Sepagi itu, jam 6:45 WIB. Cika sudah menjadi salah satu orang pemburu waktu di jantung Kota Jakarta. Karena diprediksinya, hari senin akan lebih macet dari biasanya. Sedangkan dia harus sampai ke kantor penerbit lebih cepat pada hari tersebut. Keadaan Kota metropolitan ini benar-benar menyesakkan napas. Untuk orang-orang yang memiliki prinsip on time seperti Cika. Kedisplinan waktu baginya, merupakan anak tangga pertama yang harus diinjak oleh orang-orang yang berharap sukses dalam karirnya.Selepas tamat SMA. Perempuan berdarah Manado tersebut hanya ingin kuliah. Agar bisa mengangkat derajat kelas status sosialnya yang lebih baik. Di awal-awal berada di kota Jakarta tersebut. Tidak lantas membuatnya hanya menunggu kiriman orang tuanya, yang hanya petani biasa. Lima belas hari, setelah diterima di kampus swasta tersebut. Dia bekerja paruh waktu disebuah rumah makan sebagai tukang cuci. Tidak begitu besar, hanya menerima lima ribu per jam kerjanya.Rumah makan yang menerima Cika bekerj
Angga : “Ayah tidak apa-apa?”Muhar “Tidak apa-apa. Ayah hanya shock aja kemarin. Lira sangat ganas tidak seperti ayah kira.”Angga : “Itulah kenapa Angga nggak ngizinin dia masuk. Perempuan itu nekad.” Muhar : “Ayah yang menyuruh Joko membuka pintu. Ayah tidak berpikir sejauh itu. Maafkan ayah!” Angga : “Sudahlah Yah. Ayah istirahat saja. Besok Angga baru pulang ke Bandung.” Muhar : “Iya Nak. Hati-hati. Jaga kesehatan.”Angga : “Iya yah. Ayah juga jaga kesehatan.”Angga menutup teleponnya. Angga segera memutar mobil untuk bertemu dengan Cika.Hanya tiga puluh menit. Dia sudah tiba ruangan Cika.“Kamu harus cerita detail padaku!” pinta Cika.Semua cerita Angga membuatnya ternga-nga. Apalagi kalau mereka sama-sama sudah bercerai.“Cik, aku ingin menyiapkan tiket holiday untuk Mahra. Gimana menurut kamu?” ujar Angga.“Wow, good idea. Berarti sudah saatnya kamy menyambarnya secara langsung face to face,” Cika senang mendengarnya.“Tidak, Cik. Aku masih ingin memberikan hadiah ini secar
Di pagi yang cerah Mahra tergesa-gesa memeriksa kopernya. Berkali-kali melirik arloji. Tinggal satu jam lagi keberangkatannya ke Spanyol. Meninggalkan kota Banda Aceh. Tidak lama. Hanya dua minggu.Tiket Holiday yang diperolehnya secara cuma-cuma dari penerbit. Mahra tidak pernah berpikir. Bahwa tidak ada penerbit yang pernah memberikan hadiah sebesar itu kepada penulisnya. Selaris apapun bukunya. Penerbit hanya akan menambah persen royalty, jika buku seorang penulis semakin laris.Burhan sempat bertanya-tanya tentang itu. Tapi sepertinya itu hal yang wajar saja. Mungkin saja, penerbit ingin menumbuh semangat kepada para penulis. Barangkali, putrinya salah satu yang paling beruntung diantara yang beruntung.“Sudah siap, Nak?” tanya Meilida“Sudah, Mak.” Mahra meyakinkan diri tidak ada lagi yang ketinggalan.“Coba diingat-ingat lagi apa yang belum dimasukin ke koper?” perintah Meilinda lagi.Mahra kembali ke catatan kecil berupa list barang-barang yang akan dibawa. Semuanya sudah dicet
Setelah puas mengelingi kota Madrid. Mahra beranjak ke kota Barcelona. Kemudian menjelajah seluruh sudut negara Spanyol. Seorang diri tanpa ada seorang pun yang dia sebut cinta. Cinta, baginya kadang-kadang begitu menyebalkan dan menyakitkan. Tapi, kini dia sudah kehilangan separuh cinta. Cinta yang sudah diperjuangkan pergi begitu saja. Tanpa sedikitpun menghargai rasanya yang tulus dan ikhlas.Mahra menikmati perjalanannya ke kota yang terkenal dengan sepak bola itu. Madrid dan Barcelona. Dua klub bola paling terkenal di dunia. Bahkan anak-anak di sudut negerinya hafal nama pemain kedua klub ini.Setelah mengunjungi setiap kota. Dua hari digunakan untuk mengistirahatkan tubuh. Sembari menulis jurnal travelingnya. Mahra menertawakan diri sendiri, seorang penulis novel malah berubah menjadi blogger travel.Sebenarnya, Mahra sudah lama mengintip dunia blogging itu. Hanya saja, semenjak memutuskan tidak mempublikasikan tulisannya. Demi mematuhi perintah Refans. Mahra hanya mempelajari d
Mahra mendorong troly yang penuh dengan koper-koper yang terisi penuh. Dengan sebuah kacamata hitam yang hampir menutup wajahnya.Angga saat tanggal mendekati kepulangan Mahra. Dia pergi ke Spanyol, hanya untuk mengontrol perjalanan Mahra seorang diri. Dia takut, ada orang-orang yang bermaksud jahat pada perempuan pujaannya itu.“Serius kamu Ngga mau nyusul Mahra ke sana?” tanya Cika.“Nampak aku main-main Cik?” tanya Angga.“Yayaya cinta sejati memang harus diperjuangkan!” Cika seraya meneguk tehnya. “Gimana kalau kamu ungkapin perasaan kamu di sana!”“Oh tidak Cika. Itu namanya bunuh diri!” Angga membayangkan wajah dingin Mahra saat mereka bertemu dulu,“Jadi kamu mau nunggu lagi?” tanya Cika.“Bahkan lukanya belum kering. Mana mungkin dia dengan gegabah menerima orang baru! Mahra tidak sebodoh itu.” Rahang laki-laki 32 tahun itu menegang.“Ya aku tahu. Bukankah kamu juga begitu?” tanya Cika balik.“Eh nggaklah. Beda laki-laki dan perempuan! Apalagi aku dengan Lira menikah dengan ter
Akmal langsung mengikuti Angga. Laki-laki itu berjalan menuju parkiran.“Maaf sepertinya saya melihat anda berbicara dengan adik saya.” Tanya Akmal setelah mendekatinya.“Maaf, siapa yang anda maksud?” tanya Angga.“Nadia Mahra.” Akmal masih menunjukkan ekspresi dinginnya.“Oh iya.” Angga segera tersenyum.“Anda mengenalnya?” tanya Akmal. Dai sedang mencari tahu penyebab Mahra dan Refans bercerai.“Ya, siapa yang tidak mengenalnya dia penulis best seller.” Angga tertawa pelan. “Maaf anda saudaranya?”“Ya saya Kakaknya.”“Salam kenal, saya Angga, penggemar novel Nadia.” Dia berusaha agar tidak keceplos dengan masalah yang berkelit dengan mereka.“Lalu siapa perempuan tadi?” tanya Akmal. “Yang hendak menjambak adikku?”“Dia mantan istriku?”“Mantan istri?”Angga mengangguk.“Sepertinya kita perlu ngopi?” ajak Akmal.“Oh boleh.”Angga masih tersenyum.“Saya harus mengantar Mahra ke apartemen. Kita ngopi di dekat apartemen kami aja bagaimana?” tawar Akmal.“Oh tentu saja. Ini nomorr ponsel
“Ayah, Angga berencana membuka bisnis di Aceh. Bagaimana menurut Ayah?” tanya Angga sambil memijat lembut kaki ayahnya.Pak Muhar menatap putranya lekat-lekat. Dia menemukan semacam semangat menggebu di dalam iris cokelat sang putra.“Untuk sektor wisata apakah cocok dengan Aceh yang sering terjadi kontrapersepsi tentang wisata halal, Nak?” tanya sang ayah dengan sangat lembut.“Kita akan mengikuti adat budaya di sana, Yah. Bukankah sangat bagus jika kita bisa mengembangkan sektor wisata di bumi serambi Mekkah itu dengan konsep islami!” ulas Angga.“Ayah percaya jika kamu yakin, Nak. Tapi, kenapa tiba-tiba kamu ingin melebarkan sayap bisnismu jauh ke ujung barat sana?” sang ayah mulai menyelidiki tindak tanduk putranya.“Ayah, Aceh itu sangat indah. Banyak sekali destinasi yang sangat layak untuk dikembangkan. Seperti pulau Simeulue, pulau Aceh, pulau Banyak. Sebenarnya semua pulau itu sama indahnya seperti Sabang, hanya saja tidak terkelola sebagai tempat wisata yang berkelas.” Angg
Pak Muhar sakit-sakitan sejak Angga kuliah. Sejak bertahun-tahun itu, Angga mampu membagikan waktunya. Kuliah, mengurus ayah, lalu mengurus bisnis yang makin hari makin meroket ke atas. Angga sangat elit bermain usaha. Melihat peluang dan memanage usahanya. Meskipun perusahaannya itu warisan sang ayah. Tetap saja, tanpa kepemimpinan yang epik. Tentu perusahaan tersebut sudah ambruk sejak Pak Muhar sakit-sakitan.Tapi, berkat kegigihan dan keuletan Angga. Perusahaan itu tetap gagah menjadi perusahaan travel yang cukup maju di Indonesia. Angga juga membuka penginapan, restoran sebagai cabang dari travel mereka.Sifatnya yang kompeten, loyal, kreatif, penuh tanggung jawab juga pandai merangkul anggota. Membuat perusahaan Ayahnya tetap gagah, tetap aktif dan maju.Sebagai seorang CEO berkelas. Tentunya, orang mengira dia sibuk bekerja. Pulang larut malam, sampai makan pun harus terhidang di depan. Orang-orang terdekatnya susah untuk sekadar mengajak ngobrol. Tidak, Angga justru, selalu me