“Ini pasti salah! Aku nggak mungkin hamil!” guman Lira seorang diri di kamar mandi. Dia baru saja melakukan tes pack.
“Tapi, ini garis dua lho!” ujarnya lagi sembari melihat lebih jelas pada benda di tangannya.
“Ya Tuhan, ini gawat!” dia terus memperhatikan alat tersebut. Sangat jelas di sana, dua garis merah muncul cukup kentara.
Lira segera mengecek kalender.
“Yah, aku udah telat dua bulan!” dia seraya menutup mulutnya.
Bayang-bayang hubungannya dengan Refans.
“Ini pasti anak Refans?” pikirnya lagi. “Mana mungkin anak Mas Angga. Dia bahkan setahun menikah tidak pernah menyentuhku!”
“Tapi bener nggak sih anak Refans?” Lira nelansa. Karena seingatnya, juga pernah dugem beberapa kali hingga ke menghabiskan malam panjang dengan laki-laki tersebut.
Dia menatap nanar ke jendela yang terbuka. Menautkan alisnya, berpikir keras, kemana harus diminta pertanggung jawabkan kehamilannya. Angga tidak sebodoh itu, jika harys rujuk lagi dengannya hanya karena dia hamil.
Kehidupannya sangat kacau. Karena setahun menikah dia hanya menjadi istri pajangan. Angga memilih tidur di lantai dari pada seranjang dengannya. Karena bosan dianggurin terus. Lira kembali menajdi liar. Main ke klub, dugem setiap malam. Lalu tidur dengan siapa saja. Tapi, selama itu dia selalu meminta siapapun itu pakai pengaman.
“Mas kita bisa jumpa. Ada yang mau aku omongin!” tulis Lira. Lalu mengirim pada Angga.
Hanya lima detik. Pesannya sudah dibalas.
“Kita sudah nggak ada urusan apa-apa,” balas Angga.
Lira menatapnya nanar. Ya semenjak diceraikan kemarin. Angga sudah tidak pulang lagi ke rumah mereka. Lira masih di sana. Percuma, sejak dulu. Dia selalu sendirian di rumah besar itu. Hanya ada pembantu yang pagi datang pulang sore.
“Mas, barang-barang kamu masih di rumah kita lho!” balas Lira lagi.
“Oh ya, hari ini juga kamu angkat kaki dari rumahku. Itu bukan rumah bapakmu ya! Aku harap nggak perlu pakai pemaksaan untuk mengusirmu dari sana!” balas Angga.
“Mas, nggak bisa gitu dong. Ini sudah menjadi rumah aku ya. Harta gono gini masak nggak ada?” balas Lira lagi.
“Mimpi lho! Satu jam lagi kamu sudah tidak ada lagi di rumah itu. Karena pembelinya akan segera menempatinya!” balas Angga.
“Oh ya, mobil, dan uang di atm itu harta gono gini untukmu. Baik juga kan aku. 200 juta cash tambah mobil untukmu!” tulis Angga lagi.
Lira masih belum terima. Hanya segitu yang dia terima. Padahal kekayaan Angga sangat banyak. Belum lagi kini dia mengandung. Ayahnya pasti tidak mau mengurusnya lagi.
Lira hendak menelpon mantan suaminya itu. Tapi, nomornya sudah di blokir.
**
Setahun yang lalu, Lira merasa sangat beruntung. Karena Ayahnya menjodohkan dia dengan seorang laki-laki tampan dan kaya raya. Namun, semua tak seindah mimpi. Lira justru tidak mampu menaklukkan dinginnya sikap Angga.
“Mas, mau kemana ini kan malam pertama!” seru Lira setelah mereka di kamar.
“Aku ada pekerjaan. Karena seharian sibuk di sini!” ujar Angga dengan tatapan dingin.
“Tapi, Mas. Ini malam pertama kita! Masa kamu mau anggurin aku!” goda Lira. Dia sudah menggunakan lingery yang cukup seksi untuk bersenang-senang dengan suaminya.
“Sori ya, aku harus pergi! Pekerjaanku tidak bisa ditunda. Besok ada meeting dengan klien!” jelas Angga masih dengan cara yang cukup baik.
“Mas, aku….”
“Assalamualaikum!” Angga pun melenggang pergi. Dia memutar mobil ke kantornya. Tidak ada ketemu klien, tidak ada pekerjaan apa-apa. Dia hanya menghindar dari Lira.
Minggu pertama, Angga semakin sibuk di kantor. Lira semakin merasa tak dihargai.
“Ma, sebenarnya, aku nikah sama Angga hanya agar dia mau investasi di perusahaan Papa?” tanya Lira.
“Eh kok kamu nanya gitu?” Maria menatap putrinya yang cemberut.
“Terus untuk apa juga? Lihat sekarang, percuma aku menikah dengan dia. Dianya sibuk sendiri!” protes Lira.
“Kamu harus paham-paham dong. Angga itu pembisnis, perusahaannya banyak. Dia memang sangat sibuk. Lihat Papamu yang hanya perusahaan satu aja sibuknya minta ampun. Apalagi dia punya banyak unit perusahaan!” jelas Maria.
“Tapi, Ma. Harusnya sekarang aku lagi bulan madu! Lihat udah seminggu dia pulang aja jarang!” protes Lira lagi.
“Kamu yang sabar! Itu resiko nikah sama orang tajir. Kamu harus pintar-pintar dong agar tidak dibuang sama Angga. Mimpi apa Mama bisa punya menantu sekaya Angga!” Maria memujinya dengan bangga,
Lira masih saja belum terima. Sejauh ini. Angga belum menunjukkan ketertarikan padanya.
**
“Mas kapan kita honeymoon?” tanya Lira setelah dia bertamu ke kantor Angga.
“Aku sedang tidak bisa Lira. Proyekku di Batam, baru di mulai!” jelas Angga.
“Mas kamu itu bos besar lho. Kita honeymoon 3 hari atau empat hari. Kana da staf yang menghandle!” Lira tentu paham soal perusahaan. Dia juga bekerja selama ini di perusahaan papanya.
“Nggak bisa Lira! Investor asing akan datang dalam pekan ini!” jelasnya lagi.
“Mas, nggak bisa gitu dong! Aku menuntut hakku sebagai istri!” tegas Lira.
“Kamu mau apa?” Angga menatapnya dengan tajam.
“Aku mau nafkah dari kamu sebagai istri!” Lira tergagap.
“Oke, besok kita pulang ke rumah kita! Aku akan memberikan semua nafkahmu. Mulai dari tempat tinggal, uang belanja dan semua kebutuhan kamu!” tegas Angga.
“Rumah baru? Kita akan tinggal di rumah baru mas!” Lira hanpir berteriak saking senangnya.
Angga mengangguk. Sebagaimana pesan sang ayah. Dia harus segera mendidik Lira agar menjadi lebih baik. Meskipun untuk menyentuhnya dia butuh waktu. Semua itu karena permintaan ayahnya. Karena Yatma merupakan sahabat karib sang ayah. Dan Lira satu-satunya anak perempuan Yatma.
Lira pindah ke rumah yang baru saja dibeli oleh Angga. Rumahnya cukup mewah, di komplek perumahan elit. Dia tak menyangka, akan semakin jaya hidupnya. Apalagi Angga juga memberikan dia sebuah mobil mewah untuknya.
“Lira, kamu tahu kan kita menikah karena perjodohan!” ujar Angga.
Lira mengangguk.
“Aku belum bisa menjadi suami seutuhnya untukmu. Aku butuh waktu, karena aku tidak mencintaimu! Jadi selama aku belum bisa mencintaimu. Kita tidak tidur sekamar!” ujar Angga.
Lira menatapnya dengan rasa tidak bisa dijelaskan. Karena dia tidak pernah memahami tentang cinta.
“Tapi, tenang, rumah ini, mobil semua fasilitas yang ada. Dan ini kartu kredit dan atm. Bebas kamu gunakan!” ujar Angga.
Lira menalan salivanya, Tidak terlalu buruk.
“Bagaimana? Bisa kan?” tanya Angga lagi.
“Bisa mas!” dia mengangguk cepat. Setidaknya fasilitasnya lebih dari cukup. Soal urusan biologis dia yakin, laki-laki mana yang akan tahan dengan pesonanya. Mereka akan tinggal serumah, sangat mudah menggoda Angga.
Setahun sudah berlalu. Lira tak pernah berhasil merayu Angga untuk menyentuhnya. Bahkan dia sudah berpikir kalau Angga tidak normal. Bahkan dia pernah telanjang bulat mendekatinya. Angga justru mengejeknya.
“Kamu ini tak lebih kurang dari pelacur di luar sana!” ejek Angga. Membuat Lira sangat malu.
Suatu malam, Lira pulang hampir subuh dalam keadaan mabuk. Angga memapah sang istri ke kamar.
Keesokan harinya. Menjelang sore Lira baru terbangun. Dia menemui Angga di ruang kerjanya.
“Kalau kamu nanti hamil, jangan berharap aku mengakui itu anakku!” tegas Angga.
“Kamu juga tak pernah menyentuhku!” geram Lira.
“Kamu itu tidak bisa bersabar! Aku sudah bilang butuh waktu!” tegas Angga.
“Ini udah setahun Mas!” tegas Lira.
Angga mendekat. “Aku jijik dengan kamu Lira! Kamu itu menjajakan tubuhmu pada setiap laki-laki di luar sana! Kamu itu lebih murah dari pelacur! Pelacur meminta uang setelah tidur dengan laki-laki manapun. Sedangkan kamu, menjajakan tubuhmu dengan gratis!” tegas Angga.
3000 LOVE untuk pembaca :)
“Papa tidak mau tahu, kamu harus mencari investor baru untuk perusahaan kita!” tegas Yatma.Lira nampak ciut, bukan mudah mencari investor sekelas Angga. “Itu semua gara-gara kelakuan bodohmu. Sudah punya suami ganteng-ganteng kaya lagi masih aja selingkuh! Dasar bodoh!” umpat Maria ibunya Lira. Mereka sangat kesal dengan sikap putri mereka yang menimbulkan kerugian besar. Perlu diketahui bahwa pernikahan Lira dan Angga merupakan pernikahan bisnis Antara Yatma dan Muhar.“Angga itu di…”“Stop, Papa tidak mau dengar ocehanmu.” Yatma pergi dari ruang tamu menuju ruang kerjanya. Dia sangat frustasi mengingat keadaan perusahaan yang diambang kebangkrutan.“Kamu memang anak tidak tahu diuntung, bisanya Cuma buat orang kesusahan saja.” Maria menatapnya tajam, lalu meninggalkannya seorang diri.“Ah sialan. Ini semua gara-gara Angga. Kenapa pula dia harus menceraikanku? Tapi, Refans juga harus bertanggung jawab dia telah memutar balik semua ini.” Lira bergumam sendiri.“Arrrrgh sialan. Seka
“Kenapa aku tidak menemui Papa mertuaku. Bukankah dia sangat menyayangiku! Aku akan membujuknya. Tentu dia sangat senang jika tahu kalau aku hamil! May bee?” pikir Lira di tengah hatinya yang sangat buruk. Lira segera memutar arah ke rumah mantan ayah mertuanya.Bunyi klakson bertalu-talu, membuat satpam pun mendongak di sana.“Ada apa?” ujar Joko dengan ketus.Lira sangat kesal dengan sikap Joko seakan dia tamu tak dikenal.“Heh Joko buka pintu jangan songong begitu lo! Lo cuma satpam di sini!” sembur Lira dengan kesal.“Maaf Tuan Angga sudah meningatkan saya untuk tidak membuka pintu jika ada yang datang bernama Lira.” Joko bersikap seakan tidak mengenali Lira.“Woi sialan lo bajingan. Buka nggak! Gue tabrak ni!” teriak Lira lagi sehingga dia adu mulut dengan Joko yang ngotot tidak mau buka. Keributan itu di dengar Muhar. Dengan pelan-pelan dia mendekati pintu. Joko segera berlari menuju Muhar yang duduk di atas kursi roda.“Siapa yang datang?” tanya Muhar dengan lembut.“Itu Tuan,
Sepagi itu, jam 6:45 WIB. Cika sudah menjadi salah satu orang pemburu waktu di jantung Kota Jakarta. Karena diprediksinya, hari senin akan lebih macet dari biasanya. Sedangkan dia harus sampai ke kantor penerbit lebih cepat pada hari tersebut. Keadaan Kota metropolitan ini benar-benar menyesakkan napas. Untuk orang-orang yang memiliki prinsip on time seperti Cika. Kedisplinan waktu baginya, merupakan anak tangga pertama yang harus diinjak oleh orang-orang yang berharap sukses dalam karirnya.Selepas tamat SMA. Perempuan berdarah Manado tersebut hanya ingin kuliah. Agar bisa mengangkat derajat kelas status sosialnya yang lebih baik. Di awal-awal berada di kota Jakarta tersebut. Tidak lantas membuatnya hanya menunggu kiriman orang tuanya, yang hanya petani biasa. Lima belas hari, setelah diterima di kampus swasta tersebut. Dia bekerja paruh waktu disebuah rumah makan sebagai tukang cuci. Tidak begitu besar, hanya menerima lima ribu per jam kerjanya.Rumah makan yang menerima Cika bekerj
Angga : “Ayah tidak apa-apa?”Muhar “Tidak apa-apa. Ayah hanya shock aja kemarin. Lira sangat ganas tidak seperti ayah kira.”Angga : “Itulah kenapa Angga nggak ngizinin dia masuk. Perempuan itu nekad.” Muhar : “Ayah yang menyuruh Joko membuka pintu. Ayah tidak berpikir sejauh itu. Maafkan ayah!” Angga : “Sudahlah Yah. Ayah istirahat saja. Besok Angga baru pulang ke Bandung.” Muhar : “Iya Nak. Hati-hati. Jaga kesehatan.”Angga : “Iya yah. Ayah juga jaga kesehatan.”Angga menutup teleponnya. Angga segera memutar mobil untuk bertemu dengan Cika.Hanya tiga puluh menit. Dia sudah tiba ruangan Cika.“Kamu harus cerita detail padaku!” pinta Cika.Semua cerita Angga membuatnya ternga-nga. Apalagi kalau mereka sama-sama sudah bercerai.“Cik, aku ingin menyiapkan tiket holiday untuk Mahra. Gimana menurut kamu?” ujar Angga.“Wow, good idea. Berarti sudah saatnya kamy menyambarnya secara langsung face to face,” Cika senang mendengarnya.“Tidak, Cik. Aku masih ingin memberikan hadiah ini secar
Di pagi yang cerah Mahra tergesa-gesa memeriksa kopernya. Berkali-kali melirik arloji. Tinggal satu jam lagi keberangkatannya ke Spanyol. Meninggalkan kota Banda Aceh. Tidak lama. Hanya dua minggu.Tiket Holiday yang diperolehnya secara cuma-cuma dari penerbit. Mahra tidak pernah berpikir. Bahwa tidak ada penerbit yang pernah memberikan hadiah sebesar itu kepada penulisnya. Selaris apapun bukunya. Penerbit hanya akan menambah persen royalty, jika buku seorang penulis semakin laris.Burhan sempat bertanya-tanya tentang itu. Tapi sepertinya itu hal yang wajar saja. Mungkin saja, penerbit ingin menumbuh semangat kepada para penulis. Barangkali, putrinya salah satu yang paling beruntung diantara yang beruntung.“Sudah siap, Nak?” tanya Meilida“Sudah, Mak.” Mahra meyakinkan diri tidak ada lagi yang ketinggalan.“Coba diingat-ingat lagi apa yang belum dimasukin ke koper?” perintah Meilinda lagi.Mahra kembali ke catatan kecil berupa list barang-barang yang akan dibawa. Semuanya sudah dicet
Setelah puas mengelingi kota Madrid. Mahra beranjak ke kota Barcelona. Kemudian menjelajah seluruh sudut negara Spanyol. Seorang diri tanpa ada seorang pun yang dia sebut cinta. Cinta, baginya kadang-kadang begitu menyebalkan dan menyakitkan. Tapi, kini dia sudah kehilangan separuh cinta. Cinta yang sudah diperjuangkan pergi begitu saja. Tanpa sedikitpun menghargai rasanya yang tulus dan ikhlas.Mahra menikmati perjalanannya ke kota yang terkenal dengan sepak bola itu. Madrid dan Barcelona. Dua klub bola paling terkenal di dunia. Bahkan anak-anak di sudut negerinya hafal nama pemain kedua klub ini.Setelah mengunjungi setiap kota. Dua hari digunakan untuk mengistirahatkan tubuh. Sembari menulis jurnal travelingnya. Mahra menertawakan diri sendiri, seorang penulis novel malah berubah menjadi blogger travel.Sebenarnya, Mahra sudah lama mengintip dunia blogging itu. Hanya saja, semenjak memutuskan tidak mempublikasikan tulisannya. Demi mematuhi perintah Refans. Mahra hanya mempelajari d
Mahra mendorong troly yang penuh dengan koper-koper yang terisi penuh. Dengan sebuah kacamata hitam yang hampir menutup wajahnya.Angga saat tanggal mendekati kepulangan Mahra. Dia pergi ke Spanyol, hanya untuk mengontrol perjalanan Mahra seorang diri. Dia takut, ada orang-orang yang bermaksud jahat pada perempuan pujaannya itu.“Serius kamu Ngga mau nyusul Mahra ke sana?” tanya Cika.“Nampak aku main-main Cik?” tanya Angga.“Yayaya cinta sejati memang harus diperjuangkan!” Cika seraya meneguk tehnya. “Gimana kalau kamu ungkapin perasaan kamu di sana!”“Oh tidak Cika. Itu namanya bunuh diri!” Angga membayangkan wajah dingin Mahra saat mereka bertemu dulu,“Jadi kamu mau nunggu lagi?” tanya Cika.“Bahkan lukanya belum kering. Mana mungkin dia dengan gegabah menerima orang baru! Mahra tidak sebodoh itu.” Rahang laki-laki 32 tahun itu menegang.“Ya aku tahu. Bukankah kamu juga begitu?” tanya Cika balik.“Eh nggaklah. Beda laki-laki dan perempuan! Apalagi aku dengan Lira menikah dengan ter
Akmal langsung mengikuti Angga. Laki-laki itu berjalan menuju parkiran.“Maaf sepertinya saya melihat anda berbicara dengan adik saya.” Tanya Akmal setelah mendekatinya.“Maaf, siapa yang anda maksud?” tanya Angga.“Nadia Mahra.” Akmal masih menunjukkan ekspresi dinginnya.“Oh iya.” Angga segera tersenyum.“Anda mengenalnya?” tanya Akmal. Dai sedang mencari tahu penyebab Mahra dan Refans bercerai.“Ya, siapa yang tidak mengenalnya dia penulis best seller.” Angga tertawa pelan. “Maaf anda saudaranya?”“Ya saya Kakaknya.”“Salam kenal, saya Angga, penggemar novel Nadia.” Dia berusaha agar tidak keceplos dengan masalah yang berkelit dengan mereka.“Lalu siapa perempuan tadi?” tanya Akmal. “Yang hendak menjambak adikku?”“Dia mantan istriku?”“Mantan istri?”Angga mengangguk.“Sepertinya kita perlu ngopi?” ajak Akmal.“Oh boleh.”Angga masih tersenyum.“Saya harus mengantar Mahra ke apartemen. Kita ngopi di dekat apartemen kami aja bagaimana?” tawar Akmal.“Oh tentu saja. Ini nomorr ponsel