Bagai terhempas dari gedung tertinggi, jantung ini seketika berhenti berdetak.
Mas Bima kecelakaan? Ya Allah ...
Tanpa pikir panjang, aku segera keluar dari rumah. Melajukan sepeda motor dengan kecepatan tinggi hingga tiba di rumah sakit. Tanpa jeda langkah kini tertuju ke meja resepsionis. Ternyata Mas Bima sudah hendak di dorong ke ruang operasi hanya menunggu kedatangan keluarga untuk menandatangani surat persetujuan.
Tak teringat lagi untuk berkonsultasi pada siapa, karena menurut dokter tindakan operasi harus dilakukan sesegera mungkin. Agar perdarahan yang terjadi pada kepalanya bisa teratasi dan harapan hidup pasien akan menjadi lebih besar.
Mendengar kata harapan hidup saja setengah ragaku seperti terserabut paksa. Ya Allah, bagaimana kecelakaan ini terjadi sampai Mas Bima bisa separah ini?
Setelah menandatangani surat persetujuan tersebut, aku dipersilahkan duduk di depan ruang operasi.
"Ijinkan saya melihat suami saya sekali saja Dok sebelum operasinya berlangsung."
Aku memohon pada salah satu suster yang bertugas.
"Baik, Mbak."
Suster itu membawaku masuk ke ruang operasi, tapi aku tak diizinkan mendekatinya karena Mas Bima sudah dalam persiapan penanganan. Dengan berbatasan kaca, aku bisa melihat kamu Mas. Wajahmu yang pucat dengan mata tertutup, aku sangat takut Mas. Kamu harus bisa melewati semua ini, aku menunggumu diluar. Kamu harus menunaikan janjian membawaku ke hotel berbintang lima. Itu janjian padaku, Mas. Aku menunggu kamu menunaikan janji itu.
"Sudah ya Mbak, kami mau langsung bertugas."
Kuanggukkan kepala dan keluar dari ruangan tersebut. Jemari mengusap perlahan kedua pipi yang sudah basah akan air mata. Jantung seperti tak mampu lagi memompa darah, sekujur tubuh benar-benar terasa kehilangan kekuatan.
Tak ada tempat lain yang harus kutuju selain mengadu pada Rabb, akhirnya langkah tertuntun menuju mushalla. Pada Rabb yang menggenggam jiwa kupinta keselamatan bagi suamiku. Tiada kuasa melainkan Kuasa Illahi Rabbi, yang menghidupkan dan mematikan manusia. Ya Allah, aku minta padamu, selamatkan suamiku, panjangkan umurnya dan berilah kesehatan padanya.
Doa kututup dengan deraian air mata, tak dapat kugambarkan rasa khawatir yang membungkus jiwa. Dalam kegelisahan, aku teringat akan mama mertua dan Mala. Dengan bersegera jemari mengeluarkan ponsel untuk kemudian menelpon keduanya.
"Ma, Mas Bima kecelakaan."
Diseberang sana mama nampak kesal.
"Apa maksud kamu, Nisa? Mama lagi ada arisan ini."
"Mas Bima, Ma."
"Ada apa sama Bima, kamu kalau bicara yang jelas."
"Mas Bima baru saja mengalami kecelakaan Ma. Sekarang dia ada di rumah sakit, keadaannya kritis dan tengah ditangani di ruang operasi."
"Apa, anakku kecelakaan? Di rumah sakit mana dia ditangani?"
"Di rumah sakit Medical Center, Ma."
Tanpa menjawab, Mama langsung memutuskan telpon. Kuusap kembali air mata yang sedikitpun tak mau berhenti berderai, lalu jemari kembali menekan tombol pada layar ponsel. Mala menjadi tujuan.
"Hallo," jawabnya di sana.
"Mala kamu dimana?"
"Masih ketemuan sama teman, Mbak. Ada apa?"
"Mala, Mas Bima kecelakaan."
"Kecelakaan?"
"Iya, cepat kamu ke rumah sakit ya. Mbak udah di sini nungguin Mas Bima selesai di operasi."
"Aku segera ke sana."
Mala lebih dulu sampai, wajahnya terlihat begitu cemas. Dia segera memelukku yang terus meneteskan air mata semenjak tadi. Dalam dekapannya aku merasa sedikit tenang, seperti telah menemukan teman terbaik yang memiliki ketakutan yang sama akan kehilangan satu lelaki.
Mala kemudian menanyakan padaku kronologis kejadian. Tak ingin berbohong padanya, akupun mulai menceritakan tanpa ada yang kututupi kecuali perihal bagaimana dia bisa mengalami kecelakaan. Karena sampai saat ini akupun masih bertanya-tanya bagaimana bisa Mas Bima kecelakaan.
Tiba-tiba dia berkata,
"Harusnya Mas Bima masih baik-baik saja jika dia tidak pulang untuk menemui Mbak."
Deg.
Perkataan Mala seperti tamparan keras yang mengenai pipi. Benarkah apa yang dikatakan Mala itu? Padahal sedari tadi aku terus berusaha meyakinkan diri bahwa musibah ini terjadi bukan karena aku atau siapapun, tapi memang semua ini sudah ditakdirkan Allah.
Namun, ucapan menyakitkan yang keluar dari bibir Mala membuatku begitu tersiksa dan kembali merasa bersalah. Biarpun begitu, aku mencoba membuat adik maduku tidak salah paham.
"Ini semua musibah Dek, bukan karena Mbak atau siapapun."
"Pokoknya kalau terjadi apa-apa sama Mas Bima, Mbak harus tanggung jawab," ucap Mala dengan dua mata melebar. Saat itu, aku merasa tubuh ini ditusuk-tusuk dengan tombak. Betapa teganya Mala, wanita yang kini tidak saja kuanggap sebagai adik, teman, bahwa saudaraku itu mengancam sedemikian rupa.
Tak bisa berkata apapun, hanya menyimpan rasa sakit itu di dalam dada. Semenjak detik ini pula diantara kami seperti ada dinding pemisah. Dia menjauh, bahkan memilih duduk di bangku yang sangat jauh denganku. Tatatapnnya tajam dan bahkan mimik wajahpun seperti begitu membenci.
Ada apa denganmu wahai adikku? Kenapa kamu membenciku sementara ini semua buka pula yang kuharapkan. Di dalam sana, yang tengah berjuang hidup atau mati, bukan saja suamimu. Tapi suamiku, yang sudah kutemani bahkan lebih lama dari kamu menemaninya?
Bibir ini bergetar, kecewa dan sedih bercampur membuat dada terasa begitu sesak.
Sudah dua jam operasi berlangsung, tidak ada satu pun yang keluar dari ruang operasi. Dari arah kanan, aku mendengar suara orang berlarian. Saat mata memandang ternyata yang mendekat adalah mama mertua dan keluarga adik iparku.
Mama langsung mendekati Mala, padahal yang lebih dulu dia temuan adalah posisiku.
"Bagaimana keadaan Bima?"
"Masih di ruang operasi, Ma. Belum ada yang keluar dari dalam sana," jawab Mala seraya menunjuk pintu ruang operasi.
Wajah mama tertuju padaku.
"Dasar istri tak berguna!"
Plaakkk!
Lima jemari mama mertua mendarat di pipi ini.
"Semua ini gara-gara kamu, jika Bima tidak pulang untuk menemuimu, dia tidak akan kenapa-kenapa!"
Jangan-jangan Mala yang sudah mengadu pada Mama perihal ini?
"Ma, ini semua takdir bukan salah Nisa. Nisa juga tidak pernah meminta agar Mas Bima pulang, justru Mas Bima sendiri yang berinisiatif untuk pulang."
"Halah banyak ngomong kamu. Ingat ini ya Nisa, jika terjadi apapun sama Bima, aku mengharamkan kamu menemuinya lagi! Ingat itu!"
Bersamaan dengan kemurkaan yang ditunjukkan Mama mertua, pintu ruang operasipun dibuka. Seorang dokter terlihat di sana.
"Bagaimana keadaan anak saya, Dok?"
"Operasinya sudah selesai, tapi pasien masih dalam masa kritis. Jadi pasien tidak bisa dikeluarkan dulu dan akan dibantu beberapa jam ke depan. Perbanyak doa supaya pasien bisa melewati masa ktitisnya dengan baik."
"Baik, Dok. Apa saya boleh menjenguknya?"
"Boleh Bu, tapi cuma dua orang saja dan waktunya juga sebentar saja ya, Bu."
"Baik dokter, terima kasih. Ayo Mala kita masuk."
Sakit sekali mengetahui Mama memilih Mama sebagai temannya untuk menjenguk Mas Bima.
Tidak apa aku tidak menjengukmu Mas, karena ribuan doaku sudah melangit untukmu. Doa agar kamu dipanjangkan umur, diberi kesembuhan dan kesehatan seperti sedia kala.
Aku mendudukkan diri yang terasa sudah tak berdaya di atas bangku, Sarah yang duduk di depanku menatap dengan sinis. Sepertinya setelah ini mereka semua akan semakin membenci. Ya Allah, cobaan ini amat berat. Aku mohon Engkau beri aku kesabaran dan kemudahan.
Tak lama, mama dan Mala sudah kembali melangkah keluar. Mereka duduk menyatu di sebelah kanan. Di sisi kiri aku mungkin hanya serupa bayangan yang tidak dianggap.
Karena hati begitu riuh, aku memilih kembali ke mushalla untuk mengadukan semua resah jiwa pada Rabb. Dengan air mata yang terus mengalir kuangkat langkah perlahan.
"Pergi sana yang jauh, kalau bisa jangan kembali lagi."
Itu suara Sarah, aku mencoba tidak perduli dan terus menapaki lantai walau terasa seperti menginjak ribuan pecahan kaca.
Sampai di mushalla, kutumpahkan semua gundah jiwa melalui doa panjang. Harapan dan asa kembali kulayangkan karena kutahu Dia, Rabb yang memiliki asma Al Mujibu, Maha Pengabul Doa. Tak ada doa yang sia-sia, hanya kapan waktu tepatnya dikabulkan itu menjadi rahasia. Karena Allahlah yang paling tahu masa doa itu baik untuk dikabulkan.
Aku menangis, menghabiskan waktu berjam-jam di ruangan itu hingga dua mata terlelah dan menutup perlahan.
*
"Mbak, Mbak, bangun sudah magrib."
Dua netraku terbuka saat merasakan seseorang mendorong tubuh ini perlahan.
"Maaf saya ketiduran," ucapku seraya mendudukkan diri.
"Iya tidak apa, wudu saja lagi Mbak karena ini sudah masuk waktu shalat magrib."
"Oh iya, terima kasih Mbak."
Bergegas aku berwudhu dan melaksanakan shalat magrib, hati sudah bertanya-tanya tentang keadaan Mas Bima. Usai shalat, dengan langkah terburu diri ini kembali ke ruang operasi. Tak ada lagi mama mertua, Mala dan adik ipar di sana. Kemana mereka?
Aku bertanya pada suster yang kebetulan keluar dari ruang operasi.
"Sus, pasien atas nama Bima apa masih di dalam?"
"Sudah di dorong ke ruangan ICU, Mbak."
"Terima kasih, Sus."
Aku segera mengangkat langkah menuju ICU. Kudapati di sana mama mertua sedang memegang ponsel. Dengan perasaan tidak enak aku mendekatinya.
"Ma, bagaimana keadaan Mas Bima?"
"Bima masih koma, Mama dan Mala akan menjaganya. Lebih baik kamu pulang saja," ucap Mama ketua.
"Tidak Ma, aku akan di sini untuk menjaga Mas Bima. Tolong Ma, jangan suruh Nisa pulang."
Mama tampak menarik napas, tapi dia sudah tidak semarah tadi.
"Terserah padamu, tapi kamu tidak boleh masuk ke dalam. Mama dan Mala yang akan menjaga Bima."
"Kasih kesempatan sekali saja bagi Nisa untuk bertemu Mas Bima, Ma. Nisa ingin melihat Mas Bima."
"Tidak bisa, Mama takut akan terjadi hal-hal yang tidak baik jika kamu menemuinya. Jadi lebih baik kamu diluar saja."
Mama langsung membalikkan badan dan masuk ke dalam ruang ICU. Di sini, aku berdiri kaku. Mengapa, apa salahku hingga tak kau ijinkan aku melihat suamiku sendiri Mama?
***
Bersambung
Jangan lupa subscribe, like dan koment. Terima kasih, utamakan baca Al-Quran.
"Mbak Nisa?"Kusapu air mata yang mengalir lalu menatap siapa yang kini menyapa."Dokter Siska?""Ngapain di sini, siapa yang sakit?" tanyanya ramah."Suami dok, Mas Bima kecelakaan.""Kecelakaan?"Dokter Siska tampak begitu terkejut. "Iya Dok, kejadiannya tadi siang dan sekarang Mas Bima sudah selesai dioperasi tapi masih dalam keadaan koma.""Innalillahi, boleh saya jenguk?"Aku menarik napas sejenak."Mama Mas Bima ada di dalam, beliau juga melarang saya untuk masuk karena menganggap kecelakaan ini terjadi karena ulah saya, Dok."Dokter Siska tampak terperanjat. "Bagaimana bisa dia beranggapan seperti itu?"Sekilas aku menceritakan kejadian tadi siang pada Dokter Siska, termasuk ketika aku menceritakannya pada Mala."Barangkali Mala yang memberitahu ibu mertua Mbak Nisa akan hal ini.""Saya tidak tahu, Dok.""Yasudah jangan bersedih, aku yakin nanti ketika Mas Bima sudah sadar. Dia akan menjelaskan semuanya. Tetap semangat Mbak Nisa, jangan berputus asa dan terus langitkan doa ag
Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Tidak halal bagi seorang wanita meminta (kepada suaminya) agar sang suami mencerai wanita lain (yang menjadi istrinya) dengan maksud agar sang wanita ini memonopli ‘piringnya’, sesungguhnya hak dia adalah apa yang telah ditetapkan untuknya”. (Hadîts muttafaq ‘alaih).***Tak mau berpura-pura tak mendengar, aku langsung saja melempar mereka dengan pertanyaan."Mama dan Mala ingin aku dan Mas Bima bercerai?"Mereka berdua serempak terkejut dengan kedatanganku."Ngomong apa kamu Nisa, datang-datang main nyerang aja.""Nisa dengar tadi Mama ngomong, setelah Mala melahirkan Mas Bima pasti akan menceraikanku.""Kita nggak pernah menyebut kata cerai. Mama sama Mala lagi membicarakan temannya Bima si Chacha yang lagi bermasalah dengan suaminya. Kamu kalau bicara jangan asal nuduh, bisa kena pasal pencemaran nama baik.""Nisa nggak asal nuduh, Ma. Nisa dengar dengan telinga sendiri Mama ngomong begitu.""Makanya kamu jadi manusia yang benar
"Terima kasih atas segala kebaikan Mas kepada suami saya, semoga Allah membalasnya dengan rahmat yang lebih besar," ucapku seraya membangkitkan tubuh dari atas bed."Eh, Mbak mau kemana?""Saya mau pulang, Mas."Dia mencoba menghentikan gerakanku. "Bentar Mbak, tadi sesuai hasil pemeriksaan-"Aku tidak menggubris ucapannya, bahkan saat beberapa suster datang kuabaikan mereka untuk kemudian berlari keluar dari ruangan itu.Hati masih tak bisa berdamai dengan kenyataan yang baru saja kudengar. Teganya mama mertua mengatakan tak punya biaya, sementara ia sudah menerima bantuan dana sebesar seratus juta untuk pengobatan Mas Bima. Bukankah seharusnya itu cukup tanpa perlu meminta bantuan pada keluarganya Mala. Apa memang biaya yang diperlukan begitu besar? Atau mama memang sengaja membuat Mas Bima seolah berhutang budi, dan nantinya apapun keinginan Mala akan dipenuhi termasuk menceraikanku?Rasa sakit dan kecewa semakin kentara terasa. Aku tak boleh menyerah. Dalam gemelut hati yang tak
Lautan luas tak kuasa menenggelamkan Kalimur Rahman (Musa a.s). Itu, tak lain karena suara Agung kala itu telah bertitah, "Sekali-kali tidak akan tersusul. Sesungguhnya, Rabb-ku beserta, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku." (Q.S. Asy-Syuara:62)Ketika bersembunyi dari kejaran kaum kafir dalam sebuah gua, Nabi Muhammad s.a.w yang Ma'shum mengabarkan kepada Abu Bakar bahwa Allah Yang Maha Tunggal dan Maha Tinggi ada bersama mereka. Sehingga rasa aman, tenteram dan tenang pun datang menyelimuti Abu Bakar. Mereka yang terpaku pada waktu yang terbatas dan kondisi yang (mungkin) sangat kelam, umumnya hanya akan merasakan kesusahan, kesengsaraan, dan keputusannya dalam hidup mereka. Itu, karena mereka hanya menatap dinding-dinding kamar dan pintu-pintu rumah mereka. Padahal, mereka seharusnya menembuskan pandangan sampai ke belakang tabir dan berpikir lebih jauh tentang hal-hal yang berada di luar pagar rumahnya.Maka dari itu jangan pernah merasa terhimpit sejengkalpun, karena setia
"Ini udah yang harganya paling miring dan nyaman ditempati Bu, kawasannya juga strategis."Aku mencoba menghubungi salah satu teman Mas Bima yang selama ini beberapa kali pernah kutemui saat ada acara kantor. Lisa namanya."Terima kasih ya, Lis."Kuambil kunci yang diberikan seorang wanita pemilik kost-kostan ini dan menyerahkan uang sebesar 2 juta."Bisa saya tanya padamu tentang apa yang terjadi pada perusahaan Pak Bima?""Sebenarnya saya tidak tahu apapun lagi karena sudah tiga bulan yang lalu di PHK, Bu.""Di PHK? Jadi perusahaan Pak Bima sudah lama bermasalah?""Belum lama sih Bu, sekitar enam bulanan yang lalu. Jadi perusahaan Pak Bima dua kali kalah tender, sedangkan beliau sudah mengerahkan banyak uang untuk bisa lolos. Alhasil, perusahaan mengalami kerugian besar. Untuk menaikkan kembali pemasukan, Pak Bima akhirnya kembali memakai uang pinjaman bank yang bunganya sangat besar. Bertepatan dengan kenaikan BBM dua bulan lalu, justru pemasukan perusahaan semakin anjlok. Sedikit
Aku mendekatinya perlahan, ingin kupeluk erat tubuh itu lalu menumpahkan sekian banyak rindu yang sudah begitu menyesakkan dada. Tapi semua terpaksa kutahan, sebab Mas Bima terlihat begitu dingin. "Mas sudah pulang?" ucapku lirih seraya menyentuh jemari tangannya, tapi ternyata dia justru menarik tangannya itu. Apa yang terjadi? Kenapa Mas Bima seperti ini?"Minum obatnya dulu, Mas."Tiba-tiba Mala muncul dari arah dapur, dua netra kami saling beradu. Dia hanya tersenyum sekilas padaku."Ini obatnya, Mas."Mas Bima meraih obat tersebut dan meneguknya."Mau aku antar ke kamar?" tanya Mala lagi, aku hanya terdiam."Boleh," jawab Mas Bima seraya kembali menatapku dan kemudian kursi roda yang dia duduki didorong memasuki kamar, bukan kamarku tentunya. Karena Mala membawa Mas Bima kembali ke kamarnya.Lagi-lagi aku terpaksa menerima kekecewaan, rasanya ingin marah pada Mas Bima. Kenapa dia tega bersikap begitu dingin. Padahal kita sudah tak bertemu lebih dari satu bulan. Harusnya saat in
Pov Bima"Terima kasih, Mbak," ucapku pada mbak-mbak resepsionis yang sudah menyiapkan sebuah kamar indah di sebuah hotel yang ada di kawasan Cisarua.Sudah lama aku dan Nisa tak punya waktu untuk berlibur, punya dua istri dan ditempatkan dalam satu rumah. Menurutku ini adalah pilihan terberat. Jika saja mama tidak memberi pilihan ini, sudah tentu kehidupan poligami yang kujalani akan berjalan lebih mudah.Teringat akan sebuah ceramah yang pernah kudengar,Poligami itu memang ada, tapi hukumnya bagi setiap orang berbeda. Hati-hati bagi orang-orang yang suka mendorong orang lain untuk berpoligami dengan mengatakan bahwa poligami adalah sunnah. Karena bagi sebagian yang berkeinginan untuk melakukan sunnah itu tapi ternyata dia belum mampu, artinya anda akan mendorong orang berbuat kedzaliman.Menikah itu bukan sekedar untuk pemenuhan syahwat, melainkan ada tanggung jawab di dalamnya yang harus dipenuhi. Nikah saja, menurut fiqih memiliki berbagai predikat hukum, tergantung kondisi calo
Aku mencoba mengingat-ingat dimana pernah bertemu dengan lelaki yang kini sudah duduk di teras kosan Nisa.Dia? Lelaki yang sudah menyerahkan uang pada mama sebagai wujud simpati atas kecelakaan yang menimpaku? Ya, benar. Dia orangnya, tapi sejak kapan Nisa dan lelaki itu berkenalan? Apa saat aku koma? Jangan-jangan dia juga yang dikatakan Sarah sebagai selingkuhan Nisa?Aku tidak bisa tinggal diam, kuminta bantuan pada driver yang membawa ke tempat ini untuk menurunkan kursi roda. Lalu setelahnya, driver itu membantuku turun. Kursi roda di dorong semakin jauh memasuki halaman rumah. Lebih parah, sampai di teras rumah aku sudah tidak lagi menemukan lelaki tadi. Kemana dia, apa masuk ke dalam rumah. Tak sabar aku ingin memergoki Nisa, meski hancur berantakan hati ini tapi itu lebih baik dari pada Nisa terus menyembunyikan perselingkuhannya dariku.Kursi roda sudah di depan pintu, tak ragu aku masuk tanpa memberi salam. Langkah ini terhenti saat aku mendapati Nisa hendak berjalan kel
Aku dan Mas Adam segera menyusul Sarah ke dalam ruang ICU."Tidak boleh berbarengan ya, Bu. Masuknya satu orang saja."Seorang suster langsung menghentikan langkah kami."Kamu saja yang masuk, mungkin Dzabir ingin melihat Papanya," ucap Mas Adam menyuruhku yang masuk sementara dia menunggu di luar. Dengan berat hati aku dan Dzabir melangkah ke dalam dan mendapati Mas Bima sudah dikerumuni banyak tenaga kesehatan dan seorang dokter. Jantung ini seketika berdegup kencang."Ada apa, Sarah?" tanyaku penuh khawatir."Tiba-tiba jantungnya lemah, Mbak. Kasihan Mas Bima, Semoga Allah memberi umur panjang," ucap Sarah dengan kedua mata berkaca-kaca."Sarah kamu pegang Dzabir ya, biar Mbak cari Mama sama Mbak Ara. Mbak takut terjadi apa-apa pada Mas Bima, sementara Mama belum sempat menjenguknya.""Iya, Mbak."Aku pun kembali keluar dari ruangan ini, Mbak Hanum ternyata sudah duduk di kursi tunggu bersama Mas Adam."Bagaimana keadaan Bima, Nis?" tanya wanita itu."Denyut jantungnya lemah, Mbak
"Nisa, Mbak mau bicara sama kamu. Oya, mereka siapa?"Wajahku tertuju pada Sarah dan yang lain. Sementara di dalam dada, jantung berdegup kencang. "Mereka ... adalah keluarga dari mantan suami saya, Mbak."Mbak Hanum seperti terkejut, apa Mas Adam sudah mengatakan pada beliau perihal Mas Bima? Ya Allah, kenapa perasaan ini semakin dihujam rasa bersalah."Oh jadi ini keluarga mantan suami kamu?"Kuanggukkan kepala, sementara wajah Mbak Hanum tertuju pada Mbak Ara."Perkenalkan saya Hanum, calon kakak iparnya Nisa."Pandanganku segera tertuju pada keduanya. Dua netra Mbak Ara membulat, bahkan Sarah dan mama pun sama."Jadi Nisa udah mau nikah?"Mbak Hanum tak menjawab, dia justru menatapku seolah ingin aku yang menjawab pertanyaan tersebut."Iya, Mbak," jawabku terbata. Sungguh tak dapat kugambarkan perasaan kini. Apalagi saat melihat Mama menundukkan wajahnya, bahkan menutup kedua mata. Ya Allah, tolong bantu hamba keluar dari keadaan yang sulit ini."Tapi apa kamu sempat bertemu Bima
Dengan memendam segenap kekecewaan, Adam berjalan meninggalkan tempat dimana dia dan Nisa berbicara dari hati ke hati.Tiga tahun bukan waktu yang cepat, mencari alasan yang kuat untuk berumah tangga. Itulah yang dilakukannya selama ini pada Nisa. Berawal dari pertemuan di pasar hingga tumbuhlah benih yang kala itu ia sebut pertanda mungkin jodoh. Ia tak langsung menetapkan hati justru memilih untuk mengenal secara diam-diam.Namun kenyataannya, tiga tahun itu tak berguna sebab semua hancur setelah tahu bahwa Nisa lebih berat pada mantan suaminya.Ia pulang membawa kekecewaan. Sampai di rumah, Adam langsung masuk ke kamar, kebetulan di rumahnya ada sang Kakak yang tampak sibuk mempersiapkan beberapa hal menyangkut pernikahannya. Hanum merasa ada yang berbeda, ia segera menyusul Adam ke kamar."Habis dari mana kamu, Dam?""Habis ketemu Nisa di rumah sakit.""Siapa yang sakit?""Mantan suaminya.""Lo, mantan suami Nisa ada di kota ini?"Adam tampak mengangguk, memilih menjatuhkan tubuh
Segera kugendong Dzabir dan menidurkannya di kursi tengah mobil. Lalu di malam buta ini kendaraan yang kunaiki akhirnya membelah langit kelam menuju rumah sakit. Berbagai pertanyaan tak henti menyeruak dalam dada, tentang Mas Bima yang kenapa sampai tiba-tiba koma, juga tentang pernikahanku yang tinggal menghitung hari. Apa sebenarnya yang kuinginkan, benarkah bersama Mas Adam adalah keinginan? Dalam kegundahan hati, keraguan itu semakin jelas. Hanya ribuan doa yang teriring dalam setiap tarikan napas. Berharap Allah bulatkan keinginan untuk memilih yang terbaik. Tetap bersamanya atau menyudahi. Sementara itu, kendaraan roda empat ini terus berputar hingga sampai di depan sebuah rumah sakit, putraku Dzabir ternyata terbangun dari lelapnya tidur. "Bund, kita ada dimana?" "Di rumah sakit, Nak." "Siapa yang sakit?" "Papa." Dia tampak sangat terkejut. Sambil mengecek bola mata, Dzabir bangkit ke posisi duduk bersandar. "Papa sakit apa, Bund?" "Bunda juga belum tahu Nak, kita tany
Jantung ini seperti berhenti berdetak saat mendapati Mas Adam berdiri di depan kamar Mas Bima. Tatapannya kini tertuju pada mantan suamiku, membuat pandangan inipun tertoleh ke belakang. Aku membuang napas berat saat menyaksikan Mas Bima hanya memakai singlet dan memakai celana selutut serta memeluk selimut. Bayangan kejadian masa lalu terlintas begitu saja, saat lelaki itu memergokiku tengah bersama Mas Brian. Ingatan tersebut membuat dada seolah tertusuk belati tertajam. "Kata Pak Agung, Pak Bima sakit?" tanya Mas Adam membuyarkan pikiranku. "Hah, iya. Saya kurang enak badan, Pak," jawab Mas Bima terbata. "Tapi sekarang sudah sehat?" "Alhamdulillah sudah agak baikan, Pak Ustadz." "Tapi kenapa calon istri saya ada di sini?" Pandangan Mas Adam kini tertuju padaku. "Tidak baik seorang wanita berada di kamar lelaki yang bukan lagi mahramnya, sekalipun ada anak kecil diantara mereka." Aku hanya bisa menunduk, sungguh dada ini bergemuruh hebat. "Ayo kita pulang, perancang pakai
"Cepat Pa bobok lagi, Bunda udah di luar."Jantungku semakin berdegup kencang."Sekarang jam berapa, Nak?"Dzabir melihat jam, dua netraku juga tertuju ke sana."Sepuluh," ucapnya berbisik. Bersamaan dengan itu terdengar bel kamar berbunyi."Kamu bisa buka pintunya?" tanyaku pada Dzabir."Bisa, Pa."Putraku itu langsung turun dari ranjang dan membuka pintu, dan di sini di atas ranjang jantung semakin bertabuh kencang.Aku harus memejamkan mata dan berpura-pura sakit. Kututup seluruh tubuh dengan selimut, agar berkeringat dan kelihatan benar seperti orang sakit. Dalam selimut, aku mulai membayangkan apa yang kumimpikan tadi. Mengajak Nisa pergi. Sungguh tak mungkin kulakukan sebagai seorang muslim."Bund, Papa ada si kamar, udah nggak sanggup bangun."Jantung seolah turun ke perut. Aku benar-benar gugup."Biar Bunda kasih tahu penjaga hotel, siapa tahu mereka ada stok obat."Hah, aduh gawat. Untuk apa minum obat, sakitnya saja sudah berkurang. "Nggak usah Bund, Papa udah minum obat ko
Nisa mengangguk, sungguh lega terasa di hati. Meski tak dapat kembali, tapi setidaknya aku ingin membuat Dzabir benar-benar ikhlas menerima Adam sebagai ayah sambungnya.Tak lagi menunggu aku langsung mengajak anakku ke hotel. "Hati-hati ya Nak, jangan bikin Papa capek ya?"Nisa berpesan sebelum akhirnya menyerahkan sebuah tas berisi pakaian ganti untuk Dzabir. Kembali langkah ini tergerak, sampai keluar pagar Nisa masih memerhatikan.Ya Allah, kenapa harus berakhir begini?"Pa, kita menginap di hotel yang kemarin ya?""Iya Nak, nggak papa 'kan?""Nggak papa, Pa. Sekalian bisa mandi kolam. Boleh 'kan, Pa?""Boleh donk, kamu bisa berenang nggak?""Bisa," jawab Dzabir antusias."Mau lomba sama Papa?""Mau, tapi ada hadiah nggak?""Ada donk.""Hadiahnya apa, Pa?""Em apa ya? Bingung juga. Oo gini aja, yang menang Boleh minta apa aja sama yang kalah. Terus yang kalah harus menyanyi sambil joget-joget."Tawa Dzabir seketika pecah, melihat dia demikian rasa bahagia menyebar begitu saja di
"Ini tidak boleh terjadi!"Teriakan membuat semua mata kini tertuju padaku."Pak Bima, ada apa?" bisik Pak Agung ke telinga seperti menyadarkan dari khayalan. Aku menatapnya tanpa ada kata yang keluar dari bibir."Ada apa, Pak?"Karena aku seperti kebingungan, Pak Agung segera menarik diri ini keluar dari ruangan tersebut."Sudah Pak, lepaskan tangan saya."Pak Agung segera melepas tanganku."Maaf Pak, saya tidak bermaksud apa-apa. Apa Pak Bima sedang tidak sehat?"Aku menarik napas panjang lalu membuang perlahan."Iya Pak, saya ingin pulang saja.""Kalau begitu biar saya yang antar. Mari kita masuk ke mobil."Pak Agung membuka kunci mobilnya, setelah itu menelpon Pak Chandra. Setelah kami bertiga masuk ke mobil, Pak Agung segera menjalankan kendaraannya tersebut."Tadi itu Bapak kenapa?"Pak Agung kembali melempar pertanyaan."Saya hanya sedang mengenang masa lalu, Pak. Makanya seperti lepas kontrol.""Oh, hampir saja tadi saya berpikir macam-macam.""Macam-macam gimana Pak Agung?"
[Assalamualaikum Nisa, jam sembilan In Syaa Allah Mas dan keluarga akan bertamu ke rumah. Sekalian untuk proses lamaran ya. Kamu jangan repot-repot, Mas sudah hubungi chatering untuk menghandle acara hari ini. Kamu siap-siapkan saja diri dan Dzabir, pakai baju seadanya. Tidak usah mewah, tidak usah yang paling bagus. Karena pakai apapun kamu tetap cantik.]Aku terhenyak membaca pesan yang dikirimkan Mas Adam tepat di jam sepuluh malam. Kenapa jadi seperti ini, harusnya jika hanya acara lamaran saja, cukup dibuat sederhana. Aku, dia dan Mbak Hanum. Tapi kenapa malah pakai chatering segala.Kuhela napas panjang, hati semakin riuh bergemuruh. Bagaimana cara menolak, ya?[Iya Mas, tapi kenapa harus pakai chatering lagi. Apa nggak cukup kita bertiga aja?][Kasihan tetangga Nisa, mereka 'kan juga ingin mendapat keberkahan dari acara kita.]Jika membicarakan keberkahan, aku tak mungkin beralasan lain. Semoga jalan ini menjadi pilihan terbaik ya Allah. Dua netra menerawang jauh menatap buah h