Share

Setelah Hujan Bulan Desember
Setelah Hujan Bulan Desember
Author: devarisma

Broke

Author: devarisma
last update Last Updated: 2024-06-07 17:14:10

Suara sendok bertemu piring memecahkan keheningan di ruang makan. Di sana hanya diisi oleh dua sejoli. Tidak ada pembicaraan sama sekali yang keluar dari bibir mereka. Refans berusaha menyiapkan sarapannya. Sedangkan Mahra, hanya tenggelam dalam pikirannya sendiri.

 Bagaimana dia memulai pembicaraan untuk menghangatkan suasana pagi itu. Setelah berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan, Refans tidak pernah menyantap masakannya. Dia berpikir keras, apa yang sepatutnya dia tanya. Agar mendapat sambutan hangat dari sang suami.

Mahra mencuri-curi perhatian, memperhatikan wajah Refans. Dia masih tetap tampan seperti dulu. Jam tangan rolex  masih melingkar pergelangan tangannya. Jam tangan itu hadiah  dari Mahra dua tahun yang lalu. Hadiah yang dipesan langsung dari Jerman. Refans senang diberikan hadiah berupa barang-barang mewah. Tapi, ada satu yang telah berbeda. Suaminya sudah tidak pernah tersenyum untuknya lagi. Mahra rindu, segaris senyum yang merekah di bibirnya.

“Apakabar di kantor, Abang?” sepotong kalimat meloncat lembut dari lisan Mahra.

Sekilas Refans menatap istrinya. Lalu melanjutkan makan. Dia seperti tak berminat  menjawab pertanyaan tersebut. Mahra terpaku, masih menunggu jawaban Refans. Hatinya ciut, dia berpikir bahwa  pertanyaannya  kurang menarik. Dia kembali menyusun kata-kata.

“Nanti malam mau Mahra masakin apa?” Mahra kembali melontarkan beberapa kata. Tanpa menunggu jawaban Refans, Mahra terus bertanya, “ Bebek bakar, udang tumis atau sayur asam?”

Refans sejenak menghentikan sendoknya. Lalu menjawab pertanyaan istrinya, “ Suka hati kau,” hanya itu. Dia bahkan tak berminat menatap istrinya sekejap saja. Mahra gagal mengajak suaminya berbicara. Mahra terpekur mengulum sakit.

Notif pesan meuncul di layar ponsel

Refans. Laki-laki itu tergesa-gesa meminum teh daun mint kesukaannya. Jemarinya menyempatkan menyapu touchscreen. Sebuah suara menggelegar di balik telpon pintar itu.

Refans, minggu depan pulang ke rumah. Ada acara keluarga semacam syukuran di rumah Tante Mei. Kamu tidak usah bawa pulang istrimu yang mandul itu.  Buat Mama malu aja nanti, kalau orang-orang nanyain cucu.

Mahra mendengar dengan jelas  pesan suara dari mertuanya. Hatinya perih, mendengar kata-kata, ‘Mandul’ dan ‘buat Mama malu’ adalah dua kata-kata yang membuat batinnya tersayat pisau yang tumpul. Cukup sakit, dia menahan gejolak batinnya yang meronta kesakitan. Sebutir air membuat netranya mengaburkan pandangan. Entah berpuluh kali sudah mertuanya menghinanya gara-gara mandul.

“Kau dengar? Mamaku menanggung malu karena kau mandul!” bentak Refans.

Mahra tertunduk dalam. terdiam, air mata terus mengalir deras membasahi wajah putih.

“Nangis, cuma itu yang kau bisa!” Tangan Refans memukul meja makan dengan keras. Amarahnya meluap lagi. Mahra makin terisak. Ingin membela diri tapi lidahnya kelu. Dia bagai kehilangan kata-kata.

“Dasar perempuan pembawa sial!” bisik Refans lalu mendorong kepala istrinya dengan telunjuk. Mahra masih terpaku. Matanya terus basah. Tumpahan rasa yang meledak-ledak. Bahunya berguncang hebat. Hatinya sangat sakit terhadap perlakuan suaminya.

“Kau! Memang betina tak guna,” ucapnya pelan tapi menusuk ke hati yang terdalam. Telunjuk besar Refans kembali mendorong kepala Mahra hingga mundur ke belakang beberapa centi. Dia masih menatap istrinya dengan bengis.

Mahra tak bergeming, dia hanya berusaha sesabar mungkin. Dengan sikap Refans yang kasar. Dia tidak ingin menambah level amarah sang suami. Berharap dengan diam menahan perihnya ulu hati bagai dicabik-cabik paruh elang. Akan membuat Refans lekas membaik memperlakukannya seperti dulu.

“Aku bukan kupu-kupu malam yang dikutip di ujung jalan, Bang?”lirihnya dalam hati.

Lagi dan lagi Mahra hanya berujar dalam hati. Mendiskusi dengan diri sendiri. Bagaimana meladeni sikap Refans yang masih menatapnya dalam jarak yang sangat dekat. Jarak yang membuatnya bagai melebur lalu menyisakan serpihan luka.

“Kenapa diam? kau masih mau menyangkal, bahwa kau memang tak guna. Hah!” bentak Refans lagi lebih keras.

Mahra tidak bisa lagi menahan gejolak rasa kecewanya. Sebutir air bening menembus kelopak mata. Menuruni wajahnya yang putih. Dia menunduk, hendak menyembunyikan tangisnya yang telah pecah. Tapi, sia-sia, bulir bening itu telanjur mendarat di pipinya.

“Sudah empat tahun, Mahra. Orang-orang yang menikah sebaya dengan kita sudah hampir punya anak dua. Tapi, kita mana? Jika hanya untuk menemaniku tidur. Aku bisa mencari di luar sana,” sembur Refans lagi. 

“Abang, aku sudah…” ucapannya langsung terpotong.

 “Sudah apa? Sudah cukup membuat aku menyesal menikahimu, hah!” potongannya dengan cepat.

Lalu dia beranjak meninggalkannya sendirian. Dia menatap punggung sang suami yang menghilang di balik daun pintu. Raga yang dulunya memujinya, menyayangi tanpa cela. Mahra memeluk lutut. Duduk tergugu di atas ranjang yang empuk.  Hatinya pecah, berdarah. Berbagai rasa kecewa berkecamuk dalam dirinya. Bagaimana bisa dia melawan takdir. Jika di usia pernikahan sudah empat tahun tapi belum bisa memberikan suaminya keturunan. 

“Siapa aku yang bisa mempercepat takdir?” lirihnya seorang diri.

Takdir jodoh, rezeki, maut semuanya misteri Tuhan. Tidak ada yang pernah tahu kapan Tuhan mempertemukan dengan jodohnya. Memberikan mereka keturunan. Juga memberikan rezeki yang berkecukupan. Mahra hanya bisa bersabar, menghadapi suami yang semakin tak menghargainya lagi.

**

 Saat keluar dari supermarket tepat di parkiran. Dia tak sengaja mendengar obrolan seseorang berbicara lewat telepon. Mahra menoleh ke samping. Terlihat seorang lelaki gempar duduk  di dalam mobil jep dengan posisi pintu terbuka.

“Refans Nasution, pemilik perusahaan JJ Nugraha kan Bos,” ucap laki-laki itu.

Mahra semakin merapatkan telinganya ke arah laki-laki itu.

“Siap, Bos. Besok saat jam makan siang kita habisi dia. karena biasanya dia keluar jam makan siang.”

Laki-laki itu pun menutup teleponnya, lalu melajukan mobilnya.

Mahra membekap mulutnya. Yang dia dengar jelas sekali. Suaminya dalam bahaya. Dia harus segera memberi  tahunya.  Mahra langsung memutar arah. mengendarai mobil dengan laju cepat. Membelah jalan yang basah karena hujan di penghujung tahun.

Begitu tiba di depan meja resepsionis. Dua perempuan di sana mencoba menyapanya. Dia langsung berpapasan dengan asisten pribadi suaminya.

“Fani, Bapak ada?” tanya Mahra.

“Ada Bu di ruangnya,” jelas perempuan tersebut sambil tersenyum ramah.

“Sedang tidak sibuk kan?”seru Mahra lagi.

“Oh, nggak Bu, masuk aja.”  Fani mempersilahkan istri bosnya.

“Terima kasih, “ Mahra segera beranjak menuju lift.

Mahra mengetuk pintu sang suami. 

“Siapa? Silahkan masuk?” terdengar suara dari dalam.

Mahra masuk dengan raut panik melihat sang suami yang sedang duduk di kursi kebesarannya.

“Kamu?” Refans lansung bangkit dari duduknya.

“Abang Mahra ke sini ada yang ingin disampaikan,” ujar Mahra sambil hendak menyalaminya.

“Pulang sekarang aku lagi sibuk!” Refans berbicara dengan suara datar dan tegas.

“Abang dengerin Mahra dulu!” pinta Mahra.

“Pulang sana!” teriaknya sambil menunjuk ke pintu.

“Abang tolong dengarin ….”

“Keluar!” teriak Refans lebih besar.

Mahra akhirnya pun pergi dengan hati kecewa.

Related chapters

  • Setelah Hujan Bulan Desember   Talak

    “Sudah waktunya makan siang?” gumannya seorang diri.Mahra langsung fokus pada Refans yang keluar dengan terburu-buru. Lalu menancap gas mobilnya keluar dari perkarangan kantor. Berselang beberapa saat, dua buah mobil jep dan ssatu mobil Hammer seakan mengekori sang suami. Mahra segera mengekori mereka dengan perasaan cemas.“Ya Tuhan lindungilah suamiku!” ucapnya berkali-kali.Mobil Refans terus melaju. Bukan ke rumah makan yang biasa di datanginya tapi jauh ke arah jalan lain. Mobil terus melaju di bawah rinai hujan bulan Desember.“Apakah Bang Refans nggak sadar kalau ada yang ngikutin dia?” pikir Mahra.Mahra berada di paling belakang. Setelah setengah jam, Refans masuk ke sebuah rumah mewah dengan gaya minimalis. “Itu rumah siapa?” Pikir Mahra. “Kok Bang Refans punya kuncinya juga?” Sembilan laki-laki kekar keluar dari mobil mereka. Seorang lelaki dengan postur cukup tinggi. Kulitnya nampak mencolok dari kedelapan pengawalnya. Dia mengenakan kemeja putih lengannya digulung samp

    Last Updated : 2024-06-07
  • Setelah Hujan Bulan Desember   Pergi

    Setelah subuh Mahra, memasak nasi goreng kesukaan Refans. Memasak untuk terakhir kalinya.“Semoga Bang Refans mau makan masakanku ini!” ujarnya. Dia sudah tidak menangis lagi. Hatinya sudah ikhlas menerima perpisahan dengan Refans.Perempuan yang baru saja genap 29 tahun usianya september lalu, mengemaskan semua barang-barangnya. Di kamar megah Refans dia tidak meninggalkan sepotong bajupun. Karena sudah bukan lagi suami istri. Mahra tidur di kamar belakang yang kosong. Dia tidak menanti lagi kepulangan Refans.Jam tujuh dini hari rumah sudah rapi. Baju-baju kotor Refans sudah dicuci. Sarapan sudah tersedia di atasa meja. Mahra hanya meneguk segelas susu dan memakan sepotong roti. Dia tidak nafsu makan. Entah karena hatinya yang masih terasa pilu. Semalaman dia bersimbah dia atas mihrab. Mengadukan nasipnya yang malang pada Tuhan. Setelah memesan taksi online dia hendak membawa kopernya ke depan rumah. Sengaja tidak pamit lagi pada Refans. Perasaannya yang kini tercabik-cabik. Akan b

    Last Updated : 2024-06-07
  • Setelah Hujan Bulan Desember   Kabar Buruk

    Setelah berpuluh kali membolak balik benda pipih itu. Tangannya gemetar, hatinya bergemuruh. Kabar yang di bawanya tentu bukan kabar baik untuk keluarganya. Tapi kini langit Jakarta sudah lepas dari pandangannya. Dia hampir mendarat di Kuala Namu. Tapi, dia belum berani menghubungi orang tuanya. Tentu menjadi boomerang tersendiri. Mahra dan Refans sudah tidak pernah pulang hampir dua tahun. Tiba-tiba pulang tanpa bersuami. Perempuan 27 tahun itu menghembus napas kasar. Hatinya tak menentu. Tapi, sejak talak menjulur begitu saja dari mulut Refans. Hanya satu yang ingin dia lakukan. Memeluk sang ibu. Dia sangat merindukan dekapan hangat itu. Dekapan tulus tanpa karena. Entahlah, apapun yang terjadi dia akan segera sampai ke kota kelahirannya. Mau tidak mau dia harus segera menghubungi keluarganya.“Mak, Mahra sudah di Bandara Kuala Namu. Sebentar lagi sampai Banda. Jemput Mahra ya, Mak?” sebuah pesan mendarat di telpon selule Meilinda. Sang Ibu terkejut bukan main. Berulang kali perem

    Last Updated : 2024-06-07
  • Setelah Hujan Bulan Desember   Maaf

    Di ruang kerjanya yang bertingkat, Angga merebahkan punggung ke sofa. Badannya bagai dicengkram oleh sesuatu yang berat. Sedangkan hatinya terasa mengembun sesuatu yang membuatnya ngilu. Kenapa primadona hatinya yang tiba-tiba muncul di hari sangat kurang tepat. Belum lagi, Angga sendiri menjadi dalang atas berakhirnya rumah tangga Mahra si Nona Aceh itu.Angga menatap langit-langit yang abu-abu. Membayangkan hancurnya hati Mahra terhadap sikap Refans. Dia menggigit gerahamnya, geram. Laki-laki jakung itu sangat benci kepada lelaki yang suka mempermainkan hati wanita. Apalagi wanita baik-baik seperti Asyuratul Nadia Mahra.Angga berlari kecil, wajahnya gelisah. Tanpa berbicara sepatahpun dengan orang kantornya, dia keluar kantor hendak mencari Mahra. Dengan perlahan dia memutar pedal mobil hingga mendekati pagar rumah yang terbilang mewah. Senyap, tidak ada tanda-tanda keberadaan orang di dalam sana, hatinya berkecamuk. Kemana Mahra? Sudah dua kali dia ke rumah itu. Baru beberapa hari

    Last Updated : 2024-06-07
  • Setelah Hujan Bulan Desember   Hamil

    “Ini pasti salah! Aku nggak mungkin hamil!” guman Lira seorang diri di kamar mandi. Dia baru saja melakukan tes pack.“Tapi, ini garis dua lho!” ujarnya lagi sembari melihat lebih jelas pada benda di tangannya.“Ya Tuhan, ini gawat!” dia terus memperhatikan alat tersebut. Sangat jelas di sana, dua garis merah muncul cukup kentara.Lira segera mengecek kalender.“Yah, aku udah telat dua bulan!” dia seraya menutup mulutnya.Bayang-bayang hubungannya dengan Refans.“Ini pasti anak Refans?” pikirnya lagi. “Mana mungkin anak Mas Angga. Dia bahkan setahun menikah tidak pernah menyentuhku!”“Tapi bener nggak sih anak Refans?” Lira nelansa. Karena seingatnya, juga pernah dugem beberapa kali hingga ke menghabiskan malam panjang dengan laki-laki tersebut.Dia menatap nanar ke jendela yang terbuka. Menautkan alisnya, berpikir keras, kemana harus diminta pertanggung jawabkan kehamilannya. Angga tidak sebodoh itu, jika harys rujuk lagi dengannya hanya karena dia hamil.Kehidupannya sangat kacau. K

    Last Updated : 2024-06-13
  • Setelah Hujan Bulan Desember   Kenyataan

    “Papa tidak mau tahu, kamu harus mencari investor baru untuk perusahaan kita!” tegas Yatma.Lira nampak ciut, bukan mudah mencari investor sekelas Angga. “Itu semua gara-gara kelakuan bodohmu. Sudah punya suami ganteng-ganteng kaya lagi masih aja selingkuh! Dasar bodoh!” umpat Maria ibunya Lira. Mereka sangat kesal dengan sikap putri mereka yang menimbulkan kerugian besar. Perlu diketahui bahwa pernikahan Lira dan Angga merupakan pernikahan bisnis Antara Yatma dan Muhar.“Angga itu di…”“Stop, Papa tidak mau dengar ocehanmu.” Yatma pergi dari ruang tamu menuju ruang kerjanya. Dia sangat frustasi mengingat keadaan perusahaan yang diambang kebangkrutan.“Kamu memang anak tidak tahu diuntung, bisanya Cuma buat orang kesusahan saja.” Maria menatapnya tajam, lalu meninggalkannya seorang diri.“Ah sialan. Ini semua gara-gara Angga. Kenapa pula dia harus menceraikanku? Tapi, Refans juga harus bertanggung jawab dia telah memutar balik semua ini.” Lira bergumam sendiri.“Arrrrgh sialan. Seka

    Last Updated : 2024-06-13
  • Setelah Hujan Bulan Desember   Ancaman

    “Kenapa aku tidak menemui Papa mertuaku. Bukankah dia sangat menyayangiku! Aku akan membujuknya. Tentu dia sangat senang jika tahu kalau aku hamil! May bee?” pikir Lira di tengah hatinya yang sangat buruk. Lira segera memutar arah ke rumah mantan ayah mertuanya.Bunyi klakson bertalu-talu, membuat satpam pun mendongak di sana.“Ada apa?” ujar Joko dengan ketus.Lira sangat kesal dengan sikap Joko seakan dia tamu tak dikenal.“Heh Joko buka pintu jangan songong begitu lo! Lo cuma satpam di sini!” sembur Lira dengan kesal.“Maaf Tuan Angga sudah meningatkan saya untuk tidak membuka pintu jika ada yang datang bernama Lira.” Joko bersikap seakan tidak mengenali Lira.“Woi sialan lo bajingan. Buka nggak! Gue tabrak ni!” teriak Lira lagi sehingga dia adu mulut dengan Joko yang ngotot tidak mau buka. Keributan itu di dengar Muhar. Dengan pelan-pelan dia mendekati pintu. Joko segera berlari menuju Muhar yang duduk di atas kursi roda.“Siapa yang datang?” tanya Muhar dengan lembut.“Itu Tuan,

    Last Updated : 2024-06-13
  • Setelah Hujan Bulan Desember   Sahabat

    Sepagi itu, jam 6:45 WIB. Cika sudah menjadi salah satu orang pemburu waktu di jantung Kota Jakarta. Karena diprediksinya, hari senin akan lebih macet dari biasanya. Sedangkan dia harus sampai ke kantor penerbit lebih cepat pada hari tersebut. Keadaan Kota metropolitan ini benar-benar menyesakkan napas. Untuk orang-orang yang memiliki prinsip on time seperti Cika. Kedisplinan waktu baginya, merupakan anak tangga pertama yang harus diinjak oleh orang-orang yang berharap sukses dalam karirnya.Selepas tamat SMA. Perempuan berdarah Manado tersebut hanya ingin kuliah. Agar bisa mengangkat derajat kelas status sosialnya yang lebih baik. Di awal-awal berada di kota Jakarta tersebut. Tidak lantas membuatnya hanya menunggu kiriman orang tuanya, yang hanya petani biasa. Lima belas hari, setelah diterima di kampus swasta tersebut. Dia bekerja paruh waktu disebuah rumah makan sebagai tukang cuci. Tidak begitu besar, hanya menerima lima ribu per jam kerjanya.Rumah makan yang menerima Cika bekerj

    Last Updated : 2024-06-14

Latest chapter

  • Setelah Hujan Bulan Desember   Kebiasaan Lama

    Sudah dua jam, Mahra duduk di depan laptop. Menulis sebuah artikel. Selama beberapa tahun terakhir, dia membangun sebuah blogger parenting. Cukup berpenghasilan dan maju. Mahra sudah lama tidak menulis buku, karena anak-anaknya masih balita. Dia tidak ingin anak-anaknya kekurangan kasih sayangnya. Membangun blogger tidak begitu sulit dan menguras waktunya. Setidaknya dia masih menulis setiap 3 atau 2 kali seminggu.Dia menyisihkan sedikit waktu ketika putranya tidur atau bermain dengan orang lain. Seperti malam ini karena putra bungsunya sedang asyik bermain dengan Angga. Angga nampak piawai bermain dengan si bungsu yang baru bisa berdiri, bahkan sesekali sudah bisa mengangkat langkah dengan gemetar. Sedangkan ketiga anaknya lagi sedang belajar mengaji di mushalla rumahnya. Angga sengaja memanggil orang ke rumah. Ketiga anak itu punya guru yang berbeda. Berdasarkan tingkatan mereka belajar.Si kembar sudah belajar kitab kuning dan fasahah alquran. Sedangkan Alesya masih di iqra’. Sese

  • Setelah Hujan Bulan Desember   Hadiah Rumah

    Proses lamaran Yatim berlangsung sempurna. Keesokannya, juga dilangsung lamaran abangnya. Mahra sangat senang menjadi bagian menyukseskan acara tersebut. Angga sudah memastikan tidak sesi foto bersama mereka. Karena takut tersebar di sosial media. Karena sosok istrinya cukup popular untuk masyarakat di aceh Besar dan Banda Aceh. Sangat sering, tiba-tiba Mahra diajak berfoto di tempat keramaian.“Nggak terasa Mas, kita sudah tua!” ujar Mahra saat pulang dari acara tersebut. Pikirannya melayang, saat menerima kedua anak yatim piatu tersebut. Kini mereka menjelma laki-laki yang gagah melamar gadis pujaan mereka. Keadaan ekonomi mereka terbilang sukses. Mereka punya usaha kelontong, dan air isi ulang di depan yayasan. Selain itu mereka juga mendapatkan pekerjaan di yayasan sebagai dewan guru.“Kira-kira apa hadiah yang cocok untuk mereka?” tanya Angga sembari menggemgam tangan sang istri.“Mahra mereka sudah cukup Mas, usaha juga sudah punya!” sambung Mahra.“Bagaimana kalau kita hadiahka

  • Setelah Hujan Bulan Desember   Riana

    “Siapa sih baik banget mau bakar rumah itu?” tanya Randi setelah mereka di dalam mobil.“Entahlah, aku juga bingung!” Bian merebahkan tubuhnya. Randi terus membanting setir dengan cepat. Harap-harap segera bisa membawa Bian jauh dari Meri dan Rena. Bisa saja kedua perempuan itu kembali meminta Randi menikah dengan anak mereka yang gila.“Kita kemana bos?” tanya Randi.“Ke Bandung!” sahut Bian.“Bandung?” Randi menoleh sejenak.“Istri dan anakku sekarang di Bandung. Aku akan meminta pada Riana untuk bersembunyi di sana sebentar,” jelas Bian.“Oh oke bos.”Bian rasanya tidak sabar untuk sampai ke sana bertemu anak istri. Memeluk dan mencium mereka. Padahal baru tadi pagi mereka berpisah.Sedangkan di kediaman Meri. Semua orang kocar-kacir, tim pemadam kebaran sudah tiba. Polisinya juga sudah tiba. Tidak ada korban, tapi, Meri rugi jutaan rupiah. Banyak perabotannya yang rusak. Dia perlu uang renovasi sekitar dua ratus juga demi kembali merehap rumahnya.“Astaga Ren, aku nggak habis pik

  • Setelah Hujan Bulan Desember   Yatim Dan Yatam Anak Sulung Mahra

    Angga memastikan kalau bertamu adalah Yatim dan Yatam. Kedua laki-laki adik beradik itu duduk dengan sopan di depan istrinya. Bukan mudah masuk ke dalam rumah putih megah itu sekarang. Bahkan sekalipun orang-orang terdekat, mereka akan diperiksa dengan detail. Itu semua dilakukan Angga demi keselamatan anak istrinya. Laki-laki itu bernapas lega setelah melihat mereka.Begitu melihat Angga, mereka seraya bangun dan menyalami suami dari bunda mereka itu.“Sudah lama?” tanya Angga basa-basi setelah duduk berhadapan mereka.“Belum Mas. Tuh minum aja belum tiba!” jelas Mahra. Dia tidak sabar ingin mengatakan kedatangan mereka. “Mas lihat anakku yang tertua sudah mau nikah aja!”Angga menaikkan alisnya, seulas senyum kaget tercipta di sana.“Masha Allah, maaf ya Yatim Yatam. Selama ini, saya benar-benar sibuk sampai tidak sempat mampir-mampir ke tempat kalian. Dan juga maaf banget, sesusah itu sekarang kalian masuk ke sini bertemu bunda kalian ini!” jelas Angga.“Iya, Pak. Nggak apa-apa. K

  • Setelah Hujan Bulan Desember   Masih Siaga

    Kepergian sang ayah, membuat Angga merasa ada ruang dihatinya yang kosong. Tidak ada lagi tempat dia bercerita tentang keluh kesahnya dalam mengelola perusahaanya yang besar. Mahra sering melihat suaminya berlama-lama di kamar ayahnya hingga tertidur. Dia pun mengalami kenyataan pahit, kehilangan mertua yang sangat mencintainya.Mahra masih terngiang. Tepat beberapa hari yang lalu saat Mahra menyuapkan makan siang untuk sang mertua.“Mahra!” panggil Pak Muhar dengan lemas.“Terima kasih!” tambahnya detik kemudian.Mahra menautkan alisnya.“Kenapa ayah?” tanya Mahra bingung.“Terima kasih sudah hadir dalam hidup ayah. Memberikan ayah cucu! Dan teman hidup untuk angga!” jelasnya lagi suaranya sudah sangat lemas.“Mahra yang bersyukur ayah. Mahra beruntung memiliki Mas Angga!” ucapnya setelah memotong telur rebus untuk disuap.“Mahra, sebelum menikah Angga hanya punya ayah seorang keluarga intinya. Sekarang ayah bisa melihat kebahagiaanya!” tambah Pak Muhar.Mahra tersenyum. “Semoga Mah

  • Setelah Hujan Bulan Desember   Pergi Untuk Selamanya

    Masih seperti dua puluh tahun yang lalu. Sesibuk apapun Angga, dia selalu menyempatkan mengurus ayahnya. Meskipun sekarang anak istrinya membantu. Namun, setiap dua kali sekali selalu memastikan ayahnya baik-baik saja.Pagi hari efektif, penghuni rumah mewah itu sangat sibuk dengan agenda masing-masing. Mahra yang sibuk membereskan keperluan anaknya yang hendak berangkat sekolah. Mahra tidak membiarkan hal-hal kecil seperti memastikan buku-buku dan keperluan anaknya ke sekolah dilewatkan anaknya. Padahal ada banyak pelayan di rumah itu. Pagi hari seperti ibu pada umumnya. Dia memastikan anak-anak bangun cepat. Salat subuh berjamaah, baca alquran bersama lalu olahraga. Semua itu selalu tidak terlewatkan oleh anak-anak Mahra. Bahkan anak-anak ini terkesan seperti tinggal di asrama.Begitu azan berkumandang, di yayasan. Mahra sigap membangunkan anak-anak dan suami.“Anak-anak bangun kita salat subuh!” begitu terdengar Mahra di subuh hari.Angga selalu mengimani anak istrinya salat subu

  • Setelah Hujan Bulan Desember   Sebuah Tekad

    Bian terbangun saat suara ponsel sang istri mengganggunya. Dia tidak melirik ke sana. Justru memandang sang istri dengan tenang.“Boleh, saya bicarakan sesuatu?” tanya Riana setelah berdiri di samping Bian.“Apa?” sahut Bian dengan ketus, wajahnya sama sekali tidak berpaling dari buku yang dia baca.“Ini tentang ibu dan adik-adikku,” ujar Riana sambil meremas ujung piyamanya.“Duduk,” perintah Bian.Riana duduk di ujung tempat tidur.“Katakan!” tanya Bian sambil menutup bukunya.“Mila dan Dewi sudah lama berhenti sekolah, kontrakan di sana juga sudah habis. Kalau …..” ucapan Riana langsung terpotong.“Aku akan mendaftarkan Mila di pesantren terpadu, Ibu dan Dewi bisa tinggal di salah satu ruko kosong milikku,” sambung Bian.“Benarkah?” tanya Naina kegirangan.“Aku tidak pernah berbohong,” ujar Bian sambil memandang Riana dengan tatapan tajam. “Aku sudah janji akan memberikan kehidupan yang layak untukmu dan keluargamu.”Riana tertunduk dalam, dia ketakutan melihat Bian yang menatapnya

  • Setelah Hujan Bulan Desember   Siaga

    Mahra mengadakan rapat bulanan di yayasannya. Untuk mendengar permasalahan demi permasalahan di yayasan Mata Hati tersebut. Para dewan guru, para pengasuh, tenaga kebersihan dan tenaga keamanan menyampaikan segala hal mengenai kejadian di lapangan.Yayasan tersebut memiliki pengeluaran rutin setiap bulan 300.000.000. Gaji pegawai biaya makan kebersihan, listrik dan semua tata kelolanya. Uang tersebut diambil dari pendapatan properti dan rumah makan serta hasil sewa ruko-ruko yang disewakan.Angga dan Mahra memiliki 3 rumah makan, dua penginapan serta dua belas ruko yang disewakan. Semua hasil pendapatan dari properti tersebut diperuntukkan untuk yayasan. Makanya yayasan tersebut tidak pernah minus anggaran. Apalagi ada sejumlah investor yang menyumbang tidak sedikit. Maka tidak dapat dipungkiri yayasan anak yatim piatu itu menjelma menjadi yayasan pendidikan yang bergengsi. Gedungnya megah, tenaga guru-gurunya berkualitas bahkan siswanya sangat cerdas-cerdas.Meskipun harga saham peru

  • Setelah Hujan Bulan Desember   Lanjut Tentang Riana

    Setelah Sembilan bulan dari acara ulang tahun Abda Nasution yang sangat mengheboh jagad dumai. Bian mendapat kabar kalau buku biografi ayahnya sudah terjual banyak. Dan sudah dibuka pre-order lagi untuk cetakan ketiga, sudah dipesan ribuan orang. Buru-buru Bian menghampiri Riana yang sedang memasak di dapur. Dengan tawa sumringah, Bian berujar.“Buku Ayah sudah dipesan ribuan orang.”“Keren sekali,” sahut Riana dengan ceria.“Semua ini karena kamu. Thanks, ya,” tambah Bian .Riana mengangguk pelan, sambil memamerkan tawa sumringahnya.“Sudah masak?” tanya Bian sambil mengelus perutnya sendiri.“Belum, sebentar lagi ya,” sahut Riana.“Oke, aku siap-siap dulu kalau gitu,” ucap Lian sambil beranjak meninggalkan istrinya.Bian kembali ke kamarnya. dia sangat bangga kepada istrinya itu. Tidak sia-sia dia memperistrikan Riana. Meskipun ada satu yang masih membuat dia tertahan untuk menyentuh sang istri, memberikan napakah lahir batin.Di perpustakaan mini yang membatasi kamar Bian melihat h

DMCA.com Protection Status