Aku terduduk meratapi kepergian Mas Bima. Anggapannya bahwa aku telah berselingkuh terlalu menyakitkan terasa, tapi lebih sakit lagi ketika dia mengucapkan kata-kata seolah ingin mengakhiri pernikahan kami. Seburuk itukah sudah pandangannya untukku?Kenapa kamu begitu cepat berubah Mas? Padahal kita baru tiga bulan membina rumah tangga bersama ini?"Mbak Nisa nggak papa?"Fatma sekretaris Pak Brian turun dari mobil dan merangkulku. Kurasa diapun mendengar pertengkaran tadi dengan Mas Bima. Malu, entah dimana aku harus meletakkan wajah ini. Merasa tidak berharga sama sekali sebagai seorang istri."Maafkan saya jika karena saya, suami Mbak Nisa jadi salah paham."Pak Brian pun ikut mendekat dan mencoba menenangkanku. "Tidak apa, Pak.""Harusnya tadi saya tidak masuk.""Semua sudah terjadi Pak, tidak apa saya akan mencoba berbicara lagi dengan suami saya."Di tanganku ada dua map, satu berisi surat kepemilikan bangunan dan satunya lagi berisi desain baju. Kuserahkan yang seharusnya kube
Aku tak percaya Mas Bima bisa mengucapkan kata talak itu, padahal semenjak pertama menikah aku pernah bertanya padanya.Apa yang paling pantang Mas lakukan dalam hidup. Lalu ia menjawab, mengucap kata cerai.Tapi hari ini, dia melanggar hal itu. Dan ini membuktikan bahwa aku sudah tak berarti apapun lagi di hatinya."Baiklah Mas, jika itu yang kamu mau aku akan pergi. Terima kasih sudah mencampakkan aku seperti ini," ucapku seraya menyapu air mata yang merembes di kedua pelupuk, langkah dengan berat kutarik keluar ruangan. Bohong jika aku tidak berharap dia mengejar, nyatanya pandangan ini beberapa kali berbalik ke belakang hanya untuk memastikan bahwa dia ada di sana atau tidak. Sampai di lobi, aku terduduk di ruang tunggu. Kuusap perut yang terasa berdenyut, mungkin karena titik kekecewaan yang kualami sudah sampai pada batasnya. Aku menangis perlahan dan berjanji setelah ini tidak boleh ada lagi air mata. Kesedihan hari ini adalah kekuatan untukku melangkah esok hari.Maafkan aku
Bagai terhempas dari gedung tertinggi, ucapan Mama mertua benar-benar membuat sekujur tubuh terasa sakit. Tidak ada yang lebih menyakitkan dari pada difitnah sedemikian kejam oleh orang yang sudah kita anggap seperti ibu kandung sendiri."Kamu harus percaya sama aku, Mas. Yang kukandung ini adalah anakmu. Tolong Mas, percayalah padaku. Aku tidak mungkin melakukan perbuatan hina itu.""Jangan percaya sama dia Bim, mana ada maling mau ngaku. Dengar Nisa, sudah cukup kamu mengemis pada anakku, tapi dia sudah pada ketetapan hatinya untuk menyelesaikan rumah tangga kalian di pengadilan agama. Jadi siap-siap saja menunggu sampainya gugatan itu ke tanganmu. Tak perlu memakai banyak alasan, karena Bima tidak akan terpengaruh dengan apapun!"Mama mertua membalikkan kursi roda yang diduduki suamiku lalu mendorongnya masuk ke dalam rumah. Masih terlihat dengan jelas pandangan Mas Bima yang tertuju pada diri ini, meski terlihat seperti kasihan padaku, tapi dia tidak membantah ataupun menolak semu
Di sinilah aku saat ini, di sebuah rumah yang ada di pondok pesantren bersama Sintia dan keluarga besarnya."Gimana istirahat kamu semalam, Nisa?" tanya Sintia, sahabat yang sudah kuanggap seperti saudara. Lima tahun di kos yang sama dan satu fakultas pula. Kami sudah seperti saudara kembar. Tapi semenjak menikah, hubungan kami menjadi renggang. Mungkin karena masing-masing sudah punya kesibukan pribadi.Namun, aku sangat bersyukur karena Allah mempertemukan kami kembali disaat hati memang sedang sangat butuh untuk dihibur."Alhamdulillah, sangat nyenyak, Sin."Tiga minggu semenjak aku memutuskan pergi dari Bandung, tak satu malampun diri bisa tidur dengan nyenyak. Padahal sudah sekuat tenaga mencoba ikhlas, tapi rasa kecewa itu terus membayangi.Bersyukur setelah bertemu kembali dengan Sintia, dia mengajakku kemari. Ke tempat yang mampu membuat hati merasa nyaman."Syukurlah kalau begitu, pagi ini jam sembilan ada kajian. Jika kamu sudah enakan, yuk kita ikut kajian bareng."Kuangguk
"Mbak Nisa?""Pak Brian?"Aku dan Pak Brian sama-sama terkejut, lelaki itu? Dia yang menjadi sebab aku dan Mas Bima berpisah. Kenapa bisa bertemu lagi?"Mbak Nisa mau keluar?""Iya Pak," jawabku singkat, rasanya tak ingin memperpanjang berbicara dengannya. Mas Bima saja bisa berpikir aku dan dia berzina, apalagi orang lain. Khawatirnya diri ini kembali diterpa fitnah."Kalau boleh tahu, ada keperluan apa Mbak Nisa di ponpes ini?""Ketemu teman lama.""Teman lama, siapa?"Aku terdiam sejenak, mataku bergerak ke kiri dan kanan. Sungguh merasa ingin menyudahi pertemuan ini."Sintia.""Wah, itu kakak ipar saya."Dua netraku seketika membelalak."Kakak ipar?" tanyaku tak percaya. Kali ini ada tanya besar memenuhi kepala."Iya, jadi Abi Adam itu Abang kandung saya. Beliau punya dua istri, Umi Raya dan Bunda Sintia."Aku masih tak dapat berkata, lelaki yang menjadi sebab jatuhnya talak Mas Bima kini kembali kutemui tanpa sengaja. Dan lebih tak kusangka lagi, dia adalah adik ipar Sintia yang
Pov Bima"Kenapa Mama bohong sama Bima?"Dua netra mama membulat sempurna mendengar suaraku yang lantang. Aku sudah tak dapat lagi menahan amarah ini, tega-teganya wanita bergelar ibu itu merusak rumah tangga anaknya sendiri."Apa maksud kamu, Bima?""Bima sudah ketemu sama Lisa, dia bilang tidak pernah chat-chatan sama Mama. Apalagi ngobrol soal Nisa."Tiba-tiba mama terlihat mengipas-ngipas wajahnya, padahal ruangan ini tidak terasa panas."Semua ini Mama lakukan demi kamu, Bima. Kamu sudah direndahkan sebagai suami oleh Nisa. Apalagi yang mau kamu harapkan dari wanita itu?""Sampai kapan Mama mau memfitnah Nisa?""Mama nggak fitnah, ini kenyataan. Kamu sendiri 'kan yang memergoki dia sama lelaki lain dalam satu rumah?""Benar, tapi bisa jadi 'kan dia dan lelaki itu tidak melakukan apapun, aku yang sudah terlanjur emosi mendengar perkataan Mama dan Sarah jadi menuduh dia berzina. Padahal aku tidak melihat mereka buka-bukaan.""Alah, mereka itu gerak cepat. Waktu kamu masuk, udah pas
[Mas kamu dimana?]Sebuah pesan masuk ke ponsel berasal dari Mala. Sudah satu minggu aku tak pulang ke rumah, kuharap ini bisa menjadi pelajaran bagi istri keduaku itu, bukankah kemarin dia yang mengancam mau berpisah jika aku merujuk Nisa?Satu minggu tak kuhubungi, diapun tak menghubungi. Tahan juga ternyata.[Ada di suatu tempat.] balasku singkat.[Pulanglah Mas, aku minta maaf kemarin sempat menjadi istri pembangkang. Mungkin karena emosiku tak stabil, pengaruh hormon premenstrual. Sekarang aku udah suci, hormonnya udah nurun, aku pengen minta maaf sama kamu dan pengen kamu pulang ke rumah. Mama terus bertanya, kapan kita memberinya cucu. Ayolah Mas pulang, kita wujudkan impian Mama.]Setelah membaca pesan itu, pikiranku menerawang jauh. Saat ini tujuan utama yang ingin kuwujudkan adalah mencari Nisa, rasanya sangat enggan pulang apalagi jika menghadapi mama. Ada baiknya aku menyewa sebuah rumah dan mengajak Mala tinggal di sana.Tapi dari mana aku bisa mendapatkan uangnya, sedang
"Maksud Bapak, apa?" tanya si Mbok keheranan."Mbok tahu Ibu hamil?" tanyaku lagi meyakinkan."Tahu Pak, saat itu saya yang mengantar Ibu ke rumah sakit. Waktu itu Bapak masih dirawat.""Mbok ingat tepatnya kapan, apa setelah saya di bawa Singapura atau sebelumnya?"Wanita di hadapanku tampak berpikir sejenak. "Sebelumnya Pak, kalau nggak salah Si Mbok setelah Bapak sadar dari koma. Ibu itu pulang dari rumah sakit dalam keadaan kurang sehat karena selama Bapak koma, Mami nggak ngebolehkan Ibu menjaga Bapak. Tapi Ibu tetap bersikeras ingin merawat Bapak. Walau tidak diijinkan masuk ke ruang rawatan, Ibu memutuskan untuk tidur di mushalla."Dua mata ini membelalak, degup jantung seketika menyentak."Si Mbok nggak berbohong soal ini?""Nggak Pak, saya berani bersaksi. Saat Ibu pulang, keadaan beliau sudah sangat lemas lalu pingsan di kamar. Saya dan Kasim yang bantu bawa Ibu ke rumah sakit. Terus saat dokter memberitahu hasil pemeriksaannya, Ibu tampak begitu bahagia karena ternyata pus
Aku dan Mas Adam segera menyusul Sarah ke dalam ruang ICU."Tidak boleh berbarengan ya, Bu. Masuknya satu orang saja."Seorang suster langsung menghentikan langkah kami."Kamu saja yang masuk, mungkin Dzabir ingin melihat Papanya," ucap Mas Adam menyuruhku yang masuk sementara dia menunggu di luar. Dengan berat hati aku dan Dzabir melangkah ke dalam dan mendapati Mas Bima sudah dikerumuni banyak tenaga kesehatan dan seorang dokter. Jantung ini seketika berdegup kencang."Ada apa, Sarah?" tanyaku penuh khawatir."Tiba-tiba jantungnya lemah, Mbak. Kasihan Mas Bima, Semoga Allah memberi umur panjang," ucap Sarah dengan kedua mata berkaca-kaca."Sarah kamu pegang Dzabir ya, biar Mbak cari Mama sama Mbak Ara. Mbak takut terjadi apa-apa pada Mas Bima, sementara Mama belum sempat menjenguknya.""Iya, Mbak."Aku pun kembali keluar dari ruangan ini, Mbak Hanum ternyata sudah duduk di kursi tunggu bersama Mas Adam."Bagaimana keadaan Bima, Nis?" tanya wanita itu."Denyut jantungnya lemah, Mbak
"Nisa, Mbak mau bicara sama kamu. Oya, mereka siapa?"Wajahku tertuju pada Sarah dan yang lain. Sementara di dalam dada, jantung berdegup kencang. "Mereka ... adalah keluarga dari mantan suami saya, Mbak."Mbak Hanum seperti terkejut, apa Mas Adam sudah mengatakan pada beliau perihal Mas Bima? Ya Allah, kenapa perasaan ini semakin dihujam rasa bersalah."Oh jadi ini keluarga mantan suami kamu?"Kuanggukkan kepala, sementara wajah Mbak Hanum tertuju pada Mbak Ara."Perkenalkan saya Hanum, calon kakak iparnya Nisa."Pandanganku segera tertuju pada keduanya. Dua netra Mbak Ara membulat, bahkan Sarah dan mama pun sama."Jadi Nisa udah mau nikah?"Mbak Hanum tak menjawab, dia justru menatapku seolah ingin aku yang menjawab pertanyaan tersebut."Iya, Mbak," jawabku terbata. Sungguh tak dapat kugambarkan perasaan kini. Apalagi saat melihat Mama menundukkan wajahnya, bahkan menutup kedua mata. Ya Allah, tolong bantu hamba keluar dari keadaan yang sulit ini."Tapi apa kamu sempat bertemu Bima
Dengan memendam segenap kekecewaan, Adam berjalan meninggalkan tempat dimana dia dan Nisa berbicara dari hati ke hati.Tiga tahun bukan waktu yang cepat, mencari alasan yang kuat untuk berumah tangga. Itulah yang dilakukannya selama ini pada Nisa. Berawal dari pertemuan di pasar hingga tumbuhlah benih yang kala itu ia sebut pertanda mungkin jodoh. Ia tak langsung menetapkan hati justru memilih untuk mengenal secara diam-diam.Namun kenyataannya, tiga tahun itu tak berguna sebab semua hancur setelah tahu bahwa Nisa lebih berat pada mantan suaminya.Ia pulang membawa kekecewaan. Sampai di rumah, Adam langsung masuk ke kamar, kebetulan di rumahnya ada sang Kakak yang tampak sibuk mempersiapkan beberapa hal menyangkut pernikahannya. Hanum merasa ada yang berbeda, ia segera menyusul Adam ke kamar."Habis dari mana kamu, Dam?""Habis ketemu Nisa di rumah sakit.""Siapa yang sakit?""Mantan suaminya.""Lo, mantan suami Nisa ada di kota ini?"Adam tampak mengangguk, memilih menjatuhkan tubuh
Segera kugendong Dzabir dan menidurkannya di kursi tengah mobil. Lalu di malam buta ini kendaraan yang kunaiki akhirnya membelah langit kelam menuju rumah sakit. Berbagai pertanyaan tak henti menyeruak dalam dada, tentang Mas Bima yang kenapa sampai tiba-tiba koma, juga tentang pernikahanku yang tinggal menghitung hari. Apa sebenarnya yang kuinginkan, benarkah bersama Mas Adam adalah keinginan? Dalam kegundahan hati, keraguan itu semakin jelas. Hanya ribuan doa yang teriring dalam setiap tarikan napas. Berharap Allah bulatkan keinginan untuk memilih yang terbaik. Tetap bersamanya atau menyudahi. Sementara itu, kendaraan roda empat ini terus berputar hingga sampai di depan sebuah rumah sakit, putraku Dzabir ternyata terbangun dari lelapnya tidur. "Bund, kita ada dimana?" "Di rumah sakit, Nak." "Siapa yang sakit?" "Papa." Dia tampak sangat terkejut. Sambil mengecek bola mata, Dzabir bangkit ke posisi duduk bersandar. "Papa sakit apa, Bund?" "Bunda juga belum tahu Nak, kita tany
Jantung ini seperti berhenti berdetak saat mendapati Mas Adam berdiri di depan kamar Mas Bima. Tatapannya kini tertuju pada mantan suamiku, membuat pandangan inipun tertoleh ke belakang. Aku membuang napas berat saat menyaksikan Mas Bima hanya memakai singlet dan memakai celana selutut serta memeluk selimut. Bayangan kejadian masa lalu terlintas begitu saja, saat lelaki itu memergokiku tengah bersama Mas Brian. Ingatan tersebut membuat dada seolah tertusuk belati tertajam. "Kata Pak Agung, Pak Bima sakit?" tanya Mas Adam membuyarkan pikiranku. "Hah, iya. Saya kurang enak badan, Pak," jawab Mas Bima terbata. "Tapi sekarang sudah sehat?" "Alhamdulillah sudah agak baikan, Pak Ustadz." "Tapi kenapa calon istri saya ada di sini?" Pandangan Mas Adam kini tertuju padaku. "Tidak baik seorang wanita berada di kamar lelaki yang bukan lagi mahramnya, sekalipun ada anak kecil diantara mereka." Aku hanya bisa menunduk, sungguh dada ini bergemuruh hebat. "Ayo kita pulang, perancang pakai
"Cepat Pa bobok lagi, Bunda udah di luar."Jantungku semakin berdegup kencang."Sekarang jam berapa, Nak?"Dzabir melihat jam, dua netraku juga tertuju ke sana."Sepuluh," ucapnya berbisik. Bersamaan dengan itu terdengar bel kamar berbunyi."Kamu bisa buka pintunya?" tanyaku pada Dzabir."Bisa, Pa."Putraku itu langsung turun dari ranjang dan membuka pintu, dan di sini di atas ranjang jantung semakin bertabuh kencang.Aku harus memejamkan mata dan berpura-pura sakit. Kututup seluruh tubuh dengan selimut, agar berkeringat dan kelihatan benar seperti orang sakit. Dalam selimut, aku mulai membayangkan apa yang kumimpikan tadi. Mengajak Nisa pergi. Sungguh tak mungkin kulakukan sebagai seorang muslim."Bund, Papa ada si kamar, udah nggak sanggup bangun."Jantung seolah turun ke perut. Aku benar-benar gugup."Biar Bunda kasih tahu penjaga hotel, siapa tahu mereka ada stok obat."Hah, aduh gawat. Untuk apa minum obat, sakitnya saja sudah berkurang. "Nggak usah Bund, Papa udah minum obat ko
Nisa mengangguk, sungguh lega terasa di hati. Meski tak dapat kembali, tapi setidaknya aku ingin membuat Dzabir benar-benar ikhlas menerima Adam sebagai ayah sambungnya.Tak lagi menunggu aku langsung mengajak anakku ke hotel. "Hati-hati ya Nak, jangan bikin Papa capek ya?"Nisa berpesan sebelum akhirnya menyerahkan sebuah tas berisi pakaian ganti untuk Dzabir. Kembali langkah ini tergerak, sampai keluar pagar Nisa masih memerhatikan.Ya Allah, kenapa harus berakhir begini?"Pa, kita menginap di hotel yang kemarin ya?""Iya Nak, nggak papa 'kan?""Nggak papa, Pa. Sekalian bisa mandi kolam. Boleh 'kan, Pa?""Boleh donk, kamu bisa berenang nggak?""Bisa," jawab Dzabir antusias."Mau lomba sama Papa?""Mau, tapi ada hadiah nggak?""Ada donk.""Hadiahnya apa, Pa?""Em apa ya? Bingung juga. Oo gini aja, yang menang Boleh minta apa aja sama yang kalah. Terus yang kalah harus menyanyi sambil joget-joget."Tawa Dzabir seketika pecah, melihat dia demikian rasa bahagia menyebar begitu saja di
"Ini tidak boleh terjadi!"Teriakan membuat semua mata kini tertuju padaku."Pak Bima, ada apa?" bisik Pak Agung ke telinga seperti menyadarkan dari khayalan. Aku menatapnya tanpa ada kata yang keluar dari bibir."Ada apa, Pak?"Karena aku seperti kebingungan, Pak Agung segera menarik diri ini keluar dari ruangan tersebut."Sudah Pak, lepaskan tangan saya."Pak Agung segera melepas tanganku."Maaf Pak, saya tidak bermaksud apa-apa. Apa Pak Bima sedang tidak sehat?"Aku menarik napas panjang lalu membuang perlahan."Iya Pak, saya ingin pulang saja.""Kalau begitu biar saya yang antar. Mari kita masuk ke mobil."Pak Agung membuka kunci mobilnya, setelah itu menelpon Pak Chandra. Setelah kami bertiga masuk ke mobil, Pak Agung segera menjalankan kendaraannya tersebut."Tadi itu Bapak kenapa?"Pak Agung kembali melempar pertanyaan."Saya hanya sedang mengenang masa lalu, Pak. Makanya seperti lepas kontrol.""Oh, hampir saja tadi saya berpikir macam-macam.""Macam-macam gimana Pak Agung?"
[Assalamualaikum Nisa, jam sembilan In Syaa Allah Mas dan keluarga akan bertamu ke rumah. Sekalian untuk proses lamaran ya. Kamu jangan repot-repot, Mas sudah hubungi chatering untuk menghandle acara hari ini. Kamu siap-siapkan saja diri dan Dzabir, pakai baju seadanya. Tidak usah mewah, tidak usah yang paling bagus. Karena pakai apapun kamu tetap cantik.]Aku terhenyak membaca pesan yang dikirimkan Mas Adam tepat di jam sepuluh malam. Kenapa jadi seperti ini, harusnya jika hanya acara lamaran saja, cukup dibuat sederhana. Aku, dia dan Mbak Hanum. Tapi kenapa malah pakai chatering segala.Kuhela napas panjang, hati semakin riuh bergemuruh. Bagaimana cara menolak, ya?[Iya Mas, tapi kenapa harus pakai chatering lagi. Apa nggak cukup kita bertiga aja?][Kasihan tetangga Nisa, mereka 'kan juga ingin mendapat keberkahan dari acara kita.]Jika membicarakan keberkahan, aku tak mungkin beralasan lain. Semoga jalan ini menjadi pilihan terbaik ya Allah. Dua netra menerawang jauh menatap buah h