Pov Bima"Kenapa Mama bohong sama Bima?"Dua netra mama membulat sempurna mendengar suaraku yang lantang. Aku sudah tak dapat lagi menahan amarah ini, tega-teganya wanita bergelar ibu itu merusak rumah tangga anaknya sendiri."Apa maksud kamu, Bima?""Bima sudah ketemu sama Lisa, dia bilang tidak pernah chat-chatan sama Mama. Apalagi ngobrol soal Nisa."Tiba-tiba mama terlihat mengipas-ngipas wajahnya, padahal ruangan ini tidak terasa panas."Semua ini Mama lakukan demi kamu, Bima. Kamu sudah direndahkan sebagai suami oleh Nisa. Apalagi yang mau kamu harapkan dari wanita itu?""Sampai kapan Mama mau memfitnah Nisa?""Mama nggak fitnah, ini kenyataan. Kamu sendiri 'kan yang memergoki dia sama lelaki lain dalam satu rumah?""Benar, tapi bisa jadi 'kan dia dan lelaki itu tidak melakukan apapun, aku yang sudah terlanjur emosi mendengar perkataan Mama dan Sarah jadi menuduh dia berzina. Padahal aku tidak melihat mereka buka-bukaan.""Alah, mereka itu gerak cepat. Waktu kamu masuk, udah pas
[Mas kamu dimana?]Sebuah pesan masuk ke ponsel berasal dari Mala. Sudah satu minggu aku tak pulang ke rumah, kuharap ini bisa menjadi pelajaran bagi istri keduaku itu, bukankah kemarin dia yang mengancam mau berpisah jika aku merujuk Nisa?Satu minggu tak kuhubungi, diapun tak menghubungi. Tahan juga ternyata.[Ada di suatu tempat.] balasku singkat.[Pulanglah Mas, aku minta maaf kemarin sempat menjadi istri pembangkang. Mungkin karena emosiku tak stabil, pengaruh hormon premenstrual. Sekarang aku udah suci, hormonnya udah nurun, aku pengen minta maaf sama kamu dan pengen kamu pulang ke rumah. Mama terus bertanya, kapan kita memberinya cucu. Ayolah Mas pulang, kita wujudkan impian Mama.]Setelah membaca pesan itu, pikiranku menerawang jauh. Saat ini tujuan utama yang ingin kuwujudkan adalah mencari Nisa, rasanya sangat enggan pulang apalagi jika menghadapi mama. Ada baiknya aku menyewa sebuah rumah dan mengajak Mala tinggal di sana.Tapi dari mana aku bisa mendapatkan uangnya, sedang
"Maksud Bapak, apa?" tanya si Mbok keheranan."Mbok tahu Ibu hamil?" tanyaku lagi meyakinkan."Tahu Pak, saat itu saya yang mengantar Ibu ke rumah sakit. Waktu itu Bapak masih dirawat.""Mbok ingat tepatnya kapan, apa setelah saya di bawa Singapura atau sebelumnya?"Wanita di hadapanku tampak berpikir sejenak. "Sebelumnya Pak, kalau nggak salah Si Mbok setelah Bapak sadar dari koma. Ibu itu pulang dari rumah sakit dalam keadaan kurang sehat karena selama Bapak koma, Mami nggak ngebolehkan Ibu menjaga Bapak. Tapi Ibu tetap bersikeras ingin merawat Bapak. Walau tidak diijinkan masuk ke ruang rawatan, Ibu memutuskan untuk tidur di mushalla."Dua mata ini membelalak, degup jantung seketika menyentak."Si Mbok nggak berbohong soal ini?""Nggak Pak, saya berani bersaksi. Saat Ibu pulang, keadaan beliau sudah sangat lemas lalu pingsan di kamar. Saya dan Kasim yang bantu bawa Ibu ke rumah sakit. Terus saat dokter memberitahu hasil pemeriksaannya, Ibu tampak begitu bahagia karena ternyata pus
Mata kami saling beradu."Aku kemari ingin bertemu Nisa."Entah kenapa tiba-tiba keyakinan itu mampir begitu saja, suara tangisan bayi yang kudengar tadi tak lain adalah suara bayiku. Kalau benar, maka Nisa sudah tentu ada di dalam sana.Brian tampak tersenyum kecut."Bukankah Pak Bima tidak mengakui jika anak di dalam kandungan Nisa adalah anak Bapak. Pak Bima sendiri yang mengatakan bahwa bayi itu adalah bayiku. Sekarang kenapa Bapak mencari Nisa? Biarkan aku yang menjadi ayah dari bayinya?""Maaf Pak Brian, saya tidak mau berdebat. Jika memang benar yang baru saja melahirkan itu Nisa. Maka saya mohon Bapak tidak menahan saya untuk menemuinya."Lelaki di hadapanku sejenak bergeming, wajahnya menegas dengan dua mata melotot. Entah apa yang ada dalam pikirannya, kenapa dia merasa seperti yang sangat berhak atas diri Nisa. Saat kami masih saling memandang dengan tatapan sama menantang. Tiba-tiba ..."Sudah, sebaiknya jangan berdebat di sini. Tidak enak dilihat orang. Mas jika ingin me
"Siapa Bu yang akan mengazankan bayinya?" tanya bidan yang baru saja selesai melepas sarung tangannya.Pandangan ini seketika tertuju pada Sintia."Mas Brian ada di luar, Abi juga ada. Kamu mau siapa yang ngazanin bayi ini, Nis?"Seperti tahu maksud tatapanku, Sintia langsung menyebutkan siapa-siapa yang bisa mengumandangkan azan ke telinga bayiku. Namun, pada kedua lelaki yang disebutkan namanya itu, sebenarnya bukan yang kuinginkan. Justru aku sangat merasa sungkan. Tapi pada siapa lagi?"Siapa aja boleh, Sin.""Bentar Bu Bidan, biar saya panggilkan.""Oh baik. Oya nanti orangnya langsung disuruh ke ruang khusus bayi ya, Bu.""Baik Bu Bidan, terima kasih banyak."Entah siapa yang pada akhirnya Allah tunjukkan untuk mengazankan bayiku. Aku hanya bisa berterima kasih dan mendoakan kebaikan untuk orang itu.*Satu jam setelah selesai dibersihkan, akhirnya aku didorong ke kamar rawatan. Tak lupa kukenakan hijab untuk menutupi kepala karena tahu di tempat ini ada dua lelaki bukan mahrom
Pandangan kami saling bertemu, untuk beberapa detik dia tak berkata apapun. Hanya menatapku dan bayi yang tidur di sebelah diri ini.Mengapa kamu kemari? Apa kamu sudah yakin bahwa yang kulahirkan ini adalah darah dagingmu, Mas?Berbagai pertanyaan hanya terucap lirih di dalam kalbu, sebab bibir ini terasa kelu untuk berkata, hatipun tiba-tiba terasa perih. Hingga buliran bening melesat begitu saja dari kedua kelopak. Andai tak ada luka diantara kami, andai dia masih bergelar suami, andai tak pernah ada kata talak itu untukku, ingin hati berlari memeluknya. Meluapkan segala rindu yang menggulung bersama banyaknya hari yang terlalui seorang diri.Dia, yang cinta untuknya masih membekas di dasar hati, dia yang pernah menjadi napas dalam hidupku. Kini untuk pertama kali setelah sekian lama tak bertemu. Kembali terlihat di pandangan. Wajah rupawannya, tubuh kokohnya, dan Alhamdulillah dengan kedua kaki yang sudah dapat kembali berdiri dengan tegap. Kuakui, aku bahagia bisa melihatnya. Tap
Aku terhenyak mendengar kata-kata Mas Bima. Jujur rasanya bahagia dengan kedatangannya. Meski selama sembilan bulan anakku tak pernah merasakan elusan tangan seorang ayah, atau kecupan dan bisikan sayang yang terlontar dari bibir lelaki bergelar ayah itu. Tapi ketika dia lahir ke dunia, dia dapat merasakan lembut belaian tangan sang ayah. Serta dapat merasakan hangat pelukan seorang ayah.Itulah kenapa aku menginginkan kehadiran Mas Bima di tempat ini. Tapi untuk kembali bersamanya, aku masih takut mencoba.Sangat paham bagaimana Mas Bima mampu disetir oleh Mamanya, adik serta madu yang bahkan kehadirannya aku sendiri yang minta.Tapi disatu sisi, aku juga memikirkan nasib anak ini, bagaimana kelak dia akan tumbuh tanpa didikan dan sentuhan tangan seorang ayah. Apakah dia akan merasa sedih saat anak yang lain diajak main serta diberikan sesuatu oleh ayahnya, tapi anakku tidak. Aku takut dia akan menangis karena hal itu.Untuk sepersekian detik bibir ini kelu, tak ada kata yang keluar.
Pov Mala"Serangan jantung?"Aku hampir tak percaya mendengar penuturan dokter yang menangani mama mertua, sebab selama ini Mama sudah kerap mengelabui Mas Bima demi untuk membuat lelaki itu mendengar perkataannya. Apa ini yang dimaksud karma? Ah kasihannya mama.Aku dan Mas Bima masuk ke ruangan pemeriksaan. Sungguh terkejut melihat kondisi mama yang benar-benar terkena stroke. Bibirnya sebelah kiri tertarik ke atas, kelopak matanya mengecil sebelah, lehernya kaku. Sementara pada tangan kiri juga terlihat kaku dan jemari terlipat. Entah pada bagian kaki, tapi yang dapat kulihat sebelahnya nampak kaku."Sebaiknya ibunda Pak Bima dirawat untuk beberapa waktu, karena kondisi jantungnya belum stabil. Ini adalah serangan pertama, yang kita takutkan adalah serangan kedua. Jadi sementara waktu kami benar-benar harus memantau keadaan beliau," ucap dokter yang menangani mama padaku dan Mas Bima."Baik, Dok. Lakukan yang terbaik."Mas Bima mendekati ranjang tempat mama terbaring. Ia memeluk wa
Aku dan Mas Adam segera menyusul Sarah ke dalam ruang ICU."Tidak boleh berbarengan ya, Bu. Masuknya satu orang saja."Seorang suster langsung menghentikan langkah kami."Kamu saja yang masuk, mungkin Dzabir ingin melihat Papanya," ucap Mas Adam menyuruhku yang masuk sementara dia menunggu di luar. Dengan berat hati aku dan Dzabir melangkah ke dalam dan mendapati Mas Bima sudah dikerumuni banyak tenaga kesehatan dan seorang dokter. Jantung ini seketika berdegup kencang."Ada apa, Sarah?" tanyaku penuh khawatir."Tiba-tiba jantungnya lemah, Mbak. Kasihan Mas Bima, Semoga Allah memberi umur panjang," ucap Sarah dengan kedua mata berkaca-kaca."Sarah kamu pegang Dzabir ya, biar Mbak cari Mama sama Mbak Ara. Mbak takut terjadi apa-apa pada Mas Bima, sementara Mama belum sempat menjenguknya.""Iya, Mbak."Aku pun kembali keluar dari ruangan ini, Mbak Hanum ternyata sudah duduk di kursi tunggu bersama Mas Adam."Bagaimana keadaan Bima, Nis?" tanya wanita itu."Denyut jantungnya lemah, Mbak
"Nisa, Mbak mau bicara sama kamu. Oya, mereka siapa?"Wajahku tertuju pada Sarah dan yang lain. Sementara di dalam dada, jantung berdegup kencang. "Mereka ... adalah keluarga dari mantan suami saya, Mbak."Mbak Hanum seperti terkejut, apa Mas Adam sudah mengatakan pada beliau perihal Mas Bima? Ya Allah, kenapa perasaan ini semakin dihujam rasa bersalah."Oh jadi ini keluarga mantan suami kamu?"Kuanggukkan kepala, sementara wajah Mbak Hanum tertuju pada Mbak Ara."Perkenalkan saya Hanum, calon kakak iparnya Nisa."Pandanganku segera tertuju pada keduanya. Dua netra Mbak Ara membulat, bahkan Sarah dan mama pun sama."Jadi Nisa udah mau nikah?"Mbak Hanum tak menjawab, dia justru menatapku seolah ingin aku yang menjawab pertanyaan tersebut."Iya, Mbak," jawabku terbata. Sungguh tak dapat kugambarkan perasaan kini. Apalagi saat melihat Mama menundukkan wajahnya, bahkan menutup kedua mata. Ya Allah, tolong bantu hamba keluar dari keadaan yang sulit ini."Tapi apa kamu sempat bertemu Bima
Dengan memendam segenap kekecewaan, Adam berjalan meninggalkan tempat dimana dia dan Nisa berbicara dari hati ke hati.Tiga tahun bukan waktu yang cepat, mencari alasan yang kuat untuk berumah tangga. Itulah yang dilakukannya selama ini pada Nisa. Berawal dari pertemuan di pasar hingga tumbuhlah benih yang kala itu ia sebut pertanda mungkin jodoh. Ia tak langsung menetapkan hati justru memilih untuk mengenal secara diam-diam.Namun kenyataannya, tiga tahun itu tak berguna sebab semua hancur setelah tahu bahwa Nisa lebih berat pada mantan suaminya.Ia pulang membawa kekecewaan. Sampai di rumah, Adam langsung masuk ke kamar, kebetulan di rumahnya ada sang Kakak yang tampak sibuk mempersiapkan beberapa hal menyangkut pernikahannya. Hanum merasa ada yang berbeda, ia segera menyusul Adam ke kamar."Habis dari mana kamu, Dam?""Habis ketemu Nisa di rumah sakit.""Siapa yang sakit?""Mantan suaminya.""Lo, mantan suami Nisa ada di kota ini?"Adam tampak mengangguk, memilih menjatuhkan tubuh
Segera kugendong Dzabir dan menidurkannya di kursi tengah mobil. Lalu di malam buta ini kendaraan yang kunaiki akhirnya membelah langit kelam menuju rumah sakit. Berbagai pertanyaan tak henti menyeruak dalam dada, tentang Mas Bima yang kenapa sampai tiba-tiba koma, juga tentang pernikahanku yang tinggal menghitung hari. Apa sebenarnya yang kuinginkan, benarkah bersama Mas Adam adalah keinginan? Dalam kegundahan hati, keraguan itu semakin jelas. Hanya ribuan doa yang teriring dalam setiap tarikan napas. Berharap Allah bulatkan keinginan untuk memilih yang terbaik. Tetap bersamanya atau menyudahi. Sementara itu, kendaraan roda empat ini terus berputar hingga sampai di depan sebuah rumah sakit, putraku Dzabir ternyata terbangun dari lelapnya tidur. "Bund, kita ada dimana?" "Di rumah sakit, Nak." "Siapa yang sakit?" "Papa." Dia tampak sangat terkejut. Sambil mengecek bola mata, Dzabir bangkit ke posisi duduk bersandar. "Papa sakit apa, Bund?" "Bunda juga belum tahu Nak, kita tany
Jantung ini seperti berhenti berdetak saat mendapati Mas Adam berdiri di depan kamar Mas Bima. Tatapannya kini tertuju pada mantan suamiku, membuat pandangan inipun tertoleh ke belakang. Aku membuang napas berat saat menyaksikan Mas Bima hanya memakai singlet dan memakai celana selutut serta memeluk selimut. Bayangan kejadian masa lalu terlintas begitu saja, saat lelaki itu memergokiku tengah bersama Mas Brian. Ingatan tersebut membuat dada seolah tertusuk belati tertajam. "Kata Pak Agung, Pak Bima sakit?" tanya Mas Adam membuyarkan pikiranku. "Hah, iya. Saya kurang enak badan, Pak," jawab Mas Bima terbata. "Tapi sekarang sudah sehat?" "Alhamdulillah sudah agak baikan, Pak Ustadz." "Tapi kenapa calon istri saya ada di sini?" Pandangan Mas Adam kini tertuju padaku. "Tidak baik seorang wanita berada di kamar lelaki yang bukan lagi mahramnya, sekalipun ada anak kecil diantara mereka." Aku hanya bisa menunduk, sungguh dada ini bergemuruh hebat. "Ayo kita pulang, perancang pakai
"Cepat Pa bobok lagi, Bunda udah di luar."Jantungku semakin berdegup kencang."Sekarang jam berapa, Nak?"Dzabir melihat jam, dua netraku juga tertuju ke sana."Sepuluh," ucapnya berbisik. Bersamaan dengan itu terdengar bel kamar berbunyi."Kamu bisa buka pintunya?" tanyaku pada Dzabir."Bisa, Pa."Putraku itu langsung turun dari ranjang dan membuka pintu, dan di sini di atas ranjang jantung semakin bertabuh kencang.Aku harus memejamkan mata dan berpura-pura sakit. Kututup seluruh tubuh dengan selimut, agar berkeringat dan kelihatan benar seperti orang sakit. Dalam selimut, aku mulai membayangkan apa yang kumimpikan tadi. Mengajak Nisa pergi. Sungguh tak mungkin kulakukan sebagai seorang muslim."Bund, Papa ada si kamar, udah nggak sanggup bangun."Jantung seolah turun ke perut. Aku benar-benar gugup."Biar Bunda kasih tahu penjaga hotel, siapa tahu mereka ada stok obat."Hah, aduh gawat. Untuk apa minum obat, sakitnya saja sudah berkurang. "Nggak usah Bund, Papa udah minum obat ko
Nisa mengangguk, sungguh lega terasa di hati. Meski tak dapat kembali, tapi setidaknya aku ingin membuat Dzabir benar-benar ikhlas menerima Adam sebagai ayah sambungnya.Tak lagi menunggu aku langsung mengajak anakku ke hotel. "Hati-hati ya Nak, jangan bikin Papa capek ya?"Nisa berpesan sebelum akhirnya menyerahkan sebuah tas berisi pakaian ganti untuk Dzabir. Kembali langkah ini tergerak, sampai keluar pagar Nisa masih memerhatikan.Ya Allah, kenapa harus berakhir begini?"Pa, kita menginap di hotel yang kemarin ya?""Iya Nak, nggak papa 'kan?""Nggak papa, Pa. Sekalian bisa mandi kolam. Boleh 'kan, Pa?""Boleh donk, kamu bisa berenang nggak?""Bisa," jawab Dzabir antusias."Mau lomba sama Papa?""Mau, tapi ada hadiah nggak?""Ada donk.""Hadiahnya apa, Pa?""Em apa ya? Bingung juga. Oo gini aja, yang menang Boleh minta apa aja sama yang kalah. Terus yang kalah harus menyanyi sambil joget-joget."Tawa Dzabir seketika pecah, melihat dia demikian rasa bahagia menyebar begitu saja di
"Ini tidak boleh terjadi!"Teriakan membuat semua mata kini tertuju padaku."Pak Bima, ada apa?" bisik Pak Agung ke telinga seperti menyadarkan dari khayalan. Aku menatapnya tanpa ada kata yang keluar dari bibir."Ada apa, Pak?"Karena aku seperti kebingungan, Pak Agung segera menarik diri ini keluar dari ruangan tersebut."Sudah Pak, lepaskan tangan saya."Pak Agung segera melepas tanganku."Maaf Pak, saya tidak bermaksud apa-apa. Apa Pak Bima sedang tidak sehat?"Aku menarik napas panjang lalu membuang perlahan."Iya Pak, saya ingin pulang saja.""Kalau begitu biar saya yang antar. Mari kita masuk ke mobil."Pak Agung membuka kunci mobilnya, setelah itu menelpon Pak Chandra. Setelah kami bertiga masuk ke mobil, Pak Agung segera menjalankan kendaraannya tersebut."Tadi itu Bapak kenapa?"Pak Agung kembali melempar pertanyaan."Saya hanya sedang mengenang masa lalu, Pak. Makanya seperti lepas kontrol.""Oh, hampir saja tadi saya berpikir macam-macam.""Macam-macam gimana Pak Agung?"
[Assalamualaikum Nisa, jam sembilan In Syaa Allah Mas dan keluarga akan bertamu ke rumah. Sekalian untuk proses lamaran ya. Kamu jangan repot-repot, Mas sudah hubungi chatering untuk menghandle acara hari ini. Kamu siap-siapkan saja diri dan Dzabir, pakai baju seadanya. Tidak usah mewah, tidak usah yang paling bagus. Karena pakai apapun kamu tetap cantik.]Aku terhenyak membaca pesan yang dikirimkan Mas Adam tepat di jam sepuluh malam. Kenapa jadi seperti ini, harusnya jika hanya acara lamaran saja, cukup dibuat sederhana. Aku, dia dan Mbak Hanum. Tapi kenapa malah pakai chatering segala.Kuhela napas panjang, hati semakin riuh bergemuruh. Bagaimana cara menolak, ya?[Iya Mas, tapi kenapa harus pakai chatering lagi. Apa nggak cukup kita bertiga aja?][Kasihan tetangga Nisa, mereka 'kan juga ingin mendapat keberkahan dari acara kita.]Jika membicarakan keberkahan, aku tak mungkin beralasan lain. Semoga jalan ini menjadi pilihan terbaik ya Allah. Dua netra menerawang jauh menatap buah h