“Mbak kenapa tho berdarah-darah gini?” tanya pelayan yang tinggal di rumah. Ketika Rohmah dan temannya tiba di rumahnya. Wajahnya masih pucat, kedua perempuan itu masih shock berat. Bajunya masih ada bekas-bekas darah. Meskipun sudah dibersihkan di rumah sakit“Mbak Nyonya gimana Mbak? Sudah lahir anaknya?” tanya pelayan satu lagi.“Duh kalian diam dulu deh. Mending tuh kasih mereka minum biar hilang kagetnya!” ujar Ridwan.“Mbak Nyonya gimana?” tanya mereka ikut panik.“Selamat, sehat walafiat, dede bayinya juga sudah lahir!” ujar Ridwan sembari melempar tumbuhnya di sofa.“Terus kenapa mereka gitu?” tanya pelayan bernama Wati itu.“Ya merekalah bidannya. Anaknya nggak mau nunggu aku parkir mobil dulu, langsung luncur!” ujar Ridwan sambil cekikikan.“Ya Allah kok bisa gitu? Mbahk Rohmah dan Erni bisa memangnya?” Wati kaget bukan main.“Aduh Wati anaknya sudah keluar aku cuma sambut aja biar nggak jatuh ke bawah!” Rohmah kini sudah lebih tenang setelah minum air putih.“Selamat ya
“Papa comelnya adik bayi!” ujar Alifa setelah memperhatikan wajah bayi yang masih memerah di depannya.“Iya sayang, dulu kalian waktu bayi seperti adek juga!” ujar Angga tersenyum/“Nama dede bayi ini siapa?” tanya Alif.“Attar! Bagus kan Bang!” seru Angga.“Wah nama kita semua diawali huruf A. Alif, Alifa, Alesya dan Attar!” sahut Alifa dengan girang.“Iya dong. Kan Papa juga awalan huruf A!” seketika mereka tertawa.Alif mendekatkan mulutnya pada telinga sang adik. “Adik, cepatlah gede Abang nggak ada kawan di kamar!” bisik Alif.“Hei Abang apa tu bisik-bisik?” tanya Mahra.“Ini urusan cowok, cewek nggak perlu tahu!” sahut Alif spontan.“Yeahhh sombong amat yang punya kawan baru!” ujar Mahra sambil tertawa. Seisi ruangan pun tertawa.“Adik salam ya dari Eyang Kakung. Adik jumpa Eyang di rumah nanti!” kini Alifa yang berujar.“Kalian ada temuin Eyang tadi?” tanya Angga.“Iya, Pa.” sahut mereka bersamaan. Angga ingin sekali menunjukkan anak keempatnya pada sang ayah. Tapi, tidak memu
“Taraaaa! Welcome home sayang!” ujar Lira dengan semangat setelah membuka pintu.“Makasih Ma!” ujar Rea lalu masuk ke dalam rumah tersebut. Dia memperhatikan sekeliling. Rumah yang begitu rapi. Dan lumayan mewah. Ada banyak fotonya di sana. Lira sudah mencetak beberapa foto waktu dia kecil. “Ma itu aku waktu kecil?” tanya Rea menunjukkan foto bayi yang dipajang di dinding.“Iya dong. Mama nggak punya anak selain kamu!” ujarnya sambil memeluk putrinya.Rea tersenyum.“Ayo lihat kamar Rea!” ajak Lira. Kamar mereka berselang dengan dapur. Losmen Lira meskipun tidak begitu luas namun cukup mewah. Terdiri dari dua kamar dapur, ruang tamu. Dilengkapi dengan kamar mandi di masing-masing kamar. Serta dilengkapi dengan AC. Di ruang tamu ada tv yang besar berserta set sofa. Demikian juga dengan kedua kamar sudah lengkap dengan tempat tidur, lemari, meja belajar dan meja hias.Rea berdecak takjub. Akhirnya dia punya kamar sendiri. Di atas tempat tidur ada beberapa boneka yang lucu-lucu.“Ma kam
Begitu tiba di Bandung, Lira mengajak Rea ke ayah ibunya. Memang itu tujuannya ke kota tersebut. Mereka memakai baju hitam berserta hijab yang anggun menutupi kepala ibu beranak itu. Tidak lupa juga mereka buku yasin yang sengaja dibeli oleh Rea di toko buku.Begitu tiba di sana. Rea melihat nama yang tertera di pusara kakek neneknya. Meninggal tahun 1997. Itu artinya mereka meninggal hampir sebaya dengan ibunya. Berarti ibunya memang yatim piatu sejak kecil.Mereka yasin berbarengan.“Ma, Pa, ini Rea anakku. Satu-satunya keluarga yang aku punya saat ini!” ujarnya dengan raut sendu terpancar dari manik matanya. “Mama Papa datanglah walau dalam mimpi kami satupun tidak mengenal wajah kalian!”Rea menepuk pelan pundak sang ibu. Dulu saat di panti dia pernah berpikir. Jika orang tuanya sudah meninggal. Dimana makam mereka, begitulah yang timbul dalam benak Rea kecil. Namun, kata-kata ibunya Jeni membuat dia kehilangan semangat. Bahwa ibunya hanya seorang pelac*r. Kata pelac*r selalu mem
Sepanjang perjalanan pulang, suasana di dalam mobil begitu hening. Lira sibuk dengan pikirannya sedangkan Rea tertidur pulas.“Apakah dia serius ngajak aku nikah?” Lira membatin. Bayang-bayang Refans muncul di benaknya. “Apa dia sudah move on dari Mahra?”Lira terbayang obrolan mereka tempo hari.“Aku juga sedang memulai hidup baru, Ra. Percuma terlalu lama aku mengharapkan Mahra. Semakin ke sini. Semakin tidak mungkin dia kembali padaku!” ucap Refans. “Ya, aku sadar siapa aku. Dan Siapa Angga. Bukan Cuma karena hartanya. Angga jauh lebih baik dariku! Barangkali Tuhan ingin menghukumku agar bisa menghargai siapapun yang hadir dalam hidupku!”“Iya, Fan. Aku pun demikian. Aku akan memulai hidup baru dnegan anakku. Setidaknya aku punya dia. Meskipun orang menganggap dia anak haram. Tapi, dia satu-satunya alasan aku hidup dan berubah. Karena aku ingin jadi ibu yang baik untuknya!” sahut Lira.Refans menatap Lira lebih intens. Tidak ada lagi keangkuhan percikan keangkuhan di dalam sana. Ba
Di kediaman Refans. Lira dan Refans melangsungkan akad nikah. Tidak ada keluarga yang bisa dia ajak selain Si Mbok dan Rea. Keputusan dia menikah dengan Refans sudah mantap. Ketika putrinya menyetujui.“Mama butuh teman yang menjaga Mama! Karena aku masih harus menyelesaiakan pendidikan di Aceh!” jelas putri kecilnya.Dan baru kali ini pula. Ada laki-laki yang terlihat begitu serius mengajak menikah. Seumur-umur Lira belum mendapatkan cinta laki-laki yang tulus mencintainya.“Fans, kamu tahu selama aku hidup. Belum ada satupun laki-laki yang mencintaiku dengan tulus!” ucapnya dengan mata berembun. Saat itu Refans baru saja mengungkapkan perasaaannya.Refans terdiam.“Dulu aku pikir Papa adalah orang yang mencintaiku. Karena aku anak perempuan satu-satunya. Rupanya salah Papa hanya orang yang memanfaatkan keyatimanku. Lalu Mas Angga, orang yang menikahiku secara terpaksa. Bahkan dia tidak pernah menyentuhku!”Matanya berembun.“Aku kini akan mencintaimu setulus hati, Ra. Percayalah!” uc
Akikah baby Attar siap digelar. Rumah mewah Angga sudah dihias sedemikian rupa. Papan bunga berjejer di sepanjang jalan. Tenda-tenda besar dipasang di halaman luas itu. Ada banyak meja dan makanan terhidang di sana. Ada dua pentas besar yang akan menampilkan group-group zikir di sana. Angga sengaja mengundang orang dayah-dayah besar untuk membaca zikir berzanji di akikah anak ke empatnya.Undangan disebar luas tanpa batas. Jamal dan Akmal termasuk orang paling berperan di sana. Setiap kali ada akikah keponakan mereka. Kedua kakak beradik itu selalu menjadi coordinator acara yang paling dipercaya.“Bang semoga Mahra tidak lagi melahirkan ketika kita sudah berusia lima puluhntahun nanti! Nggak sanggup lagi aku Bang menghandle acara sebesar ini!” keluh Akmal saat mereka harus mencari sepuluh ekor sapi.“Lho abang memang sudah mendekati lima puluh ni!” Jamal membawa mobil sambil cekikikan.“Ah kita cuma beda tiga tahun lho!” gelak Akmal. Wajah tampan mereka mulai menua perlahan menuju ke
“Rea belajar yang rajin ya. Papa dan Mama janji akan sering jenguk Rea di sini!” ujar Refans sembari memegang kedua tangan sang putri. Iya, putri. Meskipun tidak secara syariat. Tapi, dia adalah ayah biologisnya Rea. Karena berdasarkan tes DNA . Sembilan puluh Sembilan persen Rea anaknya Refans. Terserah orang menganggap itu anak haram. Seperti halnya Lira. Baginya Rea adalah harta yang paling berharga.“Iya, Pa. Aku janji akan lebih giat lagi belajar!” sahut Rea sambil tersenyum. Refans memeluk putrinya.Kini bergantian dengan Lira yang melakukan hal yang sama. Setelah menikmati hidangan di rumah Angga. Meskipun mereka tidak benar-benar menikmati. Refans dan Lira ingin segera balik ke Bandung.Mereka segera menaiki taksi online. Dan kini Rea berdiri dengan Alika di pintu gerbang menatap taksi yang membawa orang tua Rea lenyap di hadapan mereka.“Dek kamu sekarang enak banget. Sudah tahu pulang kemana?” imbuh Alika perempuan enam belas tahun itu.“Aku tidak menyangka, akan memiliki me