"Aku mabuk perjalanan kalau duduk di belakang."
Mala tidak mau masuk ke dalam mobil karena Mas Bima memintanya duduk di belakang.
"Yaudah Mas, biar aku aja yang duduk di belakang."
Akhirnya aku mengalah dan membiarkan Mala duduk di sebelah Mas Bima. Kami masuk ke mobil, melambaikan tangan pada mama dan ipar kemudian kendaraan roda empat inipun melaju meninggalkan Kota Bandung menuju Jakarta.
"Nanti setiap kali kita pergi bersama, kamu dan Mbak Nisa duduknya bergantian di sini ya. Biar adil."
Mas Bima mengatur kami seperti seorang ayah mengatur dua anaknya. Aku dan Mala hanya mengiyakan, masih canggung jika disatukan begini. Perjalanan kurang lebih tiga jam ini terasa begitu panjang, karena aku lebih banyak diam mendengar Mas Bima dan Mala berbicara. Mereka saling sambut suara, apalagi jika membicarakan masa lalu. Kelihatan seperti sedang bernostalgia.
Wahai hati, janganlah engkau cemburu. Karena cemburu pada istri suamimu yang lain itu petaka, dari cemburu syaitan bisa menggelapkan matamu dan membuat kamu membenci madumu. Aku mencoba beristighfar jika mengingat kata-kata itu.
"Nisa, jangan diam donk."
Mas Bima menatapku pada kaca spion.
"Iya Mas, aku mendengar kok obrolan kalian."
Untuk selanjutnya Mas Bima mulai mengerem bicaranya, mungkin dia sadar telah membuatku merasa terasingkan. Mala kini mendominasi percakapan. Sepertinya dia memang hobby bercerita, meski Mas Bima hanya menjawab iya atau hmmm, tapi dia tetap seru melanjutkan obrolan.
Kami sampai di rumah pukul satu siang. Mbok Siti dan Pak Karman menyambut kedatangan kami. Untuk selanjutnya Mas Bima memintaku mengantar Mala ke kamar sementara. Katanya nanti ada satu kamar lagi di rumah ini yang akan direnovasi menjadi kamarnya bersama Mala. Adik maduku itu menurut. Aku dan Mas Bima kembali melangkah ke kamar kami, karena hari ini dia masih bersamaku.
Baru lima menit berada di kamar, terdengar pintu di ketuk. Kubangkitkan tubuh untuk mengecek.
"Mala, ada apa?"
"Keran air di kamar mandi rusak, Mbak."
"Oya?"
Mas Bima ternyata sudah bangkit dan berdiri di sisiku.
"Biar Mas cek dulu."
Dia keluar kamar dan berjalan menuju kamar Mala, sementara aku memilih tetap di kamar seraya membersihkan ranjang. Sudah lima belas menit berlalu, Mas Bima tak jua kembali. Apa ada masalah serius?
Karena penasaran, aku menyusul mereka. Dari pintu yang tidak tertutup rapat dapat kusaksikan keadaan di dalam sana, ternyata bukan kran air yang rusak melainkan adik maduku yang terlihat belum siap berbagi.
"Sepuluh menit aja, Mas. Aku kesepian sendirian."
"Mala, kamu harus sabar. Semua memang tidak mudah, tapi jika kamu bisa bersabar, kita semua pasti akan bahagia."
"Kenapa sih Mas harus ada pembagian jatah bermalam, harusnya dibuat simpel aja. Kalau aku butuh, kamu bisa nemenin aku dan kalau Mbak Nisa butuh Mas bisa nemenin dia. Gampang gitu 'kan. Dan sekarang pokoknya aku butuh ditemani, aku mau Mas tetap di kamar ini."
Mala terus berusaha memeluk Mas Bima, tapi Mas Bima justru mencoba menahannya. Hingga lelaki itu lelah dan membiarkan adik maduku berhasil merangkul tubuhnya. Dan merekapun duduk di atas ranjang.
"Yasudah, Mas bicara dulu sama Mbak Nisa ya. Semoga dia mengerti dan mau mengalah."
Aku yang mendengar mundur perlahan, haruskah diri ini mengalah? Atau lebih baik begini saja, sekaligus memberi ilmu bagi Mala bahwa dalam berpoligami memang banyak hal yang harus kita redam. Bukankah dulu saat aku melamarnya menjadi istri kedua suamiku, dia sudah setuju untuk berbagi?
"Aku memutuskan untuk masuk ke kamar lalu langsung meluncur ke kamar mandi. Saat keluar, ternyata Mas Bima sudah duduk di atas ranjang. Pura-pura tak tahu, aku langsung bertanya.
"Bagaimana Mas, sudah benar kran airnya?"
Mas Bima mengangguk ragu.
"Mas mau mandi, biar aku siapkan air mandinya."
"Sayang, Mas mandi di kamar Mala saja ya," ucapnya tampak ragu-ragu.
"Kenapa?"
"Em, Mala 'kan baru pertama kali di rumah kita. Dia tampak ketakutan dan minta Mas menemaninya."
Tatapan tajam kuberikan untuk Mas Bima ketika dia mengatakan hal itu, membuat lelaki yang biasanya murah senyum tersebut tampak gelagapan. Dengan mimik wajah kubuat seperti orang marah, aku mendekatinya.
"Temanilah Mala, Mas. Namanya juga pertama kali, pasti masih canggung dan sedikit ketakutan."
Wajah Mas Bima yang tadi sedikit menunduk seketika menatapku.
"Kamu nggak marah?"
"Buat apa aku marah? Sudah nggak papa, pergilah ke kamar Mala dan temani dia. Aku akan memasak dan akan memanggil kalian jika makan siangnya sudah selesai."
Mas Bima menatapku dengan dua mata berkaca. Lalu jemarinya merangkul tubuh ini.
"Terima kasih sudah menjadi istri yang luar biasa. Kamu tidak hanya cantik di wajah, tapi hatimu bersinar indah. Mas mencintai, sangat mencintaimu istriku."
Aku mencoba berbesar hati, meyakinkan diri bahwa benar saat ini Mala masih butuh banyak pendampingan. Tentu dia perlu banyak belajar agar bisa lebih menjaga sikapnya dalam pernikahan ini. Karena meskipun kehadirannya kuridhai, tapi hati ini juga harus ia jaga. Bagaimanapun pada kenyataannya mengikhlaskan suami berbagi cinta itu bukan hal yang mudah. Sampai detik ini aku juga masih belajar, belajar mendamaikan jiwa yang bergolak, belajar meredam rasa cemburu juga belajar untuk lebih menerima semua tabiat istri kedua suamiku.
Kubiarkan Mas Bima melangkah keluar dari kamar ini. Sebulir air mata melepas kepergiannya. Nyatanya wanita memang seperti ini, dari luar dia kelihatan tegar tapi sebenarnya dari dalam hatinya begitu rapuh.
*
Makanan telah selesai kuhidangkan di atas meja. Dua netra sejenak melirik jam, hampir pukul dua siang hari. Perut terasa sudah keroncongan.
Mbok Siti, ART yang sudah menemaniku semenjak pertama kali berada di rumah ini tampak membereskan dapur, sedari tadi dia terdiam padahal jika biasa banyak sekali bicaranya.
"Mbok sakit?" tanyaku memecah keheningan.
"Nggak, Buk."
"Tapi kok kebanyakan diam, nggak seperti biasa."
Si Mbok menatapku dengan tatapan penuh tanya.
"Buk, si Mbok mau nanya. Apa Mbak Mala akan tinggal di rumah ini selamanya?"
Pertanyaan yang membuatku sedikit terhenyak.
"Kenapa Mbok menanyakan hal itu?"
"Punten Buk, si Mbok hanya ingin tahu saja. Tidak ada maksud lain."
"Iya, Mbok. Mala akan tinggal bersama kami di rumah ini. Mala saat ini sedang hamil, jadi mungkin dia akan lebih butuh banyak perhatian dari Bapak."
"Wah, sungguh mulia hati Ibu. Tidak banyak wanita yang bisa ikhlas suaminya menikahi wanita lain, apalagi setelah menikah mereka ditempatkan dalam satu rumah. Tapi saya yakin Allah pasti akan memberikan ibu kesabaran dan nikmat yang banyak setelah ini."
"Aamminnn ya Rabbalalamin. Makasih Mbok sudah mendoakan saya. Yaudah, saya panggil Mas Bima dulu ya, Mbok."
Kutinggalkan Mbok Siti dan pergi ke dalam untuk memanggil Mas Bima. Sedikit sungkan tapi jemari tergerak jua untuk mengetuk pintu.
"Mas Bima, Dek Mala, kita makan siang dulu yuk."
Tak ada jawaban, aku mencoba mengetuk sekali lagi. Tapi sayang, sepertinya Mas Bima dan Mala sudah tertidur. Dengan menghela napas, aku memilih kembali ke dapur.
"Ditutup saja dulu Mbok makanannya."
"Lo kenapa, Buk? Bapak tidak mau makan?"
"Bapak sama Mala sudah tidur. Nanti saja kalau mereka bangun, kita hildangkan."
"Nggih, Buk."
Aku kembali ke kamar, meski perut sakit kucoba bertahan. Rasanya sangat tidak bernafsu jika harus makan seorang diri. Lebih baik menunggu sampai Mas Bima bangun. Kini tubuh kurebahkan di atas ranjang. Jika biasa saat bersamaku Mas Bima selalu bisa kulihat, tapi setelah Mala di rumah ini. Aku harus terbiasa ketika bersama tapi tidak bisa menyentuhnya.
Kupaksakan diri untuk tersenyum, meski jujur ada yang hendak melesat keluar dari kedua pelupuk. Aku kuat, ya aku pasti bisa melalui semua ini.
*
Dua netraku terbuka saat mendengar suara air di kamar mandi. Tak lama berselang, Mas Bima keluar dengan rambut basah dan hanya berhandukan. Aku masih berpura-pura tertidur.
Dia terlihat menuju lemari untuk memakai baju koko dan kain sarung kemudian lelaki itu membentangkan sajadahnya. Jadi Mas Bima baru shalat dhuhur di jam setengah empat siang?
Kubangkitkan tubuh dan menunggu dia selesai mengerjakan shalat.
Assalamualaikum warahmatullah ...
Assalamualaikum warahmatullah ...
Dua netra kami saling memandang.
"Mas baru shalat dhuhur?"
Dia mengulum senyum, bangkit melipat sajadah lalu berjalan mendekatiku di atas ranjang.
"Tadi Mas ketiduran."
Entahlah, sebagai istri yang selalu mengingatkannya agar shalat tepat waktu, aku merasa kesal dengan keteledoran suamiku siang ini. Dan tidak terkecuali rasa kesal itu tertuju pada Mala.
"Mala juga belum shalat?"
Mas Bima menggeleng, dia membuka koko yang dia pakai dan mengganti dengan baju kaos.
"Tapi sekarang udah shalat 'kan?"
"Belum juga, dia pusing katanya. Jadi nggak sanggup bangun."
Aku membuang napas panjang. Saat Mas Bima kembali ke ranjang dan duduk di sisiku, sengaja aku menyindirnya.
"Habis keramas, Mas?"
Mas Bima menatapku malu-malu. Wajahnya bersemu merah, apakah dia begitu bahagia? Atau jangan-jangan dia dan Mala baru saja ...?
Kenapa ada yang terasa perih di dalam dada, kucoba menarik napas panjang. Wahai hati, janganlah engkau cemburu jika suamimu bersama istrinya yang lain. Berdamailah, ini adalah bagian dari perjuanganmu meraih bahagia.
"Gerah aja, panas. Tadi lupa hidupkan pendingin ruangan."
Aku mencium bau dusta pada ucapannya, tapi kuiyakan saja agar dia tak perlu merasa tidak enak padaku.
"Makan dulu, yuk."
Mas Bima mengangguk dan kamipun keluar dari kamar menuju ruang makan.
"Mala apa nggak dibangunin, Mas?"
"Suruh antar Mbok Siti aja makanan ke kamarnya."
"Oh yaudah. Mbok, saya minta tolong, antarkan nasi sama lauk ke kamar Buk Mala, ya," ucapku pada si Mbok yang kebetulan lalu di depan ruang makan.
"Nggih, Bu."
Wanita paruh baya itupun segera menjalankan permintaanku. Hanya berselang lima menit, si Mbok kembali lagi ke ruang makan dengan membawa nampan yang masih berisi makanan.
"Lo, makanannya kenapa belum diserahkan kepada Mala, Mbok?"
"Anu, Bu. Bu Mala tidak mau makan jika si Mbok yang antar, dia minta Bapak yang mengantar."
Pandangan Mas Bima langsung tertuju padaku, aku hanya tersenyum kecut.
"Letakkan saja dulu di situ, Mbok. Nanti saya antar," ucap Mas Bima.
"Tapi Bu Mala minta Bapak mengantar makanannya sekarang. Karena Ibu sudah sangat lapar dan pusing."
Pandanganku dan Mas Bima kembali bertemu, padahal kami belum selesai makan. Namun, Mala kembali membutuhkan lelaki ini.
"Mas ke sana bentar, ya. Kamu lanjut aja makan."
"Tapi Mas 'kan belum selesai makan?"
"Nggak papa, nanti Mas lanjutkan lagi. Kamu makan aja, jangan nunggu. Nanti nasinya keburu dingin."
Tanpa menungguku menjawab, Mas Bima sudah terlebih dahulu mengangkat langkah. Baiklah aku mengalah lagi, tapi sungguh aku tak berselera makan jika tak ada Mas Bima. Lebih baik menanti saja lagi.
Sembari membuang jenuh, aku menghidupkan ponsel lalu membuka I*. Ternyata Mala sedang melakukan live, sebagai model meski sudah pensiun dini, followernya tetap ramai. Aku pun tergerak untuk membuka siaran langsung itu yang pada kenyataan berlangsung di dalam kamar di rumah ini.
Suami idaman, sangat sayang dan memuliakan istri.
Membaca judulnya sudah membuat hati ngilu. Kuteruskan melihat live tersebut, yang kuincar bukan adik maduku, tapi wajah Mas Bima. Hanya melihatnya meski tak duduk bersama, sudah membuat nafsu makanku kembali.
Nasi di piring memang habis, tapi sayang ternyata melihat live itu hatiku seperti menciut. Mas Bima terlihat begitu memanjakan Mala. Dia memang lelaki idaman, sepuluh tahun bersama aku tak pernah menemukan dia meninggikan suaranya sekalipun ada hal yang tidak ia sukai kulakukan.
Mala beruntung, bisa menjadi bagian di hidup Mas Bima. Lelaki terbaik yang pernah kutemui di dunia ini.
Wahai hati, berjanjilah padaku untuk tidak cemburu. Mala adalah istri kedua suamimu, yang berhak mendapatkan segala bentuk kasih sayang serupa dengan yang diberikan Bima padamu. Kuat, sabar, ikhlas. Yakinlah bahwa kamu pasti akan bahagia jika tiga hal itu bisa kamu tanaman dalam hati.
***
Bersambung
Terima kasih sudah membaca.
Utamakan baca Al-Quran.
[Di dalam lemari ada hadiah untukmu.]Sebaris kalimat yang dituliskan Mas Bima di selembar kertas membuat langkah ini buru-buru menuju lemari. Kapan dia meletakkan surat untukku di meja ini, padahal semalam adalah jatahnya bersama Mala? Hmmm, jadi penasaran. Segera jemari membuka lemari.[Selamat ulang tahun, terima kasih telah menjadi wanita tercantik di dunia. Kamu tak hanya memiliki wajah yang mengilap, tapi hatimu senantiasÙxlxa bercahaya terang. Laksana mutiara di tengah lautan, kamulah istri shalihah yang kecantikannya mengalahkan bidadari syurga. Terima kasih telah menjadi istri yang luar biasa sempurna untukku, Sayang. Di hari ulang tahunmu ini, aku hanya ingin mengatakan bahwa aku sangat-sangat mencintaimu. Semoga Allah selalu menjaga ikatan pernikahan kita ini sampai jannah. Love you my wife.]Seulas senyum terbit begitu saja tatkala aku membaca sebuah surat lainnya yang diletakkan di atas sebuah kotak. Segera kubuka kotak tersebut, begitu bahagia ketika tahu isi di dalam k
Bagai terhempas dari gedung tertinggi, jantung ini seketika berhenti berdetak.Mas Bima kecelakaan? Ya Allah ...Tanpa pikir panjang, aku segera keluar dari rumah. Melajukan sepeda motor dengan kecepatan tinggi hingga tiba di rumah sakit. Tanpa jeda langkah kini tertuju ke meja resepsionis. Ternyata Mas Bima sudah hendak di dorong ke ruang operasi hanya menunggu kedatangan keluarga untuk menandatangani surat persetujuan.Tak teringat lagi untuk berkonsultasi pada siapa, karena menurut dokter tindakan operasi harus dilakukan sesegera mungkin. Agar perdarahan yang terjadi pada kepalanya bisa teratasi dan harapan hidup pasien akan menjadi lebih besar.Mendengar kata harapan hidup saja setengah ragaku seperti terserabut paksa. Ya Allah, bagaimana kecelakaan ini terjadi sampai Mas Bima bisa separah ini?Setelah menandatangani surat persetujuan tersebut, aku dipersilahkan duduk di depan ruang operasi."Ijinkan saya melihat suami saya sekali saja Dok sebelum operasinya berlangsung."Aku memo
"Mbak Nisa?"Kusapu air mata yang mengalir lalu menatap siapa yang kini menyapa."Dokter Siska?""Ngapain di sini, siapa yang sakit?" tanyanya ramah."Suami dok, Mas Bima kecelakaan.""Kecelakaan?"Dokter Siska tampak begitu terkejut. "Iya Dok, kejadiannya tadi siang dan sekarang Mas Bima sudah selesai dioperasi tapi masih dalam keadaan koma.""Innalillahi, boleh saya jenguk?"Aku menarik napas sejenak."Mama Mas Bima ada di dalam, beliau juga melarang saya untuk masuk karena menganggap kecelakaan ini terjadi karena ulah saya, Dok."Dokter Siska tampak terperanjat. "Bagaimana bisa dia beranggapan seperti itu?"Sekilas aku menceritakan kejadian tadi siang pada Dokter Siska, termasuk ketika aku menceritakannya pada Mala."Barangkali Mala yang memberitahu ibu mertua Mbak Nisa akan hal ini.""Saya tidak tahu, Dok.""Yasudah jangan bersedih, aku yakin nanti ketika Mas Bima sudah sadar. Dia akan menjelaskan semuanya. Tetap semangat Mbak Nisa, jangan berputus asa dan terus langitkan doa ag
Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Tidak halal bagi seorang wanita meminta (kepada suaminya) agar sang suami mencerai wanita lain (yang menjadi istrinya) dengan maksud agar sang wanita ini memonopli ‘piringnya’, sesungguhnya hak dia adalah apa yang telah ditetapkan untuknya”. (Hadîts muttafaq ‘alaih).***Tak mau berpura-pura tak mendengar, aku langsung saja melempar mereka dengan pertanyaan."Mama dan Mala ingin aku dan Mas Bima bercerai?"Mereka berdua serempak terkejut dengan kedatanganku."Ngomong apa kamu Nisa, datang-datang main nyerang aja.""Nisa dengar tadi Mama ngomong, setelah Mala melahirkan Mas Bima pasti akan menceraikanku.""Kita nggak pernah menyebut kata cerai. Mama sama Mala lagi membicarakan temannya Bima si Chacha yang lagi bermasalah dengan suaminya. Kamu kalau bicara jangan asal nuduh, bisa kena pasal pencemaran nama baik.""Nisa nggak asal nuduh, Ma. Nisa dengar dengan telinga sendiri Mama ngomong begitu.""Makanya kamu jadi manusia yang benar
"Terima kasih atas segala kebaikan Mas kepada suami saya, semoga Allah membalasnya dengan rahmat yang lebih besar," ucapku seraya membangkitkan tubuh dari atas bed."Eh, Mbak mau kemana?""Saya mau pulang, Mas."Dia mencoba menghentikan gerakanku. "Bentar Mbak, tadi sesuai hasil pemeriksaan-"Aku tidak menggubris ucapannya, bahkan saat beberapa suster datang kuabaikan mereka untuk kemudian berlari keluar dari ruangan itu.Hati masih tak bisa berdamai dengan kenyataan yang baru saja kudengar. Teganya mama mertua mengatakan tak punya biaya, sementara ia sudah menerima bantuan dana sebesar seratus juta untuk pengobatan Mas Bima. Bukankah seharusnya itu cukup tanpa perlu meminta bantuan pada keluarganya Mala. Apa memang biaya yang diperlukan begitu besar? Atau mama memang sengaja membuat Mas Bima seolah berhutang budi, dan nantinya apapun keinginan Mala akan dipenuhi termasuk menceraikanku?Rasa sakit dan kecewa semakin kentara terasa. Aku tak boleh menyerah. Dalam gemelut hati yang tak
Lautan luas tak kuasa menenggelamkan Kalimur Rahman (Musa a.s). Itu, tak lain karena suara Agung kala itu telah bertitah, "Sekali-kali tidak akan tersusul. Sesungguhnya, Rabb-ku beserta, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku." (Q.S. Asy-Syuara:62)Ketika bersembunyi dari kejaran kaum kafir dalam sebuah gua, Nabi Muhammad s.a.w yang Ma'shum mengabarkan kepada Abu Bakar bahwa Allah Yang Maha Tunggal dan Maha Tinggi ada bersama mereka. Sehingga rasa aman, tenteram dan tenang pun datang menyelimuti Abu Bakar. Mereka yang terpaku pada waktu yang terbatas dan kondisi yang (mungkin) sangat kelam, umumnya hanya akan merasakan kesusahan, kesengsaraan, dan keputusannya dalam hidup mereka. Itu, karena mereka hanya menatap dinding-dinding kamar dan pintu-pintu rumah mereka. Padahal, mereka seharusnya menembuskan pandangan sampai ke belakang tabir dan berpikir lebih jauh tentang hal-hal yang berada di luar pagar rumahnya.Maka dari itu jangan pernah merasa terhimpit sejengkalpun, karena setia
"Ini udah yang harganya paling miring dan nyaman ditempati Bu, kawasannya juga strategis."Aku mencoba menghubungi salah satu teman Mas Bima yang selama ini beberapa kali pernah kutemui saat ada acara kantor. Lisa namanya."Terima kasih ya, Lis."Kuambil kunci yang diberikan seorang wanita pemilik kost-kostan ini dan menyerahkan uang sebesar 2 juta."Bisa saya tanya padamu tentang apa yang terjadi pada perusahaan Pak Bima?""Sebenarnya saya tidak tahu apapun lagi karena sudah tiga bulan yang lalu di PHK, Bu.""Di PHK? Jadi perusahaan Pak Bima sudah lama bermasalah?""Belum lama sih Bu, sekitar enam bulanan yang lalu. Jadi perusahaan Pak Bima dua kali kalah tender, sedangkan beliau sudah mengerahkan banyak uang untuk bisa lolos. Alhasil, perusahaan mengalami kerugian besar. Untuk menaikkan kembali pemasukan, Pak Bima akhirnya kembali memakai uang pinjaman bank yang bunganya sangat besar. Bertepatan dengan kenaikan BBM dua bulan lalu, justru pemasukan perusahaan semakin anjlok. Sedikit
Aku mendekatinya perlahan, ingin kupeluk erat tubuh itu lalu menumpahkan sekian banyak rindu yang sudah begitu menyesakkan dada. Tapi semua terpaksa kutahan, sebab Mas Bima terlihat begitu dingin. "Mas sudah pulang?" ucapku lirih seraya menyentuh jemari tangannya, tapi ternyata dia justru menarik tangannya itu. Apa yang terjadi? Kenapa Mas Bima seperti ini?"Minum obatnya dulu, Mas."Tiba-tiba Mala muncul dari arah dapur, dua netra kami saling beradu. Dia hanya tersenyum sekilas padaku."Ini obatnya, Mas."Mas Bima meraih obat tersebut dan meneguknya."Mau aku antar ke kamar?" tanya Mala lagi, aku hanya terdiam."Boleh," jawab Mas Bima seraya kembali menatapku dan kemudian kursi roda yang dia duduki didorong memasuki kamar, bukan kamarku tentunya. Karena Mala membawa Mas Bima kembali ke kamarnya.Lagi-lagi aku terpaksa menerima kekecewaan, rasanya ingin marah pada Mas Bima. Kenapa dia tega bersikap begitu dingin. Padahal kita sudah tak bertemu lebih dari satu bulan. Harusnya saat in
Aku dan Mas Adam segera menyusul Sarah ke dalam ruang ICU."Tidak boleh berbarengan ya, Bu. Masuknya satu orang saja."Seorang suster langsung menghentikan langkah kami."Kamu saja yang masuk, mungkin Dzabir ingin melihat Papanya," ucap Mas Adam menyuruhku yang masuk sementara dia menunggu di luar. Dengan berat hati aku dan Dzabir melangkah ke dalam dan mendapati Mas Bima sudah dikerumuni banyak tenaga kesehatan dan seorang dokter. Jantung ini seketika berdegup kencang."Ada apa, Sarah?" tanyaku penuh khawatir."Tiba-tiba jantungnya lemah, Mbak. Kasihan Mas Bima, Semoga Allah memberi umur panjang," ucap Sarah dengan kedua mata berkaca-kaca."Sarah kamu pegang Dzabir ya, biar Mbak cari Mama sama Mbak Ara. Mbak takut terjadi apa-apa pada Mas Bima, sementara Mama belum sempat menjenguknya.""Iya, Mbak."Aku pun kembali keluar dari ruangan ini, Mbak Hanum ternyata sudah duduk di kursi tunggu bersama Mas Adam."Bagaimana keadaan Bima, Nis?" tanya wanita itu."Denyut jantungnya lemah, Mbak
"Nisa, Mbak mau bicara sama kamu. Oya, mereka siapa?"Wajahku tertuju pada Sarah dan yang lain. Sementara di dalam dada, jantung berdegup kencang. "Mereka ... adalah keluarga dari mantan suami saya, Mbak."Mbak Hanum seperti terkejut, apa Mas Adam sudah mengatakan pada beliau perihal Mas Bima? Ya Allah, kenapa perasaan ini semakin dihujam rasa bersalah."Oh jadi ini keluarga mantan suami kamu?"Kuanggukkan kepala, sementara wajah Mbak Hanum tertuju pada Mbak Ara."Perkenalkan saya Hanum, calon kakak iparnya Nisa."Pandanganku segera tertuju pada keduanya. Dua netra Mbak Ara membulat, bahkan Sarah dan mama pun sama."Jadi Nisa udah mau nikah?"Mbak Hanum tak menjawab, dia justru menatapku seolah ingin aku yang menjawab pertanyaan tersebut."Iya, Mbak," jawabku terbata. Sungguh tak dapat kugambarkan perasaan kini. Apalagi saat melihat Mama menundukkan wajahnya, bahkan menutup kedua mata. Ya Allah, tolong bantu hamba keluar dari keadaan yang sulit ini."Tapi apa kamu sempat bertemu Bima
Dengan memendam segenap kekecewaan, Adam berjalan meninggalkan tempat dimana dia dan Nisa berbicara dari hati ke hati.Tiga tahun bukan waktu yang cepat, mencari alasan yang kuat untuk berumah tangga. Itulah yang dilakukannya selama ini pada Nisa. Berawal dari pertemuan di pasar hingga tumbuhlah benih yang kala itu ia sebut pertanda mungkin jodoh. Ia tak langsung menetapkan hati justru memilih untuk mengenal secara diam-diam.Namun kenyataannya, tiga tahun itu tak berguna sebab semua hancur setelah tahu bahwa Nisa lebih berat pada mantan suaminya.Ia pulang membawa kekecewaan. Sampai di rumah, Adam langsung masuk ke kamar, kebetulan di rumahnya ada sang Kakak yang tampak sibuk mempersiapkan beberapa hal menyangkut pernikahannya. Hanum merasa ada yang berbeda, ia segera menyusul Adam ke kamar."Habis dari mana kamu, Dam?""Habis ketemu Nisa di rumah sakit.""Siapa yang sakit?""Mantan suaminya.""Lo, mantan suami Nisa ada di kota ini?"Adam tampak mengangguk, memilih menjatuhkan tubuh
Segera kugendong Dzabir dan menidurkannya di kursi tengah mobil. Lalu di malam buta ini kendaraan yang kunaiki akhirnya membelah langit kelam menuju rumah sakit. Berbagai pertanyaan tak henti menyeruak dalam dada, tentang Mas Bima yang kenapa sampai tiba-tiba koma, juga tentang pernikahanku yang tinggal menghitung hari. Apa sebenarnya yang kuinginkan, benarkah bersama Mas Adam adalah keinginan? Dalam kegundahan hati, keraguan itu semakin jelas. Hanya ribuan doa yang teriring dalam setiap tarikan napas. Berharap Allah bulatkan keinginan untuk memilih yang terbaik. Tetap bersamanya atau menyudahi. Sementara itu, kendaraan roda empat ini terus berputar hingga sampai di depan sebuah rumah sakit, putraku Dzabir ternyata terbangun dari lelapnya tidur. "Bund, kita ada dimana?" "Di rumah sakit, Nak." "Siapa yang sakit?" "Papa." Dia tampak sangat terkejut. Sambil mengecek bola mata, Dzabir bangkit ke posisi duduk bersandar. "Papa sakit apa, Bund?" "Bunda juga belum tahu Nak, kita tany
Jantung ini seperti berhenti berdetak saat mendapati Mas Adam berdiri di depan kamar Mas Bima. Tatapannya kini tertuju pada mantan suamiku, membuat pandangan inipun tertoleh ke belakang. Aku membuang napas berat saat menyaksikan Mas Bima hanya memakai singlet dan memakai celana selutut serta memeluk selimut. Bayangan kejadian masa lalu terlintas begitu saja, saat lelaki itu memergokiku tengah bersama Mas Brian. Ingatan tersebut membuat dada seolah tertusuk belati tertajam. "Kata Pak Agung, Pak Bima sakit?" tanya Mas Adam membuyarkan pikiranku. "Hah, iya. Saya kurang enak badan, Pak," jawab Mas Bima terbata. "Tapi sekarang sudah sehat?" "Alhamdulillah sudah agak baikan, Pak Ustadz." "Tapi kenapa calon istri saya ada di sini?" Pandangan Mas Adam kini tertuju padaku. "Tidak baik seorang wanita berada di kamar lelaki yang bukan lagi mahramnya, sekalipun ada anak kecil diantara mereka." Aku hanya bisa menunduk, sungguh dada ini bergemuruh hebat. "Ayo kita pulang, perancang pakai
"Cepat Pa bobok lagi, Bunda udah di luar."Jantungku semakin berdegup kencang."Sekarang jam berapa, Nak?"Dzabir melihat jam, dua netraku juga tertuju ke sana."Sepuluh," ucapnya berbisik. Bersamaan dengan itu terdengar bel kamar berbunyi."Kamu bisa buka pintunya?" tanyaku pada Dzabir."Bisa, Pa."Putraku itu langsung turun dari ranjang dan membuka pintu, dan di sini di atas ranjang jantung semakin bertabuh kencang.Aku harus memejamkan mata dan berpura-pura sakit. Kututup seluruh tubuh dengan selimut, agar berkeringat dan kelihatan benar seperti orang sakit. Dalam selimut, aku mulai membayangkan apa yang kumimpikan tadi. Mengajak Nisa pergi. Sungguh tak mungkin kulakukan sebagai seorang muslim."Bund, Papa ada si kamar, udah nggak sanggup bangun."Jantung seolah turun ke perut. Aku benar-benar gugup."Biar Bunda kasih tahu penjaga hotel, siapa tahu mereka ada stok obat."Hah, aduh gawat. Untuk apa minum obat, sakitnya saja sudah berkurang. "Nggak usah Bund, Papa udah minum obat ko
Nisa mengangguk, sungguh lega terasa di hati. Meski tak dapat kembali, tapi setidaknya aku ingin membuat Dzabir benar-benar ikhlas menerima Adam sebagai ayah sambungnya.Tak lagi menunggu aku langsung mengajak anakku ke hotel. "Hati-hati ya Nak, jangan bikin Papa capek ya?"Nisa berpesan sebelum akhirnya menyerahkan sebuah tas berisi pakaian ganti untuk Dzabir. Kembali langkah ini tergerak, sampai keluar pagar Nisa masih memerhatikan.Ya Allah, kenapa harus berakhir begini?"Pa, kita menginap di hotel yang kemarin ya?""Iya Nak, nggak papa 'kan?""Nggak papa, Pa. Sekalian bisa mandi kolam. Boleh 'kan, Pa?""Boleh donk, kamu bisa berenang nggak?""Bisa," jawab Dzabir antusias."Mau lomba sama Papa?""Mau, tapi ada hadiah nggak?""Ada donk.""Hadiahnya apa, Pa?""Em apa ya? Bingung juga. Oo gini aja, yang menang Boleh minta apa aja sama yang kalah. Terus yang kalah harus menyanyi sambil joget-joget."Tawa Dzabir seketika pecah, melihat dia demikian rasa bahagia menyebar begitu saja di
"Ini tidak boleh terjadi!"Teriakan membuat semua mata kini tertuju padaku."Pak Bima, ada apa?" bisik Pak Agung ke telinga seperti menyadarkan dari khayalan. Aku menatapnya tanpa ada kata yang keluar dari bibir."Ada apa, Pak?"Karena aku seperti kebingungan, Pak Agung segera menarik diri ini keluar dari ruangan tersebut."Sudah Pak, lepaskan tangan saya."Pak Agung segera melepas tanganku."Maaf Pak, saya tidak bermaksud apa-apa. Apa Pak Bima sedang tidak sehat?"Aku menarik napas panjang lalu membuang perlahan."Iya Pak, saya ingin pulang saja.""Kalau begitu biar saya yang antar. Mari kita masuk ke mobil."Pak Agung membuka kunci mobilnya, setelah itu menelpon Pak Chandra. Setelah kami bertiga masuk ke mobil, Pak Agung segera menjalankan kendaraannya tersebut."Tadi itu Bapak kenapa?"Pak Agung kembali melempar pertanyaan."Saya hanya sedang mengenang masa lalu, Pak. Makanya seperti lepas kontrol.""Oh, hampir saja tadi saya berpikir macam-macam.""Macam-macam gimana Pak Agung?"
[Assalamualaikum Nisa, jam sembilan In Syaa Allah Mas dan keluarga akan bertamu ke rumah. Sekalian untuk proses lamaran ya. Kamu jangan repot-repot, Mas sudah hubungi chatering untuk menghandle acara hari ini. Kamu siap-siapkan saja diri dan Dzabir, pakai baju seadanya. Tidak usah mewah, tidak usah yang paling bagus. Karena pakai apapun kamu tetap cantik.]Aku terhenyak membaca pesan yang dikirimkan Mas Adam tepat di jam sepuluh malam. Kenapa jadi seperti ini, harusnya jika hanya acara lamaran saja, cukup dibuat sederhana. Aku, dia dan Mbak Hanum. Tapi kenapa malah pakai chatering segala.Kuhela napas panjang, hati semakin riuh bergemuruh. Bagaimana cara menolak, ya?[Iya Mas, tapi kenapa harus pakai chatering lagi. Apa nggak cukup kita bertiga aja?][Kasihan tetangga Nisa, mereka 'kan juga ingin mendapat keberkahan dari acara kita.]Jika membicarakan keberkahan, aku tak mungkin beralasan lain. Semoga jalan ini menjadi pilihan terbaik ya Allah. Dua netra menerawang jauh menatap buah h