Pagi yang sejuk, Mahra telah keluar dari kamar penginapan sejak sunrise pagi masih membentang. Dia tidak ingin melewatkan moment sunrise di pinggir pantai itu. Kini, matahari telah beranjak dari peraduannya. Berbagai pesona sunrise telah direkamnya dalam kamera digital yang dia sandang.Mahra duduk termenung memandangi laut yang luas tak bertepi. Entah kenapa, dia selalu menyukai kesendirian sembari menikmati pesona alam. Pikirannya meliuk-liuk dibawa angin laut yang membelai wajah. Banyak hal yang tergambar dalam pikirannya.Masa depan ke tujuh belas anak yang dia tampung adalah nomor satu. Merekalah buah jantung sejak bertahun-tahun lama. Meskipun tidak melahirkan mereka. Tapi, setidaknya Tuhan telah memberikan dia kesempatan untuk merawat anak-anak dengan kasih sayang. Tidak tanggung-tanggung, suprise Tuhan untuk dia merasakan menjadi orang tua. Dengan dianugerahi anak-anak di Yayasan Mata Hati sebanyak tujuh belas orang.Kini Mahra dipanggil bunda, Bunda Mahra. Perempuan terkasih
Liburan di Simeulu dengan keluarganya sudah usai. Mahra buru-buru ke yayasan dia sangat merindukan anak-anaknya. Saat mobil memasuki perkarangan yayasan. Anak-anak berhamburan berlari pada arah depan asrama. Mahra mendengar semua yang disampaikan anak-anak. Ada yang menanyakan kabar, ada yang melapor projek mereka, ada yang mengeluh.Satu persatu dicek ke lapangan, projek pertanian, perternakan juga projek kreativitas mereka. Mahra sengaja menyisihkan waktu setengah harinya, hanya untuk anak-anak. Kemudian mengadakan rapat dengan para dewan guru. Masing-masing guru melaporkan keluh kesah dan perkembangan anak-anaknya. Mahra mencermati dengan seksama.Para dewan guru sangat menghormati Mahra. Bukan hanya saja karena dia sebagai owner yayasan. Tapi karena dia sangat bijaksana dalam memimpin yayasan. Merangkul para dewan guru untuk mengajar anak-anak.Makanya para bawahan selalu menghargai apa yang dia terapkan di Yayasan ‘Mata Hati’. Demikian pula, Mahra yang sangat menghormati setiap
Waktu terus berjalan. Mahra sibuk menguruskan anak-anak yang akan ikut ayahnya ke Medan. Juga beberapa anak yang mau dimagangkan di luar yayasan.Anak yayasan ‘Mata Hati’ tidak hanya dibekali ilmu dalam bentuk konsep. Tapi, juga pengamalan dan prakteknya.Maka, yang mengambil projek pertanian akan magang di beberapa area perkebunan di Gayo. Juga, yang mengambil projek berdagang, mereka akan diberi modal lalu jualan di pasar induk Aceh besar dan Banda Aceh.Setelah semua keperluan anak-anak yang magang. Mahra baru merasa lega. Akhirnya idenya tidak sia-sia. Anak-anaknya sudah bisa diharapkan mandiri untuk masa depannya mereka. Mahra mengumpulkan anak-anak sebanyak tujuh orang.Mahra menatapkan mereka lekat-lekat. Memberikan nasihat dari hati. Berharap mereka tidak lupa yang pernah diajarkan guru-guru di yayasan. Adab sopan santun terus terpelihara walaupun sudah bebas di luar sana.Bagi Mahra, anak-anak yang siap mengikuti magang. Adalah anak tertuanya. Sebagai pijakan awal, juga sebag
Dari kerumunan anak-anak Mahra melihat seorang lelaki paruh baya. Laki-laki itu langsung berdiri saat menyadari kehadirannya. Dia berjalan menuju arah laki-laki itu berdiri. Di belakangnya berdiri seorang anak dengan wajah kusut.“Assalamualaikum, Bu Mahraa,”sapa laki-laki tersebut.“Waalaikunsalam,” sahut Mahra“Perkenalkan saya Anto dari kota Binjai,” lelaki itu memperkenalkan diri.“Ada perlu apa, Pak?” tanya Mahra dengan ramah. Matanya memperhatikan gadis kecil yang bersembunyi dibelakangnya.“Saya ingin menitip anak ini ke Ibu!” sahutnya agak ragu-ragu.“Hai siapa namanya?” setelah mendengar penuturan Pak Anto. Mahra langsung menyapa anak perempuan kecil yang nampak ciut melihatnya.Mahra mengulurkan tangan. Pak Anto menuntun gadis kecil itu untuk menyalami Mahra. Dia menggenggam erat tangan mungil itu.“Nama Ibu, Mahra. Namamu siapa?” ujar Mahra lagi dengan lembut.“A-Alika,” ucap gadis kecil itu dengan terbata-bata.Pak Anto pun ikut tersenyum saat Alika menjawabnya. Nadia mem
Yayasan Mata Hati mulai unjuk diri. Ikut berpartipasi menampilkan anak-anak di berbagai event di kota tersebut. Seperti mengikuti panggung-panggung perlombaan. Anak-anak yayasan harus unjuk diri. Satu persatu terlihat anak-anak yayasan telah memiliki potensi untuk menjadi orang-orang yang mandiri, berpotensi dan bertalenta.Pada peringatan HUT Kota Banda Aceh. Alika didaftarkan pada lomba membaca puisi. Gadis kecil itu, sudah lama belajar menulis puisi dengan Mahra. Sehingga sosok penulis sekelas Mahra sangat yakin mendaftar Alika sebagai peserta baca puisi.Hampir tiga hari berturut-turut, lomba itu berjalan. Mahra menyitakan waktunya untuk menemani Alika. Baginya, Alika tidak sekadar anak-anak titipan. Tapi, dia adalah anak bungsunya. Mahra selalu memposisikan diri sebagai orang tua bagi tiga puluh orang anak. Maka apapun keperluan anak-anak yayasan selalu diurusnya dengan penuh tanggung jawab.Alika tampil dengan sempurna pada acara perlombaan tersebut. Seperti yang diharapkan, ana
“Mahra, satu tahun lima bulan kita berpisah. Tapi, Abang belum bisa lupain kamu!”Refans menatap gambar pernikahan mereka. Padahal setelah kejadian enam bulan yang lalu dia menemui Mahra di yayasannya. Refans sudah berhebti stalking Mahra di sosial media. Tapi tetap saja. Bayang-bayang perempuan berkerudung itu tak pernah lenyap dalam dirinya.“Mahra Abang akan pergi jauh. Semoga kamu bahagia selalu!” Refans sudah tak bisa membendung air mata. Lalu memeluk foto pernikahan mereka. Yang kini hanya menyisakan kenangan yang sangat menyakitkan.“Ra, semoga abang bener-bener bisa move on!” gumannya lagi.Terhitung sejak dia menjual perusahaan. Refans tidak bekerja apa-apa. Selain mengandalkan tabungan dan satu miliar yang dia putar di bursa investasi. Dia menghabiskan waktu dengan melukis dan olah raga. Uangnya makin berkurang. Ibu dan kakaknya hidup dengan bermodal sebuah hotel kecil yang mereka kelola. Tentu pemasukan segitu membuat mereka kalang kabut. Apalagi dengan gaya hidup yang san
“Jamal pulang ke rumah, ada yang ingin Ayah bicarakan!” “Mal, pulang ke rumah ya. Ada yang ingin Ayah dan Mamak bicarakan.” Pesan tersebut masuk secara bersamaan ke ponsel Jamal putra tertua Burhan dan Meilinda. Dia merupaka professor muda di provinsi syariah tersebut. Kesibukan mengajar membuat dia lebih memilih tinggal di komplek lingkar kampus.“Apasih kompak banget ngirim pesan?” gumam Jamal.Di lain tempat, di kediaman Pak Burhan. Keduanya duduk was was di ruang tamu. Menunggu kedua putranya. Mereka berharap Jamal dan Akmal akan datang sebelum Mahra pulang.“Gimana menurut Mamak? Apa Mahra akan menerima lamaran ini?” tanya Pak Burhan sambil menopang dagunya.“Mamak ragu, Yah. Karena dulu dia pernah kesini tapi Mahranya malah ngak open. Disuruh pergi jangan balik lagi.” Meilinda menghembus napas kasar. “Mamak melihat Angga itu lelaki yang baik, santun cocok dengan Mahra!”“Kita tunggu saja pendapat Akmal dan Jamal,” tambah Pak Burhan.“Iya, Yah.” Mereka masih saja wasa-was.Sua
Malam sudah larut, Pak Burhan dan Mei tidak bisa tidur. Mereka cemas-cemas harap kepada Istiqarah Mahra. Mereka berharap Allah akan melunakkan hati Mahra untuk menerima lamaran Angga. Mereka tidak menyangka, kalau Mahra tidak langsung menjawab tidak. Apalagi bersikeras dengan kata tidak. Padahal, dia mengatakan sendiri bahwa dia tidak pernah terpikir untuk menikah lagi.“Yah, mudah-mudahan Mahra akan mendapatkan pentunjuk yang baik dalam istiqarahnya,” Bu Mei merebah kepalanya di samping sang suami.“Aamiin,” jawab Pak Burhan.Meskipun sekarang, mereka sangat bahagia bisa merawat Mahra seperti anak yang baru menginjak SMA. Tapi, bisa melihat Mahra memiliki suami lebih melegakan hati kedua sejoli ini.Di kamar lain, Mahra tercenung di atas sajadah dengan jawabannya. Dia merasa bahwa jawabannya tadi spontan tanpa pikir panjang. Siapa laki-laki yang hendak melamar dia? Bahkan nama saja dia tidak tahu.“Tuhan, berikanlah petunjukmu untuk semua ini, Ya Allah. Jika ini dia orang baik jika d