Share

6. BERUBAH

Author: A mum to be
last update Last Updated: 2024-11-06 07:09:28

“Sarah, kenapa kamu begini?”

Istrinya itu malah terkekeh samar. “Maksud Anda? Bukankah selama ini kehadiran saya tidak perlu diketahui banyak orang. Anggaplah sekarang petemuan kita yang pertama.”

“Sarah?”

“Apa lagi, Pak? Jangan sampai orang-orang melihat kita.” Sarah menepis pelan tangan Raka yang hendak mencekalnya.

Belum sempat Raka kembali bersuara, Nadia tiba-tiba muncul dari balik kerumunan. Wajahnya pucat dan matanya berbinar dengan kemarahan yang tak tertahan.

Raka merasa jantungnya berdegup kencang melihat sang mantan kekasih melangkah maju, ekspresinya menunjukkan ketidakpuasan saat melihat interaksi Raka dengan Sarah. “Wah, siapa ini?”

“Jangan membuat orang-orang menaruh curiga, Nadia.” Raka mencoba mengingatkan.

“Oh, sungguh mengejutkan ternyata. Aku enggak nyangka ada perempuan cacat yang bisa lolos magang di sini,” ejek Nadia, nada suaranya penuh sarkasme.

Wajah Raka memanas, keinginan untuk membela Sarah membara di dadanya. “Nadia, tolong jangan mulai lagi,” ujarnya, berusaha menenangkan suasana yang sudah tegang. Namun, semua kata-katanya terasa sia-sia saat Nadia terus melanjutkan serangannya.

Nadia tertawa kecil, merendahkan. “Jadi, kamu di sini untuk mendapatkan perhatian suamimu? Menyedihkan sekali ya,” dia menyindir, matanya menatap Sarah dengan sinis.

Perasaan cemas menyelimuti diri Raka. Dia tidak ingin konflik ini berkembang, tetapi melihat Sarah yang hanya berdiri diam, menundukkan kepala, membuatnya semakin bingung. Kenapa Sarah begitu acuh? Seharusnya dia merasakan tekanan yang sama, tetapi sikapnya justru membuat Raka khawatir.

Dia menatap Sarah, ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Sarah…” Suaranya perlahan, mencoba merangkul perhatian Sarah. “Kita perlu bicara.”

“Bicara tentang apa, Pak Raka?” jawab Sarah dengan nada formal yang membuat hati Raka terasa berat. Ada jarak yang semakin melebar antara mereka, seolah ada tembok tak terlihat yang memisahkan.

“Sarah, kenapa kamu pergi?” Raka berusaha mengingat semua momen indah yang mereka lalui, berharap bisa menemukan jalan kembali. “Maksudku setidaknya…”

“Kenapa memangnya?” potong Sarah dengan suara datar.

Raka terdiam, hatinya serasa diremas. “Kita harus bicara.” Nada suaranya penuh harapan, tetapi saat melihat ekspresi kosong di wajah Sarah, dia merasa putus asa.

“Enggak ada yang perlu diobrolin lagi,” Sarah berkata, suaranya tegas. Dia berbalik, seolah keputusan itu sudah diambilnya tanpa mempertimbangkan apa pun. Langkahnya mantap, meninggalkan Raka yang terdiam, dikelilingi oleh ketidakpastian.

Raka ingin mengejarnya, tetapi rasa sakit yang menggerogoti hatimembuatnya terhenti. “Kita harus bicara, Sarah!” serunya, berusaha keras agar suara penuh emosinya dapat mempengaruhi keputusan Sarah. “Aku tidak bisa membiarkan ini berakhir begitu saja.”

Sarah berhenti sejenak, tetapi tidak menoleh. “Tentang apa yang harus kita bicarakan? Kita sudah sama-sama tahu. Tidak ada lagi yang bisa diselamatkan.”

Setiap kata yang keluar dari bibir Sarah seperti palu yang menghantam hati Raka. Dia merasa seperti kehilangan segalanya. “Tapi kita—” Raka berusaha menjelaskan, tetapi dia tahu bahwa kata-katanya tidak akan cukup untuk menjangkau hati Sarah yang tertutup.

Sarah menggelengkan kepala, bibirnya bergetar. “Kita tidak bisa kembali ke masa lalu. Itu sudah selesai. Saya permisi, Pak Raka.”

“Tunggu!”

Sarah tidak menoleh. Raka berusaha mendekat, dan saat itulah dia merasakan kehadiran Nadia yang mengintimidasi di belakangnya.

“Raka, sudahlah. Seharusnya kamu senang karena dia yang memilih untuk menyerah. Lepaskan bebanmu karena pernikahan kalian memang salah sejak awal.” Nadia berkata, suaranya penuh kepuasan.

Raka merasa marah dengan pernyataan Nadia, tetapi dia tahu bahwa tidak ada gunanya berdebat dengannya. Rasa sakit di dalam dirinya semakin dalam saat melihat Sarah pergi tanpa menoleh. “Kamu tidak mengerti apa yang terjadi di antara kami!” Raka menatap Nadia dengan mata berapi-api. “Ini bukan hanya tentang aku dan Sarah.”

“Oh, tapi ini tentangmu, kan?” Nadia menjawab, menyeringai dengan sinis. “Kamu takut nama baik keluarga akan rusak? Ayolah, Raka. Berhenti terus mengorbankan diri sendiri.”

Raka ingin membantah, tetapi kata-katanya tersangkut di tenggorokan. Dia merasakan kekecewaan dan kebingungan yang menggerogoti hati. Keberanian yang biasanya dimiliki sirna seketika. Dia hanya ingin mengerti, ingin mencari jalan keluar dari situasi yang menyedihkan ini.

“Dia masih mencintai aku,” Raka menjawab, berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Tapi suara hatinya berbisik lain—apakah dia benar-benar tahu apa yang dirasakan Sarah?

Nadia menggelengkan kepala, ekspresi puas di wajahnya semakin tampak jelas. “Aneh sekali. Kamu masih mencintaiku, tetapi malah mempertahankan perempuan pincang itu?”

Raka merasa tertekan, tidak bisa menahan perasaannya. “Aku tidak bilang begitu!” Suaranya menggema, penuh emosi.

“Tidak katamu? Aku hanya ingin kamu melihat kebenarannya,” jawab Nadia, berusaha terdengar tenang walaupun hatinya sedang kacang balau sekarang.

Ketika Raka menemukan Sarah, dia berdiri sendirian di sudut, matanya menatap ke bawah, seolah menghindari tatapan pria itu. Raka merasakan ketegangan di udara saat dia mendekat. “Sarah,” panggilnya lembut, berusaha menenangkan hatinya. “Jangan begini!” Raka hampir berteriak, hatinya bergetar.

“Aku sudah membuat keputusan, Pak Raka. Dan aku tidak ingin kembali ke masa lalu yang menyakitkan,” Sarah berkata tegas. Ada kepastian dalam suaranya, tetapi di dalam matanya, Raka melihat keraguan yang samar.

Raka merasa jantungnya hancur. “Kamu masih mencintaku ‘kan? Kamu enggak akan berubah secepat ini.”

Sarah terdiam, tetapi hanya sesaat. “Anda mungkin benar, Pak. Untuk itulah saya ke sini. Berusaha berdamai dengan keadaan dan meyakinkan diri bahwa perempuan cacat ini bisa lepas dari suaminya.”

Kata-kata itu seperti pisau yang menyayat hatinya. Raka ingin berbicara lebih banyak, tetapi ketika dia membuka mulutnya, tidak ada suara yang keluar. Ketidakpastian dan kesedihan menggenggamnya.

“Maafkan aku ya.” Raka berkata, suaranya kini lembut, hampir seperti bisikan.

Sarah menatapnya, ekspresinya lembut namun tegas. “Kadang, kepergian adalah jalan terbaik untuk menarik diri dari masalah yang tak kunjung selesai.” Setelah mengatakan itu, dia berbalik dan pergi, meninggalkan Raka dengan rasa sakit yang tak terlukiskan.

“Lihat, Raka? Bukankah lebih baik menerima kenyataan? Sarah sudah menyerah.”

Related chapters

  • Setelah Istriku Memilih Pergi   7. KEBINGUNGAN RAKA

    Apa yang dikatakan oleh Nadia benar juga. Raka mengiyakannya di dalam hati. Namun, ancaman sang papa masih saja mengganggu pikiran pria itu. Pada akhirnya dia pun menghentikan langkah saat ingin mengejar Sarah. Sementara kini Sarah sudah disibukkan dengan pekerjaan baru di hari pertama magangnya tersebut. Dirinya sama sekali enggan memikirkan masalah rumah tangga yang ada.“Ra, kantin yuk!” Ajakan barusan membuat Sarah yang sebelumnya fokus di depan komputer kini menoleh ke arah samping. Gadis itu tersenyum lembut.“Lira ke mana?” tanya Sarah kemudian.Sang teman lantas menjawab, “Udah ada janji makan siang sama pacarnya. Kita yang tim jomblo abadi harus tahu diri dong, Ra. Yuk! Aku udah laper nih.” Sarah mengiyakan lewat anggukan kepala. Tangannya meraih tongkat yang sedari tadi berdiri di belakang meja. Dengan gerakan pelan dia mulai menyejajarkan langkah di samping Dini yang bersikap siaga.“Enggak usah, Din. Aku bisa sendiri kok,”

    Last Updated : 2024-11-10
  • Setelah Istriku Memilih Pergi   8. AKU HANYA KASIHAN

    “Aku sudah tahu hanya dengan melihat senyummu, Ka.”Nadia memandang Raka dengan senyuman tipis yang samar-samar menyimpan kekecewaan. Nadanya lembut namun menyiratkan sesuatu yang dingin, membuat Raka tertegun sejenak.“Maksudmu apa, Nad?” tanya Raka lagi.“Tentu saja kamu lebih pilih aku. Lagian mana mungkin Sarah bisa menggantikan posisiku. Kita udah sama-sama sejak SMA, Ka,” tutur Nadia begitu percaya diri.Raka mencoba tersenyum, meski dalam hati ia merasakan sesuatu yang mengganggu. Entah mengapa kalimat Nadia tadi terdengar seperti sebuah ancaman baginya.Sesuai dengan janji sebelumnya, Sarah duduk di sudut kafe, menatap ke arah jalan sambil menunggu kedatangan Raka. Ia sudah tahu apa yang akan mereka bicarakan, dan dalam hati, ia sudah mempersiapkan jawabannya. Raka tiba beberapa menit kemudian, wajahnya terlihat lelah namun serius.“Papa melarang kita untuk berpisah,” ucap Raka begitu mereka duduk, langsung ke inti masalah. Tatapannya beralih ke cangkir kopi di depannya, mengh

    Last Updated : 2024-11-11
  • Setelah Istriku Memilih Pergi   9. MAU APA KE SINI??

    “Cie cie. Ada yang nganterin nih!”Alih-alih merespon suara barusan, Sarah hanya menghela napas dan menutup pintu kosannya, merasa sedikit lega setelah lepas dari perhatian Raka. Namun, perasaan tidak tenang tak sepenuhnya hilang.Pertemuan mereka tadi di kafe menyisakan tanda tanya. Meski tak mengharapkan banyak dari pernikahan ini, Sarah masih bingung dengan sikap Raka yang terlihat semakin sering memperhatikannya. Apakah karena perintah dari papanya ataukah ada hal lain?“Ih, Ra! Kok main kabur aja sih? Habis dianterin Pak Raka ya? Tuh kan, sahabat kita ini diem-diem beruntung banget!” goda Lira sambil tersenyum lebar.Sarah tersenyum kecil. Ia tak mungkin menceritakan yang sebenarnya, meski kadang rasa lelah menyembunyikan rahasia ini mulai mengganggu. “Ah, kebetulan aja ketemu di jalan tadi. Ya, mungkin dia kasihan lihat aku sendirian uamh cacat ini.”Dini tertawa sambil mengangguk penuh percaya diri. “Jangan ngomong gitu, Ra. Mungkin aja dia memang care,” katanya sambil berkedip

    Last Updated : 2024-11-11
  • Setelah Istriku Memilih Pergi   10. RAKA ITU MILIKKU

    Sarah terperanjat, tak menyangka bertemu dengan Nadia dalam situasi seperti ini. Wajah Nadia penuh amarah, matanya menyiratkan kecurigaan yang terpendam sejak lama.“Mau apa kamu ke sini, hah?!” Nadia mengulang pertanyaannya dengan nada yang semakin tajam.Sarah menelan ludah, berusaha menahan diri. “Saya… cuma mau menemui Pak Raka, Mbak. Beliau supervisor saya sekarang,” ujarnya dengan suara pelan, mencoba menjaga sikap tetap tenang.Nadia menyilangkan tangan di dada sambil melangkah mendekat, pandangannya penuh sinis. “Supervisor? Oh, jadi kamu merasa perlu banget deket-deket sama Raka sekarang hanya karena dia jadi supervisormu, gitu?”Sarah menghela napas, merasa percuma menjelaskan, namun ia tetap mencoba untuk bersikap sopan. “Saya hanya menjalankan tugas, Mbak. Kita di sini profesional.”“Profesional?” Nadia mendengus. “Jangan sok polos, Sarah! Aku tahu banget tipe cewek sepertimu. Kamu pikir aku nggak sadar, ya? Selalu mendekat ke Raka, berusaha mencuri perhatiannya. Dan sekar

    Last Updated : 2024-11-12
  • Setelah Istriku Memilih Pergi   11. HANYA ANAK MAGANG

    “Aku bukan orang bodoh ya, Ka. Aku melihat cara kamu menatap Sarah tadi. Tidak seperti biasanya.”Nadia menghela napas panjang, tatapannya tak lepas dari wajah Raka. Matanya menyipit, seolah berusaha menembus dinding yang pria itu bangun di sekeliling hatinya.Raka terdiam. Ia ingin menyangkal, tetapi tak bisa mengelak dari perasaan yang perlahan-lahan mulai mengganggu sejak Sarah muncul di hidupnya kembali. Tapi ia juga tahu, memberi tahu Nadia hanya akan memperumit keadaan.“Nad,” ujarnya pelan, mencoba meredakan suasana, “Sarah itu hanya anak magang. Aku bertanggung jawab membimbingnya. Mungkin kamu salah paham.”“Anak magang, ya?” Nadia mencondongkan tubuhnya, suara tawanya terdengar sinis. “Raka, aku sudah bersama kamu cukup lama. Aku tahu cara kamu berinteraksi dengan orang lain. Dengan Sarah, kamu berbeda.”Senyuman di wajah Raka perlahan memudar. Ia mulai merasa terpojok, tetapi Na

    Last Updated : 2024-11-12
  • Setelah Istriku Memilih Pergi   12. SATU KAMAR

    Setelah semua orang keluar ruangan, Sarah tetap tinggal sejenak, hendak memastikan apa yang ia dengar saat rapat tadi. “Pak Raka,” panggilnya kemudian.Raka yang sedang mengobrol bersama sekretarisnya menoleh sejenak. Lantas menyuruh orang tersebut agar meninggalkan ruangan terlebih dahulu. Menyisakan dia dan Sarah yang ada di sana.“Ada apa?” tanya Raka setelah itu.“Apa Bapak tidak salah orang?” tanya Sarah secara gamblang.“Maksudnya? Apa yang salah?” ucap Raka bali bertanya. Matanya menatap netra Sarah yang tampak gelisah.“Saya tidak ingin membuat tim kesusahan karena kondisi saya yang —““Kita ke sana bukan untuk lomba lari, Sarah. Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” potong Raka cepat. “Kamu harus professional. Itu ‘kan yang selalu kamu katakan?”“Baiklah, tentang proyek di luar kota ini… apakah ada hal khusus yang

    Last Updated : 2024-11-12
  • Setelah Istriku Memilih Pergi   13. KENAPA DIA BERBEDA?

    Di hadapan Sarah, Raka berdiri di depan cermin, hanya mengenakan celana pendek sebatas lutut berwarna navy. Punggungnya terlihat jelas tanpa penutup, memperlihatkan garis otot yang terlatih namun tidak berlebihan. Sarah menelan ludah tanpa sadar, mendapati dirinya sulit untuk mengalihkan pandangan. Seolah baru kali ini dia menyadari detail fisik suaminya—hal yang selama ini diabaikannya dengan mudah.Raka, yang menyadari ada seseorang di belakangnya, segera menoleh. Tatapannya bertemu dengan mata Sarah yang tampak terkejut. Ia menghela napas pendek lalu segera meraih kaus berwarna abu-abu yang sebelumnya tergeletak di atas ranjang dan memakainya dengan santai."Maaf," ucapnya tanpa banyak basa-basi, walaupun tidak ada kesalahan yang benar-benar dilakukan.Sarah tersadar dari keterkejutannya dan segera menunduk, merasa malu pada diri sendiri. Ia melangkah cepat menuju koper di sudut kamar, berpura-pura sibuk mencari sesuatu untuk mengalihkan rasa kikuknya.

    Last Updated : 2024-11-13
  • Setelah Istriku Memilih Pergi   14. PAK RAKA CEMBURU YA?

    “Oh, itu… itu Pak Raka. Dia cuma mau ingetin jadwal sarapan.”Dini dan Lira saling berpandangan, lalu kembali menatap Sarah dengan penuh kecurigaan."Kamu serius, Ra?” tanya Lira yang dibalas Sarah dengan anggukan perlahan.“Kalau ada apa-apa kasih tahu kami ya, Ra,” celetuk Dini kali ini. “Jangan gampang terhasut sama godaan cowok meskipun Pak Raka. Inget ya. Dia udah punya cewek. Kalau dia deketin kamu, itu sih cuma modus. Jangan nyesel kalau nanti habis manis sepah dibuang.” Ocehan Dini tadi ternyata didengar oleh Raka yang sedari tadi menguping dari jarak kejauhan. Pria itu mendengkus sebal lalu tanpa berpikir panjang menyembul begitu saja.“Pak Raka?”“Apa?” tantang Raka yang sudah berwajah masam. “Kalian pikir saya apaan, hah??”“Maafin kami, Pak. Eh udah dulu ya, Ra. Entar kami telat ngantor. Titip Ara ya, Pak. Jangan macem-macem!” seru Dini yang seketika menghilang dari layar ponsel Sarah. Suasana yang menghebohkan tadi mendadak senyak dalam sekejap. Men

    Last Updated : 2024-11-13

Latest chapter

  • Setelah Istriku Memilih Pergi   95. SIAPA YANG MAU PERGI?

    Sarah mengangguk. Air mata yang sedari tadi berusaha ditahannya kini jatuh membasahi pipi. Dengan tangan gemetar, ia berusaha menghapus jejak kesedihan itu. Tapi kata-kata Dini membuyarkan usahanya."Enggak, Ra. Kali ini aku enggak setuju," ujar Dini dengan tegas. Matanya menatap lurus ke arah Sarah, penuh kekhawatiran dan ketegasan yang jarang terlihat dari sahabatnya itu.Sarah menundukkan wajahnya, bahunya bergetar. Air matanya semakin deras mengalir, seolah membebaskan rasa sakit yang sudah lama tertahan di hati. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan isak yang nyaris pecah."Ternyata sakitnya begini ya, Din. Aku enggak sanggup," lirih Sarah akhirnya, suara pelannya nyaris tak terdengar.Dini tidak bisa berkata apa-apa. Ia segera mendekati Sarah dan memeluknya erat, memberikan kehangatan yang dibutuhkan sahabatnya itu. Dalam pelukan, Sarah hanya terisak, tanpa kata-kata, hanya suara tangisnya yang terdengar. Mereka diam cukup lama, membiarkan suasana mendukung proses penyemb

  • Setelah Istriku Memilih Pergi   94. SAKIT TAK BERDARAH

    "Biarkan saja. Ini sudah malam. Seharusnya dia tahu diri," kata Raka dengan nada kesal, menatap layar ponselnya yang masih menyala.Namun, Sarah yang berada di sampingnya menggeleng pelan. Wajahnya menunjukkan rasa iba. "Angkat aja, Mas. Siapa tahu penting," ujarnya lembut.Raka mendesah panjang. Ia mengusap wajahnya dengan tangan sebelum akhirnya menekan tombol hijau untuk menerima panggilan itu. "Halo, ada apa?" tanyanya singkat, tanpa menyembunyikan nada tidak sabar dalam suaranya.Dari seberang telepon, suara lembut Nadia terdengar. "Aku cuma mau nanya kabarmu, Ka. Kamu kelihatan sibuk banget akhir-akhir ini. Aku khawatir."Raka mengerutkan kening, mencoba menahan emosinya. "Ini sudah malam, Nadia. Kalau nggak ada yang penting, lebih baik kita bicara besok saja."Ada jeda beberapa detik sebelum Nadia menjawab. "Maaf, aku nggak bermaksud mengganggu. Aku cuma... ya sudah, selamat malam, Ka."Raka memutus panggilan tanpa menambahkan sepatah kata pun. Ia meletakkan ponsel di meja deng

  • Setelah Istriku Memilih Pergi   93. PAK HERMAN AKHIRNYA TAHU

    Sarah menarik napas panjang, mencoba mengendalikan detak jantungnya yang berdegup kencang. Tangannya masih memegang erat telepon, dan ia tahu bahwa jawaban yang akan diberikan harus terdengar meyakinkan.“Aku lagi di kafe sama Dini dan Lira, Mas,” katanya, mencoba terdengar santai meskipun perasaan gugup menyelimutinya.“Oh, kalau begitu, share loc aja ya. Biar Mas jemput kamu,” kata Raka dengan nada lembut di ujung telepon.Sarah menelan ludah, pikirannya berputar cepat mencari alasan. Ia melirik ke arah Dini dan Lira, yang hanya bisa memberinya pandangan penuh pengertian.“A-aku nanti dianterin Lira, Mas. Kami dijemput sama pacarnya Lira. Kita ketemuan di rumah sakit aja ya?” usul Sarah, berharap alasan itu cukup masuk akal.Ada jeda di telepon sebelum akhirnya Raka menjawab, “Oke. Kalau begitu, Mas tunggu kamu di sana. Jangan lama-lama ya, Sayang.”Telepon terputus, dan Sarah menghela napas panjang. Ia merasa lega tetapi juga tahu bahwa masalah sebenarnya belum selesai. Ia menatap

  • Setelah Istriku Memilih Pergi   92. DELAPAN MINGGU

    Sarah memeluk dirinya sendiri, tangisnya semakin tak tertahankan. “Tolong, Raf!” isaknya sambil memandang Rafly dengan mata memohon. Air mata mengalir deras di pipinya, membuatnya terlihat begitu rapuh.Dini mengangguk pelan, lalu merangkul Sarah. “Udah ya. Aku di sini buat kamu, Ra. Kamu nggak sendirian,” katanya lembut, mencoba menenangkan hati Sarah yang sedang hancur.Namun, Rafly berdiri mematung. Emosinya tak tertahan lagi. Dengan frustrasi, ia menendang angin dan melangkah cepat ke luar ruangan. “Aku nggak bisa terus-terusan kayak gini,” gumamnya sebelum pergi.Melihat itu, Lira segera mengejar Rafly. Ia menyusulnya di lorong dan menarik lengannya untuk berhenti. “Raf, tolong dengar aku!” katanya setengah memohon.“Apa lagi, Lira?” Rafly menoleh dengan wajah penuh kekesalan. “Dia terus menyiksa dirinya sendiri, dan kita cuma diem aja? Aku udah capek ngeliat dia kayak gitu!”

  • Setelah Istriku Memilih Pergi   91. SARAH HAMIL

    Sarah membuka matanya dengan pandangan yang berkunang-kunang. Suara gaduh di sekelilingnya mulai terdengar perlahan, dan rasa sakit di kepala membuatnya sulit menggerakkan tubuh. Pandangannya masih kabur saat ia mencoba mengenali sosok yang ada di dekatnya.“Kamu udah sadar, Ra?” suara itu terdengar tegas dan cemas. Begitu pandangan Sarah mulai fokus, ia terkejut melihat Rafly duduk di sampingnya.“Raf?” gumam Sarah lemah. Ia mencoba duduk, tapi tubuhnya terasa begitu lemah hingga Rafly harus membantunya.“Jangan terlalu banyak bergerak dulu. Kamu baru saja pingsan,” kata Rafly sambil menyodorkan segelas air putih.Sarah menerima gelas itu dan meminum seteguk kecil. Setelah meletakkan gelas, ia mencoba mencerna keadaannya. “Aku kenapa?” tanyanya pelan.“Kamu pingsan di koridor kampus. Untung saja ada Dini dan Lira. Mereka langsung cari bantuan,” jawab Rafly dengan nada serius.Sarah hanya mengangguk pelan, mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum tubuhnya ambruk. Namun, perkataan Ra

  • Setelah Istriku Memilih Pergi   90. AKU ...BAIK-BAIK SAJA

    "Kenapa Mas diem aja? Kenapa Mas nggak melawan?" tanya Sarah bertubi-tubi.Namun, Raka hanya diam dan pasrah menerima perawatan luka yang diberikan oleh Sarah. Pria itu tahu bahwa dia pantas mendapatkan serangan dari Rafly."Mas??" gumam Sarah lagi setelah mengakhiri pengobatannya.Raka akhirnya menjawab, "Rafly benar. Seharusnya aku nggak menghadirkan luka baru di pernikahan kita.""Nggak usah dengerin Rafly ya. Dia nggak ngerti keadaannya gimana," balas Sarah, mencoba menenangkan meskipun hatinya sendiri terasa perih.

  • Setelah Istriku Memilih Pergi   89. KEMARAHAN RAFLY

    Sarah duduk di bangku taman kampus, memandangi deretan pepohonan yang bergoyang lembut tertiup angin. Buku catatan skripsi tergeletak di pangkuannya, tetapi pikirannya melayang jauh. Ia tidak menyangka bahwa pernikahannya yang dulu terasa seperti dongeng kini berubah menjadi mimpi buruk. Poligami? Kata itu terus terngiang di telinganya, membuat dadanya sesak."Ra, kamu baik-baik saja?" suara Dini membuyarkan lamunannya. Sahabatnya itu datang bersama Lira, membawa sebotol air mineral dan sekotak camilan. Wajah mereka penuh kekhawatiran.Sarah tersenyum tipis. "Aku baik-baik aja kok," jawabnya singkat, meski suaranya terdengar jauh dari meyakinkan."Jangan bohong! Kami tahu kamu sedang banyak pikiran," timpal Lira seraya duduk di sampingnya. "Apa benar yang kami dengar? Soal... Pak Raka yang mau nikah sama Bu Nadia?"Sarah hanya diam. Ia menunduk, menggenggam erat buku catatannya seolah itu bisa memberinya kekuatan. Dini dan Lira saling pandang, tetapi memi

  • Setelah Istriku Memilih Pergi   88. KEPUTUSAN YANG BERAT

    “Aku senang dengarnya, Mas."Sarah berkata sambil mengulum senyum. Namun, Raka tahu bahwa istrinya itu hanya bersandiwara. Senyumnya tampak manis, tetapi matanya tidak bisa menyembunyikan kesakitan yang mendalam.Raka menghela napas panjang. Ia tidak tahu harus berkata apa. Akhirnya, ia melangkah mendekati Sarah dan memeluknya erat. "Aku tahu ini berat untukmu, Sayang," bisiknya. "Tapi aku terpaksa mengambil keputusan ini demi menyelamatkan perusahaan dan keluarga kita. Aku sangat mencintaimu, Sarah. Jangan pernah ragukan itu."Pelukan itu seolah menjadi tameng terakhir yang ia miliki untuk melindungi perasaan Sarah. Tapi istrinya tersebut hanya berdiri kaku di pelukannya, tidak membalas sama sekali. Di dalam hatinya, ia merasa dihantam badai. Kata-kata Raka tidak mampu mengobati luka yang ia rasakan.Setelah beberapa saat, Sarah perlahan melepaskan diri dari pelukan Raka. "Aku akan mencoba menerima, Mas," katanya pelan. "Asalkan kamu bahagia dan semua ini memang demi kebaikan bersama

  • Setelah Istriku Memilih Pergi   87. TIDAK ADA LAGI RUANG UNTUKMU

    Pagi ini matahari bersinar dengan cerah. Namun, keadaan sungguh berbanding terbalik dengan apa yang dirasakan oleh Sarah dan Raka sekarang. Keduanya makan dalam diam dengan pikiran yang penuh di dalam kepala."Kamu enggak ke kampus?" tanya Raka memecah keheningan yang tericipta di antara mereka. Matanya melihat sang istri masih belum juga bersiap-siap."Aku berangkat jam sepuluh. Masih lama. Mas duluan aja nemuin Mbak Nadia," jawab Sarah, berusaha terdengar biasa saja meskipun hatinya terasa berat.Raka memandang Sarah dengan tatapan penuh rasa bersalah. "Sayang?"Sarah mencoba tersenyum, meski senyumnya tidak mencapai matanya. "Aku enggak apa-apa, Mas. Aku mau beresin rumah dulu. Ntar siang kita ketemu di rumah sakit aja ya."Setelah berkata demikian, Sarah bangkit lalu berjalan menuju dapur. Ia menyibukkan diri dengan mencuci piring, namun pikirannya melayang ke percakapan tadi malam. Hatinya terasa semakin berat. Ia tahu bahwa keputusan yang mer

DMCA.com Protection Status