya di dalam hati. Namun, ancaman sang papa masih saja mengganggu pikiran pria itu. Pada akhirnya dia pun menghentikan langkah saat ingin mengejar Sarah. Sementara kini Sarah sudah disibukkan dengan pekerjaan baru di hari pertama magangnya tersebut. Dirinya sama sekali enggan memikirkan masalah rumah tangga yang ada.“Ra, kantin yuk!” Ajakan barusan membuat Sarah yang sebelumnya fokus di depan komputer kini menoleh ke arah samping. Gadis itu tersenyum lembut.“Lira ke mana?” tanya Sarah kemudian.Sang teman lantas menjawab, “Udah ada janji makan siang sama pacarnya. Kita yang tim jomblo abadi harus tahu diri dong, Ra. Yuk! Aku udah laper nih.” Sarah mengiyakan lewat anggukan kepala. Tangannya meraih tongkat yang sedari tadi berdiri di belakang meja. Dengan gerakan pelan dia mulai menyejajarkan langkah di samping Dini yang bersikap siaga.“Enggak usah, Din. Aku bisa sendiri kok,”

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-10
  • Setelah Istriku Memilih Pergi   8. AKU HANYA KASIHAN

    “Aku sudah tahu hanya dengan melihat senyummu, Ka.”Nadia memandang Raka dengan senyuman tipis yang samar-samar menyimpan kekecewaan. Nadanya lembut namun menyiratkan sesuatu yang dingin, membuat Raka tertegun sejenak.“Maksudmu apa, Nad?” tanya Raka lagi.“Tentu saja kamu lebih pilih aku. Lagian mana mungkin Sarah bisa menggantikan posisiku. Kita udah sama-sama sejak SMA, Ka,” tutur Nadia begitu percaya diri.Raka mencoba tersenyum, meski dalam hati ia merasakan sesuatu yang mengganggu. Entah mengapa kalimat Nadia tadi terdengar seperti sebuah ancaman baginya.Sesuai dengan janji sebelumnya, Sarah duduk di sudut kafe, menatap ke arah jalan sambil menunggu kedatangan Raka. Ia sudah tahu apa yang akan mereka bicarakan, dan dalam hati, ia sudah mempersiapkan jawabannya. Raka tiba beberapa menit kemudian, wajahnya terlihat lelah namun serius.“Papa melarang kita untuk berpisah,” ucap Raka begitu mereka duduk, langsung ke inti masalah. Tatapannya beralih ke cangkir kopi di depannya, mengh

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-11
  • Setelah Istriku Memilih Pergi   9. MAU APA KE SINI??

    “Cie cie. Ada yang nganterin nih!”Alih-alih merespon suara barusan, Sarah hanya menghela napas dan menutup pintu kosannya, merasa sedikit lega setelah lepas dari perhatian Raka. Namun, perasaan tidak tenang tak sepenuhnya hilang.Pertemuan mereka tadi di kafe menyisakan tanda tanya. Meski tak mengharapkan banyak dari pernikahan ini, Sarah masih bingung dengan sikap Raka yang terlihat semakin sering memperhatikannya. Apakah karena perintah dari papanya ataukah ada hal lain?“Ih, Ra! Kok main kabur aja sih? Habis dianterin Pak Raka ya? Tuh kan, sahabat kita ini diem-diem beruntung banget!” goda Lira sambil tersenyum lebar.Sarah tersenyum kecil. Ia tak mungkin menceritakan yang sebenarnya, meski kadang rasa lelah menyembunyikan rahasia ini mulai mengganggu. “Ah, kebetulan aja ketemu di jalan tadi. Ya, mungkin dia kasihan lihat aku sendirian uamh cacat ini.”Dini tertawa sambil mengangguk penuh percaya diri. “Jangan ngomong gitu, Ra. Mungkin aja dia memang care,” katanya sambil berkedip

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-11
  • Setelah Istriku Memilih Pergi   10. RAKA ITU MILIKKU

    Sarah terperanjat, tak menyangka bertemu dengan Nadia dalam situasi seperti ini. Wajah Nadia penuh amarah, matanya menyiratkan kecurigaan yang terpendam sejak lama.“Mau apa kamu ke sini, hah?!” Nadia mengulang pertanyaannya dengan nada yang semakin tajam.Sarah menelan ludah, berusaha menahan diri. “Saya… cuma mau menemui Pak Raka, Mbak. Beliau supervisor saya sekarang,” ujarnya dengan suara pelan, mencoba menjaga sikap tetap tenang.Nadia menyilangkan tangan di dada sambil melangkah mendekat, pandangannya penuh sinis. “Supervisor? Oh, jadi kamu merasa perlu banget deket-deket sama Raka sekarang hanya karena dia jadi supervisormu, gitu?”Sarah menghela napas, merasa percuma menjelaskan, namun ia tetap mencoba untuk bersikap sopan. “Saya hanya menjalankan tugas, Mbak. Kita di sini profesional.”“Profesional?” Nadia mendengus. “Jangan sok polos, Sarah! Aku tahu banget tipe cewek sepertimu. Kamu pikir aku nggak sadar, ya? Selalu mendekat ke Raka, berusaha mencuri perhatiannya. Dan sekar

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-12
  • Setelah Istriku Memilih Pergi   11. HANYA ANAK MAGANG

    “Aku bukan orang bodoh ya, Ka. Aku melihat cara kamu menatap Sarah tadi. Tidak seperti biasanya.”Nadia menghela napas panjang, tatapannya tak lepas dari wajah Raka. Matanya menyipit, seolah berusaha menembus dinding yang pria itu bangun di sekeliling hatinya.Raka terdiam. Ia ingin menyangkal, tetapi tak bisa mengelak dari perasaan yang perlahan-lahan mulai mengganggu sejak Sarah muncul di hidupnya kembali. Tapi ia juga tahu, memberi tahu Nadia hanya akan memperumit keadaan.“Nad,” ujarnya pelan, mencoba meredakan suasana, “Sarah itu hanya anak magang. Aku bertanggung jawab membimbingnya. Mungkin kamu salah paham.”“Anak magang, ya?” Nadia mencondongkan tubuhnya, suara tawanya terdengar sinis. “Raka, aku sudah bersama kamu cukup lama. Aku tahu cara kamu berinteraksi dengan orang lain. Dengan Sarah, kamu berbeda.”Senyuman di wajah Raka perlahan memudar. Ia mulai merasa terpojok, tetapi Na

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-12
  • Setelah Istriku Memilih Pergi   12. SATU KAMAR

    Setelah semua orang keluar ruangan, Sarah tetap tinggal sejenak, hendak memastikan apa yang ia dengar saat rapat tadi. “Pak Raka,” panggilnya kemudian.Raka yang sedang mengobrol bersama sekretarisnya menoleh sejenak. Lantas menyuruh orang tersebut agar meninggalkan ruangan terlebih dahulu. Menyisakan dia dan Sarah yang ada di sana.“Ada apa?” tanya Raka setelah itu.“Apa Bapak tidak salah orang?” tanya Sarah secara gamblang.“Maksudnya? Apa yang salah?” ucap Raka bali bertanya. Matanya menatap netra Sarah yang tampak gelisah.“Saya tidak ingin membuat tim kesusahan karena kondisi saya yang —““Kita ke sana bukan untuk lomba lari, Sarah. Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” potong Raka cepat. “Kamu harus professional. Itu ‘kan yang selalu kamu katakan?”“Baiklah, tentang proyek di luar kota ini… apakah ada hal khusus yang

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-12

Bab terbaru

  • Setelah Istriku Memilih Pergi   95. SIAPA YANG MAU PERGI?

    Sarah mengangguk. Air mata yang sedari tadi berusaha ditahannya kini jatuh membasahi pipi. Dengan tangan gemetar, ia berusaha menghapus jejak kesedihan itu. Tapi kata-kata Dini membuyarkan usahanya."Enggak, Ra. Kali ini aku enggak setuju," ujar Dini dengan tegas. Matanya menatap lurus ke arah Sarah, penuh kekhawatiran dan ketegasan yang jarang terlihat dari sahabatnya itu.Sarah menundukkan wajahnya, bahunya bergetar. Air matanya semakin deras mengalir, seolah membebaskan rasa sakit yang sudah lama tertahan di hati. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan isak yang nyaris pecah."Ternyata sakitnya begini ya, Din. Aku enggak sanggup," lirih Sarah akhirnya, suara pelannya nyaris tak terdengar.Dini tidak bisa berkata apa-apa. Ia segera mendekati Sarah dan memeluknya erat, memberikan kehangatan yang dibutuhkan sahabatnya itu. Dalam pelukan, Sarah hanya terisak, tanpa kata-kata, hanya suara tangisnya yang terdengar. Mereka diam cukup lama, membiarkan suasana mendukung proses penyemb

  • Setelah Istriku Memilih Pergi   94. SAKIT TAK BERDARAH

    "Biarkan saja. Ini sudah malam. Seharusnya dia tahu diri," kata Raka dengan nada kesal, menatap layar ponselnya yang masih menyala.Namun, Sarah yang berada di sampingnya menggeleng pelan. Wajahnya menunjukkan rasa iba. "Angkat aja, Mas. Siapa tahu penting," ujarnya lembut.Raka mendesah panjang. Ia mengusap wajahnya dengan tangan sebelum akhirnya menekan tombol hijau untuk menerima panggilan itu. "Halo, ada apa?" tanyanya singkat, tanpa menyembunyikan nada tidak sabar dalam suaranya.Dari seberang telepon, suara lembut Nadia terdengar. "Aku cuma mau nanya kabarmu, Ka. Kamu kelihatan sibuk banget akhir-akhir ini. Aku khawatir."Raka mengerutkan kening, mencoba menahan emosinya. "Ini sudah malam, Nadia. Kalau nggak ada yang penting, lebih baik kita bicara besok saja."Ada jeda beberapa detik sebelum Nadia menjawab. "Maaf, aku nggak bermaksud mengganggu. Aku cuma... ya sudah, selamat malam, Ka."Raka memutus panggilan tanpa menambahkan sepatah kata pun. Ia meletakkan ponsel di meja deng

  • Setelah Istriku Memilih Pergi   93. PAK HERMAN AKHIRNYA TAHU

    Sarah menarik napas panjang, mencoba mengendalikan detak jantungnya yang berdegup kencang. Tangannya masih memegang erat telepon, dan ia tahu bahwa jawaban yang akan diberikan harus terdengar meyakinkan.“Aku lagi di kafe sama Dini dan Lira, Mas,” katanya, mencoba terdengar santai meskipun perasaan gugup menyelimutinya.“Oh, kalau begitu, share loc aja ya. Biar Mas jemput kamu,” kata Raka dengan nada lembut di ujung telepon.Sarah menelan ludah, pikirannya berputar cepat mencari alasan. Ia melirik ke arah Dini dan Lira, yang hanya bisa memberinya pandangan penuh pengertian.“A-aku nanti dianterin Lira, Mas. Kami dijemput sama pacarnya Lira. Kita ketemuan di rumah sakit aja ya?” usul Sarah, berharap alasan itu cukup masuk akal.Ada jeda di telepon sebelum akhirnya Raka menjawab, “Oke. Kalau begitu, Mas tunggu kamu di sana. Jangan lama-lama ya, Sayang.”Telepon terputus, dan Sarah menghela napas panjang. Ia merasa lega tetapi juga tahu bahwa masalah sebenarnya belum selesai. Ia menatap

  • Setelah Istriku Memilih Pergi   92. DELAPAN MINGGU

    Sarah memeluk dirinya sendiri, tangisnya semakin tak tertahankan. “Tolong, Raf!” isaknya sambil memandang Rafly dengan mata memohon. Air mata mengalir deras di pipinya, membuatnya terlihat begitu rapuh.Dini mengangguk pelan, lalu merangkul Sarah. “Udah ya. Aku di sini buat kamu, Ra. Kamu nggak sendirian,” katanya lembut, mencoba menenangkan hati Sarah yang sedang hancur.Namun, Rafly berdiri mematung. Emosinya tak tertahan lagi. Dengan frustrasi, ia menendang angin dan melangkah cepat ke luar ruangan. “Aku nggak bisa terus-terusan kayak gini,” gumamnya sebelum pergi.Melihat itu, Lira segera mengejar Rafly. Ia menyusulnya di lorong dan menarik lengannya untuk berhenti. “Raf, tolong dengar aku!” katanya setengah memohon.“Apa lagi, Lira?” Rafly menoleh dengan wajah penuh kekesalan. “Dia terus menyiksa dirinya sendiri, dan kita cuma diem aja? Aku udah capek ngeliat dia kayak gitu!”

  • Setelah Istriku Memilih Pergi   91. SARAH HAMIL

    Sarah membuka matanya dengan pandangan yang berkunang-kunang. Suara gaduh di sekelilingnya mulai terdengar perlahan, dan rasa sakit di kepala membuatnya sulit menggerakkan tubuh. Pandangannya masih kabur saat ia mencoba mengenali sosok yang ada di dekatnya.“Kamu udah sadar, Ra?” suara itu terdengar tegas dan cemas. Begitu pandangan Sarah mulai fokus, ia terkejut melihat Rafly duduk di sampingnya.“Raf?” gumam Sarah lemah. Ia mencoba duduk, tapi tubuhnya terasa begitu lemah hingga Rafly harus membantunya.“Jangan terlalu banyak bergerak dulu. Kamu baru saja pingsan,” kata Rafly sambil menyodorkan segelas air putih.Sarah menerima gelas itu dan meminum seteguk kecil. Setelah meletakkan gelas, ia mencoba mencerna keadaannya. “Aku kenapa?” tanyanya pelan.“Kamu pingsan di koridor kampus. Untung saja ada Dini dan Lira. Mereka langsung cari bantuan,” jawab Rafly dengan nada serius.Sarah hanya mengangguk pelan, mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum tubuhnya ambruk. Namun, perkataan Ra

  • Setelah Istriku Memilih Pergi   90. AKU ...BAIK-BAIK SAJA

    "Kenapa Mas diem aja? Kenapa Mas nggak melawan?" tanya Sarah bertubi-tubi.Namun, Raka hanya diam dan pasrah menerima perawatan luka yang diberikan oleh Sarah. Pria itu tahu bahwa dia pantas mendapatkan serangan dari Rafly."Mas??" gumam Sarah lagi setelah mengakhiri pengobatannya.Raka akhirnya menjawab, "Rafly benar. Seharusnya aku nggak menghadirkan luka baru di pernikahan kita.""Nggak usah dengerin Rafly ya. Dia nggak ngerti keadaannya gimana," balas Sarah, mencoba menenangkan meskipun hatinya sendiri terasa perih.

  • Setelah Istriku Memilih Pergi   89. KEMARAHAN RAFLY

    Sarah duduk di bangku taman kampus, memandangi deretan pepohonan yang bergoyang lembut tertiup angin. Buku catatan skripsi tergeletak di pangkuannya, tetapi pikirannya melayang jauh. Ia tidak menyangka bahwa pernikahannya yang dulu terasa seperti dongeng kini berubah menjadi mimpi buruk. Poligami? Kata itu terus terngiang di telinganya, membuat dadanya sesak."Ra, kamu baik-baik saja?" suara Dini membuyarkan lamunannya. Sahabatnya itu datang bersama Lira, membawa sebotol air mineral dan sekotak camilan. Wajah mereka penuh kekhawatiran.Sarah tersenyum tipis. "Aku baik-baik aja kok," jawabnya singkat, meski suaranya terdengar jauh dari meyakinkan."Jangan bohong! Kami tahu kamu sedang banyak pikiran," timpal Lira seraya duduk di sampingnya. "Apa benar yang kami dengar? Soal... Pak Raka yang mau nikah sama Bu Nadia?"Sarah hanya diam. Ia menunduk, menggenggam erat buku catatannya seolah itu bisa memberinya kekuatan. Dini dan Lira saling pandang, tetapi memi

  • Setelah Istriku Memilih Pergi   88. KEPUTUSAN YANG BERAT

    “Aku senang dengarnya, Mas."Sarah berkata sambil mengulum senyum. Namun, Raka tahu bahwa istrinya itu hanya bersandiwara. Senyumnya tampak manis, tetapi matanya tidak bisa menyembunyikan kesakitan yang mendalam.Raka menghela napas panjang. Ia tidak tahu harus berkata apa. Akhirnya, ia melangkah mendekati Sarah dan memeluknya erat. "Aku tahu ini berat untukmu, Sayang," bisiknya. "Tapi aku terpaksa mengambil keputusan ini demi menyelamatkan perusahaan dan keluarga kita. Aku sangat mencintaimu, Sarah. Jangan pernah ragukan itu."Pelukan itu seolah menjadi tameng terakhir yang ia miliki untuk melindungi perasaan Sarah. Tapi istrinya tersebut hanya berdiri kaku di pelukannya, tidak membalas sama sekali. Di dalam hatinya, ia merasa dihantam badai. Kata-kata Raka tidak mampu mengobati luka yang ia rasakan.Setelah beberapa saat, Sarah perlahan melepaskan diri dari pelukan Raka. "Aku akan mencoba menerima, Mas," katanya pelan. "Asalkan kamu bahagia dan semua ini memang demi kebaikan bersama

  • Setelah Istriku Memilih Pergi   87. TIDAK ADA LAGI RUANG UNTUKMU

    Pagi ini matahari bersinar dengan cerah. Namun, keadaan sungguh berbanding terbalik dengan apa yang dirasakan oleh Sarah dan Raka sekarang. Keduanya makan dalam diam dengan pikiran yang penuh di dalam kepala."Kamu enggak ke kampus?" tanya Raka memecah keheningan yang tericipta di antara mereka. Matanya melihat sang istri masih belum juga bersiap-siap."Aku berangkat jam sepuluh. Masih lama. Mas duluan aja nemuin Mbak Nadia," jawab Sarah, berusaha terdengar biasa saja meskipun hatinya terasa berat.Raka memandang Sarah dengan tatapan penuh rasa bersalah. "Sayang?"Sarah mencoba tersenyum, meski senyumnya tidak mencapai matanya. "Aku enggak apa-apa, Mas. Aku mau beresin rumah dulu. Ntar siang kita ketemu di rumah sakit aja ya."Setelah berkata demikian, Sarah bangkit lalu berjalan menuju dapur. Ia menyibukkan diri dengan mencuci piring, namun pikirannya melayang ke percakapan tadi malam. Hatinya terasa semakin berat. Ia tahu bahwa keputusan yang mer

DMCA.com Protection Status