Share

2. BUKAN KARENA CINTA

Sarah merasakan tubuhnya melemas. Setiap kata di pesan itu terasa menghantam ulu hati. Ini lebih dari sekadar kecurigaan. Ia tahu Nadia adalah bagian dari masa lalu Raka, namun ia tak pernah menyangka Raka akan kembali bertemu dengannya setelah pernikahan mereka.

Ketika langkah kaki Raka terdengar mendekat, Sarah buru-buru meletakkan ponsel itu kembali. Namun, pikirannya sudah dipenuhi dengan rasa sakit dan ketidakpastian.

            Sudah hampir seminggu Raka kembali pulang larut malam. Kali ini Sarah tidak lagi bertanya. Ada sesuatu yang sudah diputuskan dalam dirinya. Sebuah kerinduan, dan mungkin rasa sakit, yang kini ia simpan sendiri.

Raka tampak tidak peduli. Bahkan ketika melihat meja makan yang kembali tertata rapi dengan hidangan yang belum disentuh, ia hanya melirik sekilas, lalu beranjak ke kamar.

Sarah melangkah keluar rumah untuk mencari udara segar. Namun, begitu melihat ke luar halaman, ia melihat sebuah mobil berhenti tidak jauh dari rumah mereka. Ada seorang wanita duduk di dalam, dan Sarah langsung mengenali wajah itu.

Hujan deras mengguyur di luar, sementara di dalam rumah hanya ada suara detak jam yang monoton. Sarah memutuskan berdiam diri untuk melihat apa yang akan terjadi nanti. Hatinya seolah berkata bahwa sebentar lagi kenyataan pahit kembali hadir.

Benar memang. Ketika akhirnya suara mesin mobil terdengar, ia menarik napas dalam-dalam. Raka masuk dengan pakaian basah, namun wajahnya tetap tanpa ekspresi.

“Mas… kamu dari mana?” tanya Sarah hati-hati.

Raka hanya melepas sepatunya dan berjalan melewatinya. “Kenapa tanya kayak gitu?”

Sarah terdiam sejenak, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Aku cuma khawatir. Pakaianmu basah. Mas habis dari mana tadi?”

Raka mendengus pelan. “Aku banyak urusan, Sarah. Sudahlah. Jangan membuatku semakin pusing.”

“Tapi aku lihat kamu tadi sama Nadia,” suara Sarah terdengar pelan, namun penuh tekanan.

Langkah Raka langsung terhenti. “Sarah, jangan lebay. Nadia itu cuma teman lama. Kebetulan kami punya proyek yang harus ditangani bersama.”

Sarah menatapnya tajam, tak bisa menyembunyikan kekecewaannya. “Teman lama yang ngirim pesan mesra? Teman lama yang ngajak ketemu di ‘tempat biasa’?”

Raka mendesah keras, tampak mulai kesal. “Kamu ini kenapa sih? Nggak bisa sedikit percaya sama aku?”

Sarah mendekat, suaranya terdengar bergetar. “Mas, aku coba percaya. Tapi aku juga manusia, aku punya rasa sakit yang enggak bisa terus-terusan aku abaikan.”

Raka menatapnya dengan pandangan datar. “Ini semua gara-gara kecelakaan itu, kan? Aku tahu aku bersalah karena itu, tapi tolong jangan bebani aku lagi, Sarah.”

“Jadi menurut kamu, keberadaan aku di sini cuma beban?” Mata Sarah mulai memerah, menahan air mata yang sudah di ujung pelupuk.

Raka mendesah berat dan memalingkan wajahnya. “Aku menikahimu karena tanggung jawab, bukan cinta. Aku pikir kamu sudah mengerti itu.”

Kata-kata itu seperti petir yang menyambar Sarah, membuatnya tersentak mundur. “Aku tahu, Mas… tapi apa kamu enggak bisa sedikit menghargai aku?”

Raka menggelengkan kepalanya, ekspresinya dingin. “Aku sudah berusaha, Sarah. Kalau itu enggak cukup, aku enggak tahu lagi apa yang kamu mau.”

Esok harinya, rasa sakit yang terus menggerogoti hati Sarah membuatnya tak bisa lagi menahan diri. Dengan perasaan campur aduk, ia pergi ke sebuah kafe kecil di pusat kota di mana ia sendiri membuat janji bertemu dengan seseorang.

Sore itu, Nadia memang muncul. Sarah memberanikan diri menghampirinya, mencoba menghadapi rasa takut yang selama ini menguasai hati.

“Nadia?” Sarah membuka percakapan dengan suara pelan.

Nadia menoleh, tampak sedikit terkejut namun segera tersenyum tipis. “Sarah? Tumben sekali ngajak aku ketemuan. Ada apa?”

“Maaf kalau kesannya tiba-tiba. Aku cuma… aku cuma mau tanya satu hal,” ucap Sarah, berusaha tenang. “Apa hubungan kamu sama Raka sekarang?”

Nadia mendengus kecil, lalu tersenyum sinis. “Jadi dia belum cerita apa-apa ke kamu?”

Sarah mengerutkan kening. “Cerita apa?”

Nadia mendekatkan wajahnya, menatap Sarah dengan sorot mata penuh kemenangan. “Aku dan Raka dulu punya hubungan yang sangat dalam. Kamu tahu kan, kadang perasaan lama itu enggak mudah hilang begitu saja.”

Sarah merasa jantungnya berdetak kencang, namun ia mencoba menguasai diri. “Tapi dia sudah menikah, Nadia. Mas Raka suamiku sekarang.”

Nadia tersenyum kecil. “Aku tahu, Sarah. Tapi Raka juga manusia. Dia butuh pelarian dari hubungan yang… bagaimana ya, terasa hambar? Aku pikir, kamu sendiri tahu soal itu.”

Sarah terdiam, mencoba menahan gemetar di tubuhnya. “Apa kamu bangga dengan apa yang kamu lakukan?”

Nadia tertawa kecil. “Aku hanya ingin melihat Raka bahagia. Kalau kamu enggak bisa membuatnya bahagia, mungkin memang dia butuh orang lain.”

Tanpa berkata lagi, Sarah berdiri dan meninggalkan Nadia dengan perasaan campur aduk. Setiap kalimat yang dilontarkan Nadia seperti mengiris hatinya. Bayangan kata-kata yang baru saja didengar tak berhenti berputar di kepalanya.

Begitu sampai di rumah, Sarah melihat Raka duduk di sofa, tampak lelah namun tetap dengan ekspresi dingin yang sudah sangat ia kenal.

“Dari mana saja?” tanya Raka dengan nada datar.

“Aku tadi ketemu Nadia,” Sarah mengakui dengan suara bergetar.

Raka langsung menatapnya tajam, tampak terkejut namun segera menutupi ekspresinya. “Kenapa kamu cari-cari masalah, Sarah?”

Sarah menatap Raka, berusaha menahan air mata yang mulai mengalir. “Aku cuma mau tahu satu hal, Mas. Kenapa kamu masih sering ketemu dia?”

Raka mendesah dan berdiri, melangkah menjauh. “Sarah, kamu enggak akan ngerti. Hubungan ini—aku merasa terjebak, kamu tahu?”

Sarah hanya bisa terdiam, menatap Raka dengan rasa sakit yang begitu mendalam. "Jadi… apa Mas masih cinta sama dia?"

Raka tak menjawab, hanya berdiri membelakanginya. Hening yang mengisi ruangan itu seolah memberi Sarah jawaban yang paling ia takuti.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status