"Siapa Bu yang akan mengazankan bayinya?" tanya bidan yang baru saja selesai melepas sarung tangannya.Pandangan ini seketika tertuju pada Sintia."Mas Brian ada di luar, Abi juga ada. Kamu mau siapa yang ngazanin bayi ini, Nis?"Seperti tahu maksud tatapanku, Sintia langsung menyebutkan siapa-siapa yang bisa mengumandangkan azan ke telinga bayiku. Namun, pada kedua lelaki yang disebutkan namanya itu, sebenarnya bukan yang kuinginkan. Justru aku sangat merasa sungkan. Tapi pada siapa lagi?"Siapa aja boleh, Sin.""Bentar Bu Bidan, biar saya panggilkan.""Oh baik. Oya nanti orangnya langsung disuruh ke ruang khusus bayi ya, Bu.""Baik Bu Bidan, terima kasih banyak."Entah siapa yang pada akhirnya Allah tunjukkan untuk mengazankan bayiku. Aku hanya bisa berterima kasih dan mendoakan kebaikan untuk orang itu.*Satu jam setelah selesai dibersihkan, akhirnya aku didorong ke kamar rawatan. Tak lupa kukenakan hijab untuk menutupi kepala karena tahu di tempat ini ada dua lelaki bukan mahrom
Pandangan kami saling bertemu, untuk beberapa detik dia tak berkata apapun. Hanya menatapku dan bayi yang tidur di sebelah diri ini.Mengapa kamu kemari? Apa kamu sudah yakin bahwa yang kulahirkan ini adalah darah dagingmu, Mas?Berbagai pertanyaan hanya terucap lirih di dalam kalbu, sebab bibir ini terasa kelu untuk berkata, hatipun tiba-tiba terasa perih. Hingga buliran bening melesat begitu saja dari kedua kelopak. Andai tak ada luka diantara kami, andai dia masih bergelar suami, andai tak pernah ada kata talak itu untukku, ingin hati berlari memeluknya. Meluapkan segala rindu yang menggulung bersama banyaknya hari yang terlalui seorang diri.Dia, yang cinta untuknya masih membekas di dasar hati, dia yang pernah menjadi napas dalam hidupku. Kini untuk pertama kali setelah sekian lama tak bertemu. Kembali terlihat di pandangan. Wajah rupawannya, tubuh kokohnya, dan Alhamdulillah dengan kedua kaki yang sudah dapat kembali berdiri dengan tegap. Kuakui, aku bahagia bisa melihatnya. Tap
Aku terhenyak mendengar kata-kata Mas Bima. Jujur rasanya bahagia dengan kedatangannya. Meski selama sembilan bulan anakku tak pernah merasakan elusan tangan seorang ayah, atau kecupan dan bisikan sayang yang terlontar dari bibir lelaki bergelar ayah itu. Tapi ketika dia lahir ke dunia, dia dapat merasakan lembut belaian tangan sang ayah. Serta dapat merasakan hangat pelukan seorang ayah.Itulah kenapa aku menginginkan kehadiran Mas Bima di tempat ini. Tapi untuk kembali bersamanya, aku masih takut mencoba.Sangat paham bagaimana Mas Bima mampu disetir oleh Mamanya, adik serta madu yang bahkan kehadirannya aku sendiri yang minta.Tapi disatu sisi, aku juga memikirkan nasib anak ini, bagaimana kelak dia akan tumbuh tanpa didikan dan sentuhan tangan seorang ayah. Apakah dia akan merasa sedih saat anak yang lain diajak main serta diberikan sesuatu oleh ayahnya, tapi anakku tidak. Aku takut dia akan menangis karena hal itu.Untuk sepersekian detik bibir ini kelu, tak ada kata yang keluar.
Pov Mala"Serangan jantung?"Aku hampir tak percaya mendengar penuturan dokter yang menangani mama mertua, sebab selama ini Mama sudah kerap mengelabui Mas Bima demi untuk membuat lelaki itu mendengar perkataannya. Apa ini yang dimaksud karma? Ah kasihannya mama.Aku dan Mas Bima masuk ke ruangan pemeriksaan. Sungguh terkejut melihat kondisi mama yang benar-benar terkena stroke. Bibirnya sebelah kiri tertarik ke atas, kelopak matanya mengecil sebelah, lehernya kaku. Sementara pada tangan kiri juga terlihat kaku dan jemari terlipat. Entah pada bagian kaki, tapi yang dapat kulihat sebelahnya nampak kaku."Sebaiknya ibunda Pak Bima dirawat untuk beberapa waktu, karena kondisi jantungnya belum stabil. Ini adalah serangan pertama, yang kita takutkan adalah serangan kedua. Jadi sementara waktu kami benar-benar harus memantau keadaan beliau," ucap dokter yang menangani mama padaku dan Mas Bima."Baik, Dok. Lakukan yang terbaik."Mas Bima mendekati ranjang tempat mama terbaring. Ia memeluk wa
"Bima ada di depan."Sejenak aku terdiam, masih terbayang dengan nyata diingatkan bagaimana kedatangan Mala kemarin kembali menorehkan luka."Bima minta ketemu sama anakmu.""Iya, Bi. Nisa minta tolong Bibi bawakan Dzabir kepada Mas Bima.""Baiklah Nis, biar Bibi bawakan anak ini bertemu ayahnya, kamu nggak mau ketemu sama dia."Aku menggeleng lemah, membiarkan Bibi Ani pada akhirnya keluar kamar dengan membawa putraku.*Pov BimaAku sudah sangat merindukan anak juga mantan istriku Nisa. Tapi bagaimana caranya bisa menjenguk mereka, sedang kondisi mama belum stabil. Belum lagi Mala yang terus berulah. Seakan tahu keinginanku, dia selalu curiga kemana aku hendak pergi. Bahkan ke kantor saja sampai dia pastikan pada salah satu staf yang dikenal.Dalam kondisi seperti ini sungguh aku pikir sangat sulit untuk bisa kembali dengan Nisa.Huhft.Hari ini, Nisa pasti sudah pulang ke rumah. Aku harus bisa pergi menjenguk mereka, bagaimanapun caranya."Mala, Sarah ada kegiatan hari ini jadi kam
"Katakan apa yang ingin kamu katakan Mala, kita bertiga ada di sini. Supaya masalahnya cepat selesai."Bibi Ani menyingkir masuk ke dalam kamar, sementara aku semakin berjalan mendekati Mas Bima dan Mala."Aku tidak menyangka Mbak bisa serendah ini, padahal aku sudah pernah menemui Mbak dan meminta agar tidak terus menjadi bayangan dalam hidup Mas Bima. Dia sekarang milikku Mbak, kenapa sih Mbak tidak mencari lelaki lain saja. Kenapa juga harus berharap pada mantan yang sudah menjadi suami orang?"Deg.Aku merasa sakit sampai ke ulu hati mendengar ucapannya. Namun, kucoba untuk tetap tenang."Mala, jaga ucapanmu! Nisa tak serendah itu, aku yang berharap bisa menikah kembali dengannya, Nisa bahkan sudah menolak. Jadi jangan menuduhnya yang tidak-tidak!"Mas Bima mencoba membela, tapi tak membuat perasaanku membaik. "Dia itu hanya jual mahal Mas, itu 'kan memang trik wanita supaya lelaki yang mengincarnya semakin penasaran. Aku sudah bisa membaca keinginan Mbak Nisa, jadi detik ini jug
Kupalingkan wajah agar tidak terlalu lama melihatnya. Tapi meski begitu senyum manis Mas Bima pada pengamen cilik itu sedikit mengingatkanku bahwa dia masih sama seperti dulu. Ramah pada siapapun dan paling penyayang pada anak-anak. Tetaplah seperti itu Mas.Setiap manusia pasti pernah melakukan kesalahan tapi yang terpenting bagaimana kita bisa menjadikan kesalahan tersebut sebagai jalan muhasabah diri terbaik. Aku pergi.*Pov BimaAku melihat wajah mama tampak sendu, biasanya ia menyambut kepulanganku dengan senyum. Ada apa ya, kenapa Mama terlihat bersedih?Kudekati ia yang sudah genap dua bulan ini terbaring di atas ranjang. Seluruh tubuhnya tak bisa digerakkan. Bahkan untuk BAB saja harus dibantu. "Bima pulang, Ma."Hari ini sedikit terjadi masalah, mobilku dipinjam kepala bidang manajemen di kantor. Entah untuk urusan apa, yang kutahu dia mau bertemu selingkuhannya hendak memutuskan hubungan dengan wanita itu karena istrinya sudah tahu perihal perselingkuhannya. Tapi Pak Bamba
Betapa selama ini mataku telah tertutup akan kebusukan Mala. Dia yang seharusnya kutinggalkan justru dialah yang kupertahankan. Dan Nisa, wanita dengan ketulusan hati yang sempurna ... aku benar-benar sudah menyia-nyiakannya."Tolong jangan ceraikan aku, Mas. Aku mengaku salah, tapi kumohon jangan bercerai. Aku sangat mencintai kamu Mas."Mala berlutut seraya memeluk kedua kakiku. Rasanya sangat muak dengan segala topeng yang dia perlihatkan selama ini. "Jika cinta maka seharusnya kamu selalu melakukan yang terbaik, tapi buktinya apa? Kamu justru menyimpan banyak kebusukan.""Maaf Mas, aku mengaku salah. Tapi semua ini karena Mama yang memintaku untuk membantunya menyingkirkan Mbak Nisa.""Kalian semua sama, aku menyesal sudah mendengar ucapan dusta yang keluar dari mulut manis kalian!"Kulepas kedua tangannya yang melingkari kaki, lalu langkah tergerak seketika keluar dari kamar. Mala berusaha mengejar."Mas kamu mau kemana?""Mau kemanapun aku sudah bukan lagi urusanmu, kita udah p
Aku dan Mas Adam segera menyusul Sarah ke dalam ruang ICU."Tidak boleh berbarengan ya, Bu. Masuknya satu orang saja."Seorang suster langsung menghentikan langkah kami."Kamu saja yang masuk, mungkin Dzabir ingin melihat Papanya," ucap Mas Adam menyuruhku yang masuk sementara dia menunggu di luar. Dengan berat hati aku dan Dzabir melangkah ke dalam dan mendapati Mas Bima sudah dikerumuni banyak tenaga kesehatan dan seorang dokter. Jantung ini seketika berdegup kencang."Ada apa, Sarah?" tanyaku penuh khawatir."Tiba-tiba jantungnya lemah, Mbak. Kasihan Mas Bima, Semoga Allah memberi umur panjang," ucap Sarah dengan kedua mata berkaca-kaca."Sarah kamu pegang Dzabir ya, biar Mbak cari Mama sama Mbak Ara. Mbak takut terjadi apa-apa pada Mas Bima, sementara Mama belum sempat menjenguknya.""Iya, Mbak."Aku pun kembali keluar dari ruangan ini, Mbak Hanum ternyata sudah duduk di kursi tunggu bersama Mas Adam."Bagaimana keadaan Bima, Nis?" tanya wanita itu."Denyut jantungnya lemah, Mbak
"Nisa, Mbak mau bicara sama kamu. Oya, mereka siapa?"Wajahku tertuju pada Sarah dan yang lain. Sementara di dalam dada, jantung berdegup kencang. "Mereka ... adalah keluarga dari mantan suami saya, Mbak."Mbak Hanum seperti terkejut, apa Mas Adam sudah mengatakan pada beliau perihal Mas Bima? Ya Allah, kenapa perasaan ini semakin dihujam rasa bersalah."Oh jadi ini keluarga mantan suami kamu?"Kuanggukkan kepala, sementara wajah Mbak Hanum tertuju pada Mbak Ara."Perkenalkan saya Hanum, calon kakak iparnya Nisa."Pandanganku segera tertuju pada keduanya. Dua netra Mbak Ara membulat, bahkan Sarah dan mama pun sama."Jadi Nisa udah mau nikah?"Mbak Hanum tak menjawab, dia justru menatapku seolah ingin aku yang menjawab pertanyaan tersebut."Iya, Mbak," jawabku terbata. Sungguh tak dapat kugambarkan perasaan kini. Apalagi saat melihat Mama menundukkan wajahnya, bahkan menutup kedua mata. Ya Allah, tolong bantu hamba keluar dari keadaan yang sulit ini."Tapi apa kamu sempat bertemu Bima
Dengan memendam segenap kekecewaan, Adam berjalan meninggalkan tempat dimana dia dan Nisa berbicara dari hati ke hati.Tiga tahun bukan waktu yang cepat, mencari alasan yang kuat untuk berumah tangga. Itulah yang dilakukannya selama ini pada Nisa. Berawal dari pertemuan di pasar hingga tumbuhlah benih yang kala itu ia sebut pertanda mungkin jodoh. Ia tak langsung menetapkan hati justru memilih untuk mengenal secara diam-diam.Namun kenyataannya, tiga tahun itu tak berguna sebab semua hancur setelah tahu bahwa Nisa lebih berat pada mantan suaminya.Ia pulang membawa kekecewaan. Sampai di rumah, Adam langsung masuk ke kamar, kebetulan di rumahnya ada sang Kakak yang tampak sibuk mempersiapkan beberapa hal menyangkut pernikahannya. Hanum merasa ada yang berbeda, ia segera menyusul Adam ke kamar."Habis dari mana kamu, Dam?""Habis ketemu Nisa di rumah sakit.""Siapa yang sakit?""Mantan suaminya.""Lo, mantan suami Nisa ada di kota ini?"Adam tampak mengangguk, memilih menjatuhkan tubuh
Segera kugendong Dzabir dan menidurkannya di kursi tengah mobil. Lalu di malam buta ini kendaraan yang kunaiki akhirnya membelah langit kelam menuju rumah sakit. Berbagai pertanyaan tak henti menyeruak dalam dada, tentang Mas Bima yang kenapa sampai tiba-tiba koma, juga tentang pernikahanku yang tinggal menghitung hari. Apa sebenarnya yang kuinginkan, benarkah bersama Mas Adam adalah keinginan? Dalam kegundahan hati, keraguan itu semakin jelas. Hanya ribuan doa yang teriring dalam setiap tarikan napas. Berharap Allah bulatkan keinginan untuk memilih yang terbaik. Tetap bersamanya atau menyudahi. Sementara itu, kendaraan roda empat ini terus berputar hingga sampai di depan sebuah rumah sakit, putraku Dzabir ternyata terbangun dari lelapnya tidur. "Bund, kita ada dimana?" "Di rumah sakit, Nak." "Siapa yang sakit?" "Papa." Dia tampak sangat terkejut. Sambil mengecek bola mata, Dzabir bangkit ke posisi duduk bersandar. "Papa sakit apa, Bund?" "Bunda juga belum tahu Nak, kita tany
Jantung ini seperti berhenti berdetak saat mendapati Mas Adam berdiri di depan kamar Mas Bima. Tatapannya kini tertuju pada mantan suamiku, membuat pandangan inipun tertoleh ke belakang. Aku membuang napas berat saat menyaksikan Mas Bima hanya memakai singlet dan memakai celana selutut serta memeluk selimut. Bayangan kejadian masa lalu terlintas begitu saja, saat lelaki itu memergokiku tengah bersama Mas Brian. Ingatan tersebut membuat dada seolah tertusuk belati tertajam. "Kata Pak Agung, Pak Bima sakit?" tanya Mas Adam membuyarkan pikiranku. "Hah, iya. Saya kurang enak badan, Pak," jawab Mas Bima terbata. "Tapi sekarang sudah sehat?" "Alhamdulillah sudah agak baikan, Pak Ustadz." "Tapi kenapa calon istri saya ada di sini?" Pandangan Mas Adam kini tertuju padaku. "Tidak baik seorang wanita berada di kamar lelaki yang bukan lagi mahramnya, sekalipun ada anak kecil diantara mereka." Aku hanya bisa menunduk, sungguh dada ini bergemuruh hebat. "Ayo kita pulang, perancang pakai
"Cepat Pa bobok lagi, Bunda udah di luar."Jantungku semakin berdegup kencang."Sekarang jam berapa, Nak?"Dzabir melihat jam, dua netraku juga tertuju ke sana."Sepuluh," ucapnya berbisik. Bersamaan dengan itu terdengar bel kamar berbunyi."Kamu bisa buka pintunya?" tanyaku pada Dzabir."Bisa, Pa."Putraku itu langsung turun dari ranjang dan membuka pintu, dan di sini di atas ranjang jantung semakin bertabuh kencang.Aku harus memejamkan mata dan berpura-pura sakit. Kututup seluruh tubuh dengan selimut, agar berkeringat dan kelihatan benar seperti orang sakit. Dalam selimut, aku mulai membayangkan apa yang kumimpikan tadi. Mengajak Nisa pergi. Sungguh tak mungkin kulakukan sebagai seorang muslim."Bund, Papa ada si kamar, udah nggak sanggup bangun."Jantung seolah turun ke perut. Aku benar-benar gugup."Biar Bunda kasih tahu penjaga hotel, siapa tahu mereka ada stok obat."Hah, aduh gawat. Untuk apa minum obat, sakitnya saja sudah berkurang. "Nggak usah Bund, Papa udah minum obat ko
Nisa mengangguk, sungguh lega terasa di hati. Meski tak dapat kembali, tapi setidaknya aku ingin membuat Dzabir benar-benar ikhlas menerima Adam sebagai ayah sambungnya.Tak lagi menunggu aku langsung mengajak anakku ke hotel. "Hati-hati ya Nak, jangan bikin Papa capek ya?"Nisa berpesan sebelum akhirnya menyerahkan sebuah tas berisi pakaian ganti untuk Dzabir. Kembali langkah ini tergerak, sampai keluar pagar Nisa masih memerhatikan.Ya Allah, kenapa harus berakhir begini?"Pa, kita menginap di hotel yang kemarin ya?""Iya Nak, nggak papa 'kan?""Nggak papa, Pa. Sekalian bisa mandi kolam. Boleh 'kan, Pa?""Boleh donk, kamu bisa berenang nggak?""Bisa," jawab Dzabir antusias."Mau lomba sama Papa?""Mau, tapi ada hadiah nggak?""Ada donk.""Hadiahnya apa, Pa?""Em apa ya? Bingung juga. Oo gini aja, yang menang Boleh minta apa aja sama yang kalah. Terus yang kalah harus menyanyi sambil joget-joget."Tawa Dzabir seketika pecah, melihat dia demikian rasa bahagia menyebar begitu saja di
"Ini tidak boleh terjadi!"Teriakan membuat semua mata kini tertuju padaku."Pak Bima, ada apa?" bisik Pak Agung ke telinga seperti menyadarkan dari khayalan. Aku menatapnya tanpa ada kata yang keluar dari bibir."Ada apa, Pak?"Karena aku seperti kebingungan, Pak Agung segera menarik diri ini keluar dari ruangan tersebut."Sudah Pak, lepaskan tangan saya."Pak Agung segera melepas tanganku."Maaf Pak, saya tidak bermaksud apa-apa. Apa Pak Bima sedang tidak sehat?"Aku menarik napas panjang lalu membuang perlahan."Iya Pak, saya ingin pulang saja.""Kalau begitu biar saya yang antar. Mari kita masuk ke mobil."Pak Agung membuka kunci mobilnya, setelah itu menelpon Pak Chandra. Setelah kami bertiga masuk ke mobil, Pak Agung segera menjalankan kendaraannya tersebut."Tadi itu Bapak kenapa?"Pak Agung kembali melempar pertanyaan."Saya hanya sedang mengenang masa lalu, Pak. Makanya seperti lepas kontrol.""Oh, hampir saja tadi saya berpikir macam-macam.""Macam-macam gimana Pak Agung?"
[Assalamualaikum Nisa, jam sembilan In Syaa Allah Mas dan keluarga akan bertamu ke rumah. Sekalian untuk proses lamaran ya. Kamu jangan repot-repot, Mas sudah hubungi chatering untuk menghandle acara hari ini. Kamu siap-siapkan saja diri dan Dzabir, pakai baju seadanya. Tidak usah mewah, tidak usah yang paling bagus. Karena pakai apapun kamu tetap cantik.]Aku terhenyak membaca pesan yang dikirimkan Mas Adam tepat di jam sepuluh malam. Kenapa jadi seperti ini, harusnya jika hanya acara lamaran saja, cukup dibuat sederhana. Aku, dia dan Mbak Hanum. Tapi kenapa malah pakai chatering segala.Kuhela napas panjang, hati semakin riuh bergemuruh. Bagaimana cara menolak, ya?[Iya Mas, tapi kenapa harus pakai chatering lagi. Apa nggak cukup kita bertiga aja?][Kasihan tetangga Nisa, mereka 'kan juga ingin mendapat keberkahan dari acara kita.]Jika membicarakan keberkahan, aku tak mungkin beralasan lain. Semoga jalan ini menjadi pilihan terbaik ya Allah. Dua netra menerawang jauh menatap buah h