Share

Pergi

Setelah subuh Mahra, memasak nasi goreng kesukaan Refans. Memasak untuk terakhir kalinya.

“Semoga Bang Refans mau makan masakanku ini!” ujarnya. Dia sudah tidak menangis lagi. Hatinya sudah ikhlas menerima perpisahan dengan Refans.

Perempuan yang baru saja genap 29 tahun usianya september lalu, mengemaskan semua barang-barangnya. Di kamar megah Refans dia tidak meninggalkan sepotong bajupun. Karena sudah bukan lagi suami istri. Mahra tidur di kamar belakang yang kosong. Dia tidak menanti lagi kepulangan Refans.

Jam tujuh dini hari rumah sudah rapi. Baju-baju kotor Refans sudah dicuci. Sarapan sudah tersedia di atasa meja. Mahra hanya meneguk segelas susu dan memakan sepotong roti. Dia tidak nafsu makan. Entah karena hatinya yang masih terasa pilu. Semalaman dia bersimbah dia atas mihrab. Mengadukan nasipnya yang malang pada Tuhan. 

Setelah memesan taksi online dia hendak membawa kopernya ke depan rumah. Sengaja tidak pamit lagi pada Refans. Perasaannya yang kini tercabik-cabik. Akan bertambah sakit ketika dia menatapnya lagi. Namun dua langkah dia beranjak, suara bariton dari tangga menghentikan langkahnya.

“Mahra!” panggil Refans dengan tatapan dingin. Namun, perlahan dia menatap dengan kosong. Seakan sorot matanya menjelaskan untuk Mahra jangan pergi.

Mahra berbalik, dia terdiam mematung. Tubuhnya bagai disengat listrik. Sudah lama sekali Refans tidak menatapnya seperti itu.

“Kamu akan segera pergi?” tanya Refans dengan suara tercekat.

Mahra mengangguk. Dia berusaha melawan rasa sakit. Perlahan melangkah mendekati Refans. Kini jarak mereka hanya selangkah lagi.

“Abang, Mahra minta maaf jika selama menjadi istri abang. Mahra tidak bisa menjadi istri yang baik.” Suaranya terhenti, dia mengenggam tangannya erat-erat.

“Hari ini Mahra akan pulang ke rumah orang tua lagi! Ridhoilah segala perilaku baik buruk Mahra selama ini. Halalkan segala yang Mahra makan dan gunakan selama kita menjadi suami istri.” Mahra tertunduk dalam, dia tidak lagi menyembunyikan tangis yang hampir pecah. Dia seakan tidak percaya, sekarang berada di titik yang tak pernah dia harapkan dalam berumah tangga.

Refans bagai tenggelam di sana. Sekejam-kejamnya dia selama ini pada Mahra. Tapi, dia tidak bisa mempungkiri bahwa Mahra adalah perempuan yang baik. Yang dulu membuatnya jatuh cinta. Selama empat tahun berumah tangga, tidak sekali pun dia berbuat salah. Dia selalu berusaha menyenangkannya.  

Namun, keadaan Mahra yang mandul membuat dia jengah. Apalagi tekanan dari keluarga agar dia segera punya anak. Dia terkecoh untuk selingkuh dengan siapa saja di luar sana. Dan selingkuh dengan Lira hanya untuk menjatuhkan bisnis Angga. Tapi, sekarang malah Angga yang membuatnya kelimpungan. Entah kenapa hari ini dia baru menyadari betapa berharganya Mahra disisinya. Semuanya sudah terlanjur. Lagian mempertahankan Mahra akan membuat perusahaannya bermasalah. Karena kini popularitasnya ada di tangan Angga Kurniawan. 

“Mahra telah aku ikhlaskan apa yang sudah menjadi hakmu. Kamu istri yang baik, aku harap kamu bahagia setelah ini. Sampaikan permintaan maafku pada ayah dan ibu.” Mata Refans terasa panas. Dia ingin sekali merengkuh tubuh ramping di depannya.  Ingin sekali mendekapnya dengan lembut. Tapi, dia sudah bukan lagi istrinya.

“Tunggu sekejap!” Refans segera berlari ke lantai atas. Beberapa saat kemudian turun dengan tergopoh-gopoh.

“Mahra cincin ini sudah lama kubeli untukmu. Tapi, aku lupa kasih ke kamu. Terimalah ini, walaupun tidak mahal. Namun bisa menjadi kenangan dariku.” Refans menyerahkan sebuah kotak beludu biru. Di sana terpampang cincin berlian merah dengan bentuk kuncup mawar.

“Ambillah.” Desak Refans, dia memperhatikan jari manis Mahra sudah tidak lagi memakai cincin kawin mereka. “Aku juga tidak menarik atm yang kamu pegang. Aku sudah menstranfer 200 juta lagi untukmu. Katakanlah nafkah terakhir dariku,” ujar Refans sambil menatap Mahra dengan lekat.

“Ti-tidak per…” Mahra menolak kotak itu.

“Tolong ambillah!” pinta Refans dengan mata berkaca-kaca.

Mahra mengangguk pelan, kemudian memasukkan ke dalam sling bagnya.  Dia tidak sanggup melihat Refans yang entah kenapa begitu menyedihkan.

“Aku per…”

“Refans sayang!” tiba-tiba muncul Resa di sana. Mantan ibu mertua Mahra.

Refans terkejut melihat ibu dan kakaknya pagi-pagi muncul di rumah dia.

Mahra ingin segera pergi dari sana.

“Lho ini apa-apaan bawa koper segala?” tanya Resa melihat Mahra memegang koper.

“Ma.” Panggil Refans dengan suara rendah. “Refans dan Mahra sudah resmi bercerai.”

Mata ibu dan anak itu terbelalak seperti akan keluar dari pelupuknya.

“Serius sayang?” teriaknya tak percaya.

Refans hanya mengangguk.

“Mama bahagia sekali mendengarnya. Akhirnya kamu melepaskan wanita mandul seperti dia,” ejek Resa.

Deg. Hati Mahra meringgis pilu. Haruskah mantan mertuanya itu mengungkit hal yang menyakitkan itu lagi. Ya bercerai dengan Refans barangkali akan lebih baik. Tanpa ada lagi yang menghinanya setiap saat.

“Lagian Mama sudah ada calon yang selevel denganmu Sayang. Dia masih muda, baru lulus kuliah di London cantik lagi. Mama akan….”

Refans memelas wajah. “Ma! Tolong jangan menghina Mahra seperti itu!”

“Oh tunggu! Kamu kembalikan perhiasan dan atm yang Refans beri padamu. Tidak ada harta gono gini. Kamu datang ke sini tidak membawa apa-apa. Rumah ini suamiku yang beli untuk Refans.” Perempuan itu mengabaikan warning dari anaknya.

“Kita periksa aja kopernya Ma!” tambah Lala kakaknya Refans yang sedari menatap sinis pada Mahra.

“Tidak perlu!” sahut Refans menghentikan dua perempuan yang baru dia sadari sangat keterlaluan memperlakukan Mahra.

“Mahra tidak seperti yang kalian pikirkan!” tambah Refans.

“Pergilah Mahra taksi sudah menunggumu.” Dia terpaksa menyuruh Mahra pergi dari pada ibu dan kakaknya bersikap makin kurang ajar.

**

Beberapa menit setelah kepergian Mahra. Angga datang, masuk ke rumah Refans tanpa permisi. 

“Dimana Mahra?” tanya Angga dengan suara baritonnya.

Laki-laki tampan itu memperhatikan setiap sudut dia tidak mendapatkan jejak apapun.

“Untuk apa kamu mencarinya ke sini?” tanya Refans dengan suara dingin. Entah kenapa hatinya terasa panas saat laki-laki itu memanggilnya dengan panggilan Mahra.  Karena hanya orang inti yang memanggil “Mahra”. Orang Luar  memanggilnya Nadia.

“Dia bukan lagi istrimu bukan urusanmu dong aku cari dia.” sahut Angga dengan sombong.

Refans terdiam tak bisa menjawab.

“Jangan sampai aku tahu kamu apa-apain dia. Maka tamat riwayatmu.” Bentak Angga.

Resa dan Lala terkejut melihat Refans yang hanya diam.

“Mahra sudah pergi ke Bandara” jelas Refans.

“Pulang ke Aceh?” tanya Angga.

Refans mengangguk. Dia tidak mau mencari masalah dengan Angga. Sudah cukup istrinya yang hilang, jangan lagi perusahaannya.

Thanks kamu udah melepaskan permata yang selama ini terkungkung dalam keegoisanmu. Kamu sangat bodoh Refans,” ejek  Angga dengan lantang.

“Heh siapa kamu? Berani-beraninya menghina putraku.” Resa berdiri dengan wajah garang. “Jangan-jangan kamu selingkuhan perempuan kampung itu?”

“Ups tante. Seperti anda harus memperbaiki kata-kata anda.”Angga menatapnya dengan dingin.

“Putra anda ini bukan pria berkelas seperti yang anda pikir. Dan Mahra bukan selevel perempuan yang suka main belakang. Anak anda selingkuh dengan istri saya. Bahkan aku punya video dan foto yang bisa tersebarkan di media. Aku yakin langsung viral,” ungkap Angga.

Resa ternga-nga. Dia menatap Refans penuh kebingungan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status