“Cie cie. Ada yang nganterin nih!”Alih-alih merespon suara barusan, Sarah hanya menghela napas dan menutup pintu kosannya, merasa sedikit lega setelah lepas dari perhatian Raka. Namun, perasaan tidak tenang tak sepenuhnya hilang.Pertemuan mereka tadi di kafe menyisakan tanda tanya. Meski tak mengharapkan banyak dari pernikahan ini, Sarah masih bingung dengan sikap Raka yang terlihat semakin sering memperhatikannya. Apakah karena perintah dari papanya ataukah ada hal lain?“Ih, Ra! Kok main kabur aja sih? Habis dianterin Pak Raka ya? Tuh kan, sahabat kita ini diem-diem beruntung banget!” goda Lira sambil tersenyum lebar.Sarah tersenyum kecil. Ia tak mungkin menceritakan yang sebenarnya, meski kadang rasa lelah menyembunyikan rahasia ini mulai mengganggu. “Ah, kebetulan aja ketemu di jalan tadi. Ya, mungkin dia kasihan lihat aku sendirian uamh cacat ini.”Dini tertawa sambil mengangguk penuh percaya diri. “Jangan ngomong gitu, Ra. Mungkin aja dia memang care,” katanya sambil berkedip
Sarah terperanjat, tak menyangka bertemu dengan Nadia dalam situasi seperti ini. Wajah Nadia penuh amarah, matanya menyiratkan kecurigaan yang terpendam sejak lama.“Mau apa kamu ke sini, hah?!” Nadia mengulang pertanyaannya dengan nada yang semakin tajam.Sarah menelan ludah, berusaha menahan diri. “Saya… cuma mau menemui Pak Raka, Mbak. Beliau supervisor saya sekarang,” ujarnya dengan suara pelan, mencoba menjaga sikap tetap tenang.Nadia menyilangkan tangan di dada sambil melangkah mendekat, pandangannya penuh sinis. “Supervisor? Oh, jadi kamu merasa perlu banget deket-deket sama Raka sekarang hanya karena dia jadi supervisormu, gitu?”Sarah menghela napas, merasa percuma menjelaskan, namun ia tetap mencoba untuk bersikap sopan. “Saya hanya menjalankan tugas, Mbak. Kita di sini profesional.”“Profesional?” Nadia mendengus. “Jangan sok polos, Sarah! Aku tahu banget tipe cewek sepertimu. Kamu pikir aku nggak sadar, ya? Selalu mendekat ke Raka, berusaha mencuri perhatiannya. Dan sekar
“Aku bukan orang bodoh ya, Ka. Aku melihat cara kamu menatap Sarah tadi. Tidak seperti biasanya.”Nadia menghela napas panjang, tatapannya tak lepas dari wajah Raka. Matanya menyipit, seolah berusaha menembus dinding yang pria itu bangun di sekeliling hatinya.Raka terdiam. Ia ingin menyangkal, tetapi tak bisa mengelak dari perasaan yang perlahan-lahan mulai mengganggu sejak Sarah muncul di hidupnya kembali. Tapi ia juga tahu, memberi tahu Nadia hanya akan memperumit keadaan.“Nad,” ujarnya pelan, mencoba meredakan suasana, “Sarah itu hanya anak magang. Aku bertanggung jawab membimbingnya. Mungkin kamu salah paham.”“Anak magang, ya?” Nadia mencondongkan tubuhnya, suara tawanya terdengar sinis. “Raka, aku sudah bersama kamu cukup lama. Aku tahu cara kamu berinteraksi dengan orang lain. Dengan Sarah, kamu berbeda.”Senyuman di wajah Raka perlahan memudar. Ia mulai merasa terpojok, tetapi Na
Setelah semua orang keluar ruangan, Sarah tetap tinggal sejenak, hendak memastikan apa yang ia dengar saat rapat tadi. “Pak Raka,” panggilnya kemudian.Raka yang sedang mengobrol bersama sekretarisnya menoleh sejenak. Lantas menyuruh orang tersebut agar meninggalkan ruangan terlebih dahulu. Menyisakan dia dan Sarah yang ada di sana.“Ada apa?” tanya Raka setelah itu.“Apa Bapak tidak salah orang?” tanya Sarah secara gamblang.“Maksudnya? Apa yang salah?” ucap Raka bali bertanya. Matanya menatap netra Sarah yang tampak gelisah.“Saya tidak ingin membuat tim kesusahan karena kondisi saya yang —““Kita ke sana bukan untuk lomba lari, Sarah. Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” potong Raka cepat. “Kamu harus professional. Itu ‘kan yang selalu kamu katakan?”“Baiklah, tentang proyek di luar kota ini… apakah ada hal khusus yang
Di hadapan Sarah, Raka berdiri di depan cermin, hanya mengenakan celana pendek sebatas lutut berwarna navy. Punggungnya terlihat jelas tanpa penutup, memperlihatkan garis otot yang terlatih namun tidak berlebihan. Sarah menelan ludah tanpa sadar, mendapati dirinya sulit untuk mengalihkan pandangan. Seolah baru kali ini dia menyadari detail fisik suaminya—hal yang selama ini diabaikannya dengan mudah.Raka, yang menyadari ada seseorang di belakangnya, segera menoleh. Tatapannya bertemu dengan mata Sarah yang tampak terkejut. Ia menghela napas pendek lalu segera meraih kaus berwarna abu-abu yang sebelumnya tergeletak di atas ranjang dan memakainya dengan santai."Maaf," ucapnya tanpa banyak basa-basi, walaupun tidak ada kesalahan yang benar-benar dilakukan.Sarah tersadar dari keterkejutannya dan segera menunduk, merasa malu pada diri sendiri. Ia melangkah cepat menuju koper di sudut kamar, berpura-pura sibuk mencari sesuatu untuk mengalihkan rasa kikuknya.
“Oh, itu… itu Pak Raka. Dia cuma mau ingetin jadwal sarapan.”Dini dan Lira saling berpandangan, lalu kembali menatap Sarah dengan penuh kecurigaan."Kamu serius, Ra?” tanya Lira yang dibalas Sarah dengan anggukan perlahan.“Kalau ada apa-apa kasih tahu kami ya, Ra,” celetuk Dini kali ini. “Jangan gampang terhasut sama godaan cowok meskipun Pak Raka. Inget ya. Dia udah punya cewek. Kalau dia deketin kamu, itu sih cuma modus. Jangan nyesel kalau nanti habis manis sepah dibuang.” Ocehan Dini tadi ternyata didengar oleh Raka yang sedari tadi menguping dari jarak kejauhan. Pria itu mendengkus sebal lalu tanpa berpikir panjang menyembul begitu saja.“Pak Raka?”“Apa?” tantang Raka yang sudah berwajah masam. “Kalian pikir saya apaan, hah??”“Maafin kami, Pak. Eh udah dulu ya, Ra. Entar kami telat ngantor. Titip Ara ya, Pak. Jangan macem-macem!” seru Dini yang seketika menghilang dari layar ponsel Sarah. Suasana yang menghebohkan tadi mendadak senyak dalam sekejap. Men
Sarah terpaku mendengar celetukan Andi yang begitu spontan. Wajahnya terasa memanas, dan tanpa sadar, ia melirik Raka untuk melihat reaksinya. Namun, ekspresi Raka justru semakin tak terbaca. Pria itu hanya diam, mengalihkan pandangan ke arah lain, seakan mencoba mengabaikan ucapan Andi."Cemburu?" gumam Raka kemudian dengan suara rendah, namun cukup jelas untuk didengar oleh Sarah dan Andi. "Apa alasan saya untuk merasa cemburu, Pak Andi?" tanyanya, sedikit sinis.Andi terkekeh pelan, sementara Sarah hanya bisa menunduk, berharap suasana cepat kembali normal. “Saya cuma bercanda, Pak. Lagian Anda dan Bu Nadia sudah cocok” ujar Andi sambil tersenyum simpul. Lalu, ia melanjutkan pekerjaannya tanpa menggali lebih lanjut soal itu.Selama beberapa menit, mereka bertiga melanjutkan pekerjaan dengan suasana yang sedikit canggung. Raka sesekali melirik Sarah, namun segera mengalihkan pandangannya saat ia sadar tengah diperhatikan.Setelah pertemuan pagi yang cukup intens, suasana di antara R
Sarah menelan ludah, tak percaya melihat sosok pria yang berdiri di hadapannya dan Raka. “Ada urusan apa di Bandung, Raka?” Pria itu mengulang pertanyaan serupa dengan nada santai, namun intonasinya seolah menyelidik.Alih-alih menanggapi hal barusan, Sarah malah memilih untuk mengulurkan tangannya terlebih dahulu. Disusul Raka kemudian. Setelahnya mereka saling pandang sesaat, seolah mencari jawaban yang tepat.Raka segera menguasai dirinya dan tersenyum tipis, “Kami ada urusan pekerjaan, Pa. Tadi selesai rapat, jadi sekalian ingin istirahat di sini,” jawabnya, berusaha membuat nada bicaranya terdengar wajar.Pak Herman menatap mereka dengan senyum tipis yang misterius, namun sorot matanya penuh makna. Ia tampak rapi dalam setelan formal warna gelap, seperti pria yang baru selesai menghadiri pertemuan penting. Meski wajahnya menampakkan keramahan, kehadiran sang mertua tiba-tiba membuat suasana terasa tegang bagi Sarah.Ayah kandu
Hari itu, udara terasa begitu tenang. Raka dan Sarah tengah duduk berdua di ruang keluarga, ditemani oleh Nasha yang sedang bermain dengan mainan di lantai. Meskipun suasana terasa begitu damai, ada sesuatu yang terasa berat di hati Raka. Ada semacam pertanda yang tak terucapkan, seolah dunia sedang mengingatkan mereka untuk lebih menghargai waktu yang ada. Beberapa hari sebelumnya, mereka baru saja merayakan ulang tahun pertama Nasha dengan penuh kebahagiaan. Momen itu, yang dipenuhi dengan tawa anak-anak panti asuhan dan sentuhan kasih sayang keluarga besar, memberikan Raka dan Sarah sebuah pemahaman baru tentang arti kehidupan yang sesungguhnya. Pak Herman kini mendatangi Raka yang sedang bersantai di taman belakang. Suaranya yang berat dan penuh makna terasa sangat berbeda dari biasanya. “Raka, ada hal penting yang ingin Papa sampaikan padamu,” kata Pak Herman saat teleponnya berbunyi. Suaranya terdengar agak lemah, namun tetap penuh kehangatan. Raka segera duduk tegak, khawat
Hari itu, langit tampak cerah, seakan ikut merayakan hari istimewa dalam keluarga kecil Raka dan Sarah. Nasha genap berusia satu tahun. Bukan pesta besar yang mereka persiapkan, tetapi sebuah acara syukuran sederhana yang penuh makna. Raka dan Sarah sepakat untuk merayakan ulang tahun pertama putri mereka dengan berbagi kebahagiaan di sebuah panti asuhan.Panti asuhan itu bukan tempat yang asing bagi mereka. Sejak kejadian penculikan Nasha dan konspirasi Bu Rini yang membuat mereka hampir kehilangan segalanya, Raka dan Sarah lebih banyak merenungi arti keluarga dan kasih sayang. Mereka ingin mengajarkan kepada Nasha bahwa kebahagiaan sejati bukan hanya tentang perayaan mewah, tetapi juga tentang berbagi dengan mereka yang kurang beruntung.Pagi itu, suasana panti asuhan sudah mulai ramai. Anak-anak di sana terlihat bersemangat menyambut kedatangan tamu istimewa mereka. Beberapa dari mereka bahkan sudah mengenal Sarah dan Raka karena kunjungan-kunjungan sebelumnya. Pak
Setelah berhasil menyelamatkan Nasha dari tangan penculiknya, Raka, Sarah, dan Jeno kembali ke tempat persembunyian sementara mereka. Malam itu mereka beristirahat sejenak, meski pikiran mereka masih dipenuhi ketegangan. Namun, mereka tahu bahwa semua ini belum benar-benar berakhir.Keesokan paginya, Jeno menerima laporan dari timnya bahwa beberapa anak buah Bu Rini yang terlibat dalam penculikan telah tertangkap. Namun, dalang utama di balik kejadian ini masih menjadi misteri."Aku sudah melacak transaksi dan komunikasi mereka. Satu nama yang terus muncul adalah seorang pria bernama Anton," kata Jeno dengan serius. "Dia adalah tangan kanan Bu Rini yang selama ini bekerja di balik layar. Sepertinya dialah yang mengatur segalanya."Raka mengepalkan tangannya. "Jadi, dia yang selama ini mengancam keluargaku?"Jeno mengangguk. "Dia sangat licin dan punya banyak koneksi. Tapi aku sudah menghubungi seseorang yang bisa membantu kita menangkapnya."Tak la
Malam semakin larut, tetapi Raka, Sarah, dan Jeno masih terjaga. Pikiran mereka penuh dengan kekhawatiran dan strategi. Pesan singkat yang baru saja diterima Raka seolah menjadi alarm bahwa mereka tidak memiliki banyak waktu lagi."Kita harus menemukan keberadaan mereka sebelum mereka melakukan sesuatu yang lebih gila," kata Jeno dengan nada serius. "Aku sudah menghubungi seseorang yang pernah bekerja untuk Bu Rini. Dia setuju untuk bertemu, tapi dengan syarat kita harus berhati-hati."Raka mengangguk. "Di mana kita bisa menemuinya?""Sebuah gudang tua di pinggiran kota. Dia bilang tempat itu aman, jauh dari pantauan orang-orang yang mungkin bekerja untuk Bu Rini," jawab Jeno.Sarah menggenggam tangan Raka erat. "Aku takut, Mas. Bagaimana jika ini jebakan?"Raka menatap dalam ke mata istrinya. "Kita tidak punya pilihan lain, Sayang. Ini satu-satunya petunjuk yang kita punya. Aku janji, aku tidak akan membiarkan apa pun terjadi padamu atau Nasha."Jeno menghela napas. "Baiklah, kita be
Sarah menggigit bibirnya, mencoba menahan isak tangis yang hampir pecah lagi. Raka masih duduk di sebelahnya, ponsel di tangannya terasa dingin, seperti ancaman yang baru saja mereka terima. Jeno, yang berdiri di seberang mereka, mengetik sesuatu di ponselnya dengan cepat. Pria itu kemudian menatap Raka dengan sorot mata penuh kewaspadaan."Aku sudah menghubungi seseorang untuk melacak sumber video itu. Butuh waktu, tapi kita akan menemukan mereka," kata Jeno dengan suara dalam.Raka mengangguk, tangannya masih menggenggam jemari Sarah erat. "Aku tidak akan membiarkan mereka menyentuh Nasha lebih lama lagi. Tapi kita harus berhati-hati, mereka jelas tahu pergerakan kita."Sarah menelan ludah, mencoba mengusir rasa takut yang menggerogoti hatinya. "Siapa yang cukup kejam untuk melakukan ini, Mas? Aku yakin ini bukan Ratna. Dia ada di penjara. Lalu siapa?"Hening. Raka menatap Sarah, begitu pula Jeno. Tidak ada yang bisa menjawabnya saat itu.Namun, di balik keheningan itu, otak Raka be
"NASHA?"Suara Sarah memekik lantang. Tangannya gemetar saat ia melihat layar ponselnya. Tak lama kemudian, sebuah kiriman video berputar otomatis, menampilkan seorang bayi mungil berusia tiga bulan yang menangis keras. Mata Sarah membelalak, napasnya tercekat. Itu Nasha. Anak mereka telah diculik.Raka segera meraih ponsel dari tangan Sarah, matanya membelalak saat melihat rekaman itu. Nasha berada di dalam ruangan yang remang-remang, hanya diterangi cahaya redup dari lampu gantung. Tangisan bayi mereka menggema, membuat dada Sarah dan Raka terasa sesak. Tak ada suara lain dalam video itu, hanya isakan kecil yang semakin memilukan.Sebuah pesan muncul sesaat setelah video berakhir."Kalian ingin Nasha kembali? Jangan hubungi polisi. Kami akan memberitahu langkah selanjutnya."Sarah menatap Raka dengan wajah penuh ketakutan. "Mas... kita harus melakukan sesuatu. Nasha masih kecil, dia butuh kita."Raka mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. "Aku tidak akan membiarkan mereka menyen
Aula pengadilan dipenuhi dengan desas-desus dan tatapan tajam dari berbagai pihak. Sidang gugatan terhadap Ratna akhirnya dimulai, menjadi momen yang akan menentukan nasib keluarga Raka. Dengan bukti yang hilang, mereka harus mencari celah lain untuk melawan Ratna di hadapan hakim.Raka dan Sarah duduk di barisan penggugat, didampingi oleh pengacara mereka, Pak Rendy. Di seberang, Ratna tampak percaya diri dengan pengacara handalnya, seorang pria berpenampilan rapi dengan senyum yang mengintimidasi. Sorot matanya penuh dengan kesombongan, seolah yakin bahwa dirinya akan menang.Hakim mengetuk palu tanda sidang dimulai. "Sidang gugatan keluarga Raka Prasetya terhadap Ratna Wijayanti dibuka. Penggugat, silakan sampaikan tuntutan Anda."Pak Rendy berdiri. "Yang Mulia, kami memiliki bukti kuat bahwa tergugat telah memindahkan aset keluarga secara ilegal ke rekening pribadinya, tanpa persetujuan dari pewaris sah, yang menyebabkan kerugian besar bagi kel
Kehidupan Raka dan Sarah dalam beberapa minggu terakhir terasa seperti berjalan di atas bara api. Terlebih saat Jeno diserang oleh beberapa orang tak dikenal.Saat ini gugatan hukum terhadap Ratna telah menjadi berita utama di keluarga besar dan di luar sana. Ratna, seperti yang diperkirakan, tidak tinggal diam. Ia menggunakan segala cara, dari intimidasi hingga permainan kotor untuk menggagalkan perjuangan Raka dan Sarah.Hari itu, Raka dan Sarah sedang mengatur dokumen-dokumen penting di ruang kerja kecil di rumah mereka. Flash drive yang berisi dokumen-dokumen penting, termasuk bukti transfer aset ilegal Ratna, menjadi inti dari rencana mereka. Raka memastikan semua file telah dicadangkan dengan baik.“Sayang, aku rasa kita harus menyimpan salinan file ini di tempat yang lebih aman. Flash drive ini terlalu berisiko kalau hanya kita simpan di sini,” kata Raka sambil memegang benda kecil itu.Sarah mengangguk, setuju dengan saran suaminya. &l
Raka masih memikirkan ancaman terselubung Ratna saat sidang sementara Sarah merasa tertekan setelah mengetahui kondisi Pak Herman kembali memburuk. Beban dari kasus ini mulai menyusup ke dalam hubungan mereka.“Mas, kamu yakin bukti itu aman di tangan Jeno?” tanya Sarah sambil menuangkan kopi ke cangkir.Raka yang duduk di kursi makan, hanya mengangguk tanpa menatap Sarah. “Jeno sudah buktikan dia bisa dipercaya, Sayang. Aku rasa kita nggak punya pilihan lain.”Sarah menghela napas panjang. “Tapi kita juga harus waspada. Ratna mungkin akan bertindak lebih gila kalau dia tahu Jeno berpihak pada kita.”Raka menatap istrinya dengan mata yang penuh beban. “Aku tahu kamu khawatir, Sayang. Tapi kita sudah sampai sejauh ini. Kalau kita goyah sekarang, Ratna yang menang.”Sarah menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan rasa kesal. “Aku bukan goyah, Mas. Aku cuma… aku cuma nggak mau kehilangan apa yang sudah kita perjuangkan.”Raka berdiri dan berjalan mendekati Sarah, menyentuh pundaknya lemb