Sarah merasakan tubuhnya melemas. Setiap kata di pesan itu terasa menghantam ulu hati. Ini lebih dari sekadar kecurigaan. Ia tahu Nadia adalah bagian dari masa lalu Raka, namun ia tak pernah menyangka Raka akan kembali bertemu dengannya setelah pernikahan mereka.
Ketika langkah kaki Raka terdengar mendekat, Sarah buru-buru meletakkan ponsel itu kembali. Namun, pikirannya sudah dipenuhi dengan rasa sakit dan ketidakpastian. Sudah hampir seminggu Raka kembali pulang larut malam. Kali ini Sarah tidak lagi bertanya. Ada sesuatu yang sudah diputuskan dalam dirinya. Sebuah kerinduan, dan mungkin rasa sakit, yang kini ia simpan sendiri. Raka tampak tidak peduli. Bahkan ketika melihat meja makan yang kembali tertata rapi dengan hidangan yang belum disentuh, ia hanya melirik sekilas, lalu beranjak ke kamar. Sarah melangkah keluar rumah untuk mencari udara segar. Namun, begitu melihat ke luar halaman, ia melihat sebuah mobil berhenti tidak jauh dari rumah mereka. Ada seorang wanita duduk di dalam, dan Sarah langsung mengenali wajah itu. Hujan deras mengguyur di luar, sementara di dalam rumah hanya ada suara detak jam yang monoton. Sarah memutuskan berdiam diri untuk melihat apa yang akan terjadi nanti. Hatinya seolah berkata bahwa sebentar lagi kenyataan pahit kembali hadir. Benar memang. Ketika akhirnya suara mesin mobil terdengar, ia menarik napas dalam-dalam. Raka masuk dengan pakaian basah, namun wajahnya tetap tanpa ekspresi. “Mas… kamu dari mana?” tanya Sarah hati-hati. Raka hanya melepas sepatunya dan berjalan melewatinya. “Kenapa tanya kayak gitu?” Sarah terdiam sejenak, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Aku cuma khawatir. Pakaianmu basah. Mas habis dari mana tadi?” Raka mendengus pelan. “Aku banyak urusan, Sarah. Sudahlah. Jangan membuatku semakin pusing.” “Tapi aku lihat kamu tadi sama Nadia,” suara Sarah terdengar pelan, namun penuh tekanan. Langkah Raka langsung terhenti. “Sarah, jangan lebay. Nadia itu cuma teman lama. Kebetulan kami punya proyek yang harus ditangani bersama.” Sarah menatapnya tajam, tak bisa menyembunyikan kekecewaannya. “Teman lama yang ngirim pesan mesra? Teman lama yang ngajak ketemu di ‘tempat biasa’?” Raka mendesah keras, tampak mulai kesal. “Kamu ini kenapa sih? Nggak bisa sedikit percaya sama aku?” Sarah mendekat, suaranya terdengar bergetar. “Mas, aku coba percaya. Tapi aku juga manusia, aku punya rasa sakit yang enggak bisa terus-terusan aku abaikan.” Raka menatapnya dengan pandangan datar. “Ini semua gara-gara kecelakaan itu, kan? Aku tahu aku bersalah karena itu, tapi tolong jangan bebani aku lagi, Sarah.” “Jadi menurut kamu, keberadaan aku di sini cuma beban?” Mata Sarah mulai memerah, menahan air mata yang sudah di ujung pelupuk. Raka mendesah berat dan memalingkan wajahnya. “Aku menikahimu karena tanggung jawab, bukan cinta. Aku pikir kamu sudah mengerti itu.” Kata-kata itu seperti petir yang menyambar Sarah, membuatnya tersentak mundur. “Aku tahu, Mas… tapi apa kamu enggak bisa sedikit menghargai aku?” Raka menggelengkan kepalanya, ekspresinya dingin. “Aku sudah berusaha, Sarah. Kalau itu enggak cukup, aku enggak tahu lagi apa yang kamu mau.” Esok harinya, rasa sakit yang terus menggerogoti hati Sarah membuatnya tak bisa lagi menahan diri. Dengan perasaan campur aduk, ia pergi ke sebuah kafe kecil di pusat kota di mana ia sendiri membuat janji bertemu dengan seseorang. Sore itu, Nadia memang muncul. Sarah memberanikan diri menghampirinya, mencoba menghadapi rasa takut yang selama ini menguasai hati. “Nadia?” Sarah membuka percakapan dengan suara pelan. Nadia menoleh, tampak sedikit terkejut namun segera tersenyum tipis. “Sarah? Tumben sekali ngajak aku ketemuan. Ada apa?” “Maaf kalau kesannya tiba-tiba. Aku cuma… aku cuma mau tanya satu hal,” ucap Sarah, berusaha tenang. “Apa hubungan kamu sama Mas Raka sekarang?” Nadia mendengus kecil, lalu tersenyum sinis. “Jadi dia belum cerita apa-apa ke kamu?” Sarah mengerutkan kening. “Cerita apa?” Nadia mendekatkan wajahnya, menatap Sarah dengan sorot mata penuh kemenangan. “Aku dan Raka dulu punya hubungan yang sangat dalam. Kamu tahu kan, kadang perasaan lama itu enggak mudah hilang begitu saja.” Sarah merasa jantungnya berdetak kencang, namun ia mencoba menguasai diri. “Tapi dia sudah menikah, Nadia. Mas Raka suamiku sekarang.” Nadia tersenyum kecil. “Aku tahu, Sarah. Tapi Raka juga manusia. Dia butuh pelarian dari hubungan yang… bagaimana ya, terasa hambar? Aku pikir, kamu sendiri tahu soal itu.” Sarah terdiam, mencoba menahan gemetar di tubuhnya. “Apa kamu bangga dengan apa yang kamu lakukan?” Nadia tertawa kecil. “Aku hanya ingin melihat Raka bahagia. Kalau kamu enggak bisa membuatnya bahagia, mungkin memang dia butuh orang lain.” Tanpa berkata lagi, Sarah berdiri dan meninggalkan Nadia dengan perasaan campur aduk. Setiap kalimat yang dilontarkan Nadia seperti mengiris hatinya. Bayangan kata-kata yang baru saja didengar tak berhenti berputar di kepalanya. Begitu sampai di rumah, Sarah melihat Raka duduk di sofa, tampak lelah namun tetap dengan ekspresi dingin yang sudah sangat ia kenal. “Dari mana saja?” tanya Raka dengan nada datar. “Aku tadi ketemu Nadia,” Sarah mengakui dengan suara bergetar. Raka langsung menatapnya tajam, tampak terkejut namun segera menutupi ekspresinya. “Kenapa kamu cari-cari masalah, Sarah?” Sarah menatap Raka, berusaha menahan air mata yang mulai mengalir. “Aku cuma mau tahu satu hal, Mas. Kenapa kamu masih sering ketemu dia?” Raka mendesah dan berdiri, melangkah menjauh. “Sarah, kamu enggak akan ngerti. Hubungan ini—aku merasa terjebak, kamu tahu?” Sarah hanya bisa terdiam, menatap Raka dengan rasa sakit yang begitu mendalam. "Jadi… apa Mas masih cinta sama dia?" Raka tak menjawab, hanya berdiri membelakanginya. Hening yang mengisi ruangan itu seolah memberi Sarah jawaban yang paling ia takuti.Hari-hari berlalu, dan Raka semakin sering pulang hampir dini hari. Setiap malam, Sarah menunggu dengan sabar, berharap suaminya itu setidaknya akan menyapa, atau bahkan sekadar bertanya. Namun, seiring waktu, rumah terasa semakin sunyi, hanya dihiasi langkah-langkah Raka yang langsung menuju kamar tanpa satu kata pun untuknya.Malam itu, Raka lagi-lagi tiba lewat tengah malam. Sarah duduk di ruang tamu, wajahnya tertunduk lesu menunggu suaminya yang tampak sibuk menanggalkan jas dan tas kerjanya tanpa menoleh.“Mas, bisa bicara sebentar?” tanya Sarah pelan, mencoba menguatkan suaranya yang hampir tenggelam.Raka berhenti sejenak, lalu menoleh dengan wajah lelah. “Apa lagi, Sarah?”“Aku cuma mau kita bisa ngobrol, Mas. Setidaknya aku ingin tahu apa yang sedang kamu rasakan. Ini sudah terlalu lama...” Sarah menelan ludah, mencoba menenangkan perasaannya.Raka mendesah, mengusap wajahnya. “Sarah, aku bekerja seharian. Jujur saja, aku lelah kalau tiap malam harus ngobrolin hal yang sama.
Raka terbangun oleh suara samar di lantai bawah, suara yang asing namun memanggil nalurinya untuk bangkit. Jam menunjukkan pukul 3 dini hari. Di rumah itu, hanya ada dirinya dan Sarah, tetapi malam ini terasa lebih sunyi dari biasanya, seolah ada sesuatu yang hilang tanpa suara. Ia turun perlahan, mendapati lampu ruang tamu masih menyala. Di meja ada secangkir teh yang sudah dingin, dan sebuah kotak kecil dengan secarik kertas tergeletak di sampingnya. Raka merasa dadanya berdebar tak nyaman. “Sarah?” panggilnya lirih. Namun, tak ada jawaban. Raka melangkah ke ruang tamu, melihat ke sekeliling, dan yang tersisa hanyalah kesunyian yang pekat. Dengan ragu, ia membuka kotak kecil itu. Di dalamnya, terdapat seutas kalung yang pernah ia berikan saat pertama kali mereka menikah. Sebuah simbol kecil yang selama ini mungkin tak bermakna baginya, tapi jelas menjadi sesuatu yang sangat berarti bagi Sarah. Dan di sebelahnya, terdapat secarik kertas dengan tulisan tangan Sarah. Raka menelan lu
[Papa sudah tahu apa yang terjadi. Jangan sampai Sarah mengajukan tuntutan cerai ke pengadilan. Nama baik kita yang akan jadi taruhannya.]Raka terhenyak kaget saat membaca pesan itu. Dia merasa seolah ada bom waktu yang siap meledak kapan saja. Mungkin dia belum sepenuhnya menyesali kepergian Sarah, tetapi ancaman tuntutan cerai itu membuatnya merenung. Dia pun mengetikkan balasan dengan segera.Apakah semua ini akan berujung pada keruntuhan namanya? Raka tidak pernah berpikir jauh tentang dampak dari pernikahan yang tidak bahagia ini. Dia hanya ingin bebas dari perasaan bersalah yang menyelimutinya, dari rasa tak berdaya yang selalu mengikutinya ketika berada di dekat Sarah.“Ada apa?” tanya Nadia, temannya yang mulai dekat belakangan ini, saat mereka duduk bersama di kafe dekat kampus.“Eh, enggak. Aku hanya memikirkan banyak hal,” jawab Raka sambil berusaha tersenyum.Nadia mengamati wajahnya dengan cermat, seolah bisa merasakan ketegangan yang tersimpan di dalam diri Raka. “Kamu
“Sarah, kenapa kamu begini?” Istrinya itu malah terkekeh samar. “Maksud Anda? Bukankah selama ini kehadiran saya tidak perlu diketahui banyak orang. Anggaplah sekarang petemuan kita yang pertama.” “Sarah?” “Apa lagi, Pak? Jangan sampai orang-orang melihat kita.” Sarah menepis pelan tangan Raka yang hendak mencekalnya. Belum sempat Raka kembali bersuara, Nadia tiba-tiba muncul dari balik kerumunan. Wajahnya pucat dan matanya berbinar dengan kemarahan yang tak tertahan. Raka merasa jantungnya berdegup kencang melihat sang mantan kekasih melangkah maju, ekspresinya menunjukkan ketidakpuasan saat melihat interaksi Raka dengan Sarah. “Wah, siapa ini?” “Jangan membuat orang-orang menaruh curiga, Nadia.” Raka mencoba mengingatkan. “Oh, sungguh mengejutkan ternyata. Aku enggak nyangka ada perempuan cacat yang bisa lolos magang di sini,” ejek Nadia, nada suaranya penuh sarkasme. Wajah Raka memanas, keinginan untuk membela Sarah membara di dadanya. “Nadia, tolong jangan mulai lagi,” ujar
Apa yang dikatakan oleh Nadia benar juga. Raka mengiyakannya di dalam hati. Namun, ancaman sang papa masih saja mengganggu pikiran pria itu. Pada akhirnya dia pun menghentikan langkah saat ingin mengejar Sarah. Sementara kini Sarah sudah disibukkan dengan pekerjaan baru di hari pertama magangnya tersebut. Dirinya sama sekali enggan memikirkan masalah rumah tangga yang ada.“Ra, kantin yuk!” Ajakan barusan membuat Sarah yang sebelumnya fokus di depan komputer kini menoleh ke arah samping. Gadis itu tersenyum lembut.“Lira ke mana?” tanya Sarah kemudian.Sang teman lantas menjawab, “Udah ada janji makan siang sama pacarnya. Kita yang tim jomblo abadi harus tahu diri dong, Ra. Yuk! Aku udah laper nih.” Sarah mengiyakan lewat anggukan kepala. Tangannya meraih tongkat yang sedari tadi berdiri di belakang meja. Dengan gerakan pelan dia mulai menyejajarkan langkah di samping Dini yang bersikap siaga.“Enggak usah, Din. Aku bisa sendiri kok,”
“Aku sudah tahu hanya dengan melihat senyummu, Ka.”Nadia memandang Raka dengan senyuman tipis yang samar-samar menyimpan kekecewaan. Nadanya lembut namun menyiratkan sesuatu yang dingin, membuat Raka tertegun sejenak.“Maksudmu apa, Nad?” tanya Raka lagi.“Tentu saja kamu lebih pilih aku. Lagian mana mungkin Sarah bisa menggantikan posisiku. Kita udah sama-sama sejak SMA, Ka,” tutur Nadia begitu percaya diri.Raka mencoba tersenyum, meski dalam hati ia merasakan sesuatu yang mengganggu. Entah mengapa kalimat Nadia tadi terdengar seperti sebuah ancaman baginya.Sesuai dengan janji sebelumnya, Sarah duduk di sudut kafe, menatap ke arah jalan sambil menunggu kedatangan Raka. Ia sudah tahu apa yang akan mereka bicarakan, dan dalam hati, ia sudah mempersiapkan jawabannya. Raka tiba beberapa menit kemudian, wajahnya terlihat lelah namun serius.“Papa melarang kita untuk berpisah,” ucap Raka begitu mereka duduk, langsung ke inti masalah. Tatapannya beralih ke cangkir kopi di depannya, mengh
“Cie cie. Ada yang nganterin nih!”Alih-alih merespon suara barusan, Sarah hanya menghela napas dan menutup pintu kosannya, merasa sedikit lega setelah lepas dari perhatian Raka. Namun, perasaan tidak tenang tak sepenuhnya hilang.Pertemuan mereka tadi di kafe menyisakan tanda tanya. Meski tak mengharapkan banyak dari pernikahan ini, Sarah masih bingung dengan sikap Raka yang terlihat semakin sering memperhatikannya. Apakah karena perintah dari papanya ataukah ada hal lain?“Ih, Ra! Kok main kabur aja sih? Habis dianterin Pak Raka ya? Tuh kan, sahabat kita ini diem-diem beruntung banget!” goda Lira sambil tersenyum lebar.Sarah tersenyum kecil. Ia tak mungkin menceritakan yang sebenarnya, meski kadang rasa lelah menyembunyikan rahasia ini mulai mengganggu. “Ah, kebetulan aja ketemu di jalan tadi. Ya, mungkin dia kasihan lihat aku sendirian uamh cacat ini.”Dini tertawa sambil mengangguk penuh percaya diri. “Jangan ngomong gitu, Ra. Mungkin aja dia memang care,” katanya sambil berkedip
Sarah terperanjat, tak menyangka bertemu dengan Nadia dalam situasi seperti ini. Wajah Nadia penuh amarah, matanya menyiratkan kecurigaan yang terpendam sejak lama.“Mau apa kamu ke sini, hah?!” Nadia mengulang pertanyaannya dengan nada yang semakin tajam.Sarah menelan ludah, berusaha menahan diri. “Saya… cuma mau menemui Pak Raka, Mbak. Beliau supervisor saya sekarang,” ujarnya dengan suara pelan, mencoba menjaga sikap tetap tenang.Nadia menyilangkan tangan di dada sambil melangkah mendekat, pandangannya penuh sinis. “Supervisor? Oh, jadi kamu merasa perlu banget deket-deket sama Raka sekarang hanya karena dia jadi supervisormu, gitu?”Sarah menghela napas, merasa percuma menjelaskan, namun ia tetap mencoba untuk bersikap sopan. “Saya hanya menjalankan tugas, Mbak. Kita di sini profesional.”“Profesional?” Nadia mendengus. “Jangan sok polos, Sarah! Aku tahu banget tipe cewek sepertimu. Kamu pikir aku nggak sadar, ya? Selalu mendekat ke Raka, berusaha mencuri perhatiannya. Dan sekar
Sarah mengangguk. Air mata yang sedari tadi berusaha ditahannya kini jatuh membasahi pipi. Dengan tangan gemetar, ia berusaha menghapus jejak kesedihan itu. Tapi kata-kata Dini membuyarkan usahanya."Enggak, Ra. Kali ini aku enggak setuju," ujar Dini dengan tegas. Matanya menatap lurus ke arah Sarah, penuh kekhawatiran dan ketegasan yang jarang terlihat dari sahabatnya itu.Sarah menundukkan wajahnya, bahunya bergetar. Air matanya semakin deras mengalir, seolah membebaskan rasa sakit yang sudah lama tertahan di hati. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan isak yang nyaris pecah."Ternyata sakitnya begini ya, Din. Aku enggak sanggup," lirih Sarah akhirnya, suara pelannya nyaris tak terdengar.Dini tidak bisa berkata apa-apa. Ia segera mendekati Sarah dan memeluknya erat, memberikan kehangatan yang dibutuhkan sahabatnya itu. Dalam pelukan, Sarah hanya terisak, tanpa kata-kata, hanya suara tangisnya yang terdengar. Mereka diam cukup lama, membiarkan suasana mendukung proses penyemb
"Biarkan saja. Ini sudah malam. Seharusnya dia tahu diri," kata Raka dengan nada kesal, menatap layar ponselnya yang masih menyala.Namun, Sarah yang berada di sampingnya menggeleng pelan. Wajahnya menunjukkan rasa iba. "Angkat aja, Mas. Siapa tahu penting," ujarnya lembut.Raka mendesah panjang. Ia mengusap wajahnya dengan tangan sebelum akhirnya menekan tombol hijau untuk menerima panggilan itu. "Halo, ada apa?" tanyanya singkat, tanpa menyembunyikan nada tidak sabar dalam suaranya.Dari seberang telepon, suara lembut Nadia terdengar. "Aku cuma mau nanya kabarmu, Ka. Kamu kelihatan sibuk banget akhir-akhir ini. Aku khawatir."Raka mengerutkan kening, mencoba menahan emosinya. "Ini sudah malam, Nadia. Kalau nggak ada yang penting, lebih baik kita bicara besok saja."Ada jeda beberapa detik sebelum Nadia menjawab. "Maaf, aku nggak bermaksud mengganggu. Aku cuma... ya sudah, selamat malam, Ka."Raka memutus panggilan tanpa menambahkan sepatah kata pun. Ia meletakkan ponsel di meja deng
Sarah menarik napas panjang, mencoba mengendalikan detak jantungnya yang berdegup kencang. Tangannya masih memegang erat telepon, dan ia tahu bahwa jawaban yang akan diberikan harus terdengar meyakinkan.“Aku lagi di kafe sama Dini dan Lira, Mas,” katanya, mencoba terdengar santai meskipun perasaan gugup menyelimutinya.“Oh, kalau begitu, share loc aja ya. Biar Mas jemput kamu,” kata Raka dengan nada lembut di ujung telepon.Sarah menelan ludah, pikirannya berputar cepat mencari alasan. Ia melirik ke arah Dini dan Lira, yang hanya bisa memberinya pandangan penuh pengertian.“A-aku nanti dianterin Lira, Mas. Kami dijemput sama pacarnya Lira. Kita ketemuan di rumah sakit aja ya?” usul Sarah, berharap alasan itu cukup masuk akal.Ada jeda di telepon sebelum akhirnya Raka menjawab, “Oke. Kalau begitu, Mas tunggu kamu di sana. Jangan lama-lama ya, Sayang.”Telepon terputus, dan Sarah menghela napas panjang. Ia merasa lega tetapi juga tahu bahwa masalah sebenarnya belum selesai. Ia menatap
Sarah memeluk dirinya sendiri, tangisnya semakin tak tertahankan. “Tolong, Raf!” isaknya sambil memandang Rafly dengan mata memohon. Air mata mengalir deras di pipinya, membuatnya terlihat begitu rapuh.Dini mengangguk pelan, lalu merangkul Sarah. “Udah ya. Aku di sini buat kamu, Ra. Kamu nggak sendirian,” katanya lembut, mencoba menenangkan hati Sarah yang sedang hancur.Namun, Rafly berdiri mematung. Emosinya tak tertahan lagi. Dengan frustrasi, ia menendang angin dan melangkah cepat ke luar ruangan. “Aku nggak bisa terus-terusan kayak gini,” gumamnya sebelum pergi.Melihat itu, Lira segera mengejar Rafly. Ia menyusulnya di lorong dan menarik lengannya untuk berhenti. “Raf, tolong dengar aku!” katanya setengah memohon.“Apa lagi, Lira?” Rafly menoleh dengan wajah penuh kekesalan. “Dia terus menyiksa dirinya sendiri, dan kita cuma diem aja? Aku udah capek ngeliat dia kayak gitu!”
Sarah membuka matanya dengan pandangan yang berkunang-kunang. Suara gaduh di sekelilingnya mulai terdengar perlahan, dan rasa sakit di kepala membuatnya sulit menggerakkan tubuh. Pandangannya masih kabur saat ia mencoba mengenali sosok yang ada di dekatnya.“Kamu udah sadar, Ra?” suara itu terdengar tegas dan cemas. Begitu pandangan Sarah mulai fokus, ia terkejut melihat Rafly duduk di sampingnya.“Raf?” gumam Sarah lemah. Ia mencoba duduk, tapi tubuhnya terasa begitu lemah hingga Rafly harus membantunya.“Jangan terlalu banyak bergerak dulu. Kamu baru saja pingsan,” kata Rafly sambil menyodorkan segelas air putih.Sarah menerima gelas itu dan meminum seteguk kecil. Setelah meletakkan gelas, ia mencoba mencerna keadaannya. “Aku kenapa?” tanyanya pelan.“Kamu pingsan di koridor kampus. Untung saja ada Dini dan Lira. Mereka langsung cari bantuan,” jawab Rafly dengan nada serius.Sarah hanya mengangguk pelan, mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum tubuhnya ambruk. Namun, perkataan Ra
"Kenapa Mas diem aja? Kenapa Mas nggak melawan?" tanya Sarah bertubi-tubi.Namun, Raka hanya diam dan pasrah menerima perawatan luka yang diberikan oleh Sarah. Pria itu tahu bahwa dia pantas mendapatkan serangan dari Rafly."Mas??" gumam Sarah lagi setelah mengakhiri pengobatannya.Raka akhirnya menjawab, "Rafly benar. Seharusnya aku nggak menghadirkan luka baru di pernikahan kita.""Nggak usah dengerin Rafly ya. Dia nggak ngerti keadaannya gimana," balas Sarah, mencoba menenangkan meskipun hatinya sendiri terasa perih.
Sarah duduk di bangku taman kampus, memandangi deretan pepohonan yang bergoyang lembut tertiup angin. Buku catatan skripsi tergeletak di pangkuannya, tetapi pikirannya melayang jauh. Ia tidak menyangka bahwa pernikahannya yang dulu terasa seperti dongeng kini berubah menjadi mimpi buruk. Poligami? Kata itu terus terngiang di telinganya, membuat dadanya sesak."Ra, kamu baik-baik saja?" suara Dini membuyarkan lamunannya. Sahabatnya itu datang bersama Lira, membawa sebotol air mineral dan sekotak camilan. Wajah mereka penuh kekhawatiran.Sarah tersenyum tipis. "Aku baik-baik aja kok," jawabnya singkat, meski suaranya terdengar jauh dari meyakinkan."Jangan bohong! Kami tahu kamu sedang banyak pikiran," timpal Lira seraya duduk di sampingnya. "Apa benar yang kami dengar? Soal... Pak Raka yang mau nikah sama Bu Nadia?"Sarah hanya diam. Ia menunduk, menggenggam erat buku catatannya seolah itu bisa memberinya kekuatan. Dini dan Lira saling pandang, tetapi memi
“Aku senang dengarnya, Mas."Sarah berkata sambil mengulum senyum. Namun, Raka tahu bahwa istrinya itu hanya bersandiwara. Senyumnya tampak manis, tetapi matanya tidak bisa menyembunyikan kesakitan yang mendalam.Raka menghela napas panjang. Ia tidak tahu harus berkata apa. Akhirnya, ia melangkah mendekati Sarah dan memeluknya erat. "Aku tahu ini berat untukmu, Sayang," bisiknya. "Tapi aku terpaksa mengambil keputusan ini demi menyelamatkan perusahaan dan keluarga kita. Aku sangat mencintaimu, Sarah. Jangan pernah ragukan itu."Pelukan itu seolah menjadi tameng terakhir yang ia miliki untuk melindungi perasaan Sarah. Tapi istrinya tersebut hanya berdiri kaku di pelukannya, tidak membalas sama sekali. Di dalam hatinya, ia merasa dihantam badai. Kata-kata Raka tidak mampu mengobati luka yang ia rasakan.Setelah beberapa saat, Sarah perlahan melepaskan diri dari pelukan Raka. "Aku akan mencoba menerima, Mas," katanya pelan. "Asalkan kamu bahagia dan semua ini memang demi kebaikan bersama
Pagi ini matahari bersinar dengan cerah. Namun, keadaan sungguh berbanding terbalik dengan apa yang dirasakan oleh Sarah dan Raka sekarang. Keduanya makan dalam diam dengan pikiran yang penuh di dalam kepala."Kamu enggak ke kampus?" tanya Raka memecah keheningan yang tericipta di antara mereka. Matanya melihat sang istri masih belum juga bersiap-siap."Aku berangkat jam sepuluh. Masih lama. Mas duluan aja nemuin Mbak Nadia," jawab Sarah, berusaha terdengar biasa saja meskipun hatinya terasa berat.Raka memandang Sarah dengan tatapan penuh rasa bersalah. "Sayang?"Sarah mencoba tersenyum, meski senyumnya tidak mencapai matanya. "Aku enggak apa-apa, Mas. Aku mau beresin rumah dulu. Ntar siang kita ketemu di rumah sakit aja ya."Setelah berkata demikian, Sarah bangkit lalu berjalan menuju dapur. Ia menyibukkan diri dengan mencuci piring, namun pikirannya melayang ke percakapan tadi malam. Hatinya terasa semakin berat. Ia tahu bahwa keputusan yang mer