“Sarah, kenapa kamu begini?”
Istrinya itu malah terkekeh samar. “Maksud Anda? Bukankah selama ini kehadiran saya tidak perlu diketahui banyak orang. Anggaplah sekarang petemuan kita yang pertama.”
“Sarah?”
“Apa lagi, Pak? Jangan sampai orang-orang melihat kita.” Sarah menepis pelan tangan Raka yang hendak mencekalnya.
Belum sempat Raka kembali bersuara, Nadia tiba-tiba muncul dari balik kerumunan. Wajahnya pucat dan matanya berbinar dengan kemarahan yang tak tertahan.
Raka merasa jantungnya berdegup kencang melihat sang mantan kekasih melangkah maju, ekspresinya menunjukkan ketidakpuasan saat melihat interaksi Raka dengan Sarah. “Wah, siapa ini?”
“Jangan membuat orang-orang menaruh curiga, Nadia.” Raka mencoba mengingatkan.
“Oh, sungguh mengejutkan ternyata. Aku enggak nyangka ada perempuan cacat yang bisa lolos magang di sini,” ejek Nadia, nada suaranya penuh sarkasme.
Wajah Raka memanas, keinginan untuk membela Sarah membara di dadanya. “Nadia, tolong jangan mulai lagi,” ujarnya, berusaha menenangkan suasana yang sudah tegang. Namun, semua kata-katanya terasa sia-sia saat Nadia terus melanjutkan serangannya.
Nadia tertawa kecil, merendahkan. “Jadi, kamu di sini untuk mendapatkan perhatian suamimu? Menyedih sekali ya,” dia menyindir, matanya menatap Sarah dengan sinis.
Perasaan cemas menyelimuti diri Raka. Dia tidak ingin konflik ini berkembang, tetapi melihat Sarah yang hanya berdiri diam, menundukkan kepala, membuatnya semakin bingung. Kenapa Sarah begitu acuh? Seharusnya dia merasakan tekanan yang sama, tetapi sikapnya justru membuat Raka khawatir.
Dia menatap Sarah, ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Sarah…” Suaranya perlahan, mencoba merangkul perhatian Sarah. “Kita perlu bicara.”
“Bicara tentang apa, Pak Raka?” jawab Sarah dengan nada formal yang membuat hati Raka terasa berat. Ada jarak yang semakin melebar antara mereka, seolah ada tembok tak terlihat yang memisahkan.
“Sarah, kenapa kamu pergi?” Raka berusaha mengingat semua momen indah yang mereka lalui, berharap bisa menemukan jalan kembali. “Maksudku setidaknya…”
“Kenapa memangnya?” potong Sarah dengan suara datar.
Raka terdiam, hatinya serasa diremas. “Kita harus bicara.” Nada suaranya penuh harapan, tetapi saat melihat ekspresi kosong di wajah Sarah, dia merasa putus asa.
“Enggak ada yang perlu diobrolin lagi,” Sarah berkata, suaranya tegas. Dia berbalik, seolah keputusan itu sudah diambilnya tanpa mempertimbangkan apa pun. Langkahnya mantap, meninggalkan Raka yang terdiam, dikelilingi oleh ketidakpastian.
Raka ingin mengejarnya, tetapi rasa sakit yang menggerogoti hatinya membuatnya terhenti. “Kita harus bicara, Sarah!” serunya, berusaha keras agar suara penuh emosinya dapat mempengaruhi keputusan Sarah. “Aku tidak bisa membiarkan ini berakhir begitu saja.”
Sarah berhenti sejenak, tetapi tidak menoleh. “Tentang apa yang harus kita bicarakan? Kita sudah sama-sama tahu. Tidak ada lagi yang bisa diselamatkan.”
Setiap kata yang keluar dari bibir Sarah seperti palu yang menghantam hati Raka. Dia merasa seperti kehilangan segalanya. “Tapi kita—” Raka berusaha menjelaskan, tetapi dia tahu bahwa kata-katanya tidak akan cukup untuk menjangkau hati Sarah yang tertutup.
Sarah menggelengkan kepala, bibirnya bergetar. “Kita tidak bisa kembali ke masa lalu. Itu sudah selesai. Saya permisi, Pak Raka.”
“Tunggu!”
Sarah tidak menoleh. Raka berusaha mendekat, dan saat itulah dia merasakan kehadiran Nadia yang mengintimidasi di belakangnya.
“Raka, sudahlah. Seharusnya kamu senang karena dia yang memilih untuk menyerah. Lepaskan bebanmu karena pernikahan kalian memang salah sejak awal.” Nadia berkata, suaranya penuh kepuasan.
Raka merasa marah dengan pernyataan Nadia, tetapi dia tahu bahwa tidak ada gunanya berdebat dengannya. Rasa sakit di dalam dirinya semakin dalam saat melihat Sarah pergi tanpa menoleh. “Kamu tidak mengerti apa yang terjadi di antara kami!” Raka menatap Nadia dengan mata berapi-api. “Ini bukan hanya tentang aku dan Sarah.”
“Oh, tapi ini tentangmu, kan?” Nadia menjawab, menyeringai dengan sinis. “Kamu takut nama baik keluarga akan rusak? Ayolah, Raka. Berhenti terus mengorbankan diri sendiri.”
Raka ingin membantah, tetapi kata-katanya tersangkut di tenggorokan. Dia merasakan kekecewaan dan kebingungan yang menggerogoti hati. Keberanian yang biasanya dimiliki sirna seketika. Dia hanya ingin mengerti, ingin mencari jalan keluar dari situasi yang menyedihkan ini.
“Dia masih mencintai aku,” Raka menjawab, berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Tapi suara hatinya berbisik lain—apakah dia benar-benar tahu apa yang dirasakan Sarah?
Nadia menggelengkan kepala, ekspresi puas di wajahnya semakin tampak jelas. “Aneh sekali. Kamu masih mencintaiku, tetapi malah mempertahankan perempuan pincang itu?”
Raka merasa tertekan, tidak bisa menahan perasaannya. “Aku tidak bilang begitu!” Suaranya menggema, penuh emosi.
“Tidak katamu? Aku hanya ingin kamu melihat kebenarannya,” jawab Nadia, berusaha terdengar tenang walaupun hatinya sedang kacang balau sekarang.
Ketika Raka menemukan Sarah, dia berdiri sendirian di sudut, matanya menatap ke bawah, seolah menghindari tatapan pria itu. Raka merasakan ketegangan di udara saat dia mendekat. “Sarah,” panggilnya lembut, berusaha menenangkan hatinya. “Jangan begini!” Raka hampir berteriak, hatinya bergetar.
“Aku sudah membuat keputusan, Pak Raka. Dan aku tidak ingin kembali ke masa lalu yang menyakitkan,” Sarah berkata tegas. Ada kepastian dalam suaranya, tetapi di dalam matanya, Raka melihat keraguan yang samar.
Raka merasa jantungnya hancur. “Kamu masih mencintaku ‘kan? Kamu enggak akan berucah secepat ini.”
Sarah terdiam, tetapi hanya sesaat. “Anda mungkin benar, Pak. Untuk itulah saya ke sini. Berusaha berdamai dengan keadaan dan meyakinkan diri bahwa perempuan cacat ini bisa lepas dari suaminya.”
Kata-kata itu seperti pisau yang menyayat hatinya. Raka ingin berbicara lebih banyak, tetapi ketika dia membuka mulutnya, tidak ada suara yang keluar. Ketidakpastian dan kesedihan menggenggamnya.
“Maafkan aku ya.” Raka berkata, suaranya kini lembut, hampir seperti bisikan.
Sarah menatapnya, ekspresinya lembut namun tegas. “Kadang, kepergian adalah jalan terbaik untuk menarik diri dari masalah yang tak kunjung selesai.” Setelah mengatakan itu, dia berbalik dan pergi, meninggalkan Raka dengan rasa sakit yang tak terlukiskan.
“Lihat, Raka? Bukankah lebih baik menerima kenyataan? Sarah sudah menyerah.”
"Mas, kamu pulang terlambat lagi."Suara Sarah terdengar pelan, hampir tenggelam dalam keheningan ruang tamu yang sepi. Dia duduk di sofa dengan tongkat tergeletak di samping. Wajahnya tampak lelah, matanya sayu menatap pintu yang baru saja terbuka. Di meja, hidangan makan malam yang sudah mulai dingin tersusun rapi dan masih tak tersentuh.Raka masuk tanpa menoleh, hanya melemparkan tas kerjanya ke sofa. "Aku capek, Sarah. Jangan mulai lagi," katanya singkat, suaranya kering dan dingin, seolah dinding yang tebal memisahkan mereka berdua.Sarah menggigit bibir, menahan perasaan yang terus mengusik hati. Matanya menatap punggung Raka yang bergerak menuju dapur, tak mempedulikan kehadirannya. Dia menarik napas panjang, berusaha meredakan sesak di yang kembali menyeruak di dalam dada."Aku hanya ingin tahu bagaimana harimu, Mas Raka," katanya pelan, hampir berbisik, seolah takut suara itu akan pecah jika dikeluarkan terlalu keras.Langkah Raka terhenti sejenak, tetapi dia tidak berbalik.
Sarah merasakan tubuhnya melemas. Setiap kata di pesan itu terasa menghantam ulu hati. Ini lebih dari sekadar kecurigaan. Ia tahu Nadia adalah bagian dari masa lalu Raka, namun ia tak pernah menyangka Raka akan kembali bertemu dengannya setelah pernikahan mereka.Ketika langkah kaki Raka terdengar mendekat, Sarah buru-buru meletakkan ponsel itu kembali. Namun, pikirannya sudah dipenuhi dengan rasa sakit dan ketidakpastian. Sudah hampir seminggu Raka kembali pulang larut malam. Kali ini Sarah tidak lagi bertanya. Ada sesuatu yang sudah diputuskan dalam dirinya. Sebuah kerinduan, dan mungkin rasa sakit, yang kini ia simpan sendiri.Raka tampak tidak peduli. Bahkan ketika melihat meja makan yang kembali tertata rapi dengan hidangan yang belum disentuh, ia hanya melirik sekilas, lalu beranjak ke kamar.Sarah melangkah keluar rumah untuk mencari udara segar. Namun, begitu melihat ke luar halaman, ia melihat sebuah mobil berhenti tidak jauh dari rumah mereka. Ada seorang wanita
Hari-hari berlalu, dan Raka semakin sering pulang hampir dini hari. Setiap malam, Sarah menunggu dengan sabar, berharap suaminya itu setidaknya akan menyapa, atau bahkan sekadar bertanya. Namun, seiring waktu, rumah terasa semakin sunyi, hanya dihiasi langkah-langkah Raka yang langsung menuju kamar tanpa satu kata pun untuknya.Malam itu, Raka lagi-lagi tiba lewat tengah malam. Sarah duduk di ruang tamu, wajahnya tertunduk lesu menunggu suaminya yang tampak sibuk menanggalkan jas dan tas kerjanya tanpa menoleh.“Mas, bisa bicara sebentar?” tanya Sarah pelan, mencoba menguatkan suaranya yang hampir tenggelam.Raka berhenti sejenak, lalu menoleh dengan wajah lelah. “Apa lagi, Sarah?”“Aku cuma mau kita bisa ngobrol, Mas. Setidaknya aku ingin tahu apa yang sedang kamu rasakan. Ini sudah terlalu lama...” Sarah menelan ludah, mencoba menenangkan perasaannya.Raka mendesah, mengusap wajahnya. “Sarah, aku bekerja seharian. Jujur saja, aku lelah kalau tiap malam harus ngobrolin hal yang sama.
Raka terbangun oleh suara samar di lantai bawah, suara yang asing namun memanggil nalurinya untuk bangkit. Jam menunjukkan pukul 3 dini hari. Di rumah itu, hanya ada dirinya dan Sarah, tetapi malam ini terasa lebih sunyi dari biasanya, seolah ada sesuatu yang hilang tanpa suara.Ia turun perlahan, mendapati lampu ruang tamu masih menyala. Di meja ada secangkir teh yang sudah dingin, dan sebuah kotak kecil dengan secarik kertas tergeletak di sampingnya. Raka merasa dadanya berdebar tak nyaman.“Sarah?” panggilnya lirih. Namun, tak ada jawaban.Raka melangkah ke ruang tamu, melihat ke sekeliling, dan yang tersisa hanyalah kesunyian yang pekat. Dengan ragu, ia membuka kotak kecil itu. Di dalamnya, terdapat seutas kalung yang pernah ia berikan saat pertama kali mereka menikah. Sebuah simbol kecil yang selama ini mungkin tak bermakna baginya, tapi jelas menjadi sesuatu yang sangat berarti bagi Sarah. Dan di sebelahnya, terdapat secarik kertas dengan tulisan tangan Sarah.Raka menelan ludah
[Papa sudah tahu apa yang terjadi. Jangan sampai Sarah mengajukan tuntutan cerai ke pengadilan. Nama baik kita yang akan jadi taruhannya.]Raka terhenyak kaget saat membaca pesan itu. Dia merasa seolah ada bom waktu yang siap meledak kapan saja. Mungkin dia belum sepenuhnya menyesali kepergian Sarah, tetapi ancaman tuntutan cerai itu membuatnya merenung. Dia pun mengetikkan balasan dengan segera.Apakah semua ini akan berujung pada keruntuhan namanya? Raka tidak pernah berpikir jauh tentang dampak dari pernikahan yang tidak bahagia ini. Dia hanya ingin bebas dari perasaan bersalah yang menyelimutinya, dari rasa tak berdaya yang selalu mengikutinya ketika berada di dekat Sarah.“Ada apa?” tanya Nadia, temannya yang mulai dekat belakangan ini, saat mereka duduk bersama di kafe dekat kampus.“Eh, enggak. Aku hanya memikirkan banyak hal,” jawab Raka sambil berusaha tersenyum.Nadia mengamati wajahnya dengan cermat, seolah bisa merasakan ketegangan yang tersimpan di dalam diri Raka. “Kamu