[Di dalam lemari ada hadiah untukmu.]
Sebaris kalimat yang dituliskan Mas Bima di selembar kertas membuat langkah ini buru-buru menuju lemari. Kapan dia meletakkan surat untukku di meja ini, padahal semalam adalah jatahnya bersama Mala? Hmmm, jadi penasaran.
Segera jemari membuka lemari.
[Selamat ulang tahun, terima kasih telah menjadi wanita tercantik di dunia. Kamu tak hanya memiliki wajah yang mengilap, tapi hatimu senantiasÙxlxa bercahaya terang. Laksana mutiara di tengah lautan, kamulah istri shalihah yang kecantikannya mengalahkan bidadari syurga. Terima kasih telah menjadi istri yang luar biasa sempurna untukku, Sayang. Di hari ulang tahunmu ini, aku hanya ingin mengatakan bahwa aku sangat-sangat mencintaimu. Semoga Allah selalu menjaga ikatan pernikahan kita ini sampai jannah. Love you my wife.]
Seulas senyum terbit begitu saja tatkala aku membaca sebuah surat lainnya yang diletakkan di atas sebuah kotak. Segera kubuka kotak tersebut, begitu bahagia ketika tahu isi di dalam kotak itu adalah serangkaian alat kosmetik bermarek B Erl yang dihadiahkan Mas Bima padaku.
Kupeluk hadiah itu, bayangan bahwa hadiah ini adalah dirinya membuat dua netra berkaca.
Seumur pernikahan, baru kali ini aku merayakan ulang tahun tanpa dia. Semua karena hari bersejarah ini jatuh di malam dimana dia menjadi milik Mala. Adik maduku itu tak terima negosiasi, jika jatah bermalam jatuh padanya, dia tak mau Mas Bima mendekatiku. Jika kedapatan, bisa mengamuk dan tak mau bicara sepanjang hari.
Aku dipaksa memahami, bahkan Mas Bima pun tak dapat melawan. Kami sadar bahwa kemungkinan besar semua terjadi karena pengaruh kehamilan, yang membuatnya jadi gampang sekali terbawa emosi dan cemburu.
Dua bulan sudah usia kandungan Mala, dan selama itu pula kami merasakan suka duka hidup bersama. Jika adik maduku itu terlihat sangat mudah marah, maka lain halnya denganku. Aku lebih banyak dituntut untuk mengalah. Selama dua bulan ini, bisa dihitung berapa malam sahaja aku bersama Mas Bima, lainnya semua untuk Mala. Sedih dan kecewa, tapi pada akhirnya aku mencoba berbesar hati karena merasa kasihan pada Mas Bima yang kerap ikut terpancing amarah.
Melupakan sejenak masalah yang kerap hadir, langsung saja kukenakan salah satu produk B Erl Very Berry Acne Treatment Oil Control Day Cream pada wajah, kulit seketika nge-glazed mengkilap. Itulah kenapa aku suka sekali memakai produk B Erl ini yang nyatanya sudah menyatu dengan diri selama kurang lebih enam bulanan.
Usai mengaplikasikan cream ke wajah, diri meraih ponsel dan mencoba mengirimkan sebuah pesan kepada Mas Bima.
[Terima kasih Mas atas hadiahnya, terima kasih telah menjadi suami yang baik. Semoga Allah selalu menjaga keutuhan rumah tangga kita. I love you soo much my husband.]
Kutekan tombol kirim, entah kenapa hati deg-degan menanti balasannya. Lima menit, sepuluh, tak ada satupun pesan yang masuk ke ponsel, akhirnya dengan menghela napas panjang kuletakkan benda pipih itu kembali di atas meja lalu memutuskan untuk berhenti berharap.
Tapi tiba-tiba ponsel justru berdering, segera jemari menyambar benda tersebut dan mengangkat panggilan yang ternyata berasal dari Mas Bima.
"Hallo Assalamualaikum, Sayang."
Aku terdiam sejenak, dua netra basah. Rindu memenuhi renungan hati, tiga malam tak dapat merengkuhnya, jiwa terasa tandus.
"Waalaikum salam, Mas Sayang."
"Udah diterima hadiahnya?"
"Sudah Mas, makasih ya."
Aku mulai terisak.
"Lo kenapa menangis?" tanyanya di seberang sana yang ternyata tahu istri tuanya ini sudah menangis.
"Aku kira kamu lupa sama ulangtahun aku, Mas."
"Sampai kapanpun aku nggak akan pernah lupa sama hari dimana Allah telah menurunkan sebuah rahmat dengan lahirnya kamu ke dunia ini. Karena jika tidak ada hari itu, mungkin kita tidak akan pernah bersama."
Ucapannya membuat air mataku semakik banyak melesat dari pelupuk mata.
"Jangan nangis lagi ya, Sayang. Mas hanya tidak mau buru-buru ngucapinnya, biar beda dari tahun-tahun sebelum ini."
Bohong, aku mencium bau dusta pada ucapannya. Aku tahu dia tak mungkin mengucapkan selamat ulang tahun padaku di rumah karena tahu persis Mala pasti akan memasang muka cemberut setelahnya. Tapi, yasudalah.
"Makasih ya atas kejutan yang berbeda di hari ulang tahunku ini. Aku suka."
"Alhamdulillah."
"Mas, aku rindu kamu."
"Iya, Sayang. Mas juga rindu. Mau jalan kemana kita hari ini?" tanyanya membuat hati seketika dipenuhi bunga-bunga beraneka warna.
Semalam adalah jatah terakhir Mas Bima bersama Mala. Jadi malam ini dan tiga malam ke depan seharusnya dia bersamaku.
"Kemana aja, Mas. Yang penting sama kamu."
"Nanti jam setengah satu siang Mas jemput ya, kita rayakan ulang tahunmu di hotel berbintang lima."
Deg.
Entah kenapa mendengar kata hotel, hati ini seperti berdebar kencang.
"Iya Mas, aku tunggu kedatanganmu."
Kututup telpon dengan perasaan sangat bahagia, sekarang sudah pukul sebelas. Kubangkitkan tubuh lalu berjalan ke dapur untuk melakukan rutinitas biasa sembari menanti datangan jam setengah satu, yaitu memasak.
Saat melewati kamar Mala, aku seperti mendengar dia berbicara dengan seseorang mungkin melalui ponsel. Entah kenapa langkah ini seperti tertahan saat mendengar kata keguguran.
Siapa yang keguguran?
"Tapi aku nggak mau kehilangan bayiku, ada cara tidak Dok?"
Hah, apa benar yang aku dengar ini? Jadi Mala keguguran?
"Oke dok, aku segera ke sana."
Dengan cepat diri bergegas kembali melangkah, jangan sampai Mala tahu jika aku menguping pembicaraannya tadi.
Baru satu langkah hendak menuruni tangga, Mala memanggil.
"Mbak Nisa?"
Kuberhenti berjalan dan membalikkan tubuh ke belakang. Mala terlihat mendekat.
"Sejak kapan Mbak diluar kamar?" tanyanya sedikit gugup.
"Baru aja."
"Mbak dengar aku tadi bicara ditelpon?"
"Bicara apa?" tanyaku seolah tak tahu.
"Jadi Mbak nggak dengar apapun?"
Kugelengkan kepala. Anggapanku, jika memang dia keguguran biarlah dirinya sendiri yang mengabarkan hal itu pada Mas Bima dan Mama mertua.
"Memangnya ada apa, Mala?"
"Oh, em nggak ada. Mala mau keluar," ucapnya kemudian.
"Kemana?"
"Mau ketemuan sama teman lama."
"Yaudah, jangan lupa kasih tahu Mas Bima."
"Iya, nanti aku wa aja."
"Oya Mbak, untuk nanti malam aku boleh minta dimasakin sesuatu nggak?"
"Kamu mau apa?"
"Aku pengen banget rendang padang yang pedas sama lalapan terasi. Mbak bisa bikinin nggak?"
Semenjak hadir di rumah ini dua bulan yang lalu, terhitung satu kalipun Mala tak pernah ke dapur. Jika aku mengajaknya memasak, alasan yang dia lontarkan melulu soal kehamilan. Pusing bau bawang, muntah jika mencium bau cabai. Kumaklumi meski kadang sesekali hati berkata, ada apa dengan maduku ini?
"Iya nanti Mbak bikinin."
"Makasih ya, Mbak. Aku pergi sekarang."
"Iya, hati-hati di jalan."
Sepeninggal Mala, aku bergegas ke dapur. Menyebutkan menu yang harus disiapkan hari ini pada Mbok Siti lalu kami mulai menyiapkan semua menu tersebut. Tepat jam dua belas siang, semua telah selesai terhidang di atas meja.
"Mbok, siang ini saya nggak makan di rumah. Saya sama Bapak mau keluar, ada sedikit acara."
"Oh iya, Buk."
"Yaudah, nanti kalau Buk Mala pulang. Biar Mala saja yang makan."
Aku hendak kembali melangkah meninggalkan dapur tapi teringat akan sesuatu.
"Oya Mbok, jangan kasih tahu Mala kalau saya perginya sama Bapak, ya."
"Nggih, baik Buk."
Aku bergegas kembali ke kamar untuk melaksanakan shalat dhuhur. Kukirimkan pesan pada Mas Bima yang mengabarkan bahwa aku sudah siap menunggunya datang. Hanya berselang lima menit, balasan dari Mas Bima pun sampai ke ponsel.
"Iya Sayang, sabar ya. Mas meluncur ke sana."
Kuletakkan ponsel kembali di atas ranjang, dada bergemuruh hebat. Deg-Degan atau apa, tapi aku merasa perasaanku justru tidak baik. Semoga tidak terjadi apa-apa.
Tiga puluh menit berlalu, seharusnya Mas Bima sampai sesaat lagi. Namun, lima belas menit kemudian kembali terlalui. Mas Bima belum juga terlihat di pandangan.
Mencoba berbaik sangka meski hati sudah ibarat genderang perang, akhirnya kucoba menghubungi suamiku itu.
Jurusan yang anda tuju sedang berada diluar jangkauan.
Ya Allah perasaanku semakin tak enak. Semoga Mas Bima segera sampai di rumah ini dalam keadaan selamat dan tidak ada rintangan apapun. Tepat satu jam menunggu, aku menerima sebuah panggilan dari nomor tak dikenal.
Lekas kumengangkat panggilan itu.
"Selamat siang, apa benar ini dengan Ibu Nisa?"
"Iya benar Mas, saya sendiri."
"Bu, kami dari rumah sakit Medikal Center ingin mengabarkan bahwa suami Ibu yang bernama Pak Bima, sekarang ada di rumah sakit. Beliau mengalami kecelakaan dan saat ini sedang dalam kondisi kritis."
Deg
Ponsel yang kupegang jatuh ke lantai.
"Ya Allah, Mas Bima?"
***
Bersambung.
Siapkan lebih banyak tissu ya, tapi jangan takut cerbung ini happy ending kok. Hanya saja jalan menuju bahagia sedikit terjal, In Syaa Allah yang baca akan semakin sayang dan cinta sama pasangannya.
Terima kasih sudah membaca.
Utamakan baca Al-Quran.
Bagai terhempas dari gedung tertinggi, jantung ini seketika berhenti berdetak.Mas Bima kecelakaan? Ya Allah ...Tanpa pikir panjang, aku segera keluar dari rumah. Melajukan sepeda motor dengan kecepatan tinggi hingga tiba di rumah sakit. Tanpa jeda langkah kini tertuju ke meja resepsionis. Ternyata Mas Bima sudah hendak di dorong ke ruang operasi hanya menunggu kedatangan keluarga untuk menandatangani surat persetujuan.Tak teringat lagi untuk berkonsultasi pada siapa, karena menurut dokter tindakan operasi harus dilakukan sesegera mungkin. Agar perdarahan yang terjadi pada kepalanya bisa teratasi dan harapan hidup pasien akan menjadi lebih besar.Mendengar kata harapan hidup saja setengah ragaku seperti terserabut paksa. Ya Allah, bagaimana kecelakaan ini terjadi sampai Mas Bima bisa separah ini?Setelah menandatangani surat persetujuan tersebut, aku dipersilahkan duduk di depan ruang operasi."Ijinkan saya melihat suami saya sekali saja Dok sebelum operasinya berlangsung."Aku memo
"Mbak Nisa?"Kusapu air mata yang mengalir lalu menatap siapa yang kini menyapa."Dokter Siska?""Ngapain di sini, siapa yang sakit?" tanyanya ramah."Suami dok, Mas Bima kecelakaan.""Kecelakaan?"Dokter Siska tampak begitu terkejut. "Iya Dok, kejadiannya tadi siang dan sekarang Mas Bima sudah selesai dioperasi tapi masih dalam keadaan koma.""Innalillahi, boleh saya jenguk?"Aku menarik napas sejenak."Mama Mas Bima ada di dalam, beliau juga melarang saya untuk masuk karena menganggap kecelakaan ini terjadi karena ulah saya, Dok."Dokter Siska tampak terperanjat. "Bagaimana bisa dia beranggapan seperti itu?"Sekilas aku menceritakan kejadian tadi siang pada Dokter Siska, termasuk ketika aku menceritakannya pada Mala."Barangkali Mala yang memberitahu ibu mertua Mbak Nisa akan hal ini.""Saya tidak tahu, Dok.""Yasudah jangan bersedih, aku yakin nanti ketika Mas Bima sudah sadar. Dia akan menjelaskan semuanya. Tetap semangat Mbak Nisa, jangan berputus asa dan terus langitkan doa ag
Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Tidak halal bagi seorang wanita meminta (kepada suaminya) agar sang suami mencerai wanita lain (yang menjadi istrinya) dengan maksud agar sang wanita ini memonopli ‘piringnya’, sesungguhnya hak dia adalah apa yang telah ditetapkan untuknya”. (Hadîts muttafaq ‘alaih).***Tak mau berpura-pura tak mendengar, aku langsung saja melempar mereka dengan pertanyaan."Mama dan Mala ingin aku dan Mas Bima bercerai?"Mereka berdua serempak terkejut dengan kedatanganku."Ngomong apa kamu Nisa, datang-datang main nyerang aja.""Nisa dengar tadi Mama ngomong, setelah Mala melahirkan Mas Bima pasti akan menceraikanku.""Kita nggak pernah menyebut kata cerai. Mama sama Mala lagi membicarakan temannya Bima si Chacha yang lagi bermasalah dengan suaminya. Kamu kalau bicara jangan asal nuduh, bisa kena pasal pencemaran nama baik.""Nisa nggak asal nuduh, Ma. Nisa dengar dengan telinga sendiri Mama ngomong begitu.""Makanya kamu jadi manusia yang benar
"Terima kasih atas segala kebaikan Mas kepada suami saya, semoga Allah membalasnya dengan rahmat yang lebih besar," ucapku seraya membangkitkan tubuh dari atas bed."Eh, Mbak mau kemana?""Saya mau pulang, Mas."Dia mencoba menghentikan gerakanku. "Bentar Mbak, tadi sesuai hasil pemeriksaan-"Aku tidak menggubris ucapannya, bahkan saat beberapa suster datang kuabaikan mereka untuk kemudian berlari keluar dari ruangan itu.Hati masih tak bisa berdamai dengan kenyataan yang baru saja kudengar. Teganya mama mertua mengatakan tak punya biaya, sementara ia sudah menerima bantuan dana sebesar seratus juta untuk pengobatan Mas Bima. Bukankah seharusnya itu cukup tanpa perlu meminta bantuan pada keluarganya Mala. Apa memang biaya yang diperlukan begitu besar? Atau mama memang sengaja membuat Mas Bima seolah berhutang budi, dan nantinya apapun keinginan Mala akan dipenuhi termasuk menceraikanku?Rasa sakit dan kecewa semakin kentara terasa. Aku tak boleh menyerah. Dalam gemelut hati yang tak
Lautan luas tak kuasa menenggelamkan Kalimur Rahman (Musa a.s). Itu, tak lain karena suara Agung kala itu telah bertitah, "Sekali-kali tidak akan tersusul. Sesungguhnya, Rabb-ku beserta, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku." (Q.S. Asy-Syuara:62)Ketika bersembunyi dari kejaran kaum kafir dalam sebuah gua, Nabi Muhammad s.a.w yang Ma'shum mengabarkan kepada Abu Bakar bahwa Allah Yang Maha Tunggal dan Maha Tinggi ada bersama mereka. Sehingga rasa aman, tenteram dan tenang pun datang menyelimuti Abu Bakar. Mereka yang terpaku pada waktu yang terbatas dan kondisi yang (mungkin) sangat kelam, umumnya hanya akan merasakan kesusahan, kesengsaraan, dan keputusannya dalam hidup mereka. Itu, karena mereka hanya menatap dinding-dinding kamar dan pintu-pintu rumah mereka. Padahal, mereka seharusnya menembuskan pandangan sampai ke belakang tabir dan berpikir lebih jauh tentang hal-hal yang berada di luar pagar rumahnya.Maka dari itu jangan pernah merasa terhimpit sejengkalpun, karena setia
"Ini udah yang harganya paling miring dan nyaman ditempati Bu, kawasannya juga strategis."Aku mencoba menghubungi salah satu teman Mas Bima yang selama ini beberapa kali pernah kutemui saat ada acara kantor. Lisa namanya."Terima kasih ya, Lis."Kuambil kunci yang diberikan seorang wanita pemilik kost-kostan ini dan menyerahkan uang sebesar 2 juta."Bisa saya tanya padamu tentang apa yang terjadi pada perusahaan Pak Bima?""Sebenarnya saya tidak tahu apapun lagi karena sudah tiga bulan yang lalu di PHK, Bu.""Di PHK? Jadi perusahaan Pak Bima sudah lama bermasalah?""Belum lama sih Bu, sekitar enam bulanan yang lalu. Jadi perusahaan Pak Bima dua kali kalah tender, sedangkan beliau sudah mengerahkan banyak uang untuk bisa lolos. Alhasil, perusahaan mengalami kerugian besar. Untuk menaikkan kembali pemasukan, Pak Bima akhirnya kembali memakai uang pinjaman bank yang bunganya sangat besar. Bertepatan dengan kenaikan BBM dua bulan lalu, justru pemasukan perusahaan semakin anjlok. Sedikit
Aku mendekatinya perlahan, ingin kupeluk erat tubuh itu lalu menumpahkan sekian banyak rindu yang sudah begitu menyesakkan dada. Tapi semua terpaksa kutahan, sebab Mas Bima terlihat begitu dingin. "Mas sudah pulang?" ucapku lirih seraya menyentuh jemari tangannya, tapi ternyata dia justru menarik tangannya itu. Apa yang terjadi? Kenapa Mas Bima seperti ini?"Minum obatnya dulu, Mas."Tiba-tiba Mala muncul dari arah dapur, dua netra kami saling beradu. Dia hanya tersenyum sekilas padaku."Ini obatnya, Mas."Mas Bima meraih obat tersebut dan meneguknya."Mau aku antar ke kamar?" tanya Mala lagi, aku hanya terdiam."Boleh," jawab Mas Bima seraya kembali menatapku dan kemudian kursi roda yang dia duduki didorong memasuki kamar, bukan kamarku tentunya. Karena Mala membawa Mas Bima kembali ke kamarnya.Lagi-lagi aku terpaksa menerima kekecewaan, rasanya ingin marah pada Mas Bima. Kenapa dia tega bersikap begitu dingin. Padahal kita sudah tak bertemu lebih dari satu bulan. Harusnya saat in
Pov Bima"Terima kasih, Mbak," ucapku pada mbak-mbak resepsionis yang sudah menyiapkan sebuah kamar indah di sebuah hotel yang ada di kawasan Cisarua.Sudah lama aku dan Nisa tak punya waktu untuk berlibur, punya dua istri dan ditempatkan dalam satu rumah. Menurutku ini adalah pilihan terberat. Jika saja mama tidak memberi pilihan ini, sudah tentu kehidupan poligami yang kujalani akan berjalan lebih mudah.Teringat akan sebuah ceramah yang pernah kudengar,Poligami itu memang ada, tapi hukumnya bagi setiap orang berbeda. Hati-hati bagi orang-orang yang suka mendorong orang lain untuk berpoligami dengan mengatakan bahwa poligami adalah sunnah. Karena bagi sebagian yang berkeinginan untuk melakukan sunnah itu tapi ternyata dia belum mampu, artinya anda akan mendorong orang berbuat kedzaliman.Menikah itu bukan sekedar untuk pemenuhan syahwat, melainkan ada tanggung jawab di dalamnya yang harus dipenuhi. Nikah saja, menurut fiqih memiliki berbagai predikat hukum, tergantung kondisi calo
Aku dan Mas Adam segera menyusul Sarah ke dalam ruang ICU."Tidak boleh berbarengan ya, Bu. Masuknya satu orang saja."Seorang suster langsung menghentikan langkah kami."Kamu saja yang masuk, mungkin Dzabir ingin melihat Papanya," ucap Mas Adam menyuruhku yang masuk sementara dia menunggu di luar. Dengan berat hati aku dan Dzabir melangkah ke dalam dan mendapati Mas Bima sudah dikerumuni banyak tenaga kesehatan dan seorang dokter. Jantung ini seketika berdegup kencang."Ada apa, Sarah?" tanyaku penuh khawatir."Tiba-tiba jantungnya lemah, Mbak. Kasihan Mas Bima, Semoga Allah memberi umur panjang," ucap Sarah dengan kedua mata berkaca-kaca."Sarah kamu pegang Dzabir ya, biar Mbak cari Mama sama Mbak Ara. Mbak takut terjadi apa-apa pada Mas Bima, sementara Mama belum sempat menjenguknya.""Iya, Mbak."Aku pun kembali keluar dari ruangan ini, Mbak Hanum ternyata sudah duduk di kursi tunggu bersama Mas Adam."Bagaimana keadaan Bima, Nis?" tanya wanita itu."Denyut jantungnya lemah, Mbak
"Nisa, Mbak mau bicara sama kamu. Oya, mereka siapa?"Wajahku tertuju pada Sarah dan yang lain. Sementara di dalam dada, jantung berdegup kencang. "Mereka ... adalah keluarga dari mantan suami saya, Mbak."Mbak Hanum seperti terkejut, apa Mas Adam sudah mengatakan pada beliau perihal Mas Bima? Ya Allah, kenapa perasaan ini semakin dihujam rasa bersalah."Oh jadi ini keluarga mantan suami kamu?"Kuanggukkan kepala, sementara wajah Mbak Hanum tertuju pada Mbak Ara."Perkenalkan saya Hanum, calon kakak iparnya Nisa."Pandanganku segera tertuju pada keduanya. Dua netra Mbak Ara membulat, bahkan Sarah dan mama pun sama."Jadi Nisa udah mau nikah?"Mbak Hanum tak menjawab, dia justru menatapku seolah ingin aku yang menjawab pertanyaan tersebut."Iya, Mbak," jawabku terbata. Sungguh tak dapat kugambarkan perasaan kini. Apalagi saat melihat Mama menundukkan wajahnya, bahkan menutup kedua mata. Ya Allah, tolong bantu hamba keluar dari keadaan yang sulit ini."Tapi apa kamu sempat bertemu Bima
Dengan memendam segenap kekecewaan, Adam berjalan meninggalkan tempat dimana dia dan Nisa berbicara dari hati ke hati.Tiga tahun bukan waktu yang cepat, mencari alasan yang kuat untuk berumah tangga. Itulah yang dilakukannya selama ini pada Nisa. Berawal dari pertemuan di pasar hingga tumbuhlah benih yang kala itu ia sebut pertanda mungkin jodoh. Ia tak langsung menetapkan hati justru memilih untuk mengenal secara diam-diam.Namun kenyataannya, tiga tahun itu tak berguna sebab semua hancur setelah tahu bahwa Nisa lebih berat pada mantan suaminya.Ia pulang membawa kekecewaan. Sampai di rumah, Adam langsung masuk ke kamar, kebetulan di rumahnya ada sang Kakak yang tampak sibuk mempersiapkan beberapa hal menyangkut pernikahannya. Hanum merasa ada yang berbeda, ia segera menyusul Adam ke kamar."Habis dari mana kamu, Dam?""Habis ketemu Nisa di rumah sakit.""Siapa yang sakit?""Mantan suaminya.""Lo, mantan suami Nisa ada di kota ini?"Adam tampak mengangguk, memilih menjatuhkan tubuh
Segera kugendong Dzabir dan menidurkannya di kursi tengah mobil. Lalu di malam buta ini kendaraan yang kunaiki akhirnya membelah langit kelam menuju rumah sakit. Berbagai pertanyaan tak henti menyeruak dalam dada, tentang Mas Bima yang kenapa sampai tiba-tiba koma, juga tentang pernikahanku yang tinggal menghitung hari. Apa sebenarnya yang kuinginkan, benarkah bersama Mas Adam adalah keinginan? Dalam kegundahan hati, keraguan itu semakin jelas. Hanya ribuan doa yang teriring dalam setiap tarikan napas. Berharap Allah bulatkan keinginan untuk memilih yang terbaik. Tetap bersamanya atau menyudahi. Sementara itu, kendaraan roda empat ini terus berputar hingga sampai di depan sebuah rumah sakit, putraku Dzabir ternyata terbangun dari lelapnya tidur. "Bund, kita ada dimana?" "Di rumah sakit, Nak." "Siapa yang sakit?" "Papa." Dia tampak sangat terkejut. Sambil mengecek bola mata, Dzabir bangkit ke posisi duduk bersandar. "Papa sakit apa, Bund?" "Bunda juga belum tahu Nak, kita tany
Jantung ini seperti berhenti berdetak saat mendapati Mas Adam berdiri di depan kamar Mas Bima. Tatapannya kini tertuju pada mantan suamiku, membuat pandangan inipun tertoleh ke belakang. Aku membuang napas berat saat menyaksikan Mas Bima hanya memakai singlet dan memakai celana selutut serta memeluk selimut. Bayangan kejadian masa lalu terlintas begitu saja, saat lelaki itu memergokiku tengah bersama Mas Brian. Ingatan tersebut membuat dada seolah tertusuk belati tertajam. "Kata Pak Agung, Pak Bima sakit?" tanya Mas Adam membuyarkan pikiranku. "Hah, iya. Saya kurang enak badan, Pak," jawab Mas Bima terbata. "Tapi sekarang sudah sehat?" "Alhamdulillah sudah agak baikan, Pak Ustadz." "Tapi kenapa calon istri saya ada di sini?" Pandangan Mas Adam kini tertuju padaku. "Tidak baik seorang wanita berada di kamar lelaki yang bukan lagi mahramnya, sekalipun ada anak kecil diantara mereka." Aku hanya bisa menunduk, sungguh dada ini bergemuruh hebat. "Ayo kita pulang, perancang pakai
"Cepat Pa bobok lagi, Bunda udah di luar."Jantungku semakin berdegup kencang."Sekarang jam berapa, Nak?"Dzabir melihat jam, dua netraku juga tertuju ke sana."Sepuluh," ucapnya berbisik. Bersamaan dengan itu terdengar bel kamar berbunyi."Kamu bisa buka pintunya?" tanyaku pada Dzabir."Bisa, Pa."Putraku itu langsung turun dari ranjang dan membuka pintu, dan di sini di atas ranjang jantung semakin bertabuh kencang.Aku harus memejamkan mata dan berpura-pura sakit. Kututup seluruh tubuh dengan selimut, agar berkeringat dan kelihatan benar seperti orang sakit. Dalam selimut, aku mulai membayangkan apa yang kumimpikan tadi. Mengajak Nisa pergi. Sungguh tak mungkin kulakukan sebagai seorang muslim."Bund, Papa ada si kamar, udah nggak sanggup bangun."Jantung seolah turun ke perut. Aku benar-benar gugup."Biar Bunda kasih tahu penjaga hotel, siapa tahu mereka ada stok obat."Hah, aduh gawat. Untuk apa minum obat, sakitnya saja sudah berkurang. "Nggak usah Bund, Papa udah minum obat ko
Nisa mengangguk, sungguh lega terasa di hati. Meski tak dapat kembali, tapi setidaknya aku ingin membuat Dzabir benar-benar ikhlas menerima Adam sebagai ayah sambungnya.Tak lagi menunggu aku langsung mengajak anakku ke hotel. "Hati-hati ya Nak, jangan bikin Papa capek ya?"Nisa berpesan sebelum akhirnya menyerahkan sebuah tas berisi pakaian ganti untuk Dzabir. Kembali langkah ini tergerak, sampai keluar pagar Nisa masih memerhatikan.Ya Allah, kenapa harus berakhir begini?"Pa, kita menginap di hotel yang kemarin ya?""Iya Nak, nggak papa 'kan?""Nggak papa, Pa. Sekalian bisa mandi kolam. Boleh 'kan, Pa?""Boleh donk, kamu bisa berenang nggak?""Bisa," jawab Dzabir antusias."Mau lomba sama Papa?""Mau, tapi ada hadiah nggak?""Ada donk.""Hadiahnya apa, Pa?""Em apa ya? Bingung juga. Oo gini aja, yang menang Boleh minta apa aja sama yang kalah. Terus yang kalah harus menyanyi sambil joget-joget."Tawa Dzabir seketika pecah, melihat dia demikian rasa bahagia menyebar begitu saja di
"Ini tidak boleh terjadi!"Teriakan membuat semua mata kini tertuju padaku."Pak Bima, ada apa?" bisik Pak Agung ke telinga seperti menyadarkan dari khayalan. Aku menatapnya tanpa ada kata yang keluar dari bibir."Ada apa, Pak?"Karena aku seperti kebingungan, Pak Agung segera menarik diri ini keluar dari ruangan tersebut."Sudah Pak, lepaskan tangan saya."Pak Agung segera melepas tanganku."Maaf Pak, saya tidak bermaksud apa-apa. Apa Pak Bima sedang tidak sehat?"Aku menarik napas panjang lalu membuang perlahan."Iya Pak, saya ingin pulang saja.""Kalau begitu biar saya yang antar. Mari kita masuk ke mobil."Pak Agung membuka kunci mobilnya, setelah itu menelpon Pak Chandra. Setelah kami bertiga masuk ke mobil, Pak Agung segera menjalankan kendaraannya tersebut."Tadi itu Bapak kenapa?"Pak Agung kembali melempar pertanyaan."Saya hanya sedang mengenang masa lalu, Pak. Makanya seperti lepas kontrol.""Oh, hampir saja tadi saya berpikir macam-macam.""Macam-macam gimana Pak Agung?"
[Assalamualaikum Nisa, jam sembilan In Syaa Allah Mas dan keluarga akan bertamu ke rumah. Sekalian untuk proses lamaran ya. Kamu jangan repot-repot, Mas sudah hubungi chatering untuk menghandle acara hari ini. Kamu siap-siapkan saja diri dan Dzabir, pakai baju seadanya. Tidak usah mewah, tidak usah yang paling bagus. Karena pakai apapun kamu tetap cantik.]Aku terhenyak membaca pesan yang dikirimkan Mas Adam tepat di jam sepuluh malam. Kenapa jadi seperti ini, harusnya jika hanya acara lamaran saja, cukup dibuat sederhana. Aku, dia dan Mbak Hanum. Tapi kenapa malah pakai chatering segala.Kuhela napas panjang, hati semakin riuh bergemuruh. Bagaimana cara menolak, ya?[Iya Mas, tapi kenapa harus pakai chatering lagi. Apa nggak cukup kita bertiga aja?][Kasihan tetangga Nisa, mereka 'kan juga ingin mendapat keberkahan dari acara kita.]Jika membicarakan keberkahan, aku tak mungkin beralasan lain. Semoga jalan ini menjadi pilihan terbaik ya Allah. Dua netra menerawang jauh menatap buah h