Malam sudah larut, Pak Burhan dan Mei tidak bisa tidur. Mereka cemas-cemas harap kepada Istiqarah Mahra. Mereka berharap Allah akan melunakkan hati Mahra untuk menerima lamaran Angga. Mereka tidak menyangka, kalau Mahra tidak langsung menjawab tidak. Apalagi bersikeras dengan kata tidak. Padahal, dia mengatakan sendiri bahwa dia tidak pernah terpikir untuk menikah lagi.“Yah, mudah-mudahan Mahra akan mendapatkan pentunjuk yang baik dalam istiqarahnya,” Bu Mei merebah kepalanya di samping sang suami.“Aamiin,” jawab Pak Burhan.Meskipun sekarang, mereka sangat bahagia bisa merawat Mahra seperti anak yang baru menginjak SMA. Tapi, bisa melihat Mahra memiliki suami lebih melegakan hati kedua sejoli ini.Di kamar lain, Mahra tercenung di atas sajadah dengan jawabannya. Dia merasa bahwa jawabannya tadi spontan tanpa pikir panjang. Siapa laki-laki yang hendak melamar dia? Bahkan nama saja dia tidak tahu.“Tuhan, berikanlah petunjukmu untuk semua ini, Ya Allah. Jika ini dia orang baik jika d
Dua hari setelah Mahra memintanya menemuinya di yayasan. Angga mengirimkan pesan.Angga : Mahra saya sudah di depan yayasan. Mahra yang sampai terkejut membaca pesan tersebut.“Sepagi ini? Memangnya dia tinggal dimana?” gumam Mahra. Ah yang benar saja, bahkan Mahra belum tahu orang mana seperti apa orang yang akan melamarnya itu.Mahra : Masuk saja!Mahra tercenung , kedua tangan masih memegang telpon pintar. Dia bermaksud, agar laki-laki itu akan amembatalkan keinginan menikahinya. Tapi, justru sebaliknya. Sepertinya laki-laki itu tidak akan mau mundur selangkah pun.Satpam mengarahlan Angga menuju taman samping asrma. Dimana ruang terbuka itu sedang sepi karena anak-anak sedang di ruang kelas.Dari jauh Angga melihat seorang perempuan dengan setelah tunik warna hijau dan dipadu rok span warna broken white serta hijab broken menutupi kepalnya dengan anggun. Sekilas bak gadis melayu. Melihat dari belakang saja, Angga sudah menebak itu adalah Mahra.“Assalamualaikum!”seru Angga.“Waa
“Mahra!” panggil Akmal yang nongol ke kamar adiknya.“Masuk Ngoh!” Mahra menghentikan aktivitasnya yang sedang menyunting tulisannya yang telah rampung. “Ngapain si?” tanya Akmal sambil duduk di sofa yang tersedia di kamar Mahra.“Naskah Mahra udah siap Ngoh, rencananya akan terbit bulan ini.” Mahra mendekati kakanya duduk tepat di depannya. Pasti ada yang penting kakak keduanya kalau udah ketemu private gini, pikir Mahra.“Wah setahun bercerai, kamu dek langsung produktif. Kemana aja Mahra selama ini?” gelak Akmal.“Alhandulillah. Akhirnya kan bisa nerbit lagi.” Mahra tersenyum sumringah. Tak pernah membayang jika dia bisa nerbit buku lagi saat masih di bandung terkunkung dengan pernikahan yang membuatnya bagai hidup tak mampu mati tak juga tiba.“Mahra, maaf Ngoh terkesan mencampuri urusanmu. Tapi kami semua berharap yang terbaik untukmu!” Akmal memulai maksudnya.Mahra terdiam.“Sebenarnya, Angga itu teman Angoh.” Akmal menatap adiknya dengan lekat.”Dia laki-laki yang baik.”“Ang
Buku Mahra sudah siap diterbitkan, Mahra harus menandatanngi sepuluh ribu eksemplar pertama untuk pemesan pre-order. Dia sangat senang. Karena yayasannya semakin berkembang tentu dia membutuh uang yang besar sebagai biaya operasional. Untuk itu dia harus memastikan kalau penjulannya laris manis. Selain itu, blog pribadinya kini yang sudah terhubung adsense. Juga sudah memiliki penghasilan yang cukup untuk biaya listrik yayasannya per bulan. Dasar, Mahra, dia sama sekali tidak memikirkan hal lain, selain yayasan. Anak yayasan tersegalanya. Selayaknya orang tua yang selalu menomor satukan keperluan anak-anaknya.Setelah menandatangani seluruh buku pre order sejumlah tiga ribu eksemplar. Mahra ditemani tim penerbit juga mengadakan meet and great di beberapa kota besar. Dia memang belum pernah mengadakan temu ramah dengan pembaca. Dengan bantuan Cika dia mempersiapkan semuanya dengan matang.Angga : Mahra!Mahra : Iya.Angga : Kapan meet and Great di Bandung?Mahra : Tanggal 25, sebe
Dari mall tempat Mahra dan tim penerbit mengadakan Meet Great. Sesuai instruksi direktur, mereka akan kopdar di sebuah restoran. Setelah manager memesan ruangan VIP. Tentu ide menarik, mengingat lama sekali Mahra tidak pernah menerbitkan buku. Meskipun buku-bukunya yang telah terbit belasa kali cetak ulang. Namun, bagai gebrakan baru ketika Mahra menulis cerita baru berteman rumah tangga. Sang direktur semakin berambisi untuk sekadar kopdar atau singkatan dari kopi darat. Atau bahasa lain ngopi bareng. Mengingat keberadaan Angga di sana sebagai bagian dari penerbit mereka. saham Angga hampir lima puluh persen di perusahaan Bintang Belia. Lebih lebih lagi, mengingat bagaimana sosok Angga yang sangat fans dengan Nadia Mahra.Akmal yang menerima ajakan Kopdar. Apalagi kalau Angga ikut. Dia tidak terkesan hanya menjadi pendengar di sana. Laki-laki tiga puluh lima tahun itu akan duduk di dekat Angga. Ini merupakan kesempatan emas untuk membuat Mahra dan Angga lebih dekat. Hanya itu yang
Mobil Pajero sport membawa Akmal dan Mahra melintas ke Bandung. Beserta dua mobil lain dari tim penerbit. Mereka akan kembali melakukan meet great di kota tersebut. Dengan antusias yang luar biasa, para penggemar Mahra sudah berkumpul di sana. Menunggu sosok penulis idaman mereka.Entah kenapa, ketika mobil masuk ke kota tersebut. Sekelebat bayangan masa lalunya memenuhi kepalanya. Hatinya terasa panas, bola matanya seakan ingin menuntaskan beban yang menggantung. Tiga tahun dia hanya menjadi perempuan rumahan yang tidak dihargai. Diceraikan dengan cara tak terhormat.Setiba di mall, Akmal menatap adiknya yang terlihat sendu bahkan sejauh perjalanan mereka. Mahra hanya terdiam."Dek kamu oke?" tanya Akmal."O-oke!" Mahra mulai menyadari raut wajahnya yang melankolis. Ah, Bandung membuat suasana hatinya buruk ketika mengingat sepenggal kisah hidupnya dilematis.Acara meet great di Bandung berlangsung sukses seperti yang diharapkan.Para penggemar Mahra juga mengantre panjang hanya demi
Setelah lama mengobrol, Angga, Mariah dan Mahra hendak menemui yang lain. Mereka semua sedang membakar jagung di samping rumah. Sembari menikmati jus stroberi langsung di samping kebunnya, sungguh menakjubkan.Tiba-tiba seorang bocah muncul di sana. Rehan, cucunya Mariah. Anak dari Animar."Om Angga kapan ke sini?" tanya dia yang baru pulang dari sekolah."Hai Re, baru pulang sekolah ya?" Angga segera memeluk bocah ompong itu.Re sejenak menatap Mahra tanpa ekspresi.Alih-alih menjawab pertanyaan Angga. Justru bocah itu balik bertanya. "Inikah pacar Om? Yang kemarin mau Om bawa ke sini?" tanya Rehan dengan polos.Angga menjadi canggung, Mahra justru merasa heran.Belum sempat Angga menjawab, Mariah memotongnya. "Lho Rehan tahu darimana Om punya pacar?" "Kata Om Angga. Dia punya pacar, cantik berkerudung seperti ibu, tapi kekasihnya lebih putih dan lebih tinggi. Aku sangat senang, karena Om Angga tidak lagi punya pacar seperti Tante Lira yang judes. Dia mengataiku anak nakal!" papar
Setelah memetik sekeranjang kecil stroberri Mahra kembali ke tempat yang lain sedang menikmati jagung bakar.Putri satu satu-satunya Mariah dan Cika hendak menyiapkan menu makan siang. Mahra kembali dengan wajah tak berekspresi. Mereka semua ingin sekali menertawakan ekspresi Mahra. Tapi, tidak ada yang tega menertawakannya. Diantara mereka semua senang melihat kedekatan Angga dan Mahra."Wah Tante udah siap petik stroberinya?" tanya Rehan."Iya Re. Ni banyak kan Tante petik!"sahut Mahra sambil sedikit berjongkok pada Rehan yang masih kecil."Tante Re ingin kali datang ke pesta Tante dan Om Angga!" tambah bocah itu lagi Sial, Mahra lagi-lagi harus menahan malu. Mukanya sudah seperti kepeting rebus. Demikian juga dengan Angga. Dia sangat kesal pada Rehan. Bisa-bisanya dia berkata yang seharusnya dia katakan saat Mahra benar-benar menerimanya. Beginikan dia jadi salah tingkah. Rehan sangat keterlaluan."Iya nanti pas Tante dan Om Angga ulang tahun Rehan datang ya!" sahut Mahra."Ada
Sudah dua jam, Mahra duduk di depan laptop. Menulis sebuah artikel. Selama beberapa tahun terakhir, dia membangun sebuah blogger parenting. Cukup berpenghasilan dan maju. Mahra sudah lama tidak menulis buku, karena anak-anaknya masih balita. Dia tidak ingin anak-anaknya kekurangan kasih sayangnya. Membangun blogger tidak begitu sulit dan menguras waktunya. Setidaknya dia masih menulis setiap 3 atau 2 kali seminggu.Dia menyisihkan sedikit waktu ketika putranya tidur atau bermain dengan orang lain. Seperti malam ini karena putra bungsunya sedang asyik bermain dengan Angga. Angga nampak piawai bermain dengan si bungsu yang baru bisa berdiri, bahkan sesekali sudah bisa mengangkat langkah dengan gemetar. Sedangkan ketiga anaknya lagi sedang belajar mengaji di mushalla rumahnya. Angga sengaja memanggil orang ke rumah. Ketiga anak itu punya guru yang berbeda. Berdasarkan tingkatan mereka belajar.Si kembar sudah belajar kitab kuning dan fasahah alquran. Sedangkan Alesya masih di iqra’. Sese
Proses lamaran Yatim berlangsung sempurna. Keesokannya, juga dilangsung lamaran abangnya. Mahra sangat senang menjadi bagian menyukseskan acara tersebut. Angga sudah memastikan tidak sesi foto bersama mereka. Karena takut tersebar di sosial media. Karena sosok istrinya cukup popular untuk masyarakat di aceh Besar dan Banda Aceh. Sangat sering, tiba-tiba Mahra diajak berfoto di tempat keramaian.“Nggak terasa Mas, kita sudah tua!” ujar Mahra saat pulang dari acara tersebut. Pikirannya melayang, saat menerima kedua anak yatim piatu tersebut. Kini mereka menjelma laki-laki yang gagah melamar gadis pujaan mereka. Keadaan ekonomi mereka terbilang sukses. Mereka punya usaha kelontong, dan air isi ulang di depan yayasan. Selain itu mereka juga mendapatkan pekerjaan di yayasan sebagai dewan guru.“Kira-kira apa hadiah yang cocok untuk mereka?” tanya Angga sembari menggemgam tangan sang istri.“Mahra mereka sudah cukup Mas, usaha juga sudah punya!” sambung Mahra.“Bagaimana kalau kita hadiahka
“Siapa sih baik banget mau bakar rumah itu?” tanya Randi setelah mereka di dalam mobil.“Entahlah, aku juga bingung!” Bian merebahkan tubuhnya. Randi terus membanting setir dengan cepat. Harap-harap segera bisa membawa Bian jauh dari Meri dan Rena. Bisa saja kedua perempuan itu kembali meminta Randi menikah dengan anak mereka yang gila.“Kita kemana bos?” tanya Randi.“Ke Bandung!” sahut Bian.“Bandung?” Randi menoleh sejenak.“Istri dan anakku sekarang di Bandung. Aku akan meminta pada Riana untuk bersembunyi di sana sebentar,” jelas Bian.“Oh oke bos.”Bian rasanya tidak sabar untuk sampai ke sana bertemu anak istri. Memeluk dan mencium mereka. Padahal baru tadi pagi mereka berpisah.Sedangkan di kediaman Meri. Semua orang kocar-kacir, tim pemadam kebaran sudah tiba. Polisinya juga sudah tiba. Tidak ada korban, tapi, Meri rugi jutaan rupiah. Banyak perabotannya yang rusak. Dia perlu uang renovasi sekitar dua ratus juga demi kembali merehap rumahnya.“Astaga Ren, aku nggak habis pik
Angga memastikan kalau bertamu adalah Yatim dan Yatam. Kedua laki-laki adik beradik itu duduk dengan sopan di depan istrinya. Bukan mudah masuk ke dalam rumah putih megah itu sekarang. Bahkan sekalipun orang-orang terdekat, mereka akan diperiksa dengan detail. Itu semua dilakukan Angga demi keselamatan anak istrinya. Laki-laki itu bernapas lega setelah melihat mereka.Begitu melihat Angga, mereka seraya bangun dan menyalami suami dari bunda mereka itu.“Sudah lama?” tanya Angga basa-basi setelah duduk berhadapan mereka.“Belum Mas. Tuh minum aja belum tiba!” jelas Mahra. Dia tidak sabar ingin mengatakan kedatangan mereka. “Mas lihat anakku yang tertua sudah mau nikah aja!”Angga menaikkan alisnya, seulas senyum kaget tercipta di sana.“Masha Allah, maaf ya Yatim Yatam. Selama ini, saya benar-benar sibuk sampai tidak sempat mampir-mampir ke tempat kalian. Dan juga maaf banget, sesusah itu sekarang kalian masuk ke sini bertemu bunda kalian ini!” jelas Angga.“Iya, Pak. Nggak apa-apa. K
Kepergian sang ayah, membuat Angga merasa ada ruang dihatinya yang kosong. Tidak ada lagi tempat dia bercerita tentang keluh kesahnya dalam mengelola perusahaanya yang besar. Mahra sering melihat suaminya berlama-lama di kamar ayahnya hingga tertidur. Dia pun mengalami kenyataan pahit, kehilangan mertua yang sangat mencintainya.Mahra masih terngiang. Tepat beberapa hari yang lalu saat Mahra menyuapkan makan siang untuk sang mertua.“Mahra!” panggil Pak Muhar dengan lemas.“Terima kasih!” tambahnya detik kemudian.Mahra menautkan alisnya.“Kenapa ayah?” tanya Mahra bingung.“Terima kasih sudah hadir dalam hidup ayah. Memberikan ayah cucu! Dan teman hidup untuk angga!” jelasnya lagi suaranya sudah sangat lemas.“Mahra yang bersyukur ayah. Mahra beruntung memiliki Mas Angga!” ucapnya setelah memotong telur rebus untuk disuap.“Mahra, sebelum menikah Angga hanya punya ayah seorang keluarga intinya. Sekarang ayah bisa melihat kebahagiaanya!” tambah Pak Muhar.Mahra tersenyum. “Semoga Mah
Masih seperti dua puluh tahun yang lalu. Sesibuk apapun Angga, dia selalu menyempatkan mengurus ayahnya. Meskipun sekarang anak istrinya membantu. Namun, setiap dua kali sekali selalu memastikan ayahnya baik-baik saja.Pagi hari efektif, penghuni rumah mewah itu sangat sibuk dengan agenda masing-masing. Mahra yang sibuk membereskan keperluan anaknya yang hendak berangkat sekolah. Mahra tidak membiarkan hal-hal kecil seperti memastikan buku-buku dan keperluan anaknya ke sekolah dilewatkan anaknya. Padahal ada banyak pelayan di rumah itu. Pagi hari seperti ibu pada umumnya. Dia memastikan anak-anak bangun cepat. Salat subuh berjamaah, baca alquran bersama lalu olahraga. Semua itu selalu tidak terlewatkan oleh anak-anak Mahra. Bahkan anak-anak ini terkesan seperti tinggal di asrama.Begitu azan berkumandang, di yayasan. Mahra sigap membangunkan anak-anak dan suami.“Anak-anak bangun kita salat subuh!” begitu terdengar Mahra di subuh hari.Angga selalu mengimani anak istrinya salat subu
Bian terbangun saat suara ponsel sang istri mengganggunya. Dia tidak melirik ke sana. Justru memandang sang istri dengan tenang.“Boleh, saya bicarakan sesuatu?” tanya Riana setelah berdiri di samping Bian.“Apa?” sahut Bian dengan ketus, wajahnya sama sekali tidak berpaling dari buku yang dia baca.“Ini tentang ibu dan adik-adikku,” ujar Riana sambil meremas ujung piyamanya.“Duduk,” perintah Bian.Riana duduk di ujung tempat tidur.“Katakan!” tanya Bian sambil menutup bukunya.“Mila dan Dewi sudah lama berhenti sekolah, kontrakan di sana juga sudah habis. Kalau …..” ucapan Riana langsung terpotong.“Aku akan mendaftarkan Mila di pesantren terpadu, Ibu dan Dewi bisa tinggal di salah satu ruko kosong milikku,” sambung Bian.“Benarkah?” tanya Naina kegirangan.“Aku tidak pernah berbohong,” ujar Bian sambil memandang Riana dengan tatapan tajam. “Aku sudah janji akan memberikan kehidupan yang layak untukmu dan keluargamu.”Riana tertunduk dalam, dia ketakutan melihat Bian yang menatapnya
Mahra mengadakan rapat bulanan di yayasannya. Untuk mendengar permasalahan demi permasalahan di yayasan Mata Hati tersebut. Para dewan guru, para pengasuh, tenaga kebersihan dan tenaga keamanan menyampaikan segala hal mengenai kejadian di lapangan.Yayasan tersebut memiliki pengeluaran rutin setiap bulan 300.000.000. Gaji pegawai biaya makan kebersihan, listrik dan semua tata kelolanya. Uang tersebut diambil dari pendapatan properti dan rumah makan serta hasil sewa ruko-ruko yang disewakan.Angga dan Mahra memiliki 3 rumah makan, dua penginapan serta dua belas ruko yang disewakan. Semua hasil pendapatan dari properti tersebut diperuntukkan untuk yayasan. Makanya yayasan tersebut tidak pernah minus anggaran. Apalagi ada sejumlah investor yang menyumbang tidak sedikit. Maka tidak dapat dipungkiri yayasan anak yatim piatu itu menjelma menjadi yayasan pendidikan yang bergengsi. Gedungnya megah, tenaga guru-gurunya berkualitas bahkan siswanya sangat cerdas-cerdas.Meskipun harga saham peru
Setelah Sembilan bulan dari acara ulang tahun Abda Nasution yang sangat mengheboh jagad dumai. Bian mendapat kabar kalau buku biografi ayahnya sudah terjual banyak. Dan sudah dibuka pre-order lagi untuk cetakan ketiga, sudah dipesan ribuan orang. Buru-buru Bian menghampiri Riana yang sedang memasak di dapur. Dengan tawa sumringah, Bian berujar.“Buku Ayah sudah dipesan ribuan orang.”“Keren sekali,” sahut Riana dengan ceria.“Semua ini karena kamu. Thanks, ya,” tambah Bian .Riana mengangguk pelan, sambil memamerkan tawa sumringahnya.“Sudah masak?” tanya Bian sambil mengelus perutnya sendiri.“Belum, sebentar lagi ya,” sahut Riana.“Oke, aku siap-siap dulu kalau gitu,” ucap Lian sambil beranjak meninggalkan istrinya.Bian kembali ke kamarnya. dia sangat bangga kepada istrinya itu. Tidak sia-sia dia memperistrikan Riana. Meskipun ada satu yang masih membuat dia tertahan untuk menyentuh sang istri, memberikan napakah lahir batin.Di perpustakaan mini yang membatasi kamar Bian melihat h