Yayasan Mata Hati mulai unjuk diri. Ikut berpartipasi menampilkan anak-anak di berbagai event di kota tersebut. Seperti mengikuti panggung-panggung perlombaan. Anak-anak yayasan harus unjuk diri. Satu persatu terlihat anak-anak yayasan telah memiliki potensi untuk menjadi orang-orang yang mandiri, berpotensi dan bertalenta.Pada peringatan HUT Kota Banda Aceh. Alika didaftarkan pada lomba membaca puisi. Gadis kecil itu, sudah lama belajar menulis puisi dengan Mahra. Sehingga sosok penulis sekelas Mahra sangat yakin mendaftar Alika sebagai peserta baca puisi.Hampir tiga hari berturut-turut, lomba itu berjalan. Mahra menyitakan waktunya untuk menemani Alika. Baginya, Alika tidak sekadar anak-anak titipan. Tapi, dia adalah anak bungsunya. Mahra selalu memposisikan diri sebagai orang tua bagi tiga puluh orang anak. Maka apapun keperluan anak-anak yayasan selalu diurusnya dengan penuh tanggung jawab.Alika tampil dengan sempurna pada acara perlombaan tersebut. Seperti yang diharapkan, ana
“Mahra, satu tahun lima bulan kita berpisah. Tapi, Abang belum bisa lupain kamu!”Refans menatap gambar pernikahan mereka. Padahal setelah kejadian enam bulan yang lalu dia menemui Mahra di yayasannya. Refans sudah berhebti stalking Mahra di sosial media. Tapi tetap saja. Bayang-bayang perempuan berkerudung itu tak pernah lenyap dalam dirinya.“Mahra Abang akan pergi jauh. Semoga kamu bahagia selalu!” Refans sudah tak bisa membendung air mata. Lalu memeluk foto pernikahan mereka. Yang kini hanya menyisakan kenangan yang sangat menyakitkan.“Ra, semoga abang bener-bener bisa move on!” gumannya lagi.Terhitung sejak dia menjual perusahaan. Refans tidak bekerja apa-apa. Selain mengandalkan tabungan dan satu miliar yang dia putar di bursa investasi. Dia menghabiskan waktu dengan melukis dan olah raga. Uangnya makin berkurang. Ibu dan kakaknya hidup dengan bermodal sebuah hotel kecil yang mereka kelola. Tentu pemasukan segitu membuat mereka kalang kabut. Apalagi dengan gaya hidup yang san
“Jamal pulang ke rumah, ada yang ingin Ayah bicarakan!” “Mal, pulang ke rumah ya. Ada yang ingin Ayah dan Mamak bicarakan.” Pesan tersebut masuk secara bersamaan ke ponsel Jamal putra tertua Burhan dan Meilinda. Dia merupaka professor muda di provinsi syariah tersebut. Kesibukan mengajar membuat dia lebih memilih tinggal di komplek lingkar kampus.“Apasih kompak banget ngirim pesan?” gumam Jamal.Di lain tempat, di kediaman Pak Burhan. Keduanya duduk was was di ruang tamu. Menunggu kedua putranya. Mereka berharap Jamal dan Akmal akan datang sebelum Mahra pulang.“Gimana menurut Mamak? Apa Mahra akan menerima lamaran ini?” tanya Pak Burhan sambil menopang dagunya.“Mamak ragu, Yah. Karena dulu dia pernah kesini tapi Mahranya malah ngak open. Disuruh pergi jangan balik lagi.” Meilinda menghembus napas kasar. “Mamak melihat Angga itu lelaki yang baik, santun cocok dengan Mahra!”“Kita tunggu saja pendapat Akmal dan Jamal,” tambah Pak Burhan.“Iya, Yah.” Mereka masih saja wasa-was.Sua
Malam sudah larut, Pak Burhan dan Mei tidak bisa tidur. Mereka cemas-cemas harap kepada Istiqarah Mahra. Mereka berharap Allah akan melunakkan hati Mahra untuk menerima lamaran Angga. Mereka tidak menyangka, kalau Mahra tidak langsung menjawab tidak. Apalagi bersikeras dengan kata tidak. Padahal, dia mengatakan sendiri bahwa dia tidak pernah terpikir untuk menikah lagi.“Yah, mudah-mudahan Mahra akan mendapatkan pentunjuk yang baik dalam istiqarahnya,” Bu Mei merebah kepalanya di samping sang suami.“Aamiin,” jawab Pak Burhan.Meskipun sekarang, mereka sangat bahagia bisa merawat Mahra seperti anak yang baru menginjak SMA. Tapi, bisa melihat Mahra memiliki suami lebih melegakan hati kedua sejoli ini.Di kamar lain, Mahra tercenung di atas sajadah dengan jawabannya. Dia merasa bahwa jawabannya tadi spontan tanpa pikir panjang. Siapa laki-laki yang hendak melamar dia? Bahkan nama saja dia tidak tahu.“Tuhan, berikanlah petunjukmu untuk semua ini, Ya Allah. Jika ini dia orang baik jika d
Dua hari setelah Mahra memintanya menemuinya di yayasan. Angga mengirimkan pesan.Angga : Mahra saya sudah di depan yayasan. Mahra yang sampai terkejut membaca pesan tersebut.“Sepagi ini? Memangnya dia tinggal dimana?” gumam Mahra. Ah yang benar saja, bahkan Mahra belum tahu orang mana seperti apa orang yang akan melamarnya itu.Mahra : Masuk saja!Mahra tercenung , kedua tangan masih memegang telpon pintar. Dia bermaksud, agar laki-laki itu akan amembatalkan keinginan menikahinya. Tapi, justru sebaliknya. Sepertinya laki-laki itu tidak akan mau mundur selangkah pun.Satpam mengarahlan Angga menuju taman samping asrma. Dimana ruang terbuka itu sedang sepi karena anak-anak sedang di ruang kelas.Dari jauh Angga melihat seorang perempuan dengan setelah tunik warna hijau dan dipadu rok span warna broken white serta hijab broken menutupi kepalnya dengan anggun. Sekilas bak gadis melayu. Melihat dari belakang saja, Angga sudah menebak itu adalah Mahra.“Assalamualaikum!”seru Angga.“Waa
“Mahra!” panggil Akmal yang nongol ke kamar adiknya.“Masuk Ngoh!” Mahra menghentikan aktivitasnya yang sedang menyunting tulisannya yang telah rampung. “Ngapain si?” tanya Akmal sambil duduk di sofa yang tersedia di kamar Mahra.“Naskah Mahra udah siap Ngoh, rencananya akan terbit bulan ini.” Mahra mendekati kakanya duduk tepat di depannya. Pasti ada yang penting kakak keduanya kalau udah ketemu private gini, pikir Mahra.“Wah setahun bercerai, kamu dek langsung produktif. Kemana aja Mahra selama ini?” gelak Akmal.“Alhandulillah. Akhirnya kan bisa nerbit lagi.” Mahra tersenyum sumringah. Tak pernah membayang jika dia bisa nerbit buku lagi saat masih di bandung terkunkung dengan pernikahan yang membuatnya bagai hidup tak mampu mati tak juga tiba.“Mahra, maaf Ngoh terkesan mencampuri urusanmu. Tapi kami semua berharap yang terbaik untukmu!” Akmal memulai maksudnya.Mahra terdiam.“Sebenarnya, Angga itu teman Angoh.” Akmal menatap adiknya dengan lekat.”Dia laki-laki yang baik.”“Ang
Buku Mahra sudah siap diterbitkan, Mahra harus menandatanngi sepuluh ribu eksemplar pertama untuk pemesan pre-order. Dia sangat senang. Karena yayasannya semakin berkembang tentu dia membutuh uang yang besar sebagai biaya operasional. Untuk itu dia harus memastikan kalau penjulannya laris manis. Selain itu, blog pribadinya kini yang sudah terhubung adsense. Juga sudah memiliki penghasilan yang cukup untuk biaya listrik yayasannya per bulan. Dasar, Mahra, dia sama sekali tidak memikirkan hal lain, selain yayasan. Anak yayasan tersegalanya. Selayaknya orang tua yang selalu menomor satukan keperluan anak-anaknya.Setelah menandatangani seluruh buku pre order sejumlah tiga ribu eksemplar. Mahra ditemani tim penerbit juga mengadakan meet and great di beberapa kota besar. Dia memang belum pernah mengadakan temu ramah dengan pembaca. Dengan bantuan Cika dia mempersiapkan semuanya dengan matang.Angga : Mahra!Mahra : Iya.Angga : Kapan meet and Great di Bandung?Mahra : Tanggal 25, sebe
Dari mall tempat Mahra dan tim penerbit mengadakan Meet Great. Sesuai instruksi direktur, mereka akan kopdar di sebuah restoran. Setelah manager memesan ruangan VIP. Tentu ide menarik, mengingat lama sekali Mahra tidak pernah menerbitkan buku. Meskipun buku-bukunya yang telah terbit belasa kali cetak ulang. Namun, bagai gebrakan baru ketika Mahra menulis cerita baru berteman rumah tangga. Sang direktur semakin berambisi untuk sekadar kopdar atau singkatan dari kopi darat. Atau bahasa lain ngopi bareng. Mengingat keberadaan Angga di sana sebagai bagian dari penerbit mereka. saham Angga hampir lima puluh persen di perusahaan Bintang Belia. Lebih lebih lagi, mengingat bagaimana sosok Angga yang sangat fans dengan Nadia Mahra.Akmal yang menerima ajakan Kopdar. Apalagi kalau Angga ikut. Dia tidak terkesan hanya menjadi pendengar di sana. Laki-laki tiga puluh lima tahun itu akan duduk di dekat Angga. Ini merupakan kesempatan emas untuk membuat Mahra dan Angga lebih dekat. Hanya itu yang