"Mas, kamu pulang terlambat lagi."
Suara Sarah terdengar pelan, hampir tenggelam dalam keheningan ruang tamu yang sepi. Dia duduk di sofa dengan tongkat tergeletak di samping. Wajahnya tampak lelah, matanya sayu menatap pintu yang baru saja terbuka. Di meja, hidangan makan malam yang sudah mulai dingin tersusun rapi dan masih tak tersentuh.
Raka masuk tanpa menoleh, hanya melemparkan tas kerjanya ke sofa. "Aku capek, Sarah. Jangan mulai lagi," katanya singkat, suaranya kering dan dingin, seolah dinding yang tebal memisahkan mereka berdua.
Sarah menggigit bibir, menahan perasaan yang terus mengusik hati. Matanya menatap punggung Raka yang bergerak menuju dapur, tak mempedulikan kehadirannya. Dia menarik napas panjang, berusaha meredakan sesak di yang kembali menyeruak di dalam dada.
"Aku hanya ingin tahu bagaimana harimu, Mas Raka," katanya pelan, hampir berbisik, seolah takut suara itu akan pecah jika dikeluarkan terlalu keras.
Langkah Raka terhenti sejenak, tetapi dia tidak berbalik. "Aku bekerja seharian untuk kita. Apa itu tidak cukup??"
Napas Sarah tercekat. Kata-kata itu begitu dingin dan memukul hatinya, mengoyak harapan yang tersisa. "Tentu, aku tahu," jawabnya dengan suara yang bergetar. "Tapi kita jarang bicara lagi..."
Raka mengabaikannya, melanjutkan langkahnya menuju dapur. Suara gelas yang beradu dengan meja terdengar, diikuti oleh langkah kaki yang mantap, kembali menghantam lantai kayu ruang tamu yang terasa semakin dingin.
Sarah menatap punggung suaminya yang semakin jauh, tenggelam dalam kesepian yang begitu pekat. Perlahan, dia mengulurkan tangan ke arah meja, merapikan serbet yang telah terlipat rapi, seolah itu satu-satunya cara untuk menenangkan diri dari rasa sakit yang perlahan menggerogoti.
Keheningan itu kemudian terpecah oleh suara yang lebih tajam, lebih kejam.
"Jangan buat Raka muak denganmu, Sarah! Kamu itu beruntung menikah dengan Raka, tahu?"
Sarah tersentak, tubuhnya gemetar saat menoleh. Rini, ibu tiri Raka berdiri di ambang pintu dengan senyuman sinis. Sepatu haknya beradu dengan lantai kayu, mendekati Sarah dengan aura penuh penghinaan.
"Apa maksud Ibu?" Sarah berusaha terdengar tegar, meskipun jantungnya berdetak kencang.
Rini mendekat, matanya menyapu tubuh Sarah dengan pandangan yang merendahkan. "Jangan berpura-pura polos," ucapnya tajam. "Lihat dirimu, Sarah. Siapa yang mau hidup dengan wanita pincang seperti kamu kalau bukan Raka?"
Perut Sarah terasa tercubit dan dia hanya bisa menunduk, menahan perih yang terasa menjalar ke seluruh tubuhnya. "Saya tahu kondisi saya, Bu. Tapi saya tetap berusaha..."
"Berusaha?" Rini tertawa kecil, penuh cemoohan. "Kamu bahkan tak bisa jalan dengan benar tanpa tongkat itu. Kamu pikir bisa jadi istri yang layak buat Raka? Ini adalah pernikahan jebakan bagi Raka."
Sarah mengepalkan tangannya erat, berusaha menahan amarah yang bercampur dengan rasa tak berdaya. Setiap kalimat yang keluar dari mulut Rini seperti duri yang menusuk jantung. Kata-kata itu selalu berhasil membuatnya merasa tidak berharga. Namun, malam ini kalimat barusan terasa lebih kejam dari biasanya.
"Mas Raka, aku..." Sarah mencoba berbicara ketika mendengar langkah kaki Raka kembali dari dapur. Suaminya muncul dengan gelas di tangan, wajahnya tetap datar, seolah tak mendengar percakapan yang baru terjadi. Mata Raka hanya menatap lurus ke depan, seakan keberadaan Sarah dan Rini hanyalah bayangan samar di ruangan itu.
"Aku mau tidur. Kita bicara besok." Kalimat itu meluncur dari mulutnya tanpa emosi, meninggalkan luka yang lebih dalam di hati Sarah.
Sarah hanya bisa terdiam, menatap punggung suaminya yang kembali menjauh, kali ini menuju kamar. Saat langkahnya menghilang, Rini mendekatkan wajahnya ke telinga Sarah dan berbisik dengan nada penuh ancaman, "Lihat saja, sebentar lagi dia pasti akan mencari perempuan yang lebih pantas darimu."
Tubuh Sarah menggigil mendengar kalimat itu. Keheningan kembali melingkupi ruangan, tetapi perasaan dingin dan sepi semakin merayap di kulitnya, merasuk hingga ke tulang. Sementara Rini meninggalkan ruangan dengan senyum puas di wajah, meninggalkan Sarah yang hanya bisa duduk, terdiam dengan pikiran yang terus berkecamuk.
Dengan kondisi tangan yang gemetaran, ingatan tentang kecelakaan hari itu kembali berputar di benaknya. Hari yang mengubah segalanya. Sang ayah meninggal dan dia harus menerima kenyataan hidup dengan keterbatasan fisik. Raka, pria yang dulu begitu hangat, menikahinya sebagai bentuk tanggung jawab—bukan cinta.
Raka tidak pernah benar-benar melihatnya lagi sejak saat itu. Tidak ada kehangatan, tidak ada kata-kata lembut. Yang ada hanya kewajiban yang terasa lebih seperti beban di pundak.
Malam itu terasa sangat panjang bagi Sarah. Dengan berat, dia mencoba bangkit dari sofa, meraih tongkatnya. Tapi saat dia hampir sampai di pintu kamar, sebuah suara dari meja ruang tamu menghentikan langkahnya. Ponsel Raka bergetar, layar menyala.
Nama yang muncul membuat jantung Sarah berhenti berdetak.
"Nadia..."
Nama yang dulu hanya menjadi cerita dari masa lalu, kini muncul lagi. Tertera jelas di layar ponsel suaminya. Rasa penasaran membuncah, tetapi diikuti oleh ketakutan yang mengikat tenggorokannya.
Dia perlahan meraih ponsel itu, jari-jarinya gemetar saat menggeser layar. Sebuah pesan kini terpampang jelas.
[Aku masih menunggumu di tempat biasa. Bagaimana kalau besok malam?]
Seketika Sarah merasakan dunianya runtuh.
Sarah merasakan tubuhnya melemas. Setiap kata di pesan itu terasa menghantam ulu hati. Ini lebih dari sekadar kecurigaan. Ia tahu Nadia adalah bagian dari masa lalu Raka, namun ia tak pernah menyangka Raka akan kembali bertemu dengannya setelah pernikahan mereka.Ketika langkah kaki Raka terdengar mendekat, Sarah buru-buru meletakkan ponsel itu kembali. Namun, pikirannya sudah dipenuhi dengan rasa sakit dan ketidakpastian. Sudah hampir seminggu Raka kembali pulang larut malam. Kali ini Sarah tidak lagi bertanya. Ada sesuatu yang sudah diputuskan dalam dirinya. Sebuah kerinduan, dan mungkin rasa sakit, yang kini ia simpan sendiri.Raka tampak tidak peduli. Bahkan ketika melihat meja makan yang kembali tertata rapi dengan hidangan yang belum disentuh, ia hanya melirik sekilas, lalu beranjak ke kamar.Sarah melangkah keluar rumah untuk mencari udara segar. Namun, begitu melihat ke luar halaman, ia melihat sebuah mobil berhenti tidak jauh dari rumah mereka. Ada seorang wanita
Hari-hari berlalu, dan Raka semakin sering pulang hampir dini hari. Setiap malam, Sarah menunggu dengan sabar, berharap suaminya itu setidaknya akan menyapa, atau bahkan sekadar bertanya. Namun, seiring waktu, rumah terasa semakin sunyi, hanya dihiasi langkah-langkah Raka yang langsung menuju kamar tanpa satu kata pun untuknya.Malam itu, Raka lagi-lagi tiba lewat tengah malam. Sarah duduk di ruang tamu, wajahnya tertunduk lesu menunggu suaminya yang tampak sibuk menanggalkan jas dan tas kerjanya tanpa menoleh.“Mas, bisa bicara sebentar?” tanya Sarah pelan, mencoba menguatkan suaranya yang hampir tenggelam.Raka berhenti sejenak, lalu menoleh dengan wajah lelah. “Apa lagi, Sarah?”“Aku cuma mau kita bisa ngobrol, Mas. Setidaknya aku ingin tahu apa yang sedang kamu rasakan. Ini sudah terlalu lama...” Sarah menelan ludah, mencoba menenangkan perasaannya.Raka mendesah, mengusap wajahnya. “Sarah, aku bekerja seharian. Jujur saja, aku lelah kalau tiap malam harus ngobrolin hal yang sama.
Raka terbangun oleh suara samar di lantai bawah, suara yang asing namun memanggil nalurinya untuk bangkit. Jam menunjukkan pukul 3 dini hari. Di rumah itu, hanya ada dirinya dan Sarah, tetapi malam ini terasa lebih sunyi dari biasanya, seolah ada sesuatu yang hilang tanpa suara.Ia turun perlahan, mendapati lampu ruang tamu masih menyala. Di meja ada secangkir teh yang sudah dingin, dan sebuah kotak kecil dengan secarik kertas tergeletak di sampingnya. Raka merasa dadanya berdebar tak nyaman.“Sarah?” panggilnya lirih. Namun, tak ada jawaban.Raka melangkah ke ruang tamu, melihat ke sekeliling, dan yang tersisa hanyalah kesunyian yang pekat. Dengan ragu, ia membuka kotak kecil itu. Di dalamnya, terdapat seutas kalung yang pernah ia berikan saat pertama kali mereka menikah. Sebuah simbol kecil yang selama ini mungkin tak bermakna baginya, tapi jelas menjadi sesuatu yang sangat berarti bagi Sarah. Dan di sebelahnya, terdapat secarik kertas dengan tulisan tangan Sarah.Raka menelan ludah
[Papa sudah tahu apa yang terjadi. Jangan sampai Sarah mengajukan tuntutan cerai ke pengadilan. Nama baik kita yang akan jadi taruhannya.]Raka terhenyak kaget saat membaca pesan itu. Dia merasa seolah ada bom waktu yang siap meledak kapan saja. Mungkin dia belum sepenuhnya menyesali kepergian Sarah, tetapi ancaman tuntutan cerai itu membuatnya merenung. Dia pun mengetikkan balasan dengan segera.Apakah semua ini akan berujung pada keruntuhan namanya? Raka tidak pernah berpikir jauh tentang dampak dari pernikahan yang tidak bahagia ini. Dia hanya ingin bebas dari perasaan bersalah yang menyelimutinya, dari rasa tak berdaya yang selalu mengikutinya ketika berada di dekat Sarah.“Ada apa?” tanya Nadia, temannya yang mulai dekat belakangan ini, saat mereka duduk bersama di kafe dekat kampus.“Eh, enggak. Aku hanya memikirkan banyak hal,” jawab Raka sambil berusaha tersenyum.Nadia mengamati wajahnya dengan cermat, seolah bisa merasakan ketegangan yang tersimpan di dalam diri Raka. “Kamu
“Sarah, kenapa kamu begini?”Istrinya itu malah terkekeh samar. “Maksud Anda? Bukankah selama ini kehadiran saya tidak perlu diketahui banyak orang. Anggaplah sekarang petemuan kita yang pertama.”“Sarah?”“Apa lagi, Pak? Jangan sampai orang-orang melihat kita.” Sarah menepis pelan tangan Raka yang hendak mencekalnya.Belum sempat Raka kembali bersuara, Nadia tiba-tiba muncul dari balik kerumunan. Wajahnya pucat dan matanya berbinar dengan kemarahan yang tak tertahan.Raka merasa jantungnya berdegup kencang melihat sang mantan kekasih melangkah maju, ekspresinya menunjukkan ketidakpuasan saat melihat interaksi Raka dengan Sarah. “Wah, siapa ini?”“Jangan membuat orang-orang menaruh curiga, Nadia.” Raka mencoba mengingatkan.“Oh, sungguh mengejutkan ternyata. Aku enggak nyangka ada perempuan cacat yang bisa lolos magang di sini,” ejek Nadia, nada suaranya penuh sarkasme.Wajah Raka memanas, keinginan untuk membela Sarah membara di dadanya. “Nadia, tolong jangan mulai lagi,” ujarnya, be