“Ayah, Angga berencana membuka bisnis di Aceh. Bagaimana menurut Ayah?” tanya Angga sambil memijat lembut kaki ayahnya.Pak Muhar menatap putranya lekat-lekat. Dia menemukan semacam semangat menggebu di dalam iris cokelat sang putra.“Untuk sektor wisata apakah cocok dengan Aceh yang sering terjadi kontrapersepsi tentang wisata halal, Nak?” tanya sang ayah dengan sangat lembut.“Kita akan mengikuti adat budaya di sana, Yah. Bukankah sangat bagus jika kita bisa mengembangkan sektor wisata di bumi serambi Mekkah itu dengan konsep islami!” ulas Angga.“Ayah percaya jika kamu yakin, Nak. Tapi, kenapa tiba-tiba kamu ingin melebarkan sayap bisnismu jauh ke ujung barat sana?” sang ayah mulai menyelidiki tindak tanduk putranya.“Ayah, Aceh itu sangat indah. Banyak sekali destinasi yang sangat layak untuk dikembangkan. Seperti pulau Simeulue, pulau Aceh, pulau Banyak. Sebenarnya semua pulau itu sama indahnya seperti Sabang, hanya saja tidak terkelola sebagai tempat wisata yang berkelas.” Angg
Pak Muhar sakit-sakitan sejak Angga kuliah. Sejak bertahun-tahun itu, Angga mampu membagikan waktunya. Kuliah, mengurus ayah, lalu mengurus bisnis yang makin hari makin meroket ke atas. Angga sangat elit bermain usaha. Melihat peluang dan memanage usahanya. Meskipun perusahaannya itu warisan sang ayah. Tetap saja, tanpa kepemimpinan yang epik. Tentu perusahaan tersebut sudah ambruk sejak Pak Muhar sakit-sakitan.Tapi, berkat kegigihan dan keuletan Angga. Perusahaan itu tetap gagah menjadi perusahaan travel yang cukup maju di Indonesia. Angga juga membuka penginapan, restoran sebagai cabang dari travel mereka.Sifatnya yang kompeten, loyal, kreatif, penuh tanggung jawab juga pandai merangkul anggota. Membuat perusahaan Ayahnya tetap gagah, tetap aktif dan maju.Sebagai seorang CEO berkelas. Tentunya, orang mengira dia sibuk bekerja. Pulang larut malam, sampai makan pun harus terhidang di depan. Orang-orang terdekatnya susah untuk sekadar mengajak ngobrol. Tidak, Angga justru, selalu me
Sore yang dingin, gerimis memecahkan kerinduan terdalam pada orang-orang yang sudah jauh gamitan tangannya. Pak Muhar biasanya menghabiskan waktu di kamarnya yang sudah di desain sedemikian rupa. Sehingga beliau sangat betah berlama-lama di sana.Interior yang klasik. Sebuah lukisan pemandangan sebuah pantai yang cukup populer di Aceh Pantai Lampuuk. Rak buku yang rapi. Berisikan buku-buku tentang bisnis, politik, agama dan juga beberapa novel detektif dan novel pengembangan diri. Dan sebuah meja kerja di lengkapi dengan komputer untuknya menulis. Kamar itu sangat rapi. Sebuah sajadah nampak terbentang di atas permadani di samping kanan tempat tidurnya. Ada sebuah Al-Qur’an yang selalu dibaca sebelum tidur dan sehabis salat. Sedangkan di sebelah kiri ada dua foto berbingkai unik dari kayu. Foto dia dan istri saat Angga masih balita. Dan foto istrinya seorang diri dengan pose yang nyentrik seperti anak-anak muda sekarang.Pak Muhar tidak sibuk dengan urusan sendirinya. Pada sore terse
Mahra sudah menghitung semua royalti penjualan buku. Yang sudah ditransfer lumayan besar. Lalu orang tuanya menambah hingga puluhan juta. Sehingga modal awal untuk yayasan “Mata Hati” sudah memadai.Mata hati adalah nama dari yayasan yang dibangun Mahra. Hasil penelitian di lapangan juga sudah di rekap dari beberapa kabupaten yang dikunjungi. Dia membangun komunikasi yang baik dengan pemuka masyarakat. Seperti camat, mukim, kepala desa, kepala sekolah, ketua yayasan dan tokoh-tokoh adat.Melalui para tokoh tersebut, Mahra meminta untuk dikirim anak-anak yang mau diasramakan, dibina untuk pengembangan diri. Untuk tim pengajar, khusus pelajaran agama. Akan dibuat seperti sistem dayah. Pelajaran agama akan dipelajari malam hari. Untuk gurunya langsung dicari dari dayah-dayah yang ada di sekitar Banda Aceh dan Aceh besar.Mahra juga sudah membangun komunikasi dengan beberapa kenalan yang notabene orang Dayah. Para pemuka-pemuka agama tersebut berjanji akan mengirim orang-orang yang berku
Yayasan resmi di buka. Meskipun masih tahap awal, tetap ditentukan tahap rekrutmen penerimaan siswa. Siswa dikirim dari berbagai latar belakang, usia berbeda. Pada hari pertama, Mahraa menerima dua orang siswa yang di kirim dari perdalaman Aceh Selatan. Keduanya yatim piatu, adik beradik.“Perkenalkan nama saya Yatim dan ini adik saya Yatam,” anak tersebut memperkenalkan diri dengan susah payah. Karena dia belum begitu mahir bahasa Indonesia. Sehari-hari dia menggunakan Bahasa Kluet. Mahra menahan tawa. Saat mendengar nama mereka yang hanya berbeda satu huruf vokal. Tapi terdengar unik, ‘ Yatim dan Yatam’ siswa pertama Yayasan ‘Mata Hati’. Karena masih berdua. Mahra memboyong mereka ke rumahnya.Kedua anak kakak beradik tersebut berangkat dari kampung dengan nekat ingin menjadi orang sukses. Karena selama ini mereka hanya tinggal bersama pamannya yang hidup dalam keadaan pas-pasan. Keduanya hanya terpaut usia dua tahun. Yatim berusia empat belas tahun. Sedangkan adiknya dua belas t
Setelah penantian berbulan-bulan. Bisnis pariwisata Angga pun kelar. Seluas dua hektar, bibir pantai didesain sedemikian rupa. Sehingga nampak begitu mempesona, membuat para penikmat traveling menelan ludah. Karena tanah seluas dua hektar itu, bisa memberikan nuansa traveling ke negeri Belanda, Paris dan Italia. Tanah seluas dua hektar tersebut , dibagia dalam tiga bagian. Sebagian tempat dihiasi dengan puluhan kincir angin dan kafe-kafe yang berbentuk perumahan di desa Kinderdijk Belanda. Sebagian lagi didesain bagai bangunan negeri Roma yang digagahi oleh menara Pisa. Dan sebagian lagi di gagahi oleh menara Eiffel. Semua bagian tempat di lokasi tersebut menyuguhkan pesona Eropa.Angga tersenyum puas, saat mengelingi tempat barunya itu. Arsitektur yang sangat luar biasa, bisa memadukan ketiga negara maju dalam satu lokasi. Meksipun tempat bernuansa Eropa, makanannya tetap kuliner khas Aceh.Aneka olahan lobster, olahan kepiting, ikan, cumi-cumi da kerang. Dan juga aneka kopi khas
Pagi yang sejuk, Mahra telah keluar dari kamar penginapan sejak sunrise pagi masih membentang. Dia tidak ingin melewatkan moment sunrise di pinggir pantai itu. Kini, matahari telah beranjak dari peraduannya. Berbagai pesona sunrise telah direkamnya dalam kamera digital yang dia sandang.Mahra duduk termenung memandangi laut yang luas tak bertepi. Entah kenapa, dia selalu menyukai kesendirian sembari menikmati pesona alam. Pikirannya meliuk-liuk dibawa angin laut yang membelai wajah. Banyak hal yang tergambar dalam pikirannya.Masa depan ke tujuh belas anak yang dia tampung adalah nomor satu. Merekalah buah jantung sejak bertahun-tahun lama. Meskipun tidak melahirkan mereka. Tapi, setidaknya Tuhan telah memberikan dia kesempatan untuk merawat anak-anak dengan kasih sayang. Tidak tanggung-tanggung, suprise Tuhan untuk dia merasakan menjadi orang tua. Dengan dianugerahi anak-anak di Yayasan Mata Hati sebanyak tujuh belas orang.Kini Mahra dipanggil bunda, Bunda Mahra. Perempuan terkasih
Liburan di Simeulu dengan keluarganya sudah usai. Mahra buru-buru ke yayasan dia sangat merindukan anak-anaknya. Saat mobil memasuki perkarangan yayasan. Anak-anak berhamburan berlari pada arah depan asrama. Mahra mendengar semua yang disampaikan anak-anak. Ada yang menanyakan kabar, ada yang melapor projek mereka, ada yang mengeluh.Satu persatu dicek ke lapangan, projek pertanian, perternakan juga projek kreativitas mereka. Mahra sengaja menyisihkan waktu setengah harinya, hanya untuk anak-anak. Kemudian mengadakan rapat dengan para dewan guru. Masing-masing guru melaporkan keluh kesah dan perkembangan anak-anaknya. Mahra mencermati dengan seksama.Para dewan guru sangat menghormati Mahra. Bukan hanya saja karena dia sebagai owner yayasan. Tapi karena dia sangat bijaksana dalam memimpin yayasan. Merangkul para dewan guru untuk mengajar anak-anak.Makanya para bawahan selalu menghargai apa yang dia terapkan di Yayasan ‘Mata Hati’. Demikian pula, Mahra yang sangat menghormati setiap
Sudah dua jam, Mahra duduk di depan laptop. Menulis sebuah artikel. Selama beberapa tahun terakhir, dia membangun sebuah blogger parenting. Cukup berpenghasilan dan maju. Mahra sudah lama tidak menulis buku, karena anak-anaknya masih balita. Dia tidak ingin anak-anaknya kekurangan kasih sayangnya. Membangun blogger tidak begitu sulit dan menguras waktunya. Setidaknya dia masih menulis setiap 3 atau 2 kali seminggu.Dia menyisihkan sedikit waktu ketika putranya tidur atau bermain dengan orang lain. Seperti malam ini karena putra bungsunya sedang asyik bermain dengan Angga. Angga nampak piawai bermain dengan si bungsu yang baru bisa berdiri, bahkan sesekali sudah bisa mengangkat langkah dengan gemetar. Sedangkan ketiga anaknya lagi sedang belajar mengaji di mushalla rumahnya. Angga sengaja memanggil orang ke rumah. Ketiga anak itu punya guru yang berbeda. Berdasarkan tingkatan mereka belajar.Si kembar sudah belajar kitab kuning dan fasahah alquran. Sedangkan Alesya masih di iqra’. Sese
Proses lamaran Yatim berlangsung sempurna. Keesokannya, juga dilangsung lamaran abangnya. Mahra sangat senang menjadi bagian menyukseskan acara tersebut. Angga sudah memastikan tidak sesi foto bersama mereka. Karena takut tersebar di sosial media. Karena sosok istrinya cukup popular untuk masyarakat di aceh Besar dan Banda Aceh. Sangat sering, tiba-tiba Mahra diajak berfoto di tempat keramaian.“Nggak terasa Mas, kita sudah tua!” ujar Mahra saat pulang dari acara tersebut. Pikirannya melayang, saat menerima kedua anak yatim piatu tersebut. Kini mereka menjelma laki-laki yang gagah melamar gadis pujaan mereka. Keadaan ekonomi mereka terbilang sukses. Mereka punya usaha kelontong, dan air isi ulang di depan yayasan. Selain itu mereka juga mendapatkan pekerjaan di yayasan sebagai dewan guru.“Kira-kira apa hadiah yang cocok untuk mereka?” tanya Angga sembari menggemgam tangan sang istri.“Mahra mereka sudah cukup Mas, usaha juga sudah punya!” sambung Mahra.“Bagaimana kalau kita hadiahka
“Siapa sih baik banget mau bakar rumah itu?” tanya Randi setelah mereka di dalam mobil.“Entahlah, aku juga bingung!” Bian merebahkan tubuhnya. Randi terus membanting setir dengan cepat. Harap-harap segera bisa membawa Bian jauh dari Meri dan Rena. Bisa saja kedua perempuan itu kembali meminta Randi menikah dengan anak mereka yang gila.“Kita kemana bos?” tanya Randi.“Ke Bandung!” sahut Bian.“Bandung?” Randi menoleh sejenak.“Istri dan anakku sekarang di Bandung. Aku akan meminta pada Riana untuk bersembunyi di sana sebentar,” jelas Bian.“Oh oke bos.”Bian rasanya tidak sabar untuk sampai ke sana bertemu anak istri. Memeluk dan mencium mereka. Padahal baru tadi pagi mereka berpisah.Sedangkan di kediaman Meri. Semua orang kocar-kacir, tim pemadam kebaran sudah tiba. Polisinya juga sudah tiba. Tidak ada korban, tapi, Meri rugi jutaan rupiah. Banyak perabotannya yang rusak. Dia perlu uang renovasi sekitar dua ratus juga demi kembali merehap rumahnya.“Astaga Ren, aku nggak habis pik
Angga memastikan kalau bertamu adalah Yatim dan Yatam. Kedua laki-laki adik beradik itu duduk dengan sopan di depan istrinya. Bukan mudah masuk ke dalam rumah putih megah itu sekarang. Bahkan sekalipun orang-orang terdekat, mereka akan diperiksa dengan detail. Itu semua dilakukan Angga demi keselamatan anak istrinya. Laki-laki itu bernapas lega setelah melihat mereka.Begitu melihat Angga, mereka seraya bangun dan menyalami suami dari bunda mereka itu.“Sudah lama?” tanya Angga basa-basi setelah duduk berhadapan mereka.“Belum Mas. Tuh minum aja belum tiba!” jelas Mahra. Dia tidak sabar ingin mengatakan kedatangan mereka. “Mas lihat anakku yang tertua sudah mau nikah aja!”Angga menaikkan alisnya, seulas senyum kaget tercipta di sana.“Masha Allah, maaf ya Yatim Yatam. Selama ini, saya benar-benar sibuk sampai tidak sempat mampir-mampir ke tempat kalian. Dan juga maaf banget, sesusah itu sekarang kalian masuk ke sini bertemu bunda kalian ini!” jelas Angga.“Iya, Pak. Nggak apa-apa. K
Kepergian sang ayah, membuat Angga merasa ada ruang dihatinya yang kosong. Tidak ada lagi tempat dia bercerita tentang keluh kesahnya dalam mengelola perusahaanya yang besar. Mahra sering melihat suaminya berlama-lama di kamar ayahnya hingga tertidur. Dia pun mengalami kenyataan pahit, kehilangan mertua yang sangat mencintainya.Mahra masih terngiang. Tepat beberapa hari yang lalu saat Mahra menyuapkan makan siang untuk sang mertua.“Mahra!” panggil Pak Muhar dengan lemas.“Terima kasih!” tambahnya detik kemudian.Mahra menautkan alisnya.“Kenapa ayah?” tanya Mahra bingung.“Terima kasih sudah hadir dalam hidup ayah. Memberikan ayah cucu! Dan teman hidup untuk angga!” jelasnya lagi suaranya sudah sangat lemas.“Mahra yang bersyukur ayah. Mahra beruntung memiliki Mas Angga!” ucapnya setelah memotong telur rebus untuk disuap.“Mahra, sebelum menikah Angga hanya punya ayah seorang keluarga intinya. Sekarang ayah bisa melihat kebahagiaanya!” tambah Pak Muhar.Mahra tersenyum. “Semoga Mah
Masih seperti dua puluh tahun yang lalu. Sesibuk apapun Angga, dia selalu menyempatkan mengurus ayahnya. Meskipun sekarang anak istrinya membantu. Namun, setiap dua kali sekali selalu memastikan ayahnya baik-baik saja.Pagi hari efektif, penghuni rumah mewah itu sangat sibuk dengan agenda masing-masing. Mahra yang sibuk membereskan keperluan anaknya yang hendak berangkat sekolah. Mahra tidak membiarkan hal-hal kecil seperti memastikan buku-buku dan keperluan anaknya ke sekolah dilewatkan anaknya. Padahal ada banyak pelayan di rumah itu. Pagi hari seperti ibu pada umumnya. Dia memastikan anak-anak bangun cepat. Salat subuh berjamaah, baca alquran bersama lalu olahraga. Semua itu selalu tidak terlewatkan oleh anak-anak Mahra. Bahkan anak-anak ini terkesan seperti tinggal di asrama.Begitu azan berkumandang, di yayasan. Mahra sigap membangunkan anak-anak dan suami.“Anak-anak bangun kita salat subuh!” begitu terdengar Mahra di subuh hari.Angga selalu mengimani anak istrinya salat subu
Bian terbangun saat suara ponsel sang istri mengganggunya. Dia tidak melirik ke sana. Justru memandang sang istri dengan tenang.“Boleh, saya bicarakan sesuatu?” tanya Riana setelah berdiri di samping Bian.“Apa?” sahut Bian dengan ketus, wajahnya sama sekali tidak berpaling dari buku yang dia baca.“Ini tentang ibu dan adik-adikku,” ujar Riana sambil meremas ujung piyamanya.“Duduk,” perintah Bian.Riana duduk di ujung tempat tidur.“Katakan!” tanya Bian sambil menutup bukunya.“Mila dan Dewi sudah lama berhenti sekolah, kontrakan di sana juga sudah habis. Kalau …..” ucapan Riana langsung terpotong.“Aku akan mendaftarkan Mila di pesantren terpadu, Ibu dan Dewi bisa tinggal di salah satu ruko kosong milikku,” sambung Bian.“Benarkah?” tanya Naina kegirangan.“Aku tidak pernah berbohong,” ujar Bian sambil memandang Riana dengan tatapan tajam. “Aku sudah janji akan memberikan kehidupan yang layak untukmu dan keluargamu.”Riana tertunduk dalam, dia ketakutan melihat Bian yang menatapnya
Mahra mengadakan rapat bulanan di yayasannya. Untuk mendengar permasalahan demi permasalahan di yayasan Mata Hati tersebut. Para dewan guru, para pengasuh, tenaga kebersihan dan tenaga keamanan menyampaikan segala hal mengenai kejadian di lapangan.Yayasan tersebut memiliki pengeluaran rutin setiap bulan 300.000.000. Gaji pegawai biaya makan kebersihan, listrik dan semua tata kelolanya. Uang tersebut diambil dari pendapatan properti dan rumah makan serta hasil sewa ruko-ruko yang disewakan.Angga dan Mahra memiliki 3 rumah makan, dua penginapan serta dua belas ruko yang disewakan. Semua hasil pendapatan dari properti tersebut diperuntukkan untuk yayasan. Makanya yayasan tersebut tidak pernah minus anggaran. Apalagi ada sejumlah investor yang menyumbang tidak sedikit. Maka tidak dapat dipungkiri yayasan anak yatim piatu itu menjelma menjadi yayasan pendidikan yang bergengsi. Gedungnya megah, tenaga guru-gurunya berkualitas bahkan siswanya sangat cerdas-cerdas.Meskipun harga saham peru
Setelah Sembilan bulan dari acara ulang tahun Abda Nasution yang sangat mengheboh jagad dumai. Bian mendapat kabar kalau buku biografi ayahnya sudah terjual banyak. Dan sudah dibuka pre-order lagi untuk cetakan ketiga, sudah dipesan ribuan orang. Buru-buru Bian menghampiri Riana yang sedang memasak di dapur. Dengan tawa sumringah, Bian berujar.“Buku Ayah sudah dipesan ribuan orang.”“Keren sekali,” sahut Riana dengan ceria.“Semua ini karena kamu. Thanks, ya,” tambah Bian .Riana mengangguk pelan, sambil memamerkan tawa sumringahnya.“Sudah masak?” tanya Bian sambil mengelus perutnya sendiri.“Belum, sebentar lagi ya,” sahut Riana.“Oke, aku siap-siap dulu kalau gitu,” ucap Lian sambil beranjak meninggalkan istrinya.Bian kembali ke kamarnya. dia sangat bangga kepada istrinya itu. Tidak sia-sia dia memperistrikan Riana. Meskipun ada satu yang masih membuat dia tertahan untuk menyentuh sang istri, memberikan napakah lahir batin.Di perpustakaan mini yang membatasi kamar Bian melihat h