Share

Setelah Hujan Bulan Desember
Setelah Hujan Bulan Desember
Penulis: devarisma

Broke

Suara sendok bertemu piring memecahkan keheningan di ruang makan. Di sana hanya diisi oleh dua sejoli. Tidak ada pembicaraan sama sekali yang keluar dari bibir mereka. Refans berusaha menyiapkan sarapannya. Sedangkan Mahra, hanya tenggelam dalam pikirannya sendiri.

 Bagaimana dia memulai pembicaraan untuk menghangatkan suasana pagi itu. Setelah berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan, Refans tidak pernah menyantap masakannya. Dia berpikir keras, apa yang sepatutnya dia tanya. Agar mendapat sambutan hangat dari sang suami.

Mahra mencuri-curi perhatian, memperhatikan wajah Refans. Dia masih tetap tampan seperti dulu. Jam tangan rolex  masih melingkar pergelangan tangannya. Jam tangan itu hadiah  dari Mahra dua tahun yang lalu. Hadiah yang dipesan langsung dari Jerman. Refans senang diberikan hadiah berupa barang-barang mewah. Tapi, ada satu yang telah berbeda. Suaminya sudah tidak pernah tersenyum untuknya lagi. Mahra rindu, segaris senyum yang merekah di bibirnya.

“Apakabar di kantor, Abang?” sepotong kalimat meloncat lembut dari lisan Mahra.

Sekilas Refans menatap istrinya. Lalu melanjutkan makan. Dia seperti tak berminat  menjawab pertanyaan tersebut. Mahra terpaku, masih menunggu jawaban Refans. Hatinya ciut, dia berpikir bahwa  pertanyaannya  kurang menarik. Dia kembali menyusun kata-kata.

“Nanti malam mau Mahra masakin apa?” Mahra kembali melontarkan beberapa kata. Tanpa menunggu jawaban Refans, Mahra terus bertanya, “ Bebek bakar, udang tumis atau sayur asam?”

Refans sejenak menghentikan sendoknya. Lalu menjawab pertanyaan istrinya, “ Suka hati kau,” hanya itu. Dia bahkan tak berminat menatap istrinya sekejap saja. Mahra gagal mengajak suaminya berbicara. Mahra terpekur mengulum sakit.

Notif pesan meuncul di layar ponsel

Refans. Laki-laki itu tergesa-gesa meminum teh daun mint kesukaannya. Jemarinya menyempatkan menyapu touchscreen. Sebuah suara menggelegar di balik telpon pintar itu.

Refans, minggu depan pulang ke rumah. Ada acara keluarga semacam syukuran di rumah Tante Mei. Kamu tidak usah bawa pulang istrimu yang mandul itu.  Buat Mama malu aja nanti, kalau orang-orang nanyain cucu.

Mahra mendengar dengan jelas  pesan suara dari mertuanya. Hatinya perih, mendengar kata-kata, ‘Mandul’ dan ‘buat Mama malu’ adalah dua kata-kata yang membuat batinnya tersayat pisau yang tumpul. Cukup sakit, dia menahan gejolak batinnya yang meronta kesakitan. Sebutir air membuat netranya mengaburkan pandangan. Entah berpuluh kali sudah mertuanya menghinanya gara-gara mandul.

“Kau dengar? Mamaku menanggung malu karena kau mandul!” bentak Refans.

Mahra tertunduk dalam. terdiam, air mata terus mengalir deras membasahi wajah putih.

“Nangis, cuma itu yang kau bisa!” Tangan Refans memukul meja makan dengan keras. Amarahnya meluap lagi. Mahra makin terisak. Ingin membela diri tapi lidahnya kelu. Dia bagai kehilangan kata-kata.

“Dasar perempuan pembawa sial!” bisik Refans lalu mendorong kepala istrinya dengan telunjuk. Mahra masih terpaku. Matanya terus basah. Tumpahan rasa yang meledak-ledak. Bahunya berguncang hebat. Hatinya sangat sakit terhadap perlakuan suaminya.

“Kau! Memang betina tak guna,” ucapnya pelan tapi menusuk ke hati yang terdalam. Telunjuk besar Refans kembali mendorong kepala Mahra hingga mundur ke belakang beberapa centi. Dia masih menatap istrinya dengan bengis.

Mahra tak bergeming, dia hanya berusaha sesabar mungkin. Dengan sikap Refans yang kasar. Dia tidak ingin menambah level amarah sang suami. Berharap dengan diam menahan perihnya ulu hati bagai dicabik-cabik paruh elang. Akan membuat Refans lekas membaik memperlakukannya seperti dulu.

“Aku bukan kupu-kupu malam yang dikutip di ujung jalan, Bang?”lirihnya dalam hati.

Lagi dan lagi Mahra hanya berujar dalam hati. Mendiskusi dengan diri sendiri. Bagaimana meladeni sikap Refans yang masih menatapnya dalam jarak yang sangat dekat. Jarak yang membuatnya bagai melebur lalu menyisakan serpihan luka.

“Kenapa diam? kau masih mau menyangkal, bahwa kau memang tak guna. Hah!” bentak Refans lagi lebih keras.

Mahra tidak bisa lagi menahan gejolak rasa kecewanya. Sebutir air bening menembus kelopak mata. Menuruni wajahnya yang putih. Dia menunduk, hendak menyembunyikan tangisnya yang telah pecah. Tapi, sia-sia, bulir bening itu telanjur mendarat di pipinya.

“Sudah empat tahun, Mahra. Orang-orang yang menikah sebaya dengan kita sudah hampir punya anak dua. Tapi, kita mana? Jika hanya untuk menemaniku tidur. Aku bisa mencari di luar sana,” sembur Refans lagi. 

“Abang, aku sudah…” ucapannya langsung terpotong.

 “Sudah apa? Sudah cukup membuat aku menyesal menikahimu, hah!” potongannya dengan cepat.

Lalu dia beranjak meninggalkannya sendirian. Dia menatap punggung sang suami yang menghilang di balik daun pintu. Raga yang dulunya memujinya, menyayangi tanpa cela. Mahra memeluk lutut. Duduk tergugu di atas ranjang yang empuk.  Hatinya pecah, berdarah. Berbagai rasa kecewa berkecamuk dalam dirinya. Bagaimana bisa dia melawan takdir. Jika di usia pernikahan sudah empat tahun tapi belum bisa memberikan suaminya keturunan. 

“Siapa aku yang bisa mempercepat takdir?” lirihnya seorang diri.

Takdir jodoh, rezeki, maut semuanya misteri Tuhan. Tidak ada yang pernah tahu kapan Tuhan mempertemukan dengan jodohnya. Memberikan mereka keturunan. Juga memberikan rezeki yang berkecukupan. Mahra hanya bisa bersabar, menghadapi suami yang semakin tak menghargainya lagi.

**

 Saat keluar dari supermarket tepat di parkiran. Dia tak sengaja mendengar obrolan seseorang berbicara lewat telepon. Mahra menoleh ke samping. Terlihat seorang lelaki gempar duduk  di dalam mobil jep dengan posisi pintu terbuka.

“Refans Nasution, pemilik perusahaan JJ Nugraha kan Bos,” ucap laki-laki itu.

Mahra semakin merapatkan telinganya ke arah laki-laki itu.

“Siap, Bos. Besok saat jam makan siang kita habisi dia. karena biasanya dia keluar jam makan siang.”

Laki-laki itu pun menutup teleponnya, lalu melajukan mobilnya.

Mahra membekap mulutnya. Yang dia dengar jelas sekali. Suaminya dalam bahaya. Dia harus segera memberi  tahunya.  Mahra langsung memutar arah. mengendarai mobil dengan laju cepat. Membelah jalan yang basah karena hujan di penghujung tahun.

Begitu tiba di depan meja resepsionis. Dua perempuan di sana mencoba menyapanya. Dia langsung berpapasan dengan asisten pribadi suaminya.

“Fani, Bapak ada?” tanya Mahra.

“Ada Bu di ruangnya,” jelas perempuan tersebut sambil tersenyum ramah.

“Sedang tidak sibuk kan?”seru Mahra lagi.

“Oh, nggak Bu, masuk aja.”  Fani mempersilahkan istri bosnya.

“Terima kasih, “ Mahra segera beranjak menuju lift.

Mahra mengetuk pintu sang suami. 

“Siapa? Silahkan masuk?” terdengar suara dari dalam.

Mahra masuk dengan raut panik melihat sang suami yang sedang duduk di kursi kebesarannya.

“Kamu?” Refans lansung bangkit dari duduknya.

“Abang Mahra ke sini ada yang ingin disampaikan,” ujar Mahra sambil hendak menyalaminya.

“Pulang sekarang aku lagi sibuk!” Refans berbicara dengan suara datar dan tegas.

“Abang dengerin Mahra dulu!” pinta Mahra.

“Pulang sana!” teriaknya sambil menunjuk ke pintu.

“Abang tolong dengarin ….”

“Keluar!” teriak Refans lebih besar.

Mahra akhirnya pun pergi dengan hati kecewa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status