Apa yang paling diidamkan wanita, punya suami kaya, baik, sholih, setia, taat ibadah dan sangat sayang pada istrinya?
Lalu, apa yang diidamkan oleh para lelaki? Punya istri cantik, sehat, baik, shalihah dan yang paling penting, bisa memberi keturunan.
Apa jadinya jika semua itu kumiliki sebagai seorang wanita, tapi aku memiliki satu kekurangan yang tidak mampu kugapai bahkan setelah sepuluh tahun pernikahan dengan Mas Bima, ya aku mandul. Aku tidak bisa memberinya keturunan hingga bahagia yang sepuluh tahun membersamai terpaksa kuikhlaskan untuk diduakan dengan wanita lain.
Inilah kisahku ...
*
Semua berawal dari telpon ibu mertua.
"Nisa, nanti malam nginep di rumah Mama, ya?"
Aku terdiam sejenak, tidak pernah selama sepuluh tahun menjadi menantunya mama menelpon dan memintaku untuk tidur di rumah. Kecuali ada acara, itupun bersama suamiku, anaknya.
"Ada acara apa, Ma?"
"Emangnya harus ada acara dulu baru kamu mau menginap di rumah Mama?"
Mendengar perkataan itu, aku jadi merasa tidak enak.
"Oh nggak sih Ma, soalnya Mas Bima 'kan sedang keluar kota. Jadi, nggak ada yang antar Nisa ke sana."
"Kebetulan Sarah sama suaminya ada di Jakarta dan mereka mau balik ke Bandung pagi ini. Kamu bareng di mobil mereka aja ya, biar Mama telpon."
"Iya Ma."
Meski sedikit bertanya-tanya, tapi aku bersiap-siapnjuga menunggu jemputan dari Sarah. Sembari menanti kedatangan adik ipar, aku mengetik sebuah pesan untuk Mas Bima yang mengabarkan bahwa malam ini akan menginap di rumah mama.
Tak lama, Sarah pun sampai. Kami melakukan perjalanan selama kurang lebih tiga jam. Sampai di Bandung, aku melihat sebuah mobil mewah terparkir di sana. Mobil siapa, ya?
"Ayo Mbak, masuk."
Memasuki rumah, aku melihat mama duduk berbicara di ruang tamu. Ada Mbak Ara kakak ipar dan seorang wanita cantik.
"Eh Nisa udah sampai, sini duduk Nis. Kenalkan ini namanya Nirmala Ayu. Mantan pacarnya Bima dulu."
Deg.
Aku teringat pernah sebelum menikah Mas Bima bercerita padaku bahwa dia pernah ingin menikahi seorang gadis. Tapi gadis itu belum mau serius, dia masih mau meniti kariernya sebagai seorang model. Semenjak itu sang gadis benar-benar sibuk dab hubungan merekapun putus. Kalau tidak salah, namanya Nirmala Ayu. Aku juga pernah melihatnya beberapa kali tampil di majalah Nasional. Tidak salah lagi, tapi kenapa dia ada di rumah ini?
"Mala ini sudah lama memutuskan untuk tidak lagi bergelut si dunia model. Mau fokus mencari calon suami."
Mala tampak tersenyum manis. Dia dan Mama kembali terlibat pembicaraan seru. Sementara aku dilupakan. Padahal yang menyuruh datang ke rumah ini juga mama.
Malam harinya Mama memintaku duduk di ruang keluarga. Saat itulah beliau mengeluarkan isi hatinya.
"Berapa lama lagi Mama harus menunggu?"
Mama berbicara sangat tegas dengan sorot mata tajam.
"Menunggu apa, Ma?"
"Kamu telah bergabung dengan keluarga kami selama sepuluh tahun, sampai saat ini Mama tidak melihat tanda-tanda kehamilan padamu."
Aku menangis, untuk inikah aku diundang kemari? Untuk dihina ataukah dipisahkan dengan suamiku?
"Sebenarnya sebelum menikah denganmu, Bima sudah hampir menikah dengan wanita lain yang sangat mama sukai. Tapi takdir memisahkan mereka, bukan karena orang ketiga hanya kesalahpahaman. Sekarang Mama bertanya, kamu maunya bagaimana? Bercerai atau dimadu?"
Ya Allah, kuatkan hati ini.. aku ingin jatuh pingsan. Hati ini seakan remuk mendengarnya. Mengapa mama bersikap seperti ini terhadapku.
"Kenapa diam Nisa, Mama butuh jawabannya sekarang."
Tak ada waktu berdiskusi, sekalipun dengan Rabb yang menggenggam takdir hidup ini. Dengan mengawali Bismillah, aku membuka suara yang terdengar bergetar.
"Demi untuk kebaikan dan masa depan kita semua, aku akan menyambut baik seorang wanita baru dirumah kami. ”
Aku berusaha menahan dengan sekuat tengah ribuan cairan yang hendak keluar dari kedua netra. Siap tak siap, tapi aku sudah rela dimadu.
"Baik. Mama sudah bertemu dengan orangnya Nisa, kamu hanya harus datang untuk melamar dan menyatakan bahwa kamu benar-benar ikhlas menerima dia sebagai istri kedua Bima."
Tidak bisa berkata apapun lagi, aku hanya terdiam menahan rasa sesak di dada.
Di penghujung pertemuan kami, Mama kembali mengingatkan agar secepatnya aku memberitahu Mas Bima perihal ini. Ya Allah, aku tak pernah menangis takdir, semenjak kecil kehilangan kedua orang tua bahkan ketika diri harus menerima segala perlakuan buruk dari keluarga bibi yang pada akhrinya membesarkanku.
Tapi pada kenyataan yang menimpaku saat ini, rasanya aku ingin menjerit. Meminta agar Engkau mengubah takdir. Tapi kucoba kembali berbesar hati dan percaya bahwa tidak ada satupun kejadian di muka bumi ini jika tidak Engkau sertakan sebuah rahmat di baliknya, maka kuatkan hati ini, luaskan sabar agar aku bisa ikhlas menerima kenyataan sekalipun ia sangat menyakitkan terasa.
*
Malam itu, seperti malam-malam lainnya. Kami tertidur setelah selesai melaksanakan sunnah suami istri. Satubjam berlalu, tapi kedua netraku tak jua bisa terpejam. Aku teringat akan permintaan Mama mertua yang belum kujalankan.
Melihat Mas Bima yang sudah terlelap, akhirnya kuputuskan untuk bangkit. Selembar kertas menjadi tujuan mata. Sudah lama aku tidak melatih jemari sebagaimana bakat dan kuliah yang kuambil dahulu.
Sebuah gaun pengantin telah selesai kudesain di atas kertas itu. Tiba-tiba ...
"Bagus sekali gaun pengantinnya," tanya Mas yang membuatku begitu terhenyak. Kusunggingkan selarik senyum.
"Iya harus bagus Mas, ini adalah gaun pengantin bagi siapa saja yang kelak akan menjadi adik maduku.
Lelaki yang sepuluh tahun yang lalu datang pada kedua orang tua dan melamarku dengan begitu gagah, tampak menghela napas berat. Sudah kesekian kali aku membicarakan perihal poligami padanya. Namun, dia terlihat sangat tidak setuju.
"Siapa sih yang mau mendua, Mas nggak mau."
Aku hanya bisa tersenyum dalam tangisan, bukan tanpa sebab diri terus menawarkan sesuatu yang jelas hati belum mampu menjalankannya. Semua karena mama mertua sudah memberi dua opsi, bercerai atau dimadu. Sepuluh tahun sudah dia menanti aku memberikan seorang cucu, tapi sayang sampai detik ini keinginannya belum bisa kuwujudkan.
"Kamu harus mau, Mas. Atau jika tidak, Mama akan merasa sedih."
Kuganti kata marah dengan sedih, bagaimanapun buruknya perlakuan mama mertua selama ini, aku tetap menjaga namanya di depan suami.
"Mama nggak akan sedih, beliau pasti bisa bersabar menunggu kita berusaha lagi. Lagian Mama juga udah punya cucu, dari Sarah juga Mbak Ana."
Andai yang diucapkan Mas Bima benar-benar bisa dilakukan oleh mama?
Sayangnya, mama mertua tidak mau cucu dari dua anak perempuannya, dia mau cucu dari satu-satu anak lelaki yang dimiliki. Beliau bahkan sudah menemukan calon istri kedua untuk suamiku. Menurutnya, jika wanita itu yang kutawarkan, Mas Bima pasti tidak akan menolak.
Terngiang pertemuan beberapa hari yang lalu dengan Mama mertua.
"Mama sudah bertemu dengan orangnya, Nisa. Kamu hanya harus datang untuk melamar dan menyatakan bahwa kamu benar-benar ikhlas menerima dia sebagai istri kedua Bima."
Perkataan Mama hari itu benar-benar seperti petir yang membelah hati ini. Ibarat permukaan air yang tenang menabrak batu besar di pinggiran lautan, dada terasa terhempas. sekujur tubuh lemah mendapati kenyataan bahwa tak ada alasan lagi untuk menghindar. Aku harus mengalah dan mengikhlaskan suamiku untuk mendua.
Kukuatkan hati untuk menyebut nama wanita yang dipilihkan mama.
"Namanya Nirmala Ayu, Mas."
Berbeda jika aku menawarkan wanita lain dengan memperlihatkan foto, Mas Bima bahkan membuang wajah. Tapi ketika kusebutkan nama Nirmala, dua netranya menatapku seketika. Itulah kenapa ada rasa cemburu ketika pada akhirnya aku mencoba untuk mengikhlaskan dia menikah lagi.
Kukeluarkan selembar foto yang diberi Mama mertua padaku lalu memperlihatkan padanya. Foto seorang wanita tengah tersenyum cantik ke arah kamera. Barisan giginya yang rapi dan putih menyihir siapa saja yang melihat, kupastikan tak terkecuali juga dengan suamiku. Pandangan mengidam kudapati pada tatapan itu.
"Kenapa dia?" tanyanya kemudian sembari perlahan membuang wajah.
"Karena kalau yang lain kamu menolak, siapa tahu jika dia yang kutawarkan kamu akan mau."
Kala itu Mas Bima memelukku, entah bisa dia rasakan tapi jantungku seolah berhenti berdetak. Ada banyak air mata yang ingin melesat keluar saat aku menawarkan wanita itu padanya. Namun, kutahan sekuat tenaga.
"Haruskah kita menjalankan pernikahan ini?" tanyanya dengan suara bergetar seperti menahan tangis.
"Pernikahan keduamu ini bukan hanya tentang kita, Mas. Tapi juga ada harapan Mama yang ingin kita wujudkan."
Mas Bima meraih kedua jemariku lalu mengecup perlahan.
"Kamu setuju 'kan, Mas?" tanyaku kembali dengan hati yang tercabik-cabik. Kutundukkan sedikit wajah menahan air mata yang semakin kuat mendesak kedua kelopak.
Mas Bima memilih bergeming, saat aku mengangkat kembali wajah ternyata kedua netranya telah luruh air mata. Apakah dia seterluka itu mengabulkan permintaan mamanya sendiri? Bukankah seharusnya dia berbahagia, bisa mempunyai dua istri, bahkan istri kedua adalah wanita yang sangat ia cintai dahulu?
"Kenapa Mas menangis?"
Dua netra kami saling bertemu, didetik ini aku sudah tidak dapat menahan pula desakan pada kedua pelupuk mata. Kubiarkan bermili-mili cairan berjatuhan di hadapannya.
Mas Bima kembali memelukku erat, di dalam dekapannya aku berjanji akan mengikhlaskan Mas Bima menikah sepenuh hati. Aku akan berusaha untuk tidak cemburu karena sangat yakin bahwa Mas Bima akan bisa bersikap adil.
"Kamu pasti akan cemburu, Nis. Kamu pasti akan cemburu. Lalu kamu akan menangis dan menutupi perasaan itu dariku."
Dia semakin terisak dan akupun sama.
"Kamu ingat janjiku dulu, Nis?"
Dia melerai pelukan dan kembali menatapku.
"Aku berjanji tidak akan membuatmu menangis satu kalipun seumur hidup. Jika pernikahan ini terjadi, aku takut tak bisa menepati janji itu lagi, Nis."
Kupaksakan diri untuk tersenyum, jemari kugunakan untuk menyeka air matanya.
"Kamu pasti bisa, Mas. Aku sudah ikhlas demi kebahagiaan kita bersama. Demi anak-anak yang sangat dirindukan mama. Aku ikhlas, asal kamu bisa berjanji satu hal padaku. Berjanjilah untuk selalu bersikap adil."
Dia menunduk kembali. Hanya ada hening yang membalut kami beberapa menit hingga akhirnya doa berkata,
"Jika itu yang kamu mau, baiklah Nisa. Aku akan menikahi Mala."
Aku tersenyum mendengar jawaban itu, menutupi sesuatu yang menusuk dada ini begitu dalam. Ternyata ikhlas hanya mudah diucapkan oleh mulut tapi sangat sulit untuk diiyakan hati. Ya Allah aku telah mengijinkannya mendua, maka bantulah aku untuk bisa kuat dan sabar.
"Tapi, berjanjilah satu hal Nis. Apapun yang kamu rasakan nanti, kamu tidak boleh menutupinya dariku."
Kuanggukkan kepala dengan lemah. Tuhan, hari ini sempurna kuikhlaskan suamiku menikah kembali dengan wanita lain. Aku hanya berharap Engkau selalu menganugerahkan padaku rasa sabar dan ikhlas. Karena keinginanku hanya satu, bisa mencapai sakinah, mawaddah dan warahmah bersama suami dan maduku.
Apakah benar seperti kata orang? Kita hanya butuh sabar untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Karena dibalik ujian pasti ada hikmah luar biasa yang bisa dipetik. Jika memang iya, aku percaya bahwa Allah tidak mengujiku melebihi batas kemampuan yang aku miliki. In Syaa Allah aku selalu berdoa agar dibalik semua cobaan yang tengah kuhadapi ini, Dia telah mempersiapkan kado terindah untukku nikmati. Semoga.
***
Bersambung
Terima kasih sudah membaca, jangan lupa subscribe, like dan koment.
Utamakan baca Al-Quran.
Hari bahagia itupun tiba, Nirmala benar-benar cantik dalam balutan baju pengantin rancanganku. Bak seorang putri, dia duduk dengan paripurna menyeimbangi Mas Bima yang tak kalah memesona. Melihat mereka duduk bersanding, aku jadi teringat masa sepuluh tahun silam. Saat dimana Mas Bima berhasil memenangkan hati ini hingga kami sempurna menjadi sepasang suami istri. Hari itu dengan begitu gagah dia mengikat janji setia bersamaku, dan hari ini aku kembali melihatnya segagah dahulu. Hanya saja kegagahan itu sekarang sudah tak lagi kumiliki seorang diri.Kumengerjap beberapa kali, ada yang berusaha mendesak keluar dari pelupuk mata. Tapi sekuat tenaga kutahan, ini hari bahagia jika aku menangis tentu akan banyak mata yang memandang kasihan pada diri ini.Lamunan buyar ketika beberapa sanak keluarga dekat sampai ke rumah ini. Mereka hanya menyalamiku tanpa berkata apapun, pelukan erat seolah mewakili sekian banyak ucapan penyemangat yang seharusnya mereka ucapkan untukku.Diantara seluruh
Keesokan paginya, Mas Bima ditelpon ibundanya. Mama mertua meminta agar suamiku pulang karena ternyata di kediaman Mama mertua dibuat syukuran kecil-kecilan untuk merayakan kehamilan Mala. Pagi itu juga kami berangkat.Melakukan perjalanan kurang lebih tiga jam akhirnya kami sampai di rumah mama mertua. Beberapa mobil sudah terparkir di halaman rumah mewah keluarga suamiku itu. Mas Bima pun memarkirkan mobilnya di belakang mobil Sarah, adik ipar.Dari kejauhan aku dapat melihat adik maduku Mala, dia berdiri di teras rumah sembari berbicara dengan adik dan kakak iparku. Mala tampak begitu cantik dan menawan, tentu saja karena dia adalah seorang model yang usianya lebih muda lima tahun denganku dan Mas Bima. Aku dan suami lahir di tahun yang sama, hanya berbeda bulan.Mas Bima menggenggam jemari tanganku dan mengajak mendekati saudara dan istri keduanya. Saat kedatangan kami terlihat oleh Mala, dia langsung terkesiap. Jika aku tidak salah menangkap, dua netranya tertuju pada jemariku ya
"Aku mabuk perjalanan kalau duduk di belakang."Mala tidak mau masuk ke dalam mobil karena Mas Bima memintanya duduk di belakang."Yaudah Mas, biar aku aja yang duduk di belakang."Akhirnya aku mengalah dan membiarkan Mala duduk di sebelah Mas Bima. Kami masuk ke mobil, melambaikan tangan pada mama dan ipar kemudian kendaraan roda empat inipun melaju meninggalkan Kota Bandung menuju Jakarta. "Nanti setiap kali kita pergi bersama, kamu dan Mbak Nisa duduknya bergantian di sini ya. Biar adil."Mas Bima mengatur kami seperti seorang ayah mengatur dua anaknya. Aku dan Mala hanya mengiyakan, masih canggung jika disatukan begini. Perjalanan kurang lebih tiga jam ini terasa begitu panjang, karena aku lebih banyak diam mendengar Mas Bima dan Mala berbicara. Mereka saling sambut suara, apalagi jika membicarakan masa lalu. Kelihatan seperti sedang bernostalgia.Wahai hati, janganlah engkau cemburu. Karena cemburu pada istri suamimu yang lain itu petaka, dari cemburu syaitan bisa menggelapkan m
[Di dalam lemari ada hadiah untukmu.]Sebaris kalimat yang dituliskan Mas Bima di selembar kertas membuat langkah ini buru-buru menuju lemari. Kapan dia meletakkan surat untukku di meja ini, padahal semalam adalah jatahnya bersama Mala? Hmmm, jadi penasaran. Segera jemari membuka lemari.[Selamat ulang tahun, terima kasih telah menjadi wanita tercantik di dunia. Kamu tak hanya memiliki wajah yang mengilap, tapi hatimu senantiasÙxlxa bercahaya terang. Laksana mutiara di tengah lautan, kamulah istri shalihah yang kecantikannya mengalahkan bidadari syurga. Terima kasih telah menjadi istri yang luar biasa sempurna untukku, Sayang. Di hari ulang tahunmu ini, aku hanya ingin mengatakan bahwa aku sangat-sangat mencintaimu. Semoga Allah selalu menjaga ikatan pernikahan kita ini sampai jannah. Love you my wife.]Seulas senyum terbit begitu saja tatkala aku membaca sebuah surat lainnya yang diletakkan di atas sebuah kotak. Segera kubuka kotak tersebut, begitu bahagia ketika tahu isi di dalam k
Bagai terhempas dari gedung tertinggi, jantung ini seketika berhenti berdetak.Mas Bima kecelakaan? Ya Allah ...Tanpa pikir panjang, aku segera keluar dari rumah. Melajukan sepeda motor dengan kecepatan tinggi hingga tiba di rumah sakit. Tanpa jeda langkah kini tertuju ke meja resepsionis. Ternyata Mas Bima sudah hendak di dorong ke ruang operasi hanya menunggu kedatangan keluarga untuk menandatangani surat persetujuan.Tak teringat lagi untuk berkonsultasi pada siapa, karena menurut dokter tindakan operasi harus dilakukan sesegera mungkin. Agar perdarahan yang terjadi pada kepalanya bisa teratasi dan harapan hidup pasien akan menjadi lebih besar.Mendengar kata harapan hidup saja setengah ragaku seperti terserabut paksa. Ya Allah, bagaimana kecelakaan ini terjadi sampai Mas Bima bisa separah ini?Setelah menandatangani surat persetujuan tersebut, aku dipersilahkan duduk di depan ruang operasi."Ijinkan saya melihat suami saya sekali saja Dok sebelum operasinya berlangsung."Aku memo
"Mbak Nisa?"Kusapu air mata yang mengalir lalu menatap siapa yang kini menyapa."Dokter Siska?""Ngapain di sini, siapa yang sakit?" tanyanya ramah."Suami dok, Mas Bima kecelakaan.""Kecelakaan?"Dokter Siska tampak begitu terkejut. "Iya Dok, kejadiannya tadi siang dan sekarang Mas Bima sudah selesai dioperasi tapi masih dalam keadaan koma.""Innalillahi, boleh saya jenguk?"Aku menarik napas sejenak."Mama Mas Bima ada di dalam, beliau juga melarang saya untuk masuk karena menganggap kecelakaan ini terjadi karena ulah saya, Dok."Dokter Siska tampak terperanjat. "Bagaimana bisa dia beranggapan seperti itu?"Sekilas aku menceritakan kejadian tadi siang pada Dokter Siska, termasuk ketika aku menceritakannya pada Mala."Barangkali Mala yang memberitahu ibu mertua Mbak Nisa akan hal ini.""Saya tidak tahu, Dok.""Yasudah jangan bersedih, aku yakin nanti ketika Mas Bima sudah sadar. Dia akan menjelaskan semuanya. Tetap semangat Mbak Nisa, jangan berputus asa dan terus langitkan doa ag
Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Tidak halal bagi seorang wanita meminta (kepada suaminya) agar sang suami mencerai wanita lain (yang menjadi istrinya) dengan maksud agar sang wanita ini memonopli ‘piringnya’, sesungguhnya hak dia adalah apa yang telah ditetapkan untuknya”. (Hadîts muttafaq ‘alaih).***Tak mau berpura-pura tak mendengar, aku langsung saja melempar mereka dengan pertanyaan."Mama dan Mala ingin aku dan Mas Bima bercerai?"Mereka berdua serempak terkejut dengan kedatanganku."Ngomong apa kamu Nisa, datang-datang main nyerang aja.""Nisa dengar tadi Mama ngomong, setelah Mala melahirkan Mas Bima pasti akan menceraikanku.""Kita nggak pernah menyebut kata cerai. Mama sama Mala lagi membicarakan temannya Bima si Chacha yang lagi bermasalah dengan suaminya. Kamu kalau bicara jangan asal nuduh, bisa kena pasal pencemaran nama baik.""Nisa nggak asal nuduh, Ma. Nisa dengar dengan telinga sendiri Mama ngomong begitu.""Makanya kamu jadi manusia yang benar
"Terima kasih atas segala kebaikan Mas kepada suami saya, semoga Allah membalasnya dengan rahmat yang lebih besar," ucapku seraya membangkitkan tubuh dari atas bed."Eh, Mbak mau kemana?""Saya mau pulang, Mas."Dia mencoba menghentikan gerakanku. "Bentar Mbak, tadi sesuai hasil pemeriksaan-"Aku tidak menggubris ucapannya, bahkan saat beberapa suster datang kuabaikan mereka untuk kemudian berlari keluar dari ruangan itu.Hati masih tak bisa berdamai dengan kenyataan yang baru saja kudengar. Teganya mama mertua mengatakan tak punya biaya, sementara ia sudah menerima bantuan dana sebesar seratus juta untuk pengobatan Mas Bima. Bukankah seharusnya itu cukup tanpa perlu meminta bantuan pada keluarganya Mala. Apa memang biaya yang diperlukan begitu besar? Atau mama memang sengaja membuat Mas Bima seolah berhutang budi, dan nantinya apapun keinginan Mala akan dipenuhi termasuk menceraikanku?Rasa sakit dan kecewa semakin kentara terasa. Aku tak boleh menyerah. Dalam gemelut hati yang tak
Aku dan Mas Adam segera menyusul Sarah ke dalam ruang ICU."Tidak boleh berbarengan ya, Bu. Masuknya satu orang saja."Seorang suster langsung menghentikan langkah kami."Kamu saja yang masuk, mungkin Dzabir ingin melihat Papanya," ucap Mas Adam menyuruhku yang masuk sementara dia menunggu di luar. Dengan berat hati aku dan Dzabir melangkah ke dalam dan mendapati Mas Bima sudah dikerumuni banyak tenaga kesehatan dan seorang dokter. Jantung ini seketika berdegup kencang."Ada apa, Sarah?" tanyaku penuh khawatir."Tiba-tiba jantungnya lemah, Mbak. Kasihan Mas Bima, Semoga Allah memberi umur panjang," ucap Sarah dengan kedua mata berkaca-kaca."Sarah kamu pegang Dzabir ya, biar Mbak cari Mama sama Mbak Ara. Mbak takut terjadi apa-apa pada Mas Bima, sementara Mama belum sempat menjenguknya.""Iya, Mbak."Aku pun kembali keluar dari ruangan ini, Mbak Hanum ternyata sudah duduk di kursi tunggu bersama Mas Adam."Bagaimana keadaan Bima, Nis?" tanya wanita itu."Denyut jantungnya lemah, Mbak
"Nisa, Mbak mau bicara sama kamu. Oya, mereka siapa?"Wajahku tertuju pada Sarah dan yang lain. Sementara di dalam dada, jantung berdegup kencang. "Mereka ... adalah keluarga dari mantan suami saya, Mbak."Mbak Hanum seperti terkejut, apa Mas Adam sudah mengatakan pada beliau perihal Mas Bima? Ya Allah, kenapa perasaan ini semakin dihujam rasa bersalah."Oh jadi ini keluarga mantan suami kamu?"Kuanggukkan kepala, sementara wajah Mbak Hanum tertuju pada Mbak Ara."Perkenalkan saya Hanum, calon kakak iparnya Nisa."Pandanganku segera tertuju pada keduanya. Dua netra Mbak Ara membulat, bahkan Sarah dan mama pun sama."Jadi Nisa udah mau nikah?"Mbak Hanum tak menjawab, dia justru menatapku seolah ingin aku yang menjawab pertanyaan tersebut."Iya, Mbak," jawabku terbata. Sungguh tak dapat kugambarkan perasaan kini. Apalagi saat melihat Mama menundukkan wajahnya, bahkan menutup kedua mata. Ya Allah, tolong bantu hamba keluar dari keadaan yang sulit ini."Tapi apa kamu sempat bertemu Bima
Dengan memendam segenap kekecewaan, Adam berjalan meninggalkan tempat dimana dia dan Nisa berbicara dari hati ke hati.Tiga tahun bukan waktu yang cepat, mencari alasan yang kuat untuk berumah tangga. Itulah yang dilakukannya selama ini pada Nisa. Berawal dari pertemuan di pasar hingga tumbuhlah benih yang kala itu ia sebut pertanda mungkin jodoh. Ia tak langsung menetapkan hati justru memilih untuk mengenal secara diam-diam.Namun kenyataannya, tiga tahun itu tak berguna sebab semua hancur setelah tahu bahwa Nisa lebih berat pada mantan suaminya.Ia pulang membawa kekecewaan. Sampai di rumah, Adam langsung masuk ke kamar, kebetulan di rumahnya ada sang Kakak yang tampak sibuk mempersiapkan beberapa hal menyangkut pernikahannya. Hanum merasa ada yang berbeda, ia segera menyusul Adam ke kamar."Habis dari mana kamu, Dam?""Habis ketemu Nisa di rumah sakit.""Siapa yang sakit?""Mantan suaminya.""Lo, mantan suami Nisa ada di kota ini?"Adam tampak mengangguk, memilih menjatuhkan tubuh
Segera kugendong Dzabir dan menidurkannya di kursi tengah mobil. Lalu di malam buta ini kendaraan yang kunaiki akhirnya membelah langit kelam menuju rumah sakit. Berbagai pertanyaan tak henti menyeruak dalam dada, tentang Mas Bima yang kenapa sampai tiba-tiba koma, juga tentang pernikahanku yang tinggal menghitung hari. Apa sebenarnya yang kuinginkan, benarkah bersama Mas Adam adalah keinginan? Dalam kegundahan hati, keraguan itu semakin jelas. Hanya ribuan doa yang teriring dalam setiap tarikan napas. Berharap Allah bulatkan keinginan untuk memilih yang terbaik. Tetap bersamanya atau menyudahi. Sementara itu, kendaraan roda empat ini terus berputar hingga sampai di depan sebuah rumah sakit, putraku Dzabir ternyata terbangun dari lelapnya tidur. "Bund, kita ada dimana?" "Di rumah sakit, Nak." "Siapa yang sakit?" "Papa." Dia tampak sangat terkejut. Sambil mengecek bola mata, Dzabir bangkit ke posisi duduk bersandar. "Papa sakit apa, Bund?" "Bunda juga belum tahu Nak, kita tany
Jantung ini seperti berhenti berdetak saat mendapati Mas Adam berdiri di depan kamar Mas Bima. Tatapannya kini tertuju pada mantan suamiku, membuat pandangan inipun tertoleh ke belakang. Aku membuang napas berat saat menyaksikan Mas Bima hanya memakai singlet dan memakai celana selutut serta memeluk selimut. Bayangan kejadian masa lalu terlintas begitu saja, saat lelaki itu memergokiku tengah bersama Mas Brian. Ingatan tersebut membuat dada seolah tertusuk belati tertajam. "Kata Pak Agung, Pak Bima sakit?" tanya Mas Adam membuyarkan pikiranku. "Hah, iya. Saya kurang enak badan, Pak," jawab Mas Bima terbata. "Tapi sekarang sudah sehat?" "Alhamdulillah sudah agak baikan, Pak Ustadz." "Tapi kenapa calon istri saya ada di sini?" Pandangan Mas Adam kini tertuju padaku. "Tidak baik seorang wanita berada di kamar lelaki yang bukan lagi mahramnya, sekalipun ada anak kecil diantara mereka." Aku hanya bisa menunduk, sungguh dada ini bergemuruh hebat. "Ayo kita pulang, perancang pakai
"Cepat Pa bobok lagi, Bunda udah di luar."Jantungku semakin berdegup kencang."Sekarang jam berapa, Nak?"Dzabir melihat jam, dua netraku juga tertuju ke sana."Sepuluh," ucapnya berbisik. Bersamaan dengan itu terdengar bel kamar berbunyi."Kamu bisa buka pintunya?" tanyaku pada Dzabir."Bisa, Pa."Putraku itu langsung turun dari ranjang dan membuka pintu, dan di sini di atas ranjang jantung semakin bertabuh kencang.Aku harus memejamkan mata dan berpura-pura sakit. Kututup seluruh tubuh dengan selimut, agar berkeringat dan kelihatan benar seperti orang sakit. Dalam selimut, aku mulai membayangkan apa yang kumimpikan tadi. Mengajak Nisa pergi. Sungguh tak mungkin kulakukan sebagai seorang muslim."Bund, Papa ada si kamar, udah nggak sanggup bangun."Jantung seolah turun ke perut. Aku benar-benar gugup."Biar Bunda kasih tahu penjaga hotel, siapa tahu mereka ada stok obat."Hah, aduh gawat. Untuk apa minum obat, sakitnya saja sudah berkurang. "Nggak usah Bund, Papa udah minum obat ko
Nisa mengangguk, sungguh lega terasa di hati. Meski tak dapat kembali, tapi setidaknya aku ingin membuat Dzabir benar-benar ikhlas menerima Adam sebagai ayah sambungnya.Tak lagi menunggu aku langsung mengajak anakku ke hotel. "Hati-hati ya Nak, jangan bikin Papa capek ya?"Nisa berpesan sebelum akhirnya menyerahkan sebuah tas berisi pakaian ganti untuk Dzabir. Kembali langkah ini tergerak, sampai keluar pagar Nisa masih memerhatikan.Ya Allah, kenapa harus berakhir begini?"Pa, kita menginap di hotel yang kemarin ya?""Iya Nak, nggak papa 'kan?""Nggak papa, Pa. Sekalian bisa mandi kolam. Boleh 'kan, Pa?""Boleh donk, kamu bisa berenang nggak?""Bisa," jawab Dzabir antusias."Mau lomba sama Papa?""Mau, tapi ada hadiah nggak?""Ada donk.""Hadiahnya apa, Pa?""Em apa ya? Bingung juga. Oo gini aja, yang menang Boleh minta apa aja sama yang kalah. Terus yang kalah harus menyanyi sambil joget-joget."Tawa Dzabir seketika pecah, melihat dia demikian rasa bahagia menyebar begitu saja di
"Ini tidak boleh terjadi!"Teriakan membuat semua mata kini tertuju padaku."Pak Bima, ada apa?" bisik Pak Agung ke telinga seperti menyadarkan dari khayalan. Aku menatapnya tanpa ada kata yang keluar dari bibir."Ada apa, Pak?"Karena aku seperti kebingungan, Pak Agung segera menarik diri ini keluar dari ruangan tersebut."Sudah Pak, lepaskan tangan saya."Pak Agung segera melepas tanganku."Maaf Pak, saya tidak bermaksud apa-apa. Apa Pak Bima sedang tidak sehat?"Aku menarik napas panjang lalu membuang perlahan."Iya Pak, saya ingin pulang saja.""Kalau begitu biar saya yang antar. Mari kita masuk ke mobil."Pak Agung membuka kunci mobilnya, setelah itu menelpon Pak Chandra. Setelah kami bertiga masuk ke mobil, Pak Agung segera menjalankan kendaraannya tersebut."Tadi itu Bapak kenapa?"Pak Agung kembali melempar pertanyaan."Saya hanya sedang mengenang masa lalu, Pak. Makanya seperti lepas kontrol.""Oh, hampir saja tadi saya berpikir macam-macam.""Macam-macam gimana Pak Agung?"
[Assalamualaikum Nisa, jam sembilan In Syaa Allah Mas dan keluarga akan bertamu ke rumah. Sekalian untuk proses lamaran ya. Kamu jangan repot-repot, Mas sudah hubungi chatering untuk menghandle acara hari ini. Kamu siap-siapkan saja diri dan Dzabir, pakai baju seadanya. Tidak usah mewah, tidak usah yang paling bagus. Karena pakai apapun kamu tetap cantik.]Aku terhenyak membaca pesan yang dikirimkan Mas Adam tepat di jam sepuluh malam. Kenapa jadi seperti ini, harusnya jika hanya acara lamaran saja, cukup dibuat sederhana. Aku, dia dan Mbak Hanum. Tapi kenapa malah pakai chatering segala.Kuhela napas panjang, hati semakin riuh bergemuruh. Bagaimana cara menolak, ya?[Iya Mas, tapi kenapa harus pakai chatering lagi. Apa nggak cukup kita bertiga aja?][Kasihan tetangga Nisa, mereka 'kan juga ingin mendapat keberkahan dari acara kita.]Jika membicarakan keberkahan, aku tak mungkin beralasan lain. Semoga jalan ini menjadi pilihan terbaik ya Allah. Dua netra menerawang jauh menatap buah h