Sarah merasakan tubuhnya melemas. Setiap kata di pesan itu terasa menghantam ulu hati. Ini lebih dari sekadar kecurigaan. Ia tahu Nadia adalah bagian dari masa lalu Raka, namun ia tak pernah menyangka Raka akan kembali bertemu dengannya setelah pernikahan mereka.
Ketika langkah kaki Raka terdengar mendekat, Sarah buru-buru meletakkan ponsel itu kembali. Namun, pikirannya sudah dipenuhi dengan rasa sakit dan ketidakpastian.
Sudah hampir seminggu Raka kembali pulang larut malam. Kali ini Sarah tidak lagi bertanya. Ada sesuatu yang sudah diputuskan dalam dirinya. Sebuah kerinduan, dan mungkin rasa sakit, yang kini ia simpan sendiri.
Raka tampak tidak peduli. Bahkan ketika melihat meja makan yang kembali tertata rapi dengan hidangan yang belum disentuh, ia hanya melirik sekilas, lalu beranjak ke kamar.
Sarah melangkah keluar rumah untuk mencari udara segar. Namun, begitu melihat ke luar halaman, ia melihat sebuah mobil berhenti tidak jauh dari rumah mereka. Ada seorang wanita duduk di dalam, dan Sarah langsung mengenali wajah itu.
Hujan deras mengguyur di luar, sementara di dalam rumah hanya ada suara detak jam yang monoton. Sarah memutuskan berdiam diri untuk melihat apa yang akan terjadi nanti. Hatinya seolah berkata bahwa sebentar lagi kenyataan pahit kembali hadir.
Benar memang. Ketika akhirnya suara mesin mobil terdengar, ia menarik napas dalam-dalam. Raka masuk dengan pakaian basah, namun wajahnya tetap tanpa ekspresi.
“Mas… kamu dari mana?” tanya Sarah hati-hati.
Raka hanya melepas sepatunya dan berjalan melewatinya. “Kenapa tanya kayak gitu?”
Sarah terdiam sejenak, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Aku cuma khawatir. Pakaianmu basah. Mas habis dari mana tadi?”
Raka mendengus pelan. “Aku banyak urusan, Sarah. Sudahlah. Jangan membuatku semakin pusing.”
“Tapi aku lihat kamu tadi sama Nadia,” suara Sarah terdengar pelan, namun penuh tekanan.
Langkah Raka langsung terhenti. “Sarah, jangan lebay. Nadia itu cuma teman lama. Kebetulan kami punya proyek yang harus ditangani bersama.”
Sarah menatapnya tajam, tak bisa menyembunyikan kekecewaannya. “Teman lama yang ngirim pesan mesra? Teman lama yang ngajak ketemu di ‘tempat biasa’?”
Raka mendesah keras, tampak mulai kesal. “Kamu ini kenapa sih? Nggak bisa sedikit percaya sama aku?”
Sarah mendekat, suaranya terdengar bergetar. “Mas, aku coba percaya. Tapi aku juga manusia, aku punya rasa sakit yang enggak bisa terus-terusan aku abaikan.”
Raka menatapnya dengan pandangan datar. “Ini semua gara-gara kecelakaan itu, kan? Aku tahu aku bersalah karena itu, tapi tolong jangan bebani aku lagi, Sarah.”
“Jadi menurut kamu, keberadaan aku di sini cuma beban?” Mata Sarah mulai memerah, menahan air mata yang sudah di ujung pelupuk.
Raka mendesah berat dan memalingkan wajahnya. “Aku menikahimu karena tanggung jawab, bukan cinta. Aku pikir kamu sudah mengerti itu.”
Kata-kata itu seperti petir yang menyambar Sarah, membuatnya tersentak mundur. “Aku tahu, Mas… tapi apa kamu enggak bisa sedikit menghargai aku?”
Raka menggelengkan kepalanya, ekspresinya dingin. “Aku sudah berusaha, Sarah. Kalau itu enggak cukup, aku enggak tahu lagi apa yang kamu mau.”
Esok harinya, rasa sakit yang terus menggerogoti hati Sarah membuatnya tak bisa lagi menahan diri. Dengan perasaan campur aduk, ia pergi ke sebuah kafe kecil di pusat kota di mana ia sendiri membuat janji bertemu dengan seseorang.
Sore itu, Nadia memang muncul. Sarah memberanikan diri menghampirinya, mencoba menghadapi rasa takut yang selama ini menguasai hati.
“Nadia?” Sarah membuka percakapan dengan suara pelan.
Nadia menoleh, tampak sedikit terkejut namun segera tersenyum tipis. “Sarah? Tumben sekali ngajak aku ketemuan. Ada apa?”
“Maaf kalau kesannya tiba-tiba. Aku cuma… aku cuma mau tanya satu hal,” ucap Sarah, berusaha tenang. “Apa hubungan kamu sama Raka sekarang?”
Nadia mendengus kecil, lalu tersenyum sinis. “Jadi dia belum cerita apa-apa ke kamu?”
Sarah mengerutkan kening. “Cerita apa?”
Nadia mendekatkan wajahnya, menatap Sarah dengan sorot mata penuh kemenangan. “Aku dan Raka dulu punya hubungan yang sangat dalam. Kamu tahu kan, kadang perasaan lama itu enggak mudah hilang begitu saja.”
Sarah merasa jantungnya berdetak kencang, namun ia mencoba menguasai diri. “Tapi dia sudah menikah, Nadia. Mas Raka suamiku sekarang.”
Nadia tersenyum kecil. “Aku tahu, Sarah. Tapi Raka juga manusia. Dia butuh pelarian dari hubungan yang… bagaimana ya, terasa hambar? Aku pikir, kamu sendiri tahu soal itu.”
Sarah terdiam, mencoba menahan gemetar di tubuhnya. “Apa kamu bangga dengan apa yang kamu lakukan?”
Nadia tertawa kecil. “Aku hanya ingin melihat Raka bahagia. Kalau kamu enggak bisa membuatnya bahagia, mungkin memang dia butuh orang lain.”
Tanpa berkata lagi, Sarah berdiri dan meninggalkan Nadia dengan perasaan campur aduk. Setiap kalimat yang dilontarkan Nadia seperti mengiris hatinya. Bayangan kata-kata yang baru saja didengar tak berhenti berputar di kepalanya.
Begitu sampai di rumah, Sarah melihat Raka duduk di sofa, tampak lelah namun tetap dengan ekspresi dingin yang sudah sangat ia kenal.
“Dari mana saja?” tanya Raka dengan nada datar.
“Aku tadi ketemu Nadia,” Sarah mengakui dengan suara bergetar.
Raka langsung menatapnya tajam, tampak terkejut namun segera menutupi ekspresinya. “Kenapa kamu cari-cari masalah, Sarah?”
Sarah menatap Raka, berusaha menahan air mata yang mulai mengalir. “Aku cuma mau tahu satu hal, Mas. Kenapa kamu masih sering ketemu dia?”
Raka mendesah dan berdiri, melangkah menjauh. “Sarah, kamu enggak akan ngerti. Hubungan ini—aku merasa terjebak, kamu tahu?”
Sarah hanya bisa terdiam, menatap Raka dengan rasa sakit yang begitu mendalam. "Jadi… apa Mas masih cinta sama dia?"
Raka tak menjawab, hanya berdiri membelakanginya. Hening yang mengisi ruangan itu seolah memberi Sarah jawaban yang paling ia takuti.
Hari-hari berlalu, dan Raka semakin sering pulang hampir dini hari. Setiap malam, Sarah menunggu dengan sabar, berharap suaminya itu setidaknya akan menyapa, atau bahkan sekadar bertanya. Namun, seiring waktu, rumah terasa semakin sunyi, hanya dihiasi langkah-langkah Raka yang langsung menuju kamar tanpa satu kata pun untuknya.Malam itu, Raka lagi-lagi tiba lewat tengah malam. Sarah duduk di ruang tamu, wajahnya tertunduk lesu menunggu suaminya yang tampak sibuk menanggalkan jas dan tas kerjanya tanpa menoleh.“Mas, bisa bicara sebentar?” tanya Sarah pelan, mencoba menguatkan suaranya yang hampir tenggelam.Raka berhenti sejenak, lalu menoleh dengan wajah lelah. “Apa lagi, Sarah?”“Aku cuma mau kita bisa ngobrol, Mas. Setidaknya aku ingin tahu apa yang sedang kamu rasakan. Ini sudah terlalu lama...” Sarah menelan ludah, mencoba menenangkan perasaannya.Raka mendesah, mengusap wajahnya. “Sarah, aku bekerja seharian. Jujur saja, aku lelah kalau tiap malam harus ngobrolin hal yang sama.
Raka terbangun oleh suara samar di lantai bawah, suara yang asing namun memanggil nalurinya untuk bangkit. Jam menunjukkan pukul 3 dini hari. Di rumah itu, hanya ada dirinya dan Sarah, tetapi malam ini terasa lebih sunyi dari biasanya, seolah ada sesuatu yang hilang tanpa suara.Ia turun perlahan, mendapati lampu ruang tamu masih menyala. Di meja ada secangkir teh yang sudah dingin, dan sebuah kotak kecil dengan secarik kertas tergeletak di sampingnya. Raka merasa dadanya berdebar tak nyaman.“Sarah?” panggilnya lirih. Namun, tak ada jawaban.Raka melangkah ke ruang tamu, melihat ke sekeliling, dan yang tersisa hanyalah kesunyian yang pekat. Dengan ragu, ia membuka kotak kecil itu. Di dalamnya, terdapat seutas kalung yang pernah ia berikan saat pertama kali mereka menikah. Sebuah simbol kecil yang selama ini mungkin tak bermakna baginya, tapi jelas menjadi sesuatu yang sangat berarti bagi Sarah. Dan di sebelahnya, terdapat secarik kertas dengan tulisan tangan Sarah.Raka menelan ludah
[Papa sudah tahu apa yang terjadi. Jangan sampai Sarah mengajukan tuntutan cerai ke pengadilan. Nama baik kita yang akan jadi taruhannya.]Raka terhenyak kaget saat membaca pesan itu. Dia merasa seolah ada bom waktu yang siap meledak kapan saja. Mungkin dia belum sepenuhnya menyesali kepergian Sarah, tetapi ancaman tuntutan cerai itu membuatnya merenung. Dia pun mengetikkan balasan dengan segera.Apakah semua ini akan berujung pada keruntuhan namanya? Raka tidak pernah berpikir jauh tentang dampak dari pernikahan yang tidak bahagia ini. Dia hanya ingin bebas dari perasaan bersalah yang menyelimutinya, dari rasa tak berdaya yang selalu mengikutinya ketika berada di dekat Sarah.“Ada apa?” tanya Nadia, temannya yang mulai dekat belakangan ini, saat mereka duduk bersama di kafe dekat kampus.“Eh, enggak. Aku hanya memikirkan banyak hal,” jawab Raka sambil berusaha tersenyum.Nadia mengamati wajahnya dengan cermat, seolah bisa merasakan ketegangan yang tersimpan di dalam diri Raka. “Kamu
“Sarah, kenapa kamu begini?”Istrinya itu malah terkekeh samar. “Maksud Anda? Bukankah selama ini kehadiran saya tidak perlu diketahui banyak orang. Anggaplah sekarang petemuan kita yang pertama.”“Sarah?”“Apa lagi, Pak? Jangan sampai orang-orang melihat kita.” Sarah menepis pelan tangan Raka yang hendak mencekalnya.Belum sempat Raka kembali bersuara, Nadia tiba-tiba muncul dari balik kerumunan. Wajahnya pucat dan matanya berbinar dengan kemarahan yang tak tertahan.Raka merasa jantungnya berdegup kencang melihat sang mantan kekasih melangkah maju, ekspresinya menunjukkan ketidakpuasan saat melihat interaksi Raka dengan Sarah. “Wah, siapa ini?”“Jangan membuat orang-orang menaruh curiga, Nadia.” Raka mencoba mengingatkan.“Oh, sungguh mengejutkan ternyata. Aku enggak nyangka ada perempuan cacat yang bisa lolos magang di sini,” ejek Nadia, nada suaranya penuh sarkasme.Wajah Raka memanas, keinginan untuk membela Sarah membara di dadanya. “Nadia, tolong jangan mulai lagi,” ujarnya, be
"Mas, kamu pulang terlambat lagi."Suara Sarah terdengar pelan, hampir tenggelam dalam keheningan ruang tamu yang sepi. Dia duduk di sofa dengan tongkat tergeletak di samping. Wajahnya tampak lelah, matanya sayu menatap pintu yang baru saja terbuka. Di meja, hidangan makan malam yang sudah mulai dingin tersusun rapi dan masih tak tersentuh.Raka masuk tanpa menoleh, hanya melemparkan tas kerjanya ke sofa. "Aku capek, Sarah. Jangan mulai lagi," katanya singkat, suaranya kering dan dingin, seolah dinding yang tebal memisahkan mereka berdua.Sarah menggigit bibir, menahan perasaan yang terus mengusik hati. Matanya menatap punggung Raka yang bergerak menuju dapur, tak mempedulikan kehadirannya. Dia menarik napas panjang, berusaha meredakan sesak di yang kembali menyeruak di dalam dada."Aku hanya ingin tahu bagaimana harimu, Mas Raka," katanya pelan, hampir berbisik, seolah takut suara itu akan pecah jika dikeluarkan terlalu keras.Langkah Raka terhenti sejenak, tetapi dia tidak berbalik.