Hari-hari berlalu, dan Raka semakin sering pulang hampir dini hari. Setiap malam, Sarah menunggu dengan sabar, berharap suaminya itu setidaknya akan menyapa, atau bahkan sekadar bertanya. Namun, seiring waktu, rumah terasa semakin sunyi, hanya dihiasi langkah-langkah Raka yang langsung menuju kamar tanpa satu kata pun untuknya.
Malam itu, Raka lagi-lagi tiba lewat tengah malam. Sarah duduk di ruang tamu, wajahnya tertunduk lesu menunggu suaminya yang tampak sibuk menanggalkan jas dan tas kerjanya tanpa menoleh.
“Mas, bisa bicara sebentar?” tanya Sarah pelan, mencoba menguatkan suaranya yang hampir tenggelam.
Raka berhenti sejenak, lalu menoleh dengan wajah lelah. “Apa lagi, Sarah?”
“Aku cuma mau kita bisa ngobrol, Mas. Setidaknya aku ingin tahu apa yang sedang kamu rasakan. Ini sudah terlalu lama...” Sarah menelan ludah, mencoba menenangkan perasaannya.
Raka mendesah, mengusap wajahnya. “Sarah, aku bekerja seharian. Jujur saja, aku lelah kalau tiap malam harus ngobrolin hal yang sama. Ini cuma akan buat kita makin stres.”
Sarah mengangguk pelan, kecewa namun mencoba memahami. “Aku tahu, Mas, tapi mungkin kita bisa coba mulai dari hal-hal kecil. Aku juga capek, tapi aku enggak ingin kita jadi kayak orang asing di rumah ini.”
Mendengar itu, Raka tampak kesal, lalu menjawab, “Kamu enggak paham. Pernikahan ini terjadi bukan karena aku menginginkannya. Kamu tahu alasannya, kan?”
Kalimat itu menusuk hati Sarah. Ia tahu alasan di balik pernikahan ini, tetapi tetap saja, mendengar Raka mengatakannya membuatnya merasa hancur. “Aku tahu, Mas. Tapi... kita bisa coba jalani dengan baik, bukan?”
Raka menghela napas, dan tanpa menjawab, ia berjalan ke kamar, meninggalkan Sarah yang masih berdiri mematung di ruang tamu. Rasa sesak mengisi dada Sarah, namun ia tak tahu harus berbuat apa lagi. Di antara mereka, hanya ada jarak yang semakin jauh, tanpa jembatan penghubung.
Lagi. Sarah kembali menelan rasa kecewa karena terus diabaikan. Pagi ini bahkan ketika ia hendak mengantar kepergian Raka ke ambang pintu, suaminya itu sudah menghilang entah sejak kapan.
Di saat yang sama, Raka merasa kehidupannya semakin tertekan. Di antara tanggung jawabnya pada Sarah dan kenangan masa lalunya, hatinya terpecah. Diam-diam, ia mulai bertemu kembali dengan Nadia, cinta lamanya, di kafe kecil yang dulu sering mereka kunjungi bersama. Setiap kali berada di sana, ia merasa bebas dari segala beban. Bersama Nadia, ia bisa menjadi dirinya sendiri, sejenak melupakan kenyataan pernikahan yang menghimpit.
“Raka, kenapa kamu tetap bertahan dalam pernikahan itu kalau kamu sendiri enggak bahagia?”
Raka menghela napas panjang. “Ini bukan perkara gampang, Nad. Aku enggak bisa ninggalin tanggung jawabku. Aku terjebak dalam keadaan ini.”
Nadia mengangguk, memahami situasi Raka. Namun, di wajahnya terlihat harapan yang tak sepenuhnya sirna. “Kalau kamu enggak bahagia, aku selalu ada di sini, Raka. Aku cuma ingin kamu tahu itu.”
Raka menunduk, hatinya dipenuhi kebimbangan. Ia tahu perasaannya pada Nadia belum pudar, tapi setiap kali ia memikirkan Sarah, rasa tanggung jawab dan kesalahannya selalu membebani.
Di rumah, Sarah menjalani hari-harinya dalam kesunyian yang semakin pekat. Suatu malam, saat ia membereskan kamar Raka, ia menemukan sebuah tanda bukti pembayaran dari kafe kecil. Nama yang tertera jelas: Cafe Lestari.
Hatinya berdebar kencang. Kafe itu adalah tempat favorit Raka dan Nadia dahulu. Tanpa sadar, tangannya gemetar saat ia menggenggam kertas itu. Kecurigaannya semakin menguat. Dalam diam, ia menunggu Raka pulang, tekadnya bulat untuk menanyakan hal yang sudah lama mengusiknya.
Saat Raka akhirnya tiba di rumah, Sarah menunggu di ruang tamu, pandangannya lurus pada suaminya.
“Mas, kamu dari Cafe Lestari tadi, ya?” tanyanya dengan nada tenang yang penuh kekhawatiran.
Raka terkejut, ekspresinya tampak terganggu. “Sarah, itu cuma tempat nongkrong biasa.”
“Bukan soal tempatnya, Mas,” balas Sarah pelan, namun tegas. “Tapi siapa yang ada di sana bersama kamu. Nadia, kan?”
Raka terdiam, wajahnya tegang. “Sarah, kamu mulai lagi. Aku berhak punya ruang pribadi. Nadia hanya teman lama.”
“Aku bukan melarang kamu punya teman, Mas. Aku cuma ingin tahu di mana posisi aku di hidup kamu.” Suara Sarah bergetar, namun tatapannya tetap teguh.
“Sarah, tolong jangan buat masalah ini makin rumit,” ujar Raka datar, seakan tak mau membahas lebih lanjut. “Aku capek. Aku ingin istirahat.”
Tanpa berkata lebih, Raka pergi meninggalkan Sarah yang masih berdiri dengan air mata yang tertahan. Perasaan sakit kembali menggerogoti hatinya. Ternyata, ia memang tak lebih dari sekadar beban bagi suaminya.
Pada malam itu juga, Sarah memberanikan diri bertanya dengan suara yang nyaris hilang. “Mas, sampai kapan kita akan terus begini?”
Raka tampak tidak mengerti maksud Sarah. “Apa maksudmu, Sarah?”
Sarah menarik napas dalam, mencoba menguatkan dirinya. “Sampai kapan aku harus hidup dalam perasaan seperti ini, Mas? Aku tahu ada yang lebih dari sekadar ‘pertemanan’ di antara kamu dan Nadia.”
Raka menghela napas berat, lalu menjawab dengan nada yang dingin. “Sarah, kamu tahu kondisi pernikahan ini. Aku melakukan yang bisa kulakukan untukmu. Apa kamu masih ingin memaksaku lebih dari ini?”
Air mata mengalir di pipi Sarah, dan ia hanya bisa menunduk, menahan perasaan yang seolah menghancurkan hatinya. “Aku cuma ingin kamu berhenti berpura-pura, Mas. Kalau memang aku cuma beban, kamu boleh pergi.”
Raka malah terbahak lalu berujar, “Kamu mau apa sih sebenarnya?”
“Aku siap melepaskanmu, Mas kalau itu yang membuatmu bahagia.”
Raka terbangun oleh suara samar di lantai bawah, suara yang asing namun memanggil nalurinya untuk bangkit. Jam menunjukkan pukul 3 dini hari. Di rumah itu, hanya ada dirinya dan Sarah, tetapi malam ini terasa lebih sunyi dari biasanya, seolah ada sesuatu yang hilang tanpa suara.Ia turun perlahan, mendapati lampu ruang tamu masih menyala. Di meja ada secangkir teh yang sudah dingin, dan sebuah kotak kecil dengan secarik kertas tergeletak di sampingnya. Raka merasa dadanya berdebar tak nyaman.“Sarah?” panggilnya lirih. Namun, tak ada jawaban.Raka melangkah ke ruang tamu, melihat ke sekeliling, dan yang tersisa hanyalah kesunyian yang pekat. Dengan ragu, ia membuka kotak kecil itu. Di dalamnya, terdapat seutas kalung yang pernah ia berikan saat pertama kali mereka menikah. Sebuah simbol kecil yang selama ini mungkin tak bermakna baginya, tapi jelas menjadi sesuatu yang sangat berarti bagi Sarah. Dan di sebelahnya, terdapat secarik kertas dengan tulisan tangan Sarah.Raka menelan ludah
[Papa sudah tahu apa yang terjadi. Jangan sampai Sarah mengajukan tuntutan cerai ke pengadilan. Nama baik kita yang akan jadi taruhannya.]Raka terhenyak kaget saat membaca pesan itu. Dia merasa seolah ada bom waktu yang siap meledak kapan saja. Mungkin dia belum sepenuhnya menyesali kepergian Sarah, tetapi ancaman tuntutan cerai itu membuatnya merenung. Dia pun mengetikkan balasan dengan segera.Apakah semua ini akan berujung pada keruntuhan namanya? Raka tidak pernah berpikir jauh tentang dampak dari pernikahan yang tidak bahagia ini. Dia hanya ingin bebas dari perasaan bersalah yang menyelimutinya, dari rasa tak berdaya yang selalu mengikutinya ketika berada di dekat Sarah.“Ada apa?” tanya Nadia, temannya yang mulai dekat belakangan ini, saat mereka duduk bersama di kafe dekat kampus.“Eh, enggak. Aku hanya memikirkan banyak hal,” jawab Raka sambil berusaha tersenyum.Nadia mengamati wajahnya dengan cermat, seolah bisa merasakan ketegangan yang tersimpan di dalam diri Raka. “Kamu
“Sarah, kenapa kamu begini?”Istrinya itu malah terkekeh samar. “Maksud Anda? Bukankah selama ini kehadiran saya tidak perlu diketahui banyak orang. Anggaplah sekarang petemuan kita yang pertama.”“Sarah?”“Apa lagi, Pak? Jangan sampai orang-orang melihat kita.” Sarah menepis pelan tangan Raka yang hendak mencekalnya.Belum sempat Raka kembali bersuara, Nadia tiba-tiba muncul dari balik kerumunan. Wajahnya pucat dan matanya berbinar dengan kemarahan yang tak tertahan.Raka merasa jantungnya berdegup kencang melihat sang mantan kekasih melangkah maju, ekspresinya menunjukkan ketidakpuasan saat melihat interaksi Raka dengan Sarah. “Wah, siapa ini?”“Jangan membuat orang-orang menaruh curiga, Nadia.” Raka mencoba mengingatkan.“Oh, sungguh mengejutkan ternyata. Aku enggak nyangka ada perempuan cacat yang bisa lolos magang di sini,” ejek Nadia, nada suaranya penuh sarkasme.Wajah Raka memanas, keinginan untuk membela Sarah membara di dadanya. “Nadia, tolong jangan mulai lagi,” ujarnya, be
"Mas, kamu pulang terlambat lagi."Suara Sarah terdengar pelan, hampir tenggelam dalam keheningan ruang tamu yang sepi. Dia duduk di sofa dengan tongkat tergeletak di samping. Wajahnya tampak lelah, matanya sayu menatap pintu yang baru saja terbuka. Di meja, hidangan makan malam yang sudah mulai dingin tersusun rapi dan masih tak tersentuh.Raka masuk tanpa menoleh, hanya melemparkan tas kerjanya ke sofa. "Aku capek, Sarah. Jangan mulai lagi," katanya singkat, suaranya kering dan dingin, seolah dinding yang tebal memisahkan mereka berdua.Sarah menggigit bibir, menahan perasaan yang terus mengusik hati. Matanya menatap punggung Raka yang bergerak menuju dapur, tak mempedulikan kehadirannya. Dia menarik napas panjang, berusaha meredakan sesak di yang kembali menyeruak di dalam dada."Aku hanya ingin tahu bagaimana harimu, Mas Raka," katanya pelan, hampir berbisik, seolah takut suara itu akan pecah jika dikeluarkan terlalu keras.Langkah Raka terhenti sejenak, tetapi dia tidak berbalik.
Sarah merasakan tubuhnya melemas. Setiap kata di pesan itu terasa menghantam ulu hati. Ini lebih dari sekadar kecurigaan. Ia tahu Nadia adalah bagian dari masa lalu Raka, namun ia tak pernah menyangka Raka akan kembali bertemu dengannya setelah pernikahan mereka.Ketika langkah kaki Raka terdengar mendekat, Sarah buru-buru meletakkan ponsel itu kembali. Namun, pikirannya sudah dipenuhi dengan rasa sakit dan ketidakpastian. Sudah hampir seminggu Raka kembali pulang larut malam. Kali ini Sarah tidak lagi bertanya. Ada sesuatu yang sudah diputuskan dalam dirinya. Sebuah kerinduan, dan mungkin rasa sakit, yang kini ia simpan sendiri.Raka tampak tidak peduli. Bahkan ketika melihat meja makan yang kembali tertata rapi dengan hidangan yang belum disentuh, ia hanya melirik sekilas, lalu beranjak ke kamar.Sarah melangkah keluar rumah untuk mencari udara segar. Namun, begitu melihat ke luar halaman, ia melihat sebuah mobil berhenti tidak jauh dari rumah mereka. Ada seorang wanita