Share

3. HARUSKAH BERHENTI?

Hari-hari berlalu, dan Raka semakin sering pulang hampir dini hari. Setiap malam, Sarah menunggu dengan sabar, berharap suaminya itu setidaknya akan menyapa, atau bahkan sekadar bertanya. Namun, seiring waktu, rumah terasa semakin sunyi, hanya dihiasi langkah-langkah Raka yang langsung menuju kamar tanpa satu kata pun untuknya.

Malam itu, Raka lagi-lagi tiba lewat tengah malam. Sarah duduk di ruang tamu, wajahnya tertunduk lesu menunggu suaminya yang tampak sibuk menanggalkan jas dan tas kerjanya tanpa menoleh.

“Mas, bisa bicara sebentar?” tanya Sarah pelan, mencoba menguatkan suaranya yang hampir tenggelam.

Raka berhenti sejenak, lalu menoleh dengan wajah lelah. “Apa lagi, Sarah?”

“Aku cuma mau kita bisa ngobrol, Mas. Setidaknya aku ingin tahu apa yang sedang kamu rasakan. Ini sudah terlalu lama...” Sarah menelan ludah, mencoba menenangkan perasaannya.

Raka mendesah, mengusap wajahnya. “Sarah, aku bekerja seharian. Jujur saja, aku lelah kalau tiap malam harus ngobrolin hal yang sama. Ini cuma akan buat kita makin stres.”

Sarah mengangguk pelan, kecewa namun mencoba memahami. “Aku tahu, Mas, tapi mungkin kita bisa coba mulai dari hal-hal kecil. Aku juga capek, tapi aku enggak ingin kita jadi kayak orang asing di rumah ini.”

Mendengar itu, Raka tampak kesal, lalu menjawab, “Kamu enggak paham. Pernikahan ini terjadi bukan karena aku menginginkannya. Kamu tahu alasannya, kan?”

Kalimat itu menusuk hati Sarah. Ia tahu alasan di balik pernikahan ini, tetapi tetap saja, mendengar Raka mengatakannya membuatnya merasa hancur. “Aku tahu, Mas. Tapi... kita bisa coba jalani dengan baik, bukan?”

Raka menghela napas, dan tanpa menjawab, ia berjalan ke kamar, meninggalkan Sarah yang masih berdiri mematung di ruang tamu. Rasa sesak mengisi dada Sarah, namun ia tak tahu harus berbuat apa lagi. Di antara mereka, hanya ada jarak yang semakin jauh, tanpa jembatan penghubung.

Lagi. Sarah kembali menelan rasa kecewa karena terus diabaikan. Pagi ini bahkan ketika ia hendak mengantar kepergian Raka ke ambang pintu, suaminya itu sudah menghilang entah sejak kapan.

Di saat yang sama, Raka merasa kehidupannya semakin tertekan. Di antara tanggung jawabnya pada Sarah dan kenangan masa lalunya, hatinya terpecah. Diam-diam, ia mulai bertemu kembali dengan Nadia, cinta lamanya, di kafe kecil yang dulu sering mereka kunjungi bersama. Setiap kali berada di sana, ia merasa bebas dari segala beban. Bersama Nadia, ia bisa menjadi dirinya sendiri, sejenak melupakan kenyataan pernikahan yang menghimpit.

“Raka, kenapa kamu tetap bertahan dalam pernikahan itu kalau kamu sendiri enggak bahagia?”

Raka menghela napas panjang. “Ini bukan perkara gampang, Nad. Aku enggak bisa ninggalin tanggung jawabku. Aku terjebak dalam keadaan ini.”

Nadia mengangguk, memahami situasi Raka. Namun, di wajahnya terlihat harapan yang tak sepenuhnya sirna. “Kalau kamu enggak bahagia, aku selalu ada di sini, Raka. Aku cuma ingin kamu tahu itu.”

Raka menunduk, hatinya dipenuhi kebimbangan. Ia tahu perasaannya pada Nadia belum pudar, tapi setiap kali ia memikirkan Sarah, rasa tanggung jawab dan kesalahannya selalu membebani.

Di rumah, Sarah menjalani hari-harinya dalam kesunyian yang semakin pekat. Suatu malam, saat ia membereskan kamar Raka, ia menemukan sebuah tanda bukti pembayaran dari kafe kecil. Nama yang tertera jelas: Cafe Lestari.

Hatinya berdebar kencang. Kafe itu adalah tempat favorit Raka dan Nadia dahulu. Tanpa sadar, tangannya gemetar saat ia menggenggam kertas itu. Kecurigaannya semakin menguat. Dalam diam, ia menunggu Raka pulang, tekadnya bulat untuk menanyakan hal yang sudah lama mengusiknya.

Saat Raka akhirnya tiba di rumah, Sarah menunggu di ruang tamu, pandangannya lurus pada suaminya.

“Mas, kamu dari Cafe Lestari tadi, ya?” tanyanya dengan nada tenang yang penuh kekhawatiran.

Raka terkejut, ekspresinya tampak terganggu. “Sarah, itu cuma tempat nongkrong biasa.”

“Bukan soal tempatnya, Mas,” balas Sarah pelan, namun tegas. “Tapi siapa yang ada di sana bersama kamu. Nadia, kan?”

Raka terdiam, wajahnya tegang. “Sarah, kamu mulai lagi. Aku berhak punya ruang pribadi. Nadia hanya teman lama.”

“Aku bukan melarang kamu punya teman, Mas. Aku cuma ingin tahu di mana posisi aku di hidup kamu.” Suara Sarah bergetar, namun tatapannya tetap teguh.

“Sarah, tolong jangan buat masalah ini makin rumit,” ujar Raka datar, seakan tak mau membahas lebih lanjut. “Aku capek. Aku ingin istirahat.”

Tanpa berkata lebih, Raka pergi meninggalkan Sarah yang masih berdiri dengan air mata yang tertahan. Perasaan sakit kembali menggerogoti hatinya. Ternyata, ia memang tak lebih dari sekadar beban bagi suaminya.

Pada malam itu juga, Sarah memberanikan diri bertanya dengan suara yang nyaris hilang. “Mas, sampai kapan kita akan terus begini?”

Raka tampak tidak mengerti maksud Sarah. “Apa maksudmu, Sarah?”

Sarah menarik napas dalam, mencoba menguatkan dirinya. “Sampai kapan aku harus hidup dalam perasaan seperti ini, Mas? Aku tahu ada yang lebih dari sekadar ‘pertemanan’ di antara kamu dan Nadia.”

Raka menghela napas berat, lalu menjawab dengan nada yang dingin. “Sarah, kamu tahu kondisi pernikahan ini. Aku melakukan yang bisa kulakukan untukmu. Apa kamu masih ingin memaksaku lebih dari ini?”

Air mata mengalir di pipi Sarah, dan ia hanya bisa menunduk, menahan perasaan yang seolah menghancurkan hatinya. “Aku cuma ingin kamu berhenti berpura-pura, Mas. Kalau memang aku cuma beban, kamu boleh pergi.”

Raka malah terbahak lalu berujar, “Kamu mau apa sih sebenarnya?”

 “Aku siap melepaskanmu, Mas kalau itu yang membuatmu bahagia.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status