"Mbak Nisa?"
Kusapu air mata yang mengalir lalu menatap siapa yang kini menyapa.
"Dokter Siska?"
"Ngapain di sini, siapa yang sakit?" tanyanya ramah.
"Suami dok, Mas Bima kecelakaan."
"Kecelakaan?"
Dokter Siska tampak begitu terkejut.
"Iya Dok, kejadiannya tadi siang dan sekarang Mas Bima sudah selesai dioperasi tapi masih dalam keadaan koma."
"Innalillahi, boleh saya jenguk?"
Aku menarik napas sejenak.
"Mama Mas Bima ada di dalam, beliau juga melarang saya untuk masuk karena menganggap kecelakaan ini terjadi karena ulah saya, Dok."
Dokter Siska tampak terperanjat.
"Bagaimana bisa dia beranggapan seperti itu?"
Sekilas aku menceritakan kejadian tadi siang pada Dokter Siska, termasuk ketika aku menceritakannya pada Mala.
"Barangkali Mala yang memberitahu ibu mertua Mbak Nisa akan hal ini."
"Saya tidak tahu, Dok."
"Yasudah jangan bersedih, aku yakin nanti ketika Mas Bima sudah sadar. Dia akan menjelaskan semuanya. Tetap semangat Mbak Nisa, jangan berputus asa dan terus langitkan doa agar hati Ibu mertua bisa dibukakan Allah."
Aku mengangguk perlahan, selama ini sedikit banyak Dokter Siska tahu apa yang terjadi dalam hidupku. Karena ketika stres, aku kerap mengungkapkan padanya dan minta solusi. Satu solusi yang yang tidak kujalankan yaitu berterus terang terang tentang ketidaksukaan ibu mertua padaku selama ini.
Kupikir semua akan berubah seiring berjalannya waktu, tapi sayang kekuranganku yang tidak bisa memberinya cucu ternyata semakin membuat nilai diri ini buruk di matanya.
*
Sudah dua hari Mas Bima dirawat, kondisinya masih koma tapi sudah dipindahkan ke ruang rawatan. Setiap hari, Mama dan Mala bergantian untuk menjaga. Jangan tanya bagaimana aura wajah mereka jika bertemu denganku, seperti bertemu musuh.
Hari ini untuk pertama kali kulihat Mala pulang, padahal mama mertua belum sampai ke rumah sakit. Mendapati ruangan Mas Bima kosong, aku yang lebih banyak menghabiskan waktu di mushalla langsung masuk ke kamar itu. Hampir tiga hari tidak melihat wajahnya, rasa rindu sudah seumpama hujan yang menunggu waktunya tumpah ke dunia ini.
Perlahan aku membuka pintu, Masya Allah suamiku ...
Terpapah aku mendekatinya.
"Mas, aku datang. Aku sangat merindukanmu, Sayang."
Kupeluk tubuhnya perlahan lalu mencium kening. Setetes air mata luruh membasahi pipi Mas Bima.
"Mas, kamu apa kabar? Maaf bukan aku tidak menjengukmu, tapi ... Mama yang memintaku untuk tidak menemuimu. Bangunlah Sayang, aku sangat rindu, aku sungguh-sungguh membutuhkanmu."
Tiba-tiba aku merasa tubuh Mas Bima bergerak.
"Nisa ...."
Aku terkesiap saat dia menyebut lirih nama ini.
"Mas, kamu sudah sadar?"
Dengan lemah dia menyunggingkan selarik senyum.
"Masya Allah Mas, kamu sudah sadarkan diri. Dua hari kamu koma, aku sangat khawatir Mas."
Mas Bima mengangkat tangannya lalu mengusap pipi ini lembut. Ribuan syukur menggema begitu saja di dalam batin.
"Maaf ya, Mas tidak jadi menepati janji padamu."
Aku tersenyum menahan tangis, dalam keadaannya yang seperti ini dia masih saja mengingat janji itu.
"Tidak apa sayang, kamu bangun dari tidur panjang ini saja aku sudah sangat bahagia. Tidak ada yang lebih kuharapkan saat ini selain kesadaranmu, Mas."
Dia memelukku. Air mata kami menyatu saat aku mendekatkan wajah dan kembali mencium keningnya. Kesedihan dan ketakutanku selama ini terbakar sudah dengan terbukanya kedua netra Mas Bima. Aku sangat bersyukur atas rahmat yang diberikan Allah ini dan didetik ini aku semakin paham bahwa tidak ada satupun doa yang tak sampai kepada Allah. Semua diterima hanya masalah waktu, kapan Dia kabulkan tentunya menunggu waktu terbaik menurut-Nya pula.
Hingga terdengar pintu terbuka, Mas Bima melerai pelukan. Membuat diri ini bisa memandang siapa yang kini memasuki ruangan.
"Mama?"
Aura wajah Mama seperti memendam amarah tapi seketika berubah ketika melihat Mas Bima sudah membuka matanya.
"Bima? Kamu sudah sadar, Nak?"
Mama mertua berlari memeluk suamiku.
"Kenapa kamu tidak memberitahu Mama, Nisa?" bentak mama ke arahku.
"Ma, Bima baru aja sadar. Jadi Nisa belum sempat beritahu Mama."
Mas Bima membelaku.
"Cepat kamu panggil Dokter. Nanti ada apa-apa lagi sama Bima, gimana?" perintah mama mertua dengan suara lantang, tanganku yang menggenggam Mas Bima perlahan kulepas. Sejenak menatap matanya, entah kenapa aku merasa setelah ini akan semakin jauh darinya. Jujur aku sangat takut.
"Cepat Nisa, jangan bengong begitu."
"Iya, Ma."
Meski berat meninggalkan Mas Bima karena memang masih sangat merindukannya, tapi kujalankan jua permintaan Mama. Setelah melapor pada dokter akan kesadaran Mas Bima, tim medis pun mendatangi ruangan itu.
"Alhamdulillah, Pak Bima sudah sadarkan diri. In Syaa Allah semoga keadaannya semakin membaik dan segera sehat seperti sedia kala."
"Aammiinn, bekas operasinya gimana, Dok?" tanya mama mertua.
"Tidak ada masalah berarti, nanti tinggal kita chevk up aja. Secara umum keadaan Pak Bima saat ini sudah sangat baik."
"Syukurlah, kalau begitu kapan kami diperbolehkan pulang, Dok?"
"Sesegera mungkin, saya akan memantau beberapa waktu? Jika memang benar tidak lagi ditemukan kendala, Pak Bima akan diizinkan pulang."
"Terima kasih banyak, Dok."
Meski tak mengatakan apapun, tapi dalam hati aku berucap ribuan syukur. Dokter dan beberapa suster itupun keluar, tak lama kemudian semua ipar termasuk Mala kembali sampai ke ruangan ini. Tiba-tiba mama menyuruhku memberikan beberapa cemilan. Lagi-lagi dengan rasa terpaksa aku pergi.
Langkah ini tergerak seperti berlari, karena hati masih berkata rindu pada Mas Bima. Sekitar sepuluh langkah lagi sampai kembali di ruangan, adik ipar terlihat keluar. Dia langsung mendekatiku.
"Mbak Nisa langsung pulang aja ya, disuruh Mama siapin rumah. Maksudnya beres-beres rumah karena sebentar lagi Mas Bima udah boleh pulang."
"Secepat ini? Bukannya tadi dokter bilang nunggu beberapa waktu untuk pemantauan?"
"Tapi barusan aja kita dapat informasi baru, jadi Mas Bima udah boleh pulang."
Entah kenapa aku mencium bau dusta disini. Apa mereka mau menjauhkanku dari Mas Bima?
"Mbak masuk dulu deh, minta ijin sama Mas Bima."
"Nggak usah lagi, Mbak. Entar biar aku bilangin aja."
"Sarah, Mbak nggak biasa begini. Kalau mau pulang, Mbak pamit dulu sama Mas Bima."
Ditengah penolakanku, Mama mertua keluar. Dia juga ikut menyuruhku pulang. Di detik itu aku ingin menjerit kencang, mengadukan pada Mas Bima jika ibu dan adiknya menyuruhku pulang bahkan mama sampai mendorong tubuh ini hingga hampir jatuh ke lantai. Mereka sudah tidak punya belas kasihan.
"Cepat Nisa, ini perintah."
Aku terdiam sembari mengepalkan tangan, kecewa dan kesal pada sikap kedua manusia yang sejujurnya sangat kuhargai itu. Akhirnya dengan terpaksa aku kembali mengangkat langkah. Meninggalkan rindu yang masih menari-nari di dalam dada.
Mama, engkau sudah sangat keterlaluan. Kau sudah menyakiti perasaanku begitu dalam, Ma.
Di rumah, aku melakukan semua perintah mama. Kumintakan bantuan si Mbok untuk membereskan seluruh ruangan. Setelah semua rapi dan mengilap, kududukkan diri di atas kursi. Jam terus berputar, azan magribpun mengumandang. Dan yang kutunggu tak jua pulang. Ternyata benar, nama mertua dan adik ipar menipu.
Hingga keesokan harinya, aku kembali ke rumah sakit. Dengan rasa yang sama seperti kemarin aku memasuki kamar rawatan Mas Bima. Tapi sambutan suamiku tak seperti kemarin, wajahnya terlihat pias.
"Assalamualaikum Mas."
Kebetulan saat itu dia sedang sendiri, saat aku pergi tadi Mala dan mama baru sampai di rumah.
"Waalaikum salam."
Dua netranya masih menatap televisi, padahal aku sudah berada di sisinya.
"Mas apa kabar hari ini?" tanyaku lembut.
"Baik," jawabnya cuek.
"Maaf kemarin aku langsung pulang, Mama yang nyuruh katanya kamu udah diperbolehkan pulang sama dokter. Jadi aku disuruh beresi rumah untuk menyambut kepulanganmu, Mas."
Kuucap kata-kata itu dengan sangat hati-hati mengingat wajah Mas Bima yang terlihat jutek. Tanpa menjawab, dia melempar remote televisi ke sofa dan berbaring kembali ke atas ranjang. Sakit terasa di dada, tapi aku penasaran kenapa dia seperti sangat marah.
"Mas marah?"
"Nggak."
Kutelan saliva lalu jemari ini menyentuh lengannya. Betapa terkejut saat Mas Bima justru menepis tanganku.
"Ada apa, Mas?"
"Pulanglah. Mas mau istirahat."
"Kenapa pulang? Aku masih rindu sama kamu, aku kemari karena ingin ketemu sama kamu, Mas. Jangan suruh aku pulang."
Dia terdiam.
"Ada apa denganmu, Mas? Apa aku melakukan kesalahan yang membuatmu marah?"
Dia tetap bergeming. Kuputuskan untuk berjalan ke sisi kanan, arah wajahnya saat ini. Ternyata dia malah memejamkan mata.
"Kamu tidak ingin bertemu denganku?"
Meski terasa bagai tersayat-sayat dengan pisau tertajam, tapi aku sukses menanyakan hal itu. Dia masih bergeming.
"Jika kamu tidak ingin bertemu denganku, baik aku akan pulang."
Mas Bima tetap tak bereaksi.
"Pulanglah," ucapnya kemudian setelah beberapa menit terdiam.
"Mas sungguh-sungguh tak ingin bertemu denganku?"
"Kita udah bertemu, jadi sekarang pulanglah."
Aneh sekali sikap Mas Bima, entah apa yang sebenarnya sudah terjadi. Apa Mama mertua memfitnahku? Pikiran buruk datang menerpa.
"Mas tidak ingin mengatakan apapun lagi padaku?"
Rasanya masih tak ingin pergi, aku ingin dia mengatakan sesuatu untuk memperjelas kenapa dia tiba-tiba berubah. Tapi sayang, Mas Bima hanya menggeleng.
"Sebenarnya aku masih sangat rindu, Mas. Semalam aku bahkan tidak bisa tidur karena mengingatmu. Tapi saat kita bertemu, Mas justru memintaku pulang."
Kali ini aku sudah tidak mampu menahan air mata, dari kecil aku memang kerap tersakiti. Kedua orang tua telah tiada semenjak berusia sepuluh tahun. Aku hidup di rumah bibi, keluarganya terutama anak bibi tidak pernah menyukaiku.
Aku sering disakiti secara verbal, tapi ketika mengenal Mas Bima. Hidupku berubah, bahagia seumpama disirami ke seluruh jiwa dan raga. Aku bahagia lahir batin dalam rengkuhannya. Dan kini saat dia pun menjadi alasan terluka, aku berharap diriku tak ada lagi di dunia ini.
Mas Bima tak menjawab pertanyaanku, dia justru memilih membalikkan lagi tubuhnya ke sisi lain. Sakit, aku merasa raga ini seperti terhempas dari gedung tertinggi. Marahi aku, jika perlu kau pukul saja jika memang kau membenciku Mas. Tapi jangan diam.
Kugerakkan langkah mendekati Mas Bima, lalu mencium kepalanya dari belakang. Jika dia peka, tentu bisa mendengar isakanku. Tapi sayang, dia tetap tak mau berbalik.
"Jika kamu mau aku pulang, aku akan pulang, Mas."
Aku menarik napas panjang lalu mengusap kedua sudut mata.
"Assalamualaikum."
"Waalaikum salam."
Ya Allah, cobaan apalagi yang Kau timpakan padaku ini?
*
Sampai di rumah, aku langsung masuk ke kamar. Lelah jiwa raga tak terkira dengan perlakuan Mas Bima tadi. Menaiki tangga aku mendengar suara mama dan Mala tengah berbicara. Sepertinya di kamar adik maduku yang juga ada di lantai atas.
"Semoga setelah ini Bima benar-benar menceraikan Nisa."
Deg.
Mama dan Mala sedang membicarakan apa?
"Iya, Ma. Aku udah nggak sabar ingin merasakan menjadi satu-satunya wanita di hati Mas Bima."
Aku merasa sesuatu menusuk dada dengan kuat. Mereka benar-benar keterlaluan!
***
Bersambung
Terima kasih sudah membaca, jangan lupa subscribe, like dan koment ya..
Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Tidak halal bagi seorang wanita meminta (kepada suaminya) agar sang suami mencerai wanita lain (yang menjadi istrinya) dengan maksud agar sang wanita ini memonopli ‘piringnya’, sesungguhnya hak dia adalah apa yang telah ditetapkan untuknya”. (Hadîts muttafaq ‘alaih).***Tak mau berpura-pura tak mendengar, aku langsung saja melempar mereka dengan pertanyaan."Mama dan Mala ingin aku dan Mas Bima bercerai?"Mereka berdua serempak terkejut dengan kedatanganku."Ngomong apa kamu Nisa, datang-datang main nyerang aja.""Nisa dengar tadi Mama ngomong, setelah Mala melahirkan Mas Bima pasti akan menceraikanku.""Kita nggak pernah menyebut kata cerai. Mama sama Mala lagi membicarakan temannya Bima si Chacha yang lagi bermasalah dengan suaminya. Kamu kalau bicara jangan asal nuduh, bisa kena pasal pencemaran nama baik.""Nisa nggak asal nuduh, Ma. Nisa dengar dengan telinga sendiri Mama ngomong begitu.""Makanya kamu jadi manusia yang benar
"Terima kasih atas segala kebaikan Mas kepada suami saya, semoga Allah membalasnya dengan rahmat yang lebih besar," ucapku seraya membangkitkan tubuh dari atas bed."Eh, Mbak mau kemana?""Saya mau pulang, Mas."Dia mencoba menghentikan gerakanku. "Bentar Mbak, tadi sesuai hasil pemeriksaan-"Aku tidak menggubris ucapannya, bahkan saat beberapa suster datang kuabaikan mereka untuk kemudian berlari keluar dari ruangan itu.Hati masih tak bisa berdamai dengan kenyataan yang baru saja kudengar. Teganya mama mertua mengatakan tak punya biaya, sementara ia sudah menerima bantuan dana sebesar seratus juta untuk pengobatan Mas Bima. Bukankah seharusnya itu cukup tanpa perlu meminta bantuan pada keluarganya Mala. Apa memang biaya yang diperlukan begitu besar? Atau mama memang sengaja membuat Mas Bima seolah berhutang budi, dan nantinya apapun keinginan Mala akan dipenuhi termasuk menceraikanku?Rasa sakit dan kecewa semakin kentara terasa. Aku tak boleh menyerah. Dalam gemelut hati yang tak
Lautan luas tak kuasa menenggelamkan Kalimur Rahman (Musa a.s). Itu, tak lain karena suara Agung kala itu telah bertitah, "Sekali-kali tidak akan tersusul. Sesungguhnya, Rabb-ku beserta, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku." (Q.S. Asy-Syuara:62)Ketika bersembunyi dari kejaran kaum kafir dalam sebuah gua, Nabi Muhammad s.a.w yang Ma'shum mengabarkan kepada Abu Bakar bahwa Allah Yang Maha Tunggal dan Maha Tinggi ada bersama mereka. Sehingga rasa aman, tenteram dan tenang pun datang menyelimuti Abu Bakar. Mereka yang terpaku pada waktu yang terbatas dan kondisi yang (mungkin) sangat kelam, umumnya hanya akan merasakan kesusahan, kesengsaraan, dan keputusannya dalam hidup mereka. Itu, karena mereka hanya menatap dinding-dinding kamar dan pintu-pintu rumah mereka. Padahal, mereka seharusnya menembuskan pandangan sampai ke belakang tabir dan berpikir lebih jauh tentang hal-hal yang berada di luar pagar rumahnya.Maka dari itu jangan pernah merasa terhimpit sejengkalpun, karena setia
"Ini udah yang harganya paling miring dan nyaman ditempati Bu, kawasannya juga strategis."Aku mencoba menghubungi salah satu teman Mas Bima yang selama ini beberapa kali pernah kutemui saat ada acara kantor. Lisa namanya."Terima kasih ya, Lis."Kuambil kunci yang diberikan seorang wanita pemilik kost-kostan ini dan menyerahkan uang sebesar 2 juta."Bisa saya tanya padamu tentang apa yang terjadi pada perusahaan Pak Bima?""Sebenarnya saya tidak tahu apapun lagi karena sudah tiga bulan yang lalu di PHK, Bu.""Di PHK? Jadi perusahaan Pak Bima sudah lama bermasalah?""Belum lama sih Bu, sekitar enam bulanan yang lalu. Jadi perusahaan Pak Bima dua kali kalah tender, sedangkan beliau sudah mengerahkan banyak uang untuk bisa lolos. Alhasil, perusahaan mengalami kerugian besar. Untuk menaikkan kembali pemasukan, Pak Bima akhirnya kembali memakai uang pinjaman bank yang bunganya sangat besar. Bertepatan dengan kenaikan BBM dua bulan lalu, justru pemasukan perusahaan semakin anjlok. Sedikit
Aku mendekatinya perlahan, ingin kupeluk erat tubuh itu lalu menumpahkan sekian banyak rindu yang sudah begitu menyesakkan dada. Tapi semua terpaksa kutahan, sebab Mas Bima terlihat begitu dingin. "Mas sudah pulang?" ucapku lirih seraya menyentuh jemari tangannya, tapi ternyata dia justru menarik tangannya itu. Apa yang terjadi? Kenapa Mas Bima seperti ini?"Minum obatnya dulu, Mas."Tiba-tiba Mala muncul dari arah dapur, dua netra kami saling beradu. Dia hanya tersenyum sekilas padaku."Ini obatnya, Mas."Mas Bima meraih obat tersebut dan meneguknya."Mau aku antar ke kamar?" tanya Mala lagi, aku hanya terdiam."Boleh," jawab Mas Bima seraya kembali menatapku dan kemudian kursi roda yang dia duduki didorong memasuki kamar, bukan kamarku tentunya. Karena Mala membawa Mas Bima kembali ke kamarnya.Lagi-lagi aku terpaksa menerima kekecewaan, rasanya ingin marah pada Mas Bima. Kenapa dia tega bersikap begitu dingin. Padahal kita sudah tak bertemu lebih dari satu bulan. Harusnya saat in
Pov Bima"Terima kasih, Mbak," ucapku pada mbak-mbak resepsionis yang sudah menyiapkan sebuah kamar indah di sebuah hotel yang ada di kawasan Cisarua.Sudah lama aku dan Nisa tak punya waktu untuk berlibur, punya dua istri dan ditempatkan dalam satu rumah. Menurutku ini adalah pilihan terberat. Jika saja mama tidak memberi pilihan ini, sudah tentu kehidupan poligami yang kujalani akan berjalan lebih mudah.Teringat akan sebuah ceramah yang pernah kudengar,Poligami itu memang ada, tapi hukumnya bagi setiap orang berbeda. Hati-hati bagi orang-orang yang suka mendorong orang lain untuk berpoligami dengan mengatakan bahwa poligami adalah sunnah. Karena bagi sebagian yang berkeinginan untuk melakukan sunnah itu tapi ternyata dia belum mampu, artinya anda akan mendorong orang berbuat kedzaliman.Menikah itu bukan sekedar untuk pemenuhan syahwat, melainkan ada tanggung jawab di dalamnya yang harus dipenuhi. Nikah saja, menurut fiqih memiliki berbagai predikat hukum, tergantung kondisi calo
Aku mencoba mengingat-ingat dimana pernah bertemu dengan lelaki yang kini sudah duduk di teras kosan Nisa.Dia? Lelaki yang sudah menyerahkan uang pada mama sebagai wujud simpati atas kecelakaan yang menimpaku? Ya, benar. Dia orangnya, tapi sejak kapan Nisa dan lelaki itu berkenalan? Apa saat aku koma? Jangan-jangan dia juga yang dikatakan Sarah sebagai selingkuhan Nisa?Aku tidak bisa tinggal diam, kuminta bantuan pada driver yang membawa ke tempat ini untuk menurunkan kursi roda. Lalu setelahnya, driver itu membantuku turun. Kursi roda di dorong semakin jauh memasuki halaman rumah. Lebih parah, sampai di teras rumah aku sudah tidak lagi menemukan lelaki tadi. Kemana dia, apa masuk ke dalam rumah. Tak sabar aku ingin memergoki Nisa, meski hancur berantakan hati ini tapi itu lebih baik dari pada Nisa terus menyembunyikan perselingkuhannya dariku.Kursi roda sudah di depan pintu, tak ragu aku masuk tanpa memberi salam. Langkah ini terhenti saat aku mendapati Nisa hendak berjalan kel
Aku terduduk meratapi kepergian Mas Bima. Anggapannya bahwa aku telah berselingkuh terlalu menyakitkan terasa, tapi lebih sakit lagi ketika dia mengucapkan kata-kata seolah ingin mengakhiri pernikahan kami. Seburuk itukah sudah pandangannya untukku?Kenapa kamu begitu cepat berubah Mas? Padahal kita baru tiga bulan membina rumah tangga bersama ini?"Mbak Nisa nggak papa?"Fatma sekretaris Pak Brian turun dari mobil dan merangkulku. Kurasa diapun mendengar pertengkaran tadi dengan Mas Bima. Malu, entah dimana aku harus meletakkan wajah ini. Merasa tidak berharga sama sekali sebagai seorang istri."Maafkan saya jika karena saya, suami Mbak Nisa jadi salah paham."Pak Brian pun ikut mendekat dan mencoba menenangkanku. "Tidak apa, Pak.""Harusnya tadi saya tidak masuk.""Semua sudah terjadi Pak, tidak apa saya akan mencoba berbicara lagi dengan suami saya."Di tanganku ada dua map, satu berisi surat kepemilikan bangunan dan satunya lagi berisi desain baju. Kuserahkan yang seharusnya kube
Aku dan Mas Adam segera menyusul Sarah ke dalam ruang ICU."Tidak boleh berbarengan ya, Bu. Masuknya satu orang saja."Seorang suster langsung menghentikan langkah kami."Kamu saja yang masuk, mungkin Dzabir ingin melihat Papanya," ucap Mas Adam menyuruhku yang masuk sementara dia menunggu di luar. Dengan berat hati aku dan Dzabir melangkah ke dalam dan mendapati Mas Bima sudah dikerumuni banyak tenaga kesehatan dan seorang dokter. Jantung ini seketika berdegup kencang."Ada apa, Sarah?" tanyaku penuh khawatir."Tiba-tiba jantungnya lemah, Mbak. Kasihan Mas Bima, Semoga Allah memberi umur panjang," ucap Sarah dengan kedua mata berkaca-kaca."Sarah kamu pegang Dzabir ya, biar Mbak cari Mama sama Mbak Ara. Mbak takut terjadi apa-apa pada Mas Bima, sementara Mama belum sempat menjenguknya.""Iya, Mbak."Aku pun kembali keluar dari ruangan ini, Mbak Hanum ternyata sudah duduk di kursi tunggu bersama Mas Adam."Bagaimana keadaan Bima, Nis?" tanya wanita itu."Denyut jantungnya lemah, Mbak
"Nisa, Mbak mau bicara sama kamu. Oya, mereka siapa?"Wajahku tertuju pada Sarah dan yang lain. Sementara di dalam dada, jantung berdegup kencang. "Mereka ... adalah keluarga dari mantan suami saya, Mbak."Mbak Hanum seperti terkejut, apa Mas Adam sudah mengatakan pada beliau perihal Mas Bima? Ya Allah, kenapa perasaan ini semakin dihujam rasa bersalah."Oh jadi ini keluarga mantan suami kamu?"Kuanggukkan kepala, sementara wajah Mbak Hanum tertuju pada Mbak Ara."Perkenalkan saya Hanum, calon kakak iparnya Nisa."Pandanganku segera tertuju pada keduanya. Dua netra Mbak Ara membulat, bahkan Sarah dan mama pun sama."Jadi Nisa udah mau nikah?"Mbak Hanum tak menjawab, dia justru menatapku seolah ingin aku yang menjawab pertanyaan tersebut."Iya, Mbak," jawabku terbata. Sungguh tak dapat kugambarkan perasaan kini. Apalagi saat melihat Mama menundukkan wajahnya, bahkan menutup kedua mata. Ya Allah, tolong bantu hamba keluar dari keadaan yang sulit ini."Tapi apa kamu sempat bertemu Bima
Dengan memendam segenap kekecewaan, Adam berjalan meninggalkan tempat dimana dia dan Nisa berbicara dari hati ke hati.Tiga tahun bukan waktu yang cepat, mencari alasan yang kuat untuk berumah tangga. Itulah yang dilakukannya selama ini pada Nisa. Berawal dari pertemuan di pasar hingga tumbuhlah benih yang kala itu ia sebut pertanda mungkin jodoh. Ia tak langsung menetapkan hati justru memilih untuk mengenal secara diam-diam.Namun kenyataannya, tiga tahun itu tak berguna sebab semua hancur setelah tahu bahwa Nisa lebih berat pada mantan suaminya.Ia pulang membawa kekecewaan. Sampai di rumah, Adam langsung masuk ke kamar, kebetulan di rumahnya ada sang Kakak yang tampak sibuk mempersiapkan beberapa hal menyangkut pernikahannya. Hanum merasa ada yang berbeda, ia segera menyusul Adam ke kamar."Habis dari mana kamu, Dam?""Habis ketemu Nisa di rumah sakit.""Siapa yang sakit?""Mantan suaminya.""Lo, mantan suami Nisa ada di kota ini?"Adam tampak mengangguk, memilih menjatuhkan tubuh
Segera kugendong Dzabir dan menidurkannya di kursi tengah mobil. Lalu di malam buta ini kendaraan yang kunaiki akhirnya membelah langit kelam menuju rumah sakit. Berbagai pertanyaan tak henti menyeruak dalam dada, tentang Mas Bima yang kenapa sampai tiba-tiba koma, juga tentang pernikahanku yang tinggal menghitung hari. Apa sebenarnya yang kuinginkan, benarkah bersama Mas Adam adalah keinginan? Dalam kegundahan hati, keraguan itu semakin jelas. Hanya ribuan doa yang teriring dalam setiap tarikan napas. Berharap Allah bulatkan keinginan untuk memilih yang terbaik. Tetap bersamanya atau menyudahi. Sementara itu, kendaraan roda empat ini terus berputar hingga sampai di depan sebuah rumah sakit, putraku Dzabir ternyata terbangun dari lelapnya tidur. "Bund, kita ada dimana?" "Di rumah sakit, Nak." "Siapa yang sakit?" "Papa." Dia tampak sangat terkejut. Sambil mengecek bola mata, Dzabir bangkit ke posisi duduk bersandar. "Papa sakit apa, Bund?" "Bunda juga belum tahu Nak, kita tany
Jantung ini seperti berhenti berdetak saat mendapati Mas Adam berdiri di depan kamar Mas Bima. Tatapannya kini tertuju pada mantan suamiku, membuat pandangan inipun tertoleh ke belakang. Aku membuang napas berat saat menyaksikan Mas Bima hanya memakai singlet dan memakai celana selutut serta memeluk selimut. Bayangan kejadian masa lalu terlintas begitu saja, saat lelaki itu memergokiku tengah bersama Mas Brian. Ingatan tersebut membuat dada seolah tertusuk belati tertajam. "Kata Pak Agung, Pak Bima sakit?" tanya Mas Adam membuyarkan pikiranku. "Hah, iya. Saya kurang enak badan, Pak," jawab Mas Bima terbata. "Tapi sekarang sudah sehat?" "Alhamdulillah sudah agak baikan, Pak Ustadz." "Tapi kenapa calon istri saya ada di sini?" Pandangan Mas Adam kini tertuju padaku. "Tidak baik seorang wanita berada di kamar lelaki yang bukan lagi mahramnya, sekalipun ada anak kecil diantara mereka." Aku hanya bisa menunduk, sungguh dada ini bergemuruh hebat. "Ayo kita pulang, perancang pakai
"Cepat Pa bobok lagi, Bunda udah di luar."Jantungku semakin berdegup kencang."Sekarang jam berapa, Nak?"Dzabir melihat jam, dua netraku juga tertuju ke sana."Sepuluh," ucapnya berbisik. Bersamaan dengan itu terdengar bel kamar berbunyi."Kamu bisa buka pintunya?" tanyaku pada Dzabir."Bisa, Pa."Putraku itu langsung turun dari ranjang dan membuka pintu, dan di sini di atas ranjang jantung semakin bertabuh kencang.Aku harus memejamkan mata dan berpura-pura sakit. Kututup seluruh tubuh dengan selimut, agar berkeringat dan kelihatan benar seperti orang sakit. Dalam selimut, aku mulai membayangkan apa yang kumimpikan tadi. Mengajak Nisa pergi. Sungguh tak mungkin kulakukan sebagai seorang muslim."Bund, Papa ada si kamar, udah nggak sanggup bangun."Jantung seolah turun ke perut. Aku benar-benar gugup."Biar Bunda kasih tahu penjaga hotel, siapa tahu mereka ada stok obat."Hah, aduh gawat. Untuk apa minum obat, sakitnya saja sudah berkurang. "Nggak usah Bund, Papa udah minum obat ko
Nisa mengangguk, sungguh lega terasa di hati. Meski tak dapat kembali, tapi setidaknya aku ingin membuat Dzabir benar-benar ikhlas menerima Adam sebagai ayah sambungnya.Tak lagi menunggu aku langsung mengajak anakku ke hotel. "Hati-hati ya Nak, jangan bikin Papa capek ya?"Nisa berpesan sebelum akhirnya menyerahkan sebuah tas berisi pakaian ganti untuk Dzabir. Kembali langkah ini tergerak, sampai keluar pagar Nisa masih memerhatikan.Ya Allah, kenapa harus berakhir begini?"Pa, kita menginap di hotel yang kemarin ya?""Iya Nak, nggak papa 'kan?""Nggak papa, Pa. Sekalian bisa mandi kolam. Boleh 'kan, Pa?""Boleh donk, kamu bisa berenang nggak?""Bisa," jawab Dzabir antusias."Mau lomba sama Papa?""Mau, tapi ada hadiah nggak?""Ada donk.""Hadiahnya apa, Pa?""Em apa ya? Bingung juga. Oo gini aja, yang menang Boleh minta apa aja sama yang kalah. Terus yang kalah harus menyanyi sambil joget-joget."Tawa Dzabir seketika pecah, melihat dia demikian rasa bahagia menyebar begitu saja di
"Ini tidak boleh terjadi!"Teriakan membuat semua mata kini tertuju padaku."Pak Bima, ada apa?" bisik Pak Agung ke telinga seperti menyadarkan dari khayalan. Aku menatapnya tanpa ada kata yang keluar dari bibir."Ada apa, Pak?"Karena aku seperti kebingungan, Pak Agung segera menarik diri ini keluar dari ruangan tersebut."Sudah Pak, lepaskan tangan saya."Pak Agung segera melepas tanganku."Maaf Pak, saya tidak bermaksud apa-apa. Apa Pak Bima sedang tidak sehat?"Aku menarik napas panjang lalu membuang perlahan."Iya Pak, saya ingin pulang saja.""Kalau begitu biar saya yang antar. Mari kita masuk ke mobil."Pak Agung membuka kunci mobilnya, setelah itu menelpon Pak Chandra. Setelah kami bertiga masuk ke mobil, Pak Agung segera menjalankan kendaraannya tersebut."Tadi itu Bapak kenapa?"Pak Agung kembali melempar pertanyaan."Saya hanya sedang mengenang masa lalu, Pak. Makanya seperti lepas kontrol.""Oh, hampir saja tadi saya berpikir macam-macam.""Macam-macam gimana Pak Agung?"
[Assalamualaikum Nisa, jam sembilan In Syaa Allah Mas dan keluarga akan bertamu ke rumah. Sekalian untuk proses lamaran ya. Kamu jangan repot-repot, Mas sudah hubungi chatering untuk menghandle acara hari ini. Kamu siap-siapkan saja diri dan Dzabir, pakai baju seadanya. Tidak usah mewah, tidak usah yang paling bagus. Karena pakai apapun kamu tetap cantik.]Aku terhenyak membaca pesan yang dikirimkan Mas Adam tepat di jam sepuluh malam. Kenapa jadi seperti ini, harusnya jika hanya acara lamaran saja, cukup dibuat sederhana. Aku, dia dan Mbak Hanum. Tapi kenapa malah pakai chatering segala.Kuhela napas panjang, hati semakin riuh bergemuruh. Bagaimana cara menolak, ya?[Iya Mas, tapi kenapa harus pakai chatering lagi. Apa nggak cukup kita bertiga aja?][Kasihan tetangga Nisa, mereka 'kan juga ingin mendapat keberkahan dari acara kita.]Jika membicarakan keberkahan, aku tak mungkin beralasan lain. Semoga jalan ini menjadi pilihan terbaik ya Allah. Dua netra menerawang jauh menatap buah h