Share

Setelah Istriku Memilih Pergi
Setelah Istriku Memilih Pergi
Penulis: A mum to be

1. PERNIKAHAN JEBAKAN

"Mas, kamu pulang terlambat lagi."

Suara Sarah terdengar pelan, hampir tenggelam dalam keheningan ruang tamu yang sepi. Dia duduk di sofa dengan tongkat tergeletak di samping. Wajahnya tampak lelah, matanya sayu menatap pintu yang baru saja terbuka. Di meja, hidangan makan malam yang sudah mulai dingin tersusun rapi dan masih tak tersentuh.

Raka masuk tanpa menoleh, hanya melemparkan tas kerjanya ke sofa. "Aku capek, Sarah. Jangan mulai lagi," katanya singkat, suaranya kering dan dingin, seolah dinding yang tebal memisahkan mereka berdua.

Sarah menggigit bibir, menahan perasaan yang terus mengusik hati. Matanya menatap punggung Raka yang bergerak menuju dapur, tak mempedulikan kehadirannya. Dia menarik napas panjang, berusaha meredakan sesak di yang kembali menyeruak di dalam dada.

"Aku hanya ingin tahu bagaimana harimu, Mas Raka," katanya pelan, hampir berbisik, seolah takut suara itu akan pecah jika dikeluarkan terlalu keras.

Langkah Raka terhenti sejenak, tetapi dia tidak berbalik. "Aku bekerja seharian untuk kita. Apa itu tidak cukup??"

Napas Sarah tercekat. Kata-kata itu begitu dingin dan memukul hatinya, mengoyak harapan yang tersisa. "Tentu, aku tahu," jawabnya dengan suara yang bergetar. "Tapi kita jarang bicara lagi..."

Raka mengabaikannya, melanjutkan langkahnya menuju dapur. Suara gelas yang beradu dengan meja terdengar, diikuti oleh langkah kaki yang mantap, kembali menghantam lantai kayu ruang tamu yang terasa semakin dingin.

Sarah menatap punggung suaminya yang semakin jauh, tenggelam dalam kesepian yang begitu pekat. Perlahan, dia mengulurkan tangan ke arah meja, merapikan serbet yang telah terlipat rapi, seolah itu satu-satunya cara untuk menenangkan diri dari rasa sakit yang perlahan menggerogoti.

Keheningan itu kemudian terpecah oleh suara yang lebih tajam, lebih kejam.

"Jangan buat Raka muak denganmu, Sarah! Kamu itu beruntung menikah dengan Raka, tahu?"

Sarah tersentak, tubuhnya gemetar saat menoleh. Rini, ibu tiri Raka berdiri di ambang pintu dengan senyuman sinis. Sepatu haknya beradu dengan lantai kayu, mendekati Sarah dengan aura penuh penghinaan.

"Apa maksud Ibu?" Sarah berusaha terdengar tegar, meskipun jantungnya berdetak kencang.

Rini mendekat, matanya menyapu tubuh Sarah dengan pandangan yang merendahkan. "Jangan berpura-pura polos," ucapnya tajam. "Lihat dirimu, Sarah. Siapa yang mau hidup dengan wanita pincang seperti kamu kalau bukan Raka?"

Perut Sarah terasa tercubit dan dia hanya bisa menunduk, menahan perih yang terasa menjalar ke seluruh tubuhnya. "Saya tahu kondisi saya, Bu. Tapi saya tetap berusaha..."

"Berusaha?" Rini tertawa kecil, penuh cemoohan. "Kamu bahkan tak bisa jalan dengan benar tanpa tongkat itu. Kamu pikir bisa jadi istri yang layak buat Raka? Ini adalah pernikahan jebakan bagi Raka."

Sarah mengepalkan tangannya erat, berusaha menahan amarah yang bercampur dengan rasa tak berdaya. Setiap kalimat yang keluar dari mulut Rini seperti duri yang menusuk jantung. Kata-kata itu selalu berhasil membuatnya merasa tidak berharga. Namun, malam ini kalimat barusan terasa lebih kejam dari biasanya.

"Mas Raka, aku..." Sarah mencoba berbicara ketika mendengar langkah kaki Raka kembali dari dapur. Suaminya muncul dengan gelas di tangan, wajahnya tetap datar, seolah tak mendengar percakapan yang baru terjadi. Mata Raka hanya menatap lurus ke depan, seakan keberadaan Sarah dan Rini hanyalah bayangan samar di ruangan itu.

"Aku mau tidur. Kita bicara besok." Kalimat itu meluncur dari mulutnya tanpa emosi, meninggalkan luka yang lebih dalam di hati Sarah.

Sarah hanya bisa terdiam, menatap punggung suaminya yang kembali menjauh, kali ini menuju kamar. Saat langkahnya menghilang, Rini mendekatkan wajahnya ke telinga Sarah dan berbisik dengan nada penuh ancaman, "Lihat saja, sebentar lagi dia pasti akan mencari perempuan yang lebih pantas darimu."

Tubuh Sarah menggigil mendengar kalimat itu. Keheningan kembali melingkupi ruangan, tetapi perasaan dingin dan sepi semakin merayap di kulitnya, merasuk hingga ke tulang. Sementara Rini meninggalkan ruangan dengan senyum puas di wajah, meninggalkan Sarah yang hanya bisa duduk, terdiam dengan pikiran yang terus berkecamuk.

Dengan kondisi tangan yang gemetaran, ingatan tentang kecelakaan hari itu kembali berputar di benaknya. Hari yang mengubah segalanya. Sang ayah meninggal dan dia harus menerima kenyataan hidup dengan keterbatasan fisik. Raka, pria yang dulu begitu hangat, menikahinya sebagai bentuk tanggung jawab—bukan cinta.

Raka tidak pernah benar-benar melihatnya lagi sejak saat itu. Tidak ada kehangatan, tidak ada kata-kata lembut. Yang ada hanya kewajiban yang terasa lebih seperti beban di pundak.

Malam itu terasa sangat panjang bagi Sarah. Dengan berat, dia mencoba bangkit dari sofa, meraih tongkatnya. Tapi saat dia hampir sampai di pintu kamar, sebuah suara dari meja ruang tamu menghentikan langkahnya. Ponsel Raka bergetar, layar menyala.

Nama yang muncul membuat jantung Sarah berhenti berdetak.

"Nadia..."

Nama yang dulu hanya menjadi cerita dari masa lalu, kini muncul lagi. Tertera jelas di layar ponsel suaminya. Rasa penasaran membuncah, tetapi diikuti oleh ketakutan yang mengikat tenggorokannya.

Dia perlahan meraih ponsel itu, jari-jarinya gemetar saat menggeser layar. Sebuah pesan kini terpampang jelas.

[Aku masih menunggumu di tempat biasa. Bagaimana kalau besok malam?]

Seketika Sarah merasakan dunianya runtuh.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status