Share

4. AKU PERGI

Raka terbangun oleh suara samar di lantai bawah, suara yang asing namun memanggil nalurinya untuk bangkit. Jam menunjukkan pukul 3 dini hari. Di rumah itu, hanya ada dirinya dan Sarah, tetapi malam ini terasa lebih sunyi dari biasanya, seolah ada sesuatu yang hilang tanpa suara.

Ia turun perlahan, mendapati lampu ruang tamu masih menyala. Di meja ada secangkir teh yang sudah dingin, dan sebuah kotak kecil dengan secarik kertas tergeletak di sampingnya. Raka merasa dadanya berdebar tak nyaman.

“Sarah?” panggilnya lirih. Namun, tak ada jawaban.

Raka melangkah ke ruang tamu, melihat ke sekeliling, dan yang tersisa hanyalah kesunyian yang pekat. Dengan ragu, ia membuka kotak kecil itu. Di dalamnya, terdapat seutas kalung yang pernah ia berikan saat pertama kali mereka menikah. Sebuah simbol kecil yang selama ini mungkin tak bermakna baginya, tapi jelas menjadi sesuatu yang sangat berarti bagi Sarah. Dan di sebelahnya, terdapat secarik kertas dengan tulisan tangan Sarah.

Raka menelan ludah, membaca perlahan tulisan di sana:

Mas Raka, aku tahu bahwa kehadiranku mungkin tidak pernah benar-benar berarti bagimu. Aku tahu, kita menikah bukan atas dasar cinta, melainkan karena sebuah tanggung jawab yang berat. Tapi selama ini, aku tetap berusaha, Mas. Aku berusaha untuk membuatmu bahagia, berharap suatu hari kamu akan melihatku seperti yang dulu kamu lihat pada seseorang yang kini kembali hadir di hidupmu.

Namun, mungkin aku terlalu banyak berharap. Sudah cukup bagiku untuk menyadari satu hal: aku tidak pernah ada di dalam hatimu."

Aku memutuskan pergi, Mas. Aku harap kepergianku ini bisa memberimu waktu untuk menemukan apa yang benar-benar kamu inginkan. Jangan mencariku. Aku akan belajar merelakan semua ini.

Selamat tinggal.

Raka menggenggam kertas itu erat-erat, jantungnya berdegup tak karuan. Pikirannya berputar. Mungkinkah Sarah benar-benar pergi? Secepat itu? Ia mencoba mengingat percakapan mereka kemarin malam, ketika Sarah menyiratkan keinginan untuk memberinya ruang. Namun ia tidak pernah menyangka keputusannya akan seserius ini.

Perlahan, Raka duduk di sofa, perasaan yang tak pernah ia kenal sebelumnya menyeruak dari dadanya. Kepergian Sarah meninggalkan ruang kosong yang tak bisa ia pahami. Tanpa Sarah, rumah itu terasa asing. Ia mulai memutar ulang dalam ingatannya, hari-hari ketika ia merasa tak peduli, saat ia lebih memilih meninggalkan rumah atau terdiam daripada berbicara dengannya.

Seketika, sebuah perasaan bersalah mulai merayapi pikirannya. Wajah Sarah, dengan senyum lembutnya, terlintas di benaknya, dan kata-kata terakhirnya dalam surat itu terasa lebih pedih daripada yang bisa ia bayangkan.

Ia membuka ponselnya, mencari kontak Sarah, lalu mengetik pesan singkat:

[Sarah, kamu di mana]

Namun tak ada tanda-tanda pesan itu terkirim, seolah-olah Sarah sudah memutuskan semua yang pernah menghubungkan mereka.

Hari-hari berlalu dan bayangan Sarah masih membayang di setiap sudut rumah. Setiap kali Raka membuka lemari, menyentuh piring, atau sekadar menatap ruang kosong di ruang tamu, ia merasakan ketidakhadiran Sarah sebagai rasa sakit yang tak bisa diabaikan.

“Dia pergi sementara,” jawab Raka ketika Rini, ibu tirinya bertanya.

Rini melipat tangannya, tatapannya tajam, dan senyuman sinis pun mulai terlihat. “Kamu tahu, Raka, mungkin ini yang terbaik. Kepergian Sarah justru memberi kesempatan bagimu untuk bernafas. Siapa yang butuh beban seperti dia? Kamu bisa lebih fokus pada dirimu sendiri dan masa depan.”

Raka merasa hatinya tercekat. “Ibu, jangan bilang seperti itu. Sarah…” Ia terhenti, sulit mengungkapkan perasaannya. “Dia tetap istriku, meski kita menikah bukan karena cinta.”

“Bisa jadi itu alasan yang baik,” Rini menjawab dengan nada dingin. “Sekarang kamu punya kesempatan untuk mencari apa yang kamu inginkan. Bukankah Nadia selalu ada untukmu?”

Nama Nadia menggema di telinga Raka, dan perasaan bersalah mulai melanda. Dia mengingat kenangan-kenangan indah yang dibagikannya dengan Nadia, bagaimana mereka berbagi tawa dan cerita. Namun, bayangan Sarah tetap menghantui pikirannya. Raka tidak bisa sepenuhnya melupakan betapa dalamnya cinta yang pernah ada, meski itu sudah rusak.

Rini melanjutkan, “Nadia sudah menunggumu, Raka. Dia perempuan yang lebih pantas untukmu. Jika kamu tidak memperdulikan Sarah, jangan ragu untuk melangkah maju.”

Raka berusaha untuk tidak terpengaruh. Dalam hatinya, dia merasa bingung antara rasa sakit dan keinginan untuk maju. Akankah semua ini memang keputusan yang tepat? Akankah kepergian Sarah memberi ruang bagi sesuatu yang lebih baik?

Hari-hari berlalu tanpa Sarah, dan Raka merasa terasing. Dia sering menjumpai Nadia. Mereka mulai berbincang lebih sering, dan Raka merasa seolah ada cahaya baru yang masuk ke hidupnya. Namun, rasa bersalah selalu mengikutinya, terutama saat teringat akan surat yang ditinggalkan Sarah.

“Raka,” Nadia memanggil saat mereka duduk di kafe dekat kampus, matanya menatap dalam ke arah Raka. “Kamu baik-baik saja? Ada yang dipikirin?”

Raka mengangguk, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. “Ya, hanya… banyak yang terjadi belakangan ini.”

Nadia menjulurkan tangannya, meraih tangan Raka. “Kamu tahu, aku di sini untukmu. Aku tidak ingin kamu merasa sendirian.”

Tindakan kecil itu menghangatkan hati Raka, tapi dia teringat kembali pada Sarah. Seketika, dia merasa terjebak antara dua dunia—satu dengan rasa sakit yang mengikatnya, dan satu lagi dengan harapan baru yang mungkin takkan pernah sepenuhnya dia terima.

Saat Raka bersandar di kursinya, merasakan tatapan Nadia yang penuh perhatian, sebuah pesan masuk ke ponselnya. Dengan cepat, dia mengeluarkan ponsel dari saku, dan saat melihat layar, dunia seolah terhenti.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status