Hari bahagia itupun tiba, Nirmala benar-benar cantik dalam balutan baju pengantin rancanganku. Bak seorang putri, dia duduk dengan paripurna menyeimbangi Mas Bima yang tak kalah memesona. Melihat mereka duduk bersanding, aku jadi teringat masa sepuluh tahun silam.
Saat dimana Mas Bima berhasil memenangkan hati ini hingga kami sempurna menjadi sepasang suami istri. Hari itu dengan begitu gagah dia mengikat janji setia bersamaku, dan hari ini aku kembali melihatnya segagah dahulu. Hanya saja kegagahan itu sekarang sudah tak lagi kumiliki seorang diri.
Kumengerjap beberapa kali, ada yang berusaha mendesak keluar dari pelupuk mata. Tapi sekuat tenaga kutahan, ini hari bahagia jika aku menangis tentu akan banyak mata yang memandang kasihan pada diri ini.
Lamunan buyar ketika beberapa sanak keluarga dekat sampai ke rumah ini. Mereka hanya menyalamiku tanpa berkata apapun, pelukan erat seolah mewakili sekian banyak ucapan penyemangat yang seharusnya mereka ucapkan untukku.
Diantara seluruh yang menyalamiku, sanubari ini bergetar ketika sebuah doa dilangitkan dengan tulus oleh dokter Siska, dokter kandungan yang selama ini selalu menjadi tempatku berkonsultasi. Dia berdoa agar aku menjadi wanita yang kuat, tidak berputus asa, tetap bahagia seperti saat pertama kali ia mengenalku. Dan doa terakhirnya, dia meminta agar rumah tangga kami langgeng serta harmonis selamanya.
Aku memeluknya erat, iapun menyapu air mata yang menetas di wajah ini.
Ijab qabul diucapkan lantang oleh Mas Bima, aku menarik napas panjang. Ada yang menusuk dada ini dengan kuat, tapi kucoba untuk beristighfar meredakan cemburu yang sesuka hati merampas usaha untuk ikhlas. Ternyata seperti ini rasanya melihat suami bersanding dengan wanita lain, meskipun itu sudah kita ridhai sepenuh hati.
Tak lama, mama mertua mendekat, ia meminta agar aku maju ke depan. Memberikan doa yang tulus dari istri pertama untuk suami dan istri keduanya.
Sejujurnya kaki ini terasa begitu lemah, tak berdaya untuk melangkah karena hati masih diliputi kabut hitam. Namun, kucoba menguatkan diri. Aku menjabat tangan adik madu dan mencium kedua pipi lalu keningnya. Inilah wanita yang nanti akan mengarungi bahtera rumah tangga bersamaku dan Mas Bima. Hati tiba-tiba bergetar.
"Selamat adikku, kamu sudah sah menjadi istri Mas Bima. Berjanjilah untuk mendampinginya dalam suka dan duka."
Kuberi jeda pada ucapan sejenak, bibir bergetar menahan tangis.
"Iya Mbak, saya berjanji," jawabnya pelan.
"Berjanjilah pula ... untuk berusaha mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah bersamaku dan Mas Bima. Genggaman tangan kita harus lebih kuat Dik, karena mungkin akan lebih banyak cobaan yang akan kita hadapi nanti, sebab rumah tangga kita lebih besar. Ada saya juga kamu."
Dia mengangguk dan memelukku.
"Terima kasih, Mbak. Aku akan berusaha sebisa yang kumampu."
Kami saling memandang lalu perlahan kulepas tangannya. Tanpa sengaja melihat beberapa teman dan keluarga yang duduk di belakang Mala, mereka ikut menangis melihat kami. Jika pada biasanya dihari pernikahan diliputi canda tawa, tapi hari ini aku menyaksikan hampir semua tamu yang hadir di pernikahan Mas Bima justru menitikkan air mata.
Aku ingin berkata pada mereka, tolong jangan menangis. Karena jika kalian pun bersedih, hati ini akan lebih sakit.
Kuseka air mata yang telah membasahi kedua pipi lalu menyalami dan mencium tangan Mas Bima. Didetik ini, aku ingin luruh ke lantai, hati ini seperti patah. Tapi melihat senyum yang merekah di wajah lelaki yang sangat kucintai ini, aku mencoba setegar karang di lautan.
"Selamat Mas atas pernikahanmu ini."
Dia mengangguk, aku mendapatinya menunduk sejenak, lalu mengusap mata.
"Mas, aku hanya minta padamu satu hal, kamu harus adil dalam rumah tangga kita ini. Teruslah berusaha, aku yakin kamu bisa menjadi imam yang baik bagiku dan Mala."
Mas Bima mengangguk, dia mengusap punggung tanganku seraya berkata.
"In Syaa Allah, Mas janji. Terima kasih Sayang sudah menjadi wanita yang paling kuat."
Kusunggingkan selarik senyum, di depan istri kedua suamiku dan seluruh keluarganya, aku memeluk Mas Bima erat. Inilah cobaan terberat yang harus kuhadapi disepuluh tahun pernikahan dengan Mas Bima. Tidak ada yang paling sulit selain merelakan suami yang kita cintai membagi cinta dengan wanita lain.
Bahagia, entahlah. Tapi yang kutahu tujuan pernikahan ini sangat mulia. Namun, tak bisa hilang begitu saja, rasa sedih yang ikut membersamai. Biarpun begitu, aku sudah mematri niat untuk ikhlas dan berbesar hati. Yang paling utama adalah lebih mendominasikan diri pada rasa bahagia dengan sahnya Nirmala sebagai istri kedua suamiku.
Setelah memberikan doa, perlahan langkah ini kembali menjauh. Membiarkan penghulu menyampaikan beberapa nasihat pernikahan untuk keduanya.
Pandanganku entah kenapa terus tertuju pada Nirmala. Wanita cantik itu bukan orang asing di hidup Mas Bima. Dulu, dia adalah cinta pertama suamiku. Tapi sayang hubungan mereka kandas ketika Mala justru lebih memilih menjadi model dari pada memenuhi keinginan Mas Bima untuk menikah.
Hal itu pula yang membuka jalan hingga aku bisa bertemu dengan Mas Bima dan kamipun menikah.
Mas Bima adalah lelaki yang sangat baik. Meski hatinya pernah terisi oleh nama Nirmala, tapi setelah menikah denganku ia tak pernah sekalipun menyebut nama mantannya. Hati lelaki itu penuh untukku, hanya satu kekurangan yang menyebabkan dia harus berbagi cintanya. Aku tidak bisa memberi keturunan yang begitu diidamkan mama mertua dari anak lelaki semata wayang.
Dan kenyataan yang lebih membuat tercengang adalah keadaan dimana Nirmala sampai saat ini masih dengan kesendiriannya. Meski sudah memutuskan untuk berhenti dari dunia hiburan, tapi wanita itu belum juga berkeinginan untuk melangkah lebih jauh pada jenjang pernikahan. Lamarankulah yang membuatnya berpikir dua kali hingga akhirnya ia mengiyakan untuk menjadi istri kedua suamiku.
Sekian jam berlalu, Mas Bima dan Mala kini dituntun untuk mengadakan sesi foto-foto. Tawa bahagia ipar dan mama mertua membuat seulas senyum merekah di wajah ini. Aku memutuskan menjauh perlahan. Memilih memasuki kamar untuk menenangkan diri sejenak.
Masih tergambar bagaimana raut wajah Mas Bima penuh bahagia. Aku menyimpannya rapat di dalam dada, lalu memilih merebahkan diri di atas ranjang. Tak menunggu dua menit, air mata tumpah begitu saja saat kepala sudah bersentuhan dengan bantal busa kesayangan. Semalam aku dan Mas Bima ada di kamar ini dan mulai nanti malam hingga seminggu lamanya aku akan kehilangan dia untuk pertama kali. Ya Allah, mampukan aku untuk menjalani ini semua.
*
Sebuah tangan membelai lembut kepalaku, membuat dua netra terbuka perlahan. Entah pukul berapa aku tertidur, tapi saat ini kulihat suasana sudah mulai sedikit gelap.
"Mas Bima?"
Wajah lelaki itu tersenyum menatapku.
"Sudah sore, kamu pasti belum shalat," ucapnya lembut membuatku segera bangkit dari tidur.
"Nisa ketiduran."
"Tidak apa, masih ada waktu kok."
Dia mengusap dua mataku, mungkin tahu jika tadi dua netra ini telah lama basah. Kami saling terdiam beberapa waktu.
"Mas sekalian mau ijin," tuturnya kembali dengan suara lebih lirih. Aku mencoba tersenyum, bahkan untuk hal ini saja dia masih ijin padaku. Haruskah diri ini bahagia?
"Pergilah, Mas. Bahagiakan Nirmala di hari pernikahannya. Aku tidak apa."
Dia meraih jemariku dan mengecup kembali.
"Aku tidak tahu kamu bahagia atau tidak, tapi sungguh ada yang sakit di dalam sini."
Dia menunjuk dadanya lalu memelukku perlahan.
"Kamu harus bahagia Mas, aku mendoakan kalian."
Mas Bima kembali terdiam, tapi tiba-tiba dia memilih berbaring.
"Aku tidak jadi pergi, aku akan di sini saja bersamamu," ucapnya memeluk bantal.
Aku tahu dia merajuk, biasanya dia seperti ini jika tidak menyukai sesuatu. Apa dia tidak menyukai pernikahan ini?
"Kamu tidak boleh seperti ini Mas, ada tanggung jawab pada Mala yang harus kamu tunaikan."
Kuusap kepala Mas Bima, lalu menatapnya dari belakang. Ternyata dia menangis. Tidak boleh begini, aku harus membuatnya semangat.
"Aku akan menantangmu, Mas. Jika satu bulan setelah pernikahan ini Mala bisa hamil, aku akan memberimu sebuah hadiah."
Perlahan dia membalikkan badan, terlihat mengusap mata dengan punggung tangan.
"Mas tidak butuh hadiah, Mas hanya butuh kamu bahagia."
"Aku bahagia, sangat bahagia. Dan aku akan lebih bahagia jika Mala benar-benar hamil, Mas," ucapku dengan suara bergetar.
Dia menunduk sejenak lalu menarik napas. Ya Allah, hatiku begitu sakit, jujur aku tidak ingin sia pergi. Aku cemburu, sangat cemburu.
"Pergilah Mas, tunaikan kewajibanmu sebagai seorang suami. Jika tidak Allah akan marah padamu."
Kukeluarkan perkataan yang sebetulnya tidak diinginkan hati ini. Tapi demi kebaikan bersama dan demi apa yang sudah aku ridhai, aku harus berjuang menekan rasa cemburu.
Kami kembali saling memandang, tanpa berkata apapun lagi dia bangkit dari ranjang dan berjalan sampai di pintu kamar. Mas Bima berbalik sejenak untuk menatapku lalu membuka pintu tersebut dan melesat keluar.
"Selamat jalan Sayang, selamat berbahagia. Semoga istrimu segera diberi keturunan. Aku selalu mencintaimu."
*
Satu bulan kemudian ...
Benap sebulan sudah pernikahan poligami ini berjalan, syukur tidak ada kendala sejauh ini. Dan hari ini Mas Bima akan menginap di rumahku. Semenjak satu jam lalu aku sudah berdandan, memakai gamis berwarna pink muda serta tak lupa menyemprotkan minyak wangi kesukaannya.
Tak hanya diri yang terpoles, kamar pun sudah terlihat rapi dan wangi. Terdengar bunyi klakson mobilnya, jantungku melompat kegirangan. Tiga hari sudah kami tak bertemu, sungguh hati merindu luar dalam.
"Assalamualaikum."
"Waalaikum salam."
Seperti biasa, dia membuka sepatu lalu menungguku mencuci kakinya seraya membaca Bismillah. Sepuluh tahun kami selalu melakukan ritual ini, supaya langkahnya memasuki rumah bersih dan mendapatkan ridha Allah.
"Ayo masuk, Mas."
Mas Bima tersenyum, lalu menggandeng tanganku. Kami berjalan ke kamar. Wajahnya memancarkan aura tak biasa. Apakah ada sesuatu yang membuatnya sangat bahagia.
Setelah melayaninya sekitar satu jam, kami memilih duduk di balkon sembari menikmati dua gelas kopi panas dan cemilan. Diapun membuka percakapan.
"Mala hamil, Nis."
Aku tercenung sejenak. Ada bahagia yang menjalari tubuh perlahan.
"Benar Mas Mala hamil?"
Mas Bima mengangguk. Segera aku memeluknya, tanpa sadar air mata jatuh begitu saja membasahi pipi. Mala hamil di satu bulan pernikahannya, sementara aku bahkan sudah sepuluh tahun terlalui. Qadarullah tak ada satupun benih Mas Bima yang mampir di rahim ini.
"Selamat ya Mas, kamu akan menjadi seorang Papa," ucapku dengan suara bergetar.
Aku merasakan air matanya ikut jatuh membasahi pundak. Sepertinya Mas Bima amat senang dengan kehamilan Mala hingga ia menangis terharu.
"Terima kasih Sayang, sebentar lagi kita akan dipanggil Bunda dan Papa," ucap Mas Bima seraya melerai pelukan.
"Memangnya aku juga boleh mendapatkan panggilan Bunda?"
Mas Bima mengangguk.
"Anak itu kelak akan memanggil Mala Mama dan memanggilmu Bunda."
Kusunggingkan selarik senyum sebagai wujud bahagiaku atas kehamilan istri kedua Mas Bima. Semoga dengan kehadiran bayi ini, Mas Bima bisa merasakan seutuhnya bagaimana menjadi seorang Papa.
***
Bersambung.
Keesokan paginya, Mas Bima ditelpon ibundanya. Mama mertua meminta agar suamiku pulang karena ternyata di kediaman Mama mertua dibuat syukuran kecil-kecilan untuk merayakan kehamilan Mala. Pagi itu juga kami berangkat.Melakukan perjalanan kurang lebih tiga jam akhirnya kami sampai di rumah mama mertua. Beberapa mobil sudah terparkir di halaman rumah mewah keluarga suamiku itu. Mas Bima pun memarkirkan mobilnya di belakang mobil Sarah, adik ipar.Dari kejauhan aku dapat melihat adik maduku Mala, dia berdiri di teras rumah sembari berbicara dengan adik dan kakak iparku. Mala tampak begitu cantik dan menawan, tentu saja karena dia adalah seorang model yang usianya lebih muda lima tahun denganku dan Mas Bima. Aku dan suami lahir di tahun yang sama, hanya berbeda bulan.Mas Bima menggenggam jemari tanganku dan mengajak mendekati saudara dan istri keduanya. Saat kedatangan kami terlihat oleh Mala, dia langsung terkesiap. Jika aku tidak salah menangkap, dua netranya tertuju pada jemariku ya
"Aku mabuk perjalanan kalau duduk di belakang."Mala tidak mau masuk ke dalam mobil karena Mas Bima memintanya duduk di belakang."Yaudah Mas, biar aku aja yang duduk di belakang."Akhirnya aku mengalah dan membiarkan Mala duduk di sebelah Mas Bima. Kami masuk ke mobil, melambaikan tangan pada mama dan ipar kemudian kendaraan roda empat inipun melaju meninggalkan Kota Bandung menuju Jakarta. "Nanti setiap kali kita pergi bersama, kamu dan Mbak Nisa duduknya bergantian di sini ya. Biar adil."Mas Bima mengatur kami seperti seorang ayah mengatur dua anaknya. Aku dan Mala hanya mengiyakan, masih canggung jika disatukan begini. Perjalanan kurang lebih tiga jam ini terasa begitu panjang, karena aku lebih banyak diam mendengar Mas Bima dan Mala berbicara. Mereka saling sambut suara, apalagi jika membicarakan masa lalu. Kelihatan seperti sedang bernostalgia.Wahai hati, janganlah engkau cemburu. Karena cemburu pada istri suamimu yang lain itu petaka, dari cemburu syaitan bisa menggelapkan m
[Di dalam lemari ada hadiah untukmu.]Sebaris kalimat yang dituliskan Mas Bima di selembar kertas membuat langkah ini buru-buru menuju lemari. Kapan dia meletakkan surat untukku di meja ini, padahal semalam adalah jatahnya bersama Mala? Hmmm, jadi penasaran. Segera jemari membuka lemari.[Selamat ulang tahun, terima kasih telah menjadi wanita tercantik di dunia. Kamu tak hanya memiliki wajah yang mengilap, tapi hatimu senantiasÙxlxa bercahaya terang. Laksana mutiara di tengah lautan, kamulah istri shalihah yang kecantikannya mengalahkan bidadari syurga. Terima kasih telah menjadi istri yang luar biasa sempurna untukku, Sayang. Di hari ulang tahunmu ini, aku hanya ingin mengatakan bahwa aku sangat-sangat mencintaimu. Semoga Allah selalu menjaga ikatan pernikahan kita ini sampai jannah. Love you my wife.]Seulas senyum terbit begitu saja tatkala aku membaca sebuah surat lainnya yang diletakkan di atas sebuah kotak. Segera kubuka kotak tersebut, begitu bahagia ketika tahu isi di dalam k
Bagai terhempas dari gedung tertinggi, jantung ini seketika berhenti berdetak.Mas Bima kecelakaan? Ya Allah ...Tanpa pikir panjang, aku segera keluar dari rumah. Melajukan sepeda motor dengan kecepatan tinggi hingga tiba di rumah sakit. Tanpa jeda langkah kini tertuju ke meja resepsionis. Ternyata Mas Bima sudah hendak di dorong ke ruang operasi hanya menunggu kedatangan keluarga untuk menandatangani surat persetujuan.Tak teringat lagi untuk berkonsultasi pada siapa, karena menurut dokter tindakan operasi harus dilakukan sesegera mungkin. Agar perdarahan yang terjadi pada kepalanya bisa teratasi dan harapan hidup pasien akan menjadi lebih besar.Mendengar kata harapan hidup saja setengah ragaku seperti terserabut paksa. Ya Allah, bagaimana kecelakaan ini terjadi sampai Mas Bima bisa separah ini?Setelah menandatangani surat persetujuan tersebut, aku dipersilahkan duduk di depan ruang operasi."Ijinkan saya melihat suami saya sekali saja Dok sebelum operasinya berlangsung."Aku memo
"Mbak Nisa?"Kusapu air mata yang mengalir lalu menatap siapa yang kini menyapa."Dokter Siska?""Ngapain di sini, siapa yang sakit?" tanyanya ramah."Suami dok, Mas Bima kecelakaan.""Kecelakaan?"Dokter Siska tampak begitu terkejut. "Iya Dok, kejadiannya tadi siang dan sekarang Mas Bima sudah selesai dioperasi tapi masih dalam keadaan koma.""Innalillahi, boleh saya jenguk?"Aku menarik napas sejenak."Mama Mas Bima ada di dalam, beliau juga melarang saya untuk masuk karena menganggap kecelakaan ini terjadi karena ulah saya, Dok."Dokter Siska tampak terperanjat. "Bagaimana bisa dia beranggapan seperti itu?"Sekilas aku menceritakan kejadian tadi siang pada Dokter Siska, termasuk ketika aku menceritakannya pada Mala."Barangkali Mala yang memberitahu ibu mertua Mbak Nisa akan hal ini.""Saya tidak tahu, Dok.""Yasudah jangan bersedih, aku yakin nanti ketika Mas Bima sudah sadar. Dia akan menjelaskan semuanya. Tetap semangat Mbak Nisa, jangan berputus asa dan terus langitkan doa ag
Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Tidak halal bagi seorang wanita meminta (kepada suaminya) agar sang suami mencerai wanita lain (yang menjadi istrinya) dengan maksud agar sang wanita ini memonopli ‘piringnya’, sesungguhnya hak dia adalah apa yang telah ditetapkan untuknya”. (Hadîts muttafaq ‘alaih).***Tak mau berpura-pura tak mendengar, aku langsung saja melempar mereka dengan pertanyaan."Mama dan Mala ingin aku dan Mas Bima bercerai?"Mereka berdua serempak terkejut dengan kedatanganku."Ngomong apa kamu Nisa, datang-datang main nyerang aja.""Nisa dengar tadi Mama ngomong, setelah Mala melahirkan Mas Bima pasti akan menceraikanku.""Kita nggak pernah menyebut kata cerai. Mama sama Mala lagi membicarakan temannya Bima si Chacha yang lagi bermasalah dengan suaminya. Kamu kalau bicara jangan asal nuduh, bisa kena pasal pencemaran nama baik.""Nisa nggak asal nuduh, Ma. Nisa dengar dengan telinga sendiri Mama ngomong begitu.""Makanya kamu jadi manusia yang benar
"Terima kasih atas segala kebaikan Mas kepada suami saya, semoga Allah membalasnya dengan rahmat yang lebih besar," ucapku seraya membangkitkan tubuh dari atas bed."Eh, Mbak mau kemana?""Saya mau pulang, Mas."Dia mencoba menghentikan gerakanku. "Bentar Mbak, tadi sesuai hasil pemeriksaan-"Aku tidak menggubris ucapannya, bahkan saat beberapa suster datang kuabaikan mereka untuk kemudian berlari keluar dari ruangan itu.Hati masih tak bisa berdamai dengan kenyataan yang baru saja kudengar. Teganya mama mertua mengatakan tak punya biaya, sementara ia sudah menerima bantuan dana sebesar seratus juta untuk pengobatan Mas Bima. Bukankah seharusnya itu cukup tanpa perlu meminta bantuan pada keluarganya Mala. Apa memang biaya yang diperlukan begitu besar? Atau mama memang sengaja membuat Mas Bima seolah berhutang budi, dan nantinya apapun keinginan Mala akan dipenuhi termasuk menceraikanku?Rasa sakit dan kecewa semakin kentara terasa. Aku tak boleh menyerah. Dalam gemelut hati yang tak
Lautan luas tak kuasa menenggelamkan Kalimur Rahman (Musa a.s). Itu, tak lain karena suara Agung kala itu telah bertitah, "Sekali-kali tidak akan tersusul. Sesungguhnya, Rabb-ku beserta, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku." (Q.S. Asy-Syuara:62)Ketika bersembunyi dari kejaran kaum kafir dalam sebuah gua, Nabi Muhammad s.a.w yang Ma'shum mengabarkan kepada Abu Bakar bahwa Allah Yang Maha Tunggal dan Maha Tinggi ada bersama mereka. Sehingga rasa aman, tenteram dan tenang pun datang menyelimuti Abu Bakar. Mereka yang terpaku pada waktu yang terbatas dan kondisi yang (mungkin) sangat kelam, umumnya hanya akan merasakan kesusahan, kesengsaraan, dan keputusannya dalam hidup mereka. Itu, karena mereka hanya menatap dinding-dinding kamar dan pintu-pintu rumah mereka. Padahal, mereka seharusnya menembuskan pandangan sampai ke belakang tabir dan berpikir lebih jauh tentang hal-hal yang berada di luar pagar rumahnya.Maka dari itu jangan pernah merasa terhimpit sejengkalpun, karena setia
Aku dan Mas Adam segera menyusul Sarah ke dalam ruang ICU."Tidak boleh berbarengan ya, Bu. Masuknya satu orang saja."Seorang suster langsung menghentikan langkah kami."Kamu saja yang masuk, mungkin Dzabir ingin melihat Papanya," ucap Mas Adam menyuruhku yang masuk sementara dia menunggu di luar. Dengan berat hati aku dan Dzabir melangkah ke dalam dan mendapati Mas Bima sudah dikerumuni banyak tenaga kesehatan dan seorang dokter. Jantung ini seketika berdegup kencang."Ada apa, Sarah?" tanyaku penuh khawatir."Tiba-tiba jantungnya lemah, Mbak. Kasihan Mas Bima, Semoga Allah memberi umur panjang," ucap Sarah dengan kedua mata berkaca-kaca."Sarah kamu pegang Dzabir ya, biar Mbak cari Mama sama Mbak Ara. Mbak takut terjadi apa-apa pada Mas Bima, sementara Mama belum sempat menjenguknya.""Iya, Mbak."Aku pun kembali keluar dari ruangan ini, Mbak Hanum ternyata sudah duduk di kursi tunggu bersama Mas Adam."Bagaimana keadaan Bima, Nis?" tanya wanita itu."Denyut jantungnya lemah, Mbak
"Nisa, Mbak mau bicara sama kamu. Oya, mereka siapa?"Wajahku tertuju pada Sarah dan yang lain. Sementara di dalam dada, jantung berdegup kencang. "Mereka ... adalah keluarga dari mantan suami saya, Mbak."Mbak Hanum seperti terkejut, apa Mas Adam sudah mengatakan pada beliau perihal Mas Bima? Ya Allah, kenapa perasaan ini semakin dihujam rasa bersalah."Oh jadi ini keluarga mantan suami kamu?"Kuanggukkan kepala, sementara wajah Mbak Hanum tertuju pada Mbak Ara."Perkenalkan saya Hanum, calon kakak iparnya Nisa."Pandanganku segera tertuju pada keduanya. Dua netra Mbak Ara membulat, bahkan Sarah dan mama pun sama."Jadi Nisa udah mau nikah?"Mbak Hanum tak menjawab, dia justru menatapku seolah ingin aku yang menjawab pertanyaan tersebut."Iya, Mbak," jawabku terbata. Sungguh tak dapat kugambarkan perasaan kini. Apalagi saat melihat Mama menundukkan wajahnya, bahkan menutup kedua mata. Ya Allah, tolong bantu hamba keluar dari keadaan yang sulit ini."Tapi apa kamu sempat bertemu Bima
Dengan memendam segenap kekecewaan, Adam berjalan meninggalkan tempat dimana dia dan Nisa berbicara dari hati ke hati.Tiga tahun bukan waktu yang cepat, mencari alasan yang kuat untuk berumah tangga. Itulah yang dilakukannya selama ini pada Nisa. Berawal dari pertemuan di pasar hingga tumbuhlah benih yang kala itu ia sebut pertanda mungkin jodoh. Ia tak langsung menetapkan hati justru memilih untuk mengenal secara diam-diam.Namun kenyataannya, tiga tahun itu tak berguna sebab semua hancur setelah tahu bahwa Nisa lebih berat pada mantan suaminya.Ia pulang membawa kekecewaan. Sampai di rumah, Adam langsung masuk ke kamar, kebetulan di rumahnya ada sang Kakak yang tampak sibuk mempersiapkan beberapa hal menyangkut pernikahannya. Hanum merasa ada yang berbeda, ia segera menyusul Adam ke kamar."Habis dari mana kamu, Dam?""Habis ketemu Nisa di rumah sakit.""Siapa yang sakit?""Mantan suaminya.""Lo, mantan suami Nisa ada di kota ini?"Adam tampak mengangguk, memilih menjatuhkan tubuh
Segera kugendong Dzabir dan menidurkannya di kursi tengah mobil. Lalu di malam buta ini kendaraan yang kunaiki akhirnya membelah langit kelam menuju rumah sakit. Berbagai pertanyaan tak henti menyeruak dalam dada, tentang Mas Bima yang kenapa sampai tiba-tiba koma, juga tentang pernikahanku yang tinggal menghitung hari. Apa sebenarnya yang kuinginkan, benarkah bersama Mas Adam adalah keinginan? Dalam kegundahan hati, keraguan itu semakin jelas. Hanya ribuan doa yang teriring dalam setiap tarikan napas. Berharap Allah bulatkan keinginan untuk memilih yang terbaik. Tetap bersamanya atau menyudahi. Sementara itu, kendaraan roda empat ini terus berputar hingga sampai di depan sebuah rumah sakit, putraku Dzabir ternyata terbangun dari lelapnya tidur. "Bund, kita ada dimana?" "Di rumah sakit, Nak." "Siapa yang sakit?" "Papa." Dia tampak sangat terkejut. Sambil mengecek bola mata, Dzabir bangkit ke posisi duduk bersandar. "Papa sakit apa, Bund?" "Bunda juga belum tahu Nak, kita tany
Jantung ini seperti berhenti berdetak saat mendapati Mas Adam berdiri di depan kamar Mas Bima. Tatapannya kini tertuju pada mantan suamiku, membuat pandangan inipun tertoleh ke belakang. Aku membuang napas berat saat menyaksikan Mas Bima hanya memakai singlet dan memakai celana selutut serta memeluk selimut. Bayangan kejadian masa lalu terlintas begitu saja, saat lelaki itu memergokiku tengah bersama Mas Brian. Ingatan tersebut membuat dada seolah tertusuk belati tertajam. "Kata Pak Agung, Pak Bima sakit?" tanya Mas Adam membuyarkan pikiranku. "Hah, iya. Saya kurang enak badan, Pak," jawab Mas Bima terbata. "Tapi sekarang sudah sehat?" "Alhamdulillah sudah agak baikan, Pak Ustadz." "Tapi kenapa calon istri saya ada di sini?" Pandangan Mas Adam kini tertuju padaku. "Tidak baik seorang wanita berada di kamar lelaki yang bukan lagi mahramnya, sekalipun ada anak kecil diantara mereka." Aku hanya bisa menunduk, sungguh dada ini bergemuruh hebat. "Ayo kita pulang, perancang pakai
"Cepat Pa bobok lagi, Bunda udah di luar."Jantungku semakin berdegup kencang."Sekarang jam berapa, Nak?"Dzabir melihat jam, dua netraku juga tertuju ke sana."Sepuluh," ucapnya berbisik. Bersamaan dengan itu terdengar bel kamar berbunyi."Kamu bisa buka pintunya?" tanyaku pada Dzabir."Bisa, Pa."Putraku itu langsung turun dari ranjang dan membuka pintu, dan di sini di atas ranjang jantung semakin bertabuh kencang.Aku harus memejamkan mata dan berpura-pura sakit. Kututup seluruh tubuh dengan selimut, agar berkeringat dan kelihatan benar seperti orang sakit. Dalam selimut, aku mulai membayangkan apa yang kumimpikan tadi. Mengajak Nisa pergi. Sungguh tak mungkin kulakukan sebagai seorang muslim."Bund, Papa ada si kamar, udah nggak sanggup bangun."Jantung seolah turun ke perut. Aku benar-benar gugup."Biar Bunda kasih tahu penjaga hotel, siapa tahu mereka ada stok obat."Hah, aduh gawat. Untuk apa minum obat, sakitnya saja sudah berkurang. "Nggak usah Bund, Papa udah minum obat ko
Nisa mengangguk, sungguh lega terasa di hati. Meski tak dapat kembali, tapi setidaknya aku ingin membuat Dzabir benar-benar ikhlas menerima Adam sebagai ayah sambungnya.Tak lagi menunggu aku langsung mengajak anakku ke hotel. "Hati-hati ya Nak, jangan bikin Papa capek ya?"Nisa berpesan sebelum akhirnya menyerahkan sebuah tas berisi pakaian ganti untuk Dzabir. Kembali langkah ini tergerak, sampai keluar pagar Nisa masih memerhatikan.Ya Allah, kenapa harus berakhir begini?"Pa, kita menginap di hotel yang kemarin ya?""Iya Nak, nggak papa 'kan?""Nggak papa, Pa. Sekalian bisa mandi kolam. Boleh 'kan, Pa?""Boleh donk, kamu bisa berenang nggak?""Bisa," jawab Dzabir antusias."Mau lomba sama Papa?""Mau, tapi ada hadiah nggak?""Ada donk.""Hadiahnya apa, Pa?""Em apa ya? Bingung juga. Oo gini aja, yang menang Boleh minta apa aja sama yang kalah. Terus yang kalah harus menyanyi sambil joget-joget."Tawa Dzabir seketika pecah, melihat dia demikian rasa bahagia menyebar begitu saja di
"Ini tidak boleh terjadi!"Teriakan membuat semua mata kini tertuju padaku."Pak Bima, ada apa?" bisik Pak Agung ke telinga seperti menyadarkan dari khayalan. Aku menatapnya tanpa ada kata yang keluar dari bibir."Ada apa, Pak?"Karena aku seperti kebingungan, Pak Agung segera menarik diri ini keluar dari ruangan tersebut."Sudah Pak, lepaskan tangan saya."Pak Agung segera melepas tanganku."Maaf Pak, saya tidak bermaksud apa-apa. Apa Pak Bima sedang tidak sehat?"Aku menarik napas panjang lalu membuang perlahan."Iya Pak, saya ingin pulang saja.""Kalau begitu biar saya yang antar. Mari kita masuk ke mobil."Pak Agung membuka kunci mobilnya, setelah itu menelpon Pak Chandra. Setelah kami bertiga masuk ke mobil, Pak Agung segera menjalankan kendaraannya tersebut."Tadi itu Bapak kenapa?"Pak Agung kembali melempar pertanyaan."Saya hanya sedang mengenang masa lalu, Pak. Makanya seperti lepas kontrol.""Oh, hampir saja tadi saya berpikir macam-macam.""Macam-macam gimana Pak Agung?"
[Assalamualaikum Nisa, jam sembilan In Syaa Allah Mas dan keluarga akan bertamu ke rumah. Sekalian untuk proses lamaran ya. Kamu jangan repot-repot, Mas sudah hubungi chatering untuk menghandle acara hari ini. Kamu siap-siapkan saja diri dan Dzabir, pakai baju seadanya. Tidak usah mewah, tidak usah yang paling bagus. Karena pakai apapun kamu tetap cantik.]Aku terhenyak membaca pesan yang dikirimkan Mas Adam tepat di jam sepuluh malam. Kenapa jadi seperti ini, harusnya jika hanya acara lamaran saja, cukup dibuat sederhana. Aku, dia dan Mbak Hanum. Tapi kenapa malah pakai chatering segala.Kuhela napas panjang, hati semakin riuh bergemuruh. Bagaimana cara menolak, ya?[Iya Mas, tapi kenapa harus pakai chatering lagi. Apa nggak cukup kita bertiga aja?][Kasihan tetangga Nisa, mereka 'kan juga ingin mendapat keberkahan dari acara kita.]Jika membicarakan keberkahan, aku tak mungkin beralasan lain. Semoga jalan ini menjadi pilihan terbaik ya Allah. Dua netra menerawang jauh menatap buah h