Sore yang dingin, gerimis memecahkan kerinduan terdalam pada orang-orang yang sudah jauh gamitan tangannya. Pak Muhar biasanya menghabiskan waktu di kamarnya yang sudah di desain sedemikian rupa. Sehingga beliau sangat betah berlama-lama di sana.Interior yang klasik. Sebuah lukisan pemandangan sebuah pantai yang cukup populer di Aceh Pantai Lampuuk. Rak buku yang rapi. Berisikan buku-buku tentang bisnis, politik, agama dan juga beberapa novel detektif dan novel pengembangan diri. Dan sebuah meja kerja di lengkapi dengan komputer untuknya menulis. Kamar itu sangat rapi. Sebuah sajadah nampak terbentang di atas permadani di samping kanan tempat tidurnya. Ada sebuah Al-Qur’an yang selalu dibaca sebelum tidur dan sehabis salat. Sedangkan di sebelah kiri ada dua foto berbingkai unik dari kayu. Foto dia dan istri saat Angga masih balita. Dan foto istrinya seorang diri dengan pose yang nyentrik seperti anak-anak muda sekarang.Pak Muhar tidak sibuk dengan urusan sendirinya. Pada sore terse
Mahra sudah menghitung semua royalti penjualan buku. Yang sudah ditransfer lumayan besar. Lalu orang tuanya menambah hingga puluhan juta. Sehingga modal awal untuk yayasan “Mata Hati” sudah memadai.Mata hati adalah nama dari yayasan yang dibangun Mahra. Hasil penelitian di lapangan juga sudah di rekap dari beberapa kabupaten yang dikunjungi. Dia membangun komunikasi yang baik dengan pemuka masyarakat. Seperti camat, mukim, kepala desa, kepala sekolah, ketua yayasan dan tokoh-tokoh adat.Melalui para tokoh tersebut, Mahra meminta untuk dikirim anak-anak yang mau diasramakan, dibina untuk pengembangan diri. Untuk tim pengajar, khusus pelajaran agama. Akan dibuat seperti sistem dayah. Pelajaran agama akan dipelajari malam hari. Untuk gurunya langsung dicari dari dayah-dayah yang ada di sekitar Banda Aceh dan Aceh besar.Mahra juga sudah membangun komunikasi dengan beberapa kenalan yang notabene orang Dayah. Para pemuka-pemuka agama tersebut berjanji akan mengirim orang-orang yang berku
Yayasan resmi di buka. Meskipun masih tahap awal, tetap ditentukan tahap rekrutmen penerimaan siswa. Siswa dikirim dari berbagai latar belakang, usia berbeda. Pada hari pertama, Mahraa menerima dua orang siswa yang di kirim dari perdalaman Aceh Selatan. Keduanya yatim piatu, adik beradik.“Perkenalkan nama saya Yatim dan ini adik saya Yatam,” anak tersebut memperkenalkan diri dengan susah payah. Karena dia belum begitu mahir bahasa Indonesia. Sehari-hari dia menggunakan Bahasa Kluet. Mahra menahan tawa. Saat mendengar nama mereka yang hanya berbeda satu huruf vokal. Tapi terdengar unik, ‘ Yatim dan Yatam’ siswa pertama Yayasan ‘Mata Hati’. Karena masih berdua. Mahra memboyong mereka ke rumahnya.Kedua anak kakak beradik tersebut berangkat dari kampung dengan nekat ingin menjadi orang sukses. Karena selama ini mereka hanya tinggal bersama pamannya yang hidup dalam keadaan pas-pasan. Keduanya hanya terpaut usia dua tahun. Yatim berusia empat belas tahun. Sedangkan adiknya dua belas t
Setelah penantian berbulan-bulan. Bisnis pariwisata Angga pun kelar. Seluas dua hektar, bibir pantai didesain sedemikian rupa. Sehingga nampak begitu mempesona, membuat para penikmat traveling menelan ludah. Karena tanah seluas dua hektar itu, bisa memberikan nuansa traveling ke negeri Belanda, Paris dan Italia. Tanah seluas dua hektar tersebut , dibagia dalam tiga bagian. Sebagian tempat dihiasi dengan puluhan kincir angin dan kafe-kafe yang berbentuk perumahan di desa Kinderdijk Belanda. Sebagian lagi didesain bagai bangunan negeri Roma yang digagahi oleh menara Pisa. Dan sebagian lagi di gagahi oleh menara Eiffel. Semua bagian tempat di lokasi tersebut menyuguhkan pesona Eropa.Angga tersenyum puas, saat mengelingi tempat barunya itu. Arsitektur yang sangat luar biasa, bisa memadukan ketiga negara maju dalam satu lokasi. Meksipun tempat bernuansa Eropa, makanannya tetap kuliner khas Aceh.Aneka olahan lobster, olahan kepiting, ikan, cumi-cumi da kerang. Dan juga aneka kopi khas
Pagi yang sejuk, Mahra telah keluar dari kamar penginapan sejak sunrise pagi masih membentang. Dia tidak ingin melewatkan moment sunrise di pinggir pantai itu. Kini, matahari telah beranjak dari peraduannya. Berbagai pesona sunrise telah direkamnya dalam kamera digital yang dia sandang.Mahra duduk termenung memandangi laut yang luas tak bertepi. Entah kenapa, dia selalu menyukai kesendirian sembari menikmati pesona alam. Pikirannya meliuk-liuk dibawa angin laut yang membelai wajah. Banyak hal yang tergambar dalam pikirannya.Masa depan ke tujuh belas anak yang dia tampung adalah nomor satu. Merekalah buah jantung sejak bertahun-tahun lama. Meskipun tidak melahirkan mereka. Tapi, setidaknya Tuhan telah memberikan dia kesempatan untuk merawat anak-anak dengan kasih sayang. Tidak tanggung-tanggung, suprise Tuhan untuk dia merasakan menjadi orang tua. Dengan dianugerahi anak-anak di Yayasan Mata Hati sebanyak tujuh belas orang.Kini Mahra dipanggil bunda, Bunda Mahra. Perempuan terkasih
Liburan di Simeulu dengan keluarganya sudah usai. Mahra buru-buru ke yayasan dia sangat merindukan anak-anaknya. Saat mobil memasuki perkarangan yayasan. Anak-anak berhamburan berlari pada arah depan asrama. Mahra mendengar semua yang disampaikan anak-anak. Ada yang menanyakan kabar, ada yang melapor projek mereka, ada yang mengeluh.Satu persatu dicek ke lapangan, projek pertanian, perternakan juga projek kreativitas mereka. Mahra sengaja menyisihkan waktu setengah harinya, hanya untuk anak-anak. Kemudian mengadakan rapat dengan para dewan guru. Masing-masing guru melaporkan keluh kesah dan perkembangan anak-anaknya. Mahra mencermati dengan seksama.Para dewan guru sangat menghormati Mahra. Bukan hanya saja karena dia sebagai owner yayasan. Tapi karena dia sangat bijaksana dalam memimpin yayasan. Merangkul para dewan guru untuk mengajar anak-anak.Makanya para bawahan selalu menghargai apa yang dia terapkan di Yayasan ‘Mata Hati’. Demikian pula, Mahra yang sangat menghormati setiap
Waktu terus berjalan. Mahra sibuk menguruskan anak-anak yang akan ikut ayahnya ke Medan. Juga beberapa anak yang mau dimagangkan di luar yayasan.Anak yayasan ‘Mata Hati’ tidak hanya dibekali ilmu dalam bentuk konsep. Tapi, juga pengamalan dan prakteknya.Maka, yang mengambil projek pertanian akan magang di beberapa area perkebunan di Gayo. Juga, yang mengambil projek berdagang, mereka akan diberi modal lalu jualan di pasar induk Aceh besar dan Banda Aceh.Setelah semua keperluan anak-anak yang magang. Mahra baru merasa lega. Akhirnya idenya tidak sia-sia. Anak-anaknya sudah bisa diharapkan mandiri untuk masa depannya mereka. Mahra mengumpulkan anak-anak sebanyak tujuh orang.Mahra menatapkan mereka lekat-lekat. Memberikan nasihat dari hati. Berharap mereka tidak lupa yang pernah diajarkan guru-guru di yayasan. Adab sopan santun terus terpelihara walaupun sudah bebas di luar sana.Bagi Mahra, anak-anak yang siap mengikuti magang. Adalah anak tertuanya. Sebagai pijakan awal, juga sebag
Dari kerumunan anak-anak Mahra melihat seorang lelaki paruh baya. Laki-laki itu langsung berdiri saat menyadari kehadirannya. Dia berjalan menuju arah laki-laki itu berdiri. Di belakangnya berdiri seorang anak dengan wajah kusut.“Assalamualaikum, Bu Mahraa,”sapa laki-laki tersebut.“Waalaikunsalam,” sahut Mahra“Perkenalkan saya Anto dari kota Binjai,” lelaki itu memperkenalkan diri.“Ada perlu apa, Pak?” tanya Mahra dengan ramah. Matanya memperhatikan gadis kecil yang bersembunyi dibelakangnya.“Saya ingin menitip anak ini ke Ibu!” sahutnya agak ragu-ragu.“Hai siapa namanya?” setelah mendengar penuturan Pak Anto. Mahra langsung menyapa anak perempuan kecil yang nampak ciut melihatnya.Mahra mengulurkan tangan. Pak Anto menuntun gadis kecil itu untuk menyalami Mahra. Dia menggenggam erat tangan mungil itu.“Nama Ibu, Mahra. Namamu siapa?” ujar Mahra lagi dengan lembut.“A-Alika,” ucap gadis kecil itu dengan terbata-bata.Pak Anto pun ikut tersenyum saat Alika menjawabnya. Nadia mem