Share

7. KEBINGUNGAN RAKA

Author: A mum to be
last update Last Updated: 2024-11-10 13:01:27

              Apa yang dikatakan oleh Nadia benar juga. Raka mengiyakannya di dalam hati. Namun, ancaman sang papa masih saja mengganggu pikiran pria itu. Pada akhirnya dia pun menghentikan langkah saat ingin mengejar Sarah.

            Sementara kini Sarah sudah disibukkan dengan pekerjaan baru di hari pertama magangnya tersebut. Dirinya sama sekali enggan memikirkan masalah rumah tangga yang ada.

“Ra, kantin yuk!”

            Ajakan barusan membuat Sarah yang sebelumnya fokus di depan komputer kini menoleh ke arah samping. Gadis itu tersenyum lembut.

“Lira ke mana?” tanya Sarah kemudian.

Sang teman lantas menjawab, “Udah ada janji makan siang sama pacarnya. Kita yang tim jomblo abadi harus tahu diri dong, Ra. Yuk! Aku udah laper nih.”

            Sarah mengiyakan lewat anggukan kepala. Tangannya meraih tongkat yang sedari tadi berdiri di belakang meja. Dengan gerakan pelan dia mulai menyejajarkan langkah di samping Dini yang bersikap siaga.

“Enggak usah, Din. Aku bisa sendiri kok,” gumam Sarah cepat.

            Keduanya berjalan menuju lantai dasar di mana kantin berada. Ikut berdesakan bersama para pekerja lain yang juga menuju arah serupa. Hingga tanpa sengaja malah bertemu dengan Raka dan Nadia yang kini berdiri di samping mereka.

“Pak!” sapa Dini ramah.

Raka hanya membalas lewat senyuman tipis. Matanya melirik cepat pada Sarah yang memasang wajah tanpa ekspresi. Sementara Nadia yang baru saja menyadari pertemuan itu malah merapatkan diri seolah memang ialah yang tepat untuk pria tersebut.

“Kayaknya makan di luar enggak keburu, Ka. Kita makan di kantin aja ya. Biar aku pesenin soto kesukaan kamu.”

“Terserah saja,” balas Raka di sela-sela obrolannya dengan Nadia.

            Eskalator pun sudah membawa mereka ke lantai tujuan. Semua orang yang berpacu dengan waktu tampak begitu terburu-buru. Membuat Sarah ikut terengah-engah ketika hendak mengukuhkan langkahnya. Dia mendesis lantaran ada yang tak sengaja menyenggol dari arah belakang.

“Maaf ya!”

Sarah membalas seruan tadi dengan gumaman pelan. Dini yang menyaksikan itu mendengkus kesal.

“Jangan terlalu pemaaf, Ra. Yang ada kita malah diinjak-injak,” gerutunya dengan wajah yang cemberut. “Di sini etika orang-orang pada minus semua. Aku jadi nyesal ngikutin ajakan si Lira ngambil magang di perusahaan ini. Sementang kerjaan pacarnya dekat kali ya. Kita deh yang dijadiin tumbal sama dia.”

“Udah, Din. Jangan marah-marah terus. Keburu waktu istirahat kita habis,” tegur Sarah sambil terkekeh.

Di kantin, Raka duduk bersama Nadia, tetapi tatapannya tak bisa lepas dari meja di sudut ruangan. Sarah duduk di sana bersama Dini, wajahnya datar, matanya fokus pada makan siang yang ada di hadapan, seakan dunia di sekitarnya tak lebih dari latar belakang yang tak berarti.

Sesekali, Dini tertawa atau melontarkan komentar, tetapi Sarah hanya tersenyum sekilas, lalu kembali ke keheningan. Raka tak bisa menahan perhatiannya yang terus tertuju pada Sarah. Ada sesuatu yang asing dalam sikapnya—seolah-olah Sarah adalah orang lain yang tak pernah ia kenal.

"Raka, kamu dengar aku enggak sih?" Nadia menegurnya, mengibaskan tangan di depan wajah Raka, membuatnya tersadar.

“Oh, iya, Nad. Sorry,” jawabnya cepat, berusaha mengalihkan pandangannya dari Sarah. “Kamu tadi bilang apa?”

Nadia, yang sudah cukup peka pada perubahan sikap Raka, akhirnya menatapnya tajam. "Kamu kenapa, sih? Dari tadi enggak fokus." Nadanya terdengar sedikit kesal.

"Eh, apa?" Raka tersadar, cepat-cepat menegakkan duduknya. "Enggak, aku cuma... mikir kerjaan aja," jawabnya, berusaha mengalihkan perhatian.

Nadia memutar bola matanya. "Oh ya? Kerjaan? Atau ada yang lebih menarik?" Ia menyisipkan nada sindiran dalam ucapannya.

Raka tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. "Aku serius, Nad. Aku cuma… kepikiran proyek kita sama klien dari Singapur kemarin," ujarnya, tanpa menyebutkan Sarah secara langsung.

Namun, Nadia menatapnya lebih intens. “Cuma itu?” tanyanya dengan nada yang membuat Raka merasakan ketegangan yang tidak nyaman.

Raka mengangguk. Meski ia menghindari topik itu, di dalam hati ada perasaan aneh setiap kali ia melihat Sarah. Sesuatu yang tak sepenuhnya ia pahami, tetapi terus membayanginya sejak pertama kali bertemu dengan sang istri pagi tadi. Apakah ia menyesal? Entahlah.

Di saat yang sama, Sarah bangkit dari kursinya bersama Dini, menuju arah pintu kantin. Tanpa sadar, mata Raka mengikuti gerakan Sarah, membuat Nadia semakin menyadari ketertarikan Raka yang mulai muncul. Sarah melintas di hadapan mereka tanpa sedikit pun menoleh, seakan-akan Raka tak lebih dari orang asing baginya. Hal ini mengusik Raka, tetapi ia tak memahami mengapa.

Nadia memandangnya, ada kekhawatiran di matanya. "Aku enggak suka lihat kamu kayak gini, Ka. Kamu berubah," katanya pelan. “Apa kamu yakin enggak ada sesuatu di antara kamu dan Sarah?”

Raka terdiam, pertanyaan Nadia membuatnya bingung. Dia merasa mungkin belum benar-benar mengenali perasaan sendiri. Namun, ada sesuatu yang membuat ia ingin mengenal Sarah lebih dalam, bahkan meski istrinya itu berusaha keras menjauh.

Di lain sisi, Sarah yang baru saja keluar dari kantin merasakan ada getaran dari ponselnya. Sebuah pesan masuk.

[Apa boleh kita bicara setelah pulang kerja?]

Sarah berdecak pelan. Tak pelak dia mengetikkan balasan pula.

[Apa lagi?]

[Jangan terlalu percaya diri dan mengira kalau aku mengharapkanmu. Semua kulakukan karena permintaan papa.]

[Kirimkan alamatnya. Aku akan datang.]

            Sarah menggeram di dalam hati. Menyadari kebodohan dirinya. Ia pikir Raka akan menyesal, tetapi kenyataan malah di luar dugaan. Sepertinya keputusan berpisah harus benar-benar terjadi.

            Sementara Raka yang baru saja mengirimkan alamat pertemuan mereka segera menarik napas panjang. Berusaha yakin bahwa setelah ini masa depan yang cerah ada di depan mata.

“Jadi gimana, Ka? Kamu pilih aku atau Sarah?” tanya Nadia yang kini ada di sebelahnya.

“Apa aku harus menjawabnya, Nad?”

           

Related chapters

  • Setelah Istriku Memilih Pergi   8. AKU HANYA KASIHAN

    “Aku sudah tahu hanya dengan melihat senyummu, Ka.”Nadia memandang Raka dengan senyuman tipis yang samar-samar menyimpan kekecewaan. Nadanya lembut namun menyiratkan sesuatu yang dingin, membuat Raka tertegun sejenak.“Maksudmu apa, Nad?” tanya Raka lagi.“Tentu saja kamu lebih pilih aku. Lagian mana mungkin Sarah bisa menggantikan posisiku. Kita udah sama-sama sejak SMA, Ka,” tutur Nadia begitu percaya diri.Raka mencoba tersenyum, meski dalam hati ia merasakan sesuatu yang mengganggu. Entah mengapa kalimat Nadia tadi terdengar seperti sebuah ancaman baginya.Sesuai dengan janji sebelumnya, Sarah duduk di sudut kafe, menatap ke arah jalan sambil menunggu kedatangan Raka. Ia sudah tahu apa yang akan mereka bicarakan, dan dalam hati, ia sudah mempersiapkan jawabannya. Raka tiba beberapa menit kemudian, wajahnya terlihat lelah namun serius.“Papa melarang kita untuk berpisah,” ucap Raka begitu mereka duduk, langsung ke inti masalah. Tatapannya beralih ke cangkir kopi di depannya, mengh

  • Setelah Istriku Memilih Pergi   9. MAU APA KE SINI??

    “Cie cie. Ada yang nganterin nih!”Alih-alih merespon suara barusan, Sarah hanya menghela napas dan menutup pintu kosannya, merasa sedikit lega setelah lepas dari perhatian Raka. Namun, perasaan tidak tenang tak sepenuhnya hilang.Pertemuan mereka tadi di kafe menyisakan tanda tanya. Meski tak mengharapkan banyak dari pernikahan ini, Sarah masih bingung dengan sikap Raka yang terlihat semakin sering memperhatikannya. Apakah karena perintah dari papanya ataukah ada hal lain?“Ih, Ra! Kok main kabur aja sih? Habis dianterin Pak Raka ya? Tuh kan, sahabat kita ini diem-diem beruntung banget!” goda Lira sambil tersenyum lebar.Sarah tersenyum kecil. Ia tak mungkin menceritakan yang sebenarnya, meski kadang rasa lelah menyembunyikan rahasia ini mulai mengganggu. “Ah, kebetulan aja ketemu di jalan tadi. Ya, mungkin dia kasihan lihat aku sendirian uamh cacat ini.”Dini tertawa sambil mengangguk penuh percaya diri. “Jangan ngomong gitu, Ra. Mungkin aja dia memang care,” katanya sambil berkedip

  • Setelah Istriku Memilih Pergi   10. RAKA ITU MILIKKU

    Sarah terperanjat, tak menyangka bertemu dengan Nadia dalam situasi seperti ini. Wajah Nadia penuh amarah, matanya menyiratkan kecurigaan yang terpendam sejak lama.“Mau apa kamu ke sini, hah?!” Nadia mengulang pertanyaannya dengan nada yang semakin tajam.Sarah menelan ludah, berusaha menahan diri. “Saya… cuma mau menemui Pak Raka, Mbak. Beliau supervisor saya sekarang,” ujarnya dengan suara pelan, mencoba menjaga sikap tetap tenang.Nadia menyilangkan tangan di dada sambil melangkah mendekat, pandangannya penuh sinis. “Supervisor? Oh, jadi kamu merasa perlu banget deket-deket sama Raka sekarang hanya karena dia jadi supervisormu, gitu?”Sarah menghela napas, merasa percuma menjelaskan, namun ia tetap mencoba untuk bersikap sopan. “Saya hanya menjalankan tugas, Mbak. Kita di sini profesional.”“Profesional?” Nadia mendengus. “Jangan sok polos, Sarah! Aku tahu banget tipe cewek sepertimu. Kamu pikir aku nggak sadar, ya? Selalu mendekat ke Raka, berusaha mencuri perhatiannya. Dan sekar

  • Setelah Istriku Memilih Pergi   11. HANYA ANAK MAGANG

    “Aku bukan orang bodoh ya, Ka. Aku melihat cara kamu menatap Sarah tadi. Tidak seperti biasanya.”Nadia menghela napas panjang, tatapannya tak lepas dari wajah Raka. Matanya menyipit, seolah berusaha menembus dinding yang pria itu bangun di sekeliling hatinya.Raka terdiam. Ia ingin menyangkal, tetapi tak bisa mengelak dari perasaan yang perlahan-lahan mulai mengganggu sejak Sarah muncul di hidupnya kembali. Tapi ia juga tahu, memberi tahu Nadia hanya akan memperumit keadaan.“Nad,” ujarnya pelan, mencoba meredakan suasana, “Sarah itu hanya anak magang. Aku bertanggung jawab membimbingnya. Mungkin kamu salah paham.”“Anak magang, ya?” Nadia mencondongkan tubuhnya, suara tawanya terdengar sinis. “Raka, aku sudah bersama kamu cukup lama. Aku tahu cara kamu berinteraksi dengan orang lain. Dengan Sarah, kamu berbeda.”Senyuman di wajah Raka perlahan memudar. Ia mulai merasa terpojok, tetapi Na

  • Setelah Istriku Memilih Pergi   12. SATU KAMAR

    Setelah semua orang keluar ruangan, Sarah tetap tinggal sejenak, hendak memastikan apa yang ia dengar saat rapat tadi. “Pak Raka,” panggilnya kemudian.Raka yang sedang mengobrol bersama sekretarisnya menoleh sejenak. Lantas menyuruh orang tersebut agar meninggalkan ruangan terlebih dahulu. Menyisakan dia dan Sarah yang ada di sana.“Ada apa?” tanya Raka setelah itu.“Apa Bapak tidak salah orang?” tanya Sarah secara gamblang.“Maksudnya? Apa yang salah?” ucap Raka bali bertanya. Matanya menatap netra Sarah yang tampak gelisah.“Saya tidak ingin membuat tim kesusahan karena kondisi saya yang —““Kita ke sana bukan untuk lomba lari, Sarah. Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” potong Raka cepat. “Kamu harus professional. Itu ‘kan yang selalu kamu katakan?”“Baiklah, tentang proyek di luar kota ini… apakah ada hal khusus yang

  • Setelah Istriku Memilih Pergi   13. KENAPA DIA BERBEDA?

    Di hadapan Sarah, Raka berdiri di depan cermin, hanya mengenakan celana pendek sebatas lutut berwarna navy. Punggungnya terlihat jelas tanpa penutup, memperlihatkan garis otot yang terlatih namun tidak berlebihan. Sarah menelan ludah tanpa sadar, mendapati dirinya sulit untuk mengalihkan pandangan. Seolah baru kali ini dia menyadari detail fisik suaminya—hal yang selama ini diabaikannya dengan mudah.Raka, yang menyadari ada seseorang di belakangnya, segera menoleh. Tatapannya bertemu dengan mata Sarah yang tampak terkejut. Ia menghela napas pendek lalu segera meraih kaus berwarna abu-abu yang sebelumnya tergeletak di atas ranjang dan memakainya dengan santai."Maaf," ucapnya tanpa banyak basa-basi, walaupun tidak ada kesalahan yang benar-benar dilakukan.Sarah tersadar dari keterkejutannya dan segera menunduk, merasa malu pada diri sendiri. Ia melangkah cepat menuju koper di sudut kamar, berpura-pura sibuk mencari sesuatu untuk mengalihkan rasa kikuknya.

  • Setelah Istriku Memilih Pergi   14. PAK RAKA CEMBURU YA?

    “Oh, itu… itu Pak Raka. Dia cuma mau ingetin jadwal sarapan.”Dini dan Lira saling berpandangan, lalu kembali menatap Sarah dengan penuh kecurigaan."Kamu serius, Ra?” tanya Lira yang dibalas Sarah dengan anggukan perlahan.“Kalau ada apa-apa kasih tahu kami ya, Ra,” celetuk Dini kali ini. “Jangan gampang terhasut sama godaan cowok meskipun Pak Raka. Inget ya. Dia udah punya cewek. Kalau dia deketin kamu, itu sih cuma modus. Jangan nyesel kalau nanti habis manis sepah dibuang.” Ocehan Dini tadi ternyata didengar oleh Raka yang sedari tadi menguping dari jarak kejauhan. Pria itu mendengkus sebal lalu tanpa berpikir panjang menyembul begitu saja.“Pak Raka?”“Apa?” tantang Raka yang sudah berwajah masam. “Kalian pikir saya apaan, hah??”“Maafin kami, Pak. Eh udah dulu ya, Ra. Entar kami telat ngantor. Titip Ara ya, Pak. Jangan macem-macem!” seru Dini yang seketika menghilang dari layar ponsel Sarah. Suasana yang menghebohkan tadi mendadak senyak dalam sekejap. Men

  • Setelah Istriku Memilih Pergi   15. ADA URUSAN APA BERDUAAN?

    Sarah terpaku mendengar celetukan Andi yang begitu spontan. Wajahnya terasa memanas, dan tanpa sadar, ia melirik Raka untuk melihat reaksinya. Namun, ekspresi Raka justru semakin tak terbaca. Pria itu hanya diam, mengalihkan pandangan ke arah lain, seakan mencoba mengabaikan ucapan Andi."Cemburu?" gumam Raka kemudian dengan suara rendah, namun cukup jelas untuk didengar oleh Sarah dan Andi. "Apa alasan saya untuk merasa cemburu, Pak Andi?" tanyanya, sedikit sinis.Andi terkekeh pelan, sementara Sarah hanya bisa menunduk, berharap suasana cepat kembali normal. “Saya cuma bercanda, Pak. Lagian Anda dan Bu Nadia sudah cocok” ujar Andi sambil tersenyum simpul. Lalu, ia melanjutkan pekerjaannya tanpa menggali lebih lanjut soal itu.Selama beberapa menit, mereka bertiga melanjutkan pekerjaan dengan suasana yang sedikit canggung. Raka sesekali melirik Sarah, namun segera mengalihkan pandangannya saat ia sadar tengah diperhatikan.Setelah pertemuan pagi yang cukup intens, suasana di antara R

Latest chapter

  • Setelah Istriku Memilih Pergi   40. KEPINDAHAN SARAH

    “Ada hal yang harus kami benahi sebelum kembali ke sini lagi.”Raka menjawab dengan nada tegas tapi tetap sopan. Pak Herman mengangguk pelan, menerima jawaban itu dengan sikap yang tenang. Namun, sorot matanya menunjukkan bahwa ia memahami lebih banyak daripada yang diungkapkan oleh kata-kata.“Baiklah,” kata Pak Herman akhirnya. “Oh ya, ayo kita makan. Papa sudah lapar. Tadi Rini masak soto ayam kesukaanmu, Ka.”Ucapan itu membuat Sarah menoleh sejenak. Rini, yang berdiri di sudut ruangan dengan wajah datar, melirik Sarah sekilas sebelum akhirnya mengalihkan pandangan. Aura dingin dan sinis wanita itu terasa begitu mencolok. Meski Rini tidak mengatakan apa pun, Sarah dapat merasakan ketidakramahan yang disembunyikan di balik sikap formalnya.Raka menggenggam tangan Sarah dengan lembut, mengisyaratkan agar istrinya mengikutinya ke meja makan. Meski ragu, Sarah mengikuti langkahnya tanpa banyak bicara.Saat hendak

  • Setelah Istriku Memilih Pergi   39. KLARIFIKASI

    Pagi itu, Sarah sedang menyiapkan sarapan ketika langkah kaki Raka terdengar mendekat. Ia tampak sudah rapi dengan kemeja biru berlengan panjang dan celana panjang hitam. Rambutnya yang sedikit basah menunjukkan bahwa ia baru saja selesai mandi.Sarah menoleh sekilas. “Sarapan dulu, Mas.”Raka hanya mengangguk sambil merapikan lengan kemejanya. “Kamu juga siap-siap. Hari ini kita berangkat bareng ke kantor.”Sarah, yang sedang menuangkan teh, berhenti sejenak. “Bareng? Maksudnya… kamu mau aku ikut sama kamu?”Raka menatapnya, nadanya santai tapi tegas. “Ya. Aku enggak mau ada lagi gosip soal kita. Kalau kita datang bareng, semuanya jelas.”Sarah mengerutkan dahi. “Tapi, Mas, bukannya itu malah bikin aku tambah jadi bahan omongan? Apalagi posisi aku ‘kan cuma anak magang.”Raka menghela napas, lalu menghampiri Sarah. “Sarah,” panggilnya dengan nada yang lebih lembut, “aku tahu ini berat buat kamu, tapi aku enggak mau kamu terus-terusan di posisi diserang tanpa bisa membela diri. Kali i

  • Setelah Istriku Memilih Pergi   38. SPILL DONG!

    Setelah mengatakan kalimat itu, Raka menatap Dini dan Lira secara bergantian. Pandangannya tajam, seolah menyampaikan bahwa larangan tadi adalah mutlak dan tak terbantahkan. Kedua sahabat Sarah tersebut saling melirik sebelum mengangguk paham, meski ada kilatan penasaran di mata mereka yang masih tersisa."Kamu mau makan apa, Sarah?" tanya Raka, suaranya kali ini terdengar lembut dan penuh perhatian.Sarah, yang masih mencoba memproses perubahan sikap Raka yang tiba-tiba tegas tadi, menjawab pelan, "Terserah Mas saja."Raka memandangnya sejenak sebelum berkata, "Ya sudah. Aku pesankan soto ayam, ya?"Sarah mengangguk. "Boleh," jawabnya singkat, pandangannya tertunduk untuk menghindari tatapan sahabat-sahabatnya.Raka melangkah keluar, menutup pintu dengan tenang. Suasana hening sejenak, hanya suara langkah kaki Raka yang memudar di kejauhan. Begitu yakin pria itu tak lagi mendengar, Dini langsung mendekat dengan senyum jahilnya."Ra, Ra...,"

  • Setelah Istriku Memilih Pergi   37. AKHIRNYA KETAHUAN JUGA

    Setelah kejadian di parkiran, Sarah dan Raka kembali ke kontrakan dengan perasaan berat. Langkah mereka terasa lambat, seolah setiap derap kaki semakin menambah beban pikiran. Sarah berkutat dengan perasaannya yang kacau, sementara Raka diam, jelas tengah menahan amarah yang hampir meluap.Begitu sampai, pintu kontrakan terbuka. Namun belum sempat masuk ke sana, dua sosok familiar menyambut mereka dengan tatapan kaget. Dini dan Lira, yang semula niat untuk bertandang, langsung terperanjat begitu melihat Raka dan Sarah yang tampak dekat sekali."Duh, kalian pulang barengan nih? Wah, romantis amat," celetuk Dini, matanya melirik tangan Raka yang tak sengaja menyentuh bahu Sarah.Sarah langsung mundur selangkah, mencoba menjaga jarak, tetapi Raka dengan tenang tetap berdiri di sisinya."Dini, Lira, kok kalian …di sini?" tanya Sarah, suaranya gemetar. Napasnya terasa tercekat di tenggorokan."Ya ampun, Ra. Jelas aja kami nungguin kamu. Lupa ya k

  • Setelah Istriku Memilih Pergi   36. INI BARU PERMULAAN

    Raka duduk di ruangannya, menatap layar laptop dengan pikiran yang melayang-layang. Ia menyadari hubungan rahasia antara dirinya dan Sarah semakin menjadi beban. Tidak hanya bagi mereka berdua, tetapi juga mulai menarik perhatian yang tidak diinginkan—terutama dari Nadia tentu saja.Sementara di ruangan yang lain Sarah mencoba menyibukkan diri dengan pekerjaan. Namun, bisik-bisik yang terdengar dari meja sebelah terus mengganggunya."Katanya Sarah itu cuma numpang tenar karena deket sama Pak Raka," ujar seorang rekan kerja dengan suara pelan tapi cukup terdengar."Ya, bisa jadi sih. Pak Raka kan bener-bener perhatian sama dia. Padahal dia cuma anak magang."“Mungkin dianya aja sih yang baper. Pak Raka kasihan aja karena dia pincang,” tambah yang lain lagi.Sarah menunduk, pura-pura tidak mendengar. Tapi hatinya bergemuruh. Gadis itu menghela napas jengah begitu melihat kedatangan Nadia dari kejauhan.Beberapa hari terakhir, Nadia semakin terang-terangan menyudutkannya. Mulai dari krit

  • Setelah Istriku Memilih Pergi   35. INSIDEN DI KANTOR

    "Aku punya waktu tiga minggu. Tolong di masa ini jangan ganggu hubungan kami. Selebihnya, terserahmu," kata Raka dengan nada tegas, namun matanya menyiratkan harapan.Rafly menyandarkan tubuhnya ke kursi, memutar cangkir teh di tangannya. Ia menatap Raka dengan ekspresi datar, seolah sedang menilai seberapa serius ucapan pria itu. Setelah mengangkat cangkir teh tadi, ia meniupnya perlahan lalu berkata, “Tiga minggu? Om yakin cukup buat memperbaiki semuanya?”“Cukup atau tidak, aku akan coba,” balas Raka tegas.Rafly tertawa kecil, lalu menyesap tehnya. “Baiklah, Om. Aku enggak akan ganggu. Tapi, kalau setelah tiga minggu Om masih gagal... jangan salahkan aku kalau aku yang akan maju.”Raka mengangguk kecil, meski keraguan masih memenuhi pikirannya. Dengan berat hati, ia meninggalkan ruangan tempat mereka bertemu, menuju klinik untuk menjemput Sarah dengan langkah cepat. Namun, perasaan cemas tetap menghantui. Apak

  • Setelah Istriku Memilih Pergi   34. PERANG DINGIN

    “Ganti semua, Om bilang?” Rafly menyeringai tipis. “Aku enggak pernah minta gantinya, kok. Lagipula, yang aku kasih itu bukan buat Om, tapi buat Sarah.” Nada suaranya penuh sindiran.Raka mengepalkan tangannya di sisi tubuh, menahan dorongan emosinya. “Aku enggak mau istri aku berutang apa pun sama orang lain. Terutama kamu!!”Rafly tertawa kecil, terdengar hambar di tengah rintik hujan yang mulai turun membasahi bumi. “Kalau gitu pastikan saja, Om. Jangan sampai Ara lebih butuh aku daripada suaminya sendiri.”Raka melangkah mendekat, hingga hanya berjarak beberapa langkah dari Rafly. “Kamu enggak punya hak bicara soal istri aku. Kalau kamu benar peduli sama Sarah, mundurlah. Jangan ganggu hidup kami lagi.”“Ganggu?” balas Rafly, suaranya lebih pelan tetapi penuh arti. “Aku ada di sini karena Ara butuh seseorang yang mengerti dia. Dan sepertinya, itu bukan dari suaminya yang &md

  • Setelah Istriku Memilih Pergi   33. APA KAMU BAHAGIA?

    Pagi itu, setelah sarapan sederhana bersama, Sarah sedang bersiap untuk pergi menjalani terapi. Udara di kontrakan masih terasa dingin meskipun sinar matahari mulai mengintip dari balik tirai jendela. Raka, dengan wajah yang sudah segar setelah mandi, berdiri di depan pintu dengan jaketnya."Mas antar ya," ucap Raka dengan nada mantap.Sarah menoleh, menatapnya dengan alis yang sedikit terangkat. "Aku bisa sendiri. Lagian Mas harus ngantor ‘kan?""Enggak, Sarah. Aku ingin pastikan kamu aman. Aku akan ambil cuti. Sebentar ya aku hubungi ke kantor dulu," jawab Raka, matanya menatap lembut ke arah Sarah dengan nada bicara yang seolah tidak memberikan ruang untuk bantahan.Namun, sebelum Sarah sempat membalas, suara ketukan pintu membuat mereka berdua menoleh. Ketukan itu keras, seolah si tamu tidak sabar menunggu. Sarah buru-buru membuka pintu dan mendapati sosok Rafly berdiri di sana.Rafly terlihat berbeda pagi itu. Wajahnya tidak seceria biasa,

  • Setelah Istriku Memilih Pergi   32. MALAM PERTAMA

    “Tiga minggu 'kan? Kamu sudah setuju, Sarah. Jadi biarkan aku memanfaatkan waktu sebaik mungkin."Raka mengembangkan senyumnya, lebar dan penuh percaya diri, sebuah ekspresi yang tidak asing tetapi kini terasa berbeda di mata Sarah. Ia tidak tahu harus merasa apa—antara jengkel atau bingung—sehingga hanya bisa berdiri mematung di tempat. Jawaban spontan itu benar-benar membuatnya tidak siap."Ayo, masuk! Sudah malam," lanjut Raka, kali ini nadanya lebih lembut. Tanpa menunggu respons Sarah, ia menarik tangannya dengan perlahan, memastikan sentuhannya tidak terasa memaksa.Sarah pun hanya bisa menghela napas. Ia tahu tak ada gunanya menentang, bukan hanya karena mereka sedang di luar rumah, tetapi karena sesuatu dalam cara Raka berbicara malam ini membuatnya tak ingin memulai perdebatan.Begitu mereka masuk ke dalam kontrakan, keheningan menyelimuti ruangan. Tempat itu tidak luas, hanya terdiri dari ruang tamu kecil yang langsung tersambung ke dapur, serta sebuah kamar tidur di bagian

DMCA.com Protection Status