Share

4. Pertengkaran Hebat

Author: Wahyuni SST
last update Last Updated: 2022-06-21 15:14:55

"Jangan terus menyebut pisah, Ma. Kita tidak boleh berpisah, jika memang Mama tidak setuju ...."

Mas Wisnu menarik napas panjang.

"Papa akan melepas Dita. Yang penting kita tetap bersama, kasihan anak-anak Ma jika pada akhirnya tahu kedua orang tua mereka justru bercerai."

Suara Mas Wisnu terdengar berat, aku tak menjawab karena satu kata lagi saja keluar dari mulut ini, maka tangisku akan pecah. Kubekap kembali mulut sekuat tenaga. Dia tak lagi berbicara. Hingga waktu yang lama, kami terus terbalut dalam kebisuan tentunya dengan dua kegundahan yang berbeda.

Jam terus bergulir, kini mata terasa lelah untuk terbuka dan ingin sekali kupejamkan walau sejenak. Namun, dering ponsel membuat kedua netraku kembali terbelalak.

Siapa yang sudah menelpon, apa Dita?

Mengingat nama sahabatku itu, rasanya amarah menyerbu kewarasan. Teganya dia menjadi yang ketiga diantara aku dan Mas Wisnu. Benarkah dia tidak tahu sama sekali jika yang menikahinya adalah suamiku?

Kutarik napas berat lalu membalikkan tubuh, sepertinya Mas Wisnu sudah tertidur. Suara ponselnya pun ia tak bereaksi. Dering pertama berhenti, kini lanjut dering kedua. Tubuhku sudah melongok hingga bisa menatap pada layarnya tulisan DT. Apa yang dia maksud Dita?

Tiba-tiba tubuh Mas Wisnu menggeliat, aku terperanjat hingga memutuskan kembali berbaring dan menarik selimut hingga menutupi kepala.

Terasa tempat tidur bergerak, tampaknya Mas Wisnu sudah bangkit dan mengecek ponselnya. Tak lama ...

"Ma, Papa pergi dulu ya. Papa akan selesaikan semuanya malam ini juga. Maafkan Papa," bisiknya kemudian mengecup kepalaku dari balik selimut. Aku menerima meski hati teramat gaduh. 

Rasanya ingin sekali kuhentikan langkah itu dan kembali kuhujani dengan ribuan kata-kata kekecewaan, tapi bibir ini kelu, badan bahkan tak bisa bergerak walau hanya untuk berbalik. 

Kurasakan kini Mas Wisnu sudah menuruni ranjang. Aku membuka sedikit selimut ingin tahu hendak kemana langkahnya tertuju. 

Ternyata dia keluar kamar sembari melihat layar ponsel.

Hati ini kembali menahan rasa sakit, pasti Mas Wisnu ingin pergi ke rumah Dita. Kutarik napas dalam. Ya Allah, kembalikan suamiku. Sungguh, diantara kekecewaanku padanya. Aku masih berharap rumah tangga ini utuh. Aku akan belajar memaafkan meski mungkin akan terasa berat. Bukan tersebab hati ini tak sakit, tapi tiga buah hati yang membutuhkan kami di sisi mereka.

Setelah terdengar mobil Mas Wisnu menjauh, dengan berat kulangkahkan kaki menuju kamar mandi untuk berwudhu. Jika jiwa menemukan keresahan, sajadahlah tempatku bersimpuh. Jika masalah yang menghampiri terasa amat berat hingga aku ingin berputus asa, hanya Allah sebaik-baik tempat mengadu. Aku butuh bimbingan, aku butuh penerang hati ini untuk dapat mengambil sikap terbaik atas cobaan yang tengah kuhadapi.

Shalat tahajjud empat rakaat sudah selesai, kini lanjut witir tiga rakaat. Usai witir, dengan hati yang tak henti berucap istighfar dan air mata yang terus membasahi pipi, kutengadahkan kedua tangan.

Ya Rabb, hatiku sakit, lelaki yang teramat kupercaya telah mengkhianati diri. Apa yang harus kulakukan, maaf jika hati belum sanggup berbagi. Maaf jika diri tak siap diduakan. Bukan aku menolak syariatmu. Tapi aku tak siap terluka. Aku sakit bahkan ketika hanya melihatnya melirik wanita lain. Apalagi jika benar harus berbagi cinta. Aku tak mampu ya Allah. Tunjukkan yang terbaik dari-Mu ya Rabb.

Setelah menumpahkan segala resah hati, tubuh kembali kutarik ke atas ranjang. Dingin, tidak hanya tubuh yang terasa menggigil, tapi hati serasa beku. Mata terus teralih pada ranjang kosong yang ada di sebelah.

Sedang apa mereka di sana, benarkah yang dikatakan Mas Wisnu tadi, bahwa dia akan melepas Dita? Bagaimana jika sebaliknya, dia justru kembali terjerat dengan pesona sahabat durjanaku itu?

Hati terasa tersayat-sayat. Ibarat sebuah cermin, kini tiap bagianku telah pecah. Bisakah sempurna menyatu? Jika memang benar dia akan melepas Dita, bisakah hati kembali menerimanya dengan lapang dada.

Ingatan ini kembali terlempar pada tiga buah hati yang ada di rumah. 

Masih jelas di pandangan bagaimana kebahagiaan mereka tatkala menyambut sang ayah pulang setelah lama tak bertemu. Usia mereka memang bukan lagi anak-anak, tapi kedekatannya sama Mas Wisnu bahkan tak beda saat ketiganya masih balita.

Ya Allah, bagaimana jika mereka tahu papanya sudah menikahi wanita lain? Pasti perasaan mereka hancur. Lalu bagaimana jika karena masalah ini, aku dan Mas Wisnu memutuskan untuk bercerai. Sungguh aku tak ingin jiwa mereka rusak hanya karena perceraian kedua orang tuanya.

Bimbing hamba ya Allah ...

Beri kami yang terbaik.

*

Entah pukul berapa semalam aku tertidur, tapi saat kedua mata ini terbuka. Kudapati Mas Wisnu sudah tertidur di samping.

Entah jam berapa semalam dia pulang, tapi tampaknya lelaki itu masih terlelap dengan membawa sejuta beban. Tampak dari mata dan wajahnya.

Meski baru terbuka, otak ini kembali berputar.

Aku harus mencari keberadaan ponsel Mas Wisnu, entah kenapa penasaran dengan chat antara lelaki ini dengan Dita. Apakah sama dengan yang aku baca kemarin di ponsel wanita itu?

Dengan mengatur degup di dada, kumencari keberadaan benda pipih tersebut. Ternyata ada di saku celananya. Pelan, aku memasukkan jemari, dan menarik benda tersebut. Biasa Mas Wisnu kalau sudah tidur, tidak akan sadar kalau hanya diberi sedikit sentuhan. Kecuali sentuhan sedikit kuat disertai memanggil nama.

Berhasil, benda itu kini ada di tanganku.

Segera kubuka aplikasi W******p. Mata langsung tertuju pada nama DT.

Tak ada satupun pesan di dalamnya, pasti Mas Wisnu sudah menghapus. Ternyata lelaki memang lebih hati-hati menutupi kesalahannya.

Kuletakkan kembali benda itu, lalu bangkit ke kamar mandi. Pagi ini aku akan memutuskan untuk bertemu Dita, kami harus duduk berbicara. Apapun itu Dita, harus siap mundur.

Aku masih duduk di atas sajadah, saat kulihat dengan ekor mata Mas Wisnu bangun dari lelapnya tidur. 

"Mama sudah bangun, kenapa tidak bangunin Papa?"

Huh, dia masih bicara seolah tak pernah melakukan kesalahan besar. Kuabaikan! Hati masih sakit menerima perselingkuhannya.

Mas Wisnu bangkit dan duduk di hadapanku, masih dengan pakaian kemarin.

"Tolong jauhi Mama," ucapku penuh penekanan. Mas Wisnu menghela napas lalu mengangkat tubuh menuju kamar mandi.

Apa sebenarnya yang sudah terjadi antara dia dan Dita tadi malam? 

Padahal ingin sekali kutanyakan. Terutama tentang kenapa dia tega memfitnahku pada Dita. Tapi ah, mulut ini bahkan enggan berbicara padanya.

Mas Wisnu keluar dari kamar mandi, dengan cepat aku bergerak naik ke atas ranjang. Terlihat lelaki itu mulai melaksanakan shalat.

Aku diam, jangan pikir aku sepenuhnya sudah berdamai Mas, aku sedang membaca keadaan dan mencari tahu, kemana langkah akan menuntunku saat ini.

Lelaki itu sudah selesai shalat. Dia beranjak ke atas ranjang.

"Jangan seperti ini Ma, biacaralah walau sepatah kata pada Papa."

Aku menatapnya tajam.

"Apa yang harus Mama bicarakan pada lelaki yang bahkan tega memfitnah demi bisa diterima sebagai suami, meski statusnya masih suami dari wanita lain?"

Tatapan dan pertanyaanku membuat sorot matanya melemah.

"Benarkan Papa ngomong ke Dita kalau Mama yang nggak mau ikut ke Kalimantan, terus Papa juga yang ngomong kalau Mama di Jakarta selingkuh."

Wajah Mas Wisnu terlihat kebingungan, dua alisnya tertaut.

"Papa nggak pernah ngomong seperti itu. Papa cuma bilang ke Dita, kalau Papa sudah punya istri dan tiga orang anak. Tapi buat dia itu nggak masalah. Papa juga bilang jika status pernikahan sama dia sampai kapanpun cuma untuk dibawah tangan. Itupun dia oke."

Astaghfirullah, mendengar ucapan Mas Wisnu, aku terus beristighfar.

"Oke karena Papa belum jadi miliknya. Setelah memiliki, tentu akan timbul dalam diri Dira keinginan untuk diakui. Lalu, bagaimana mungkin dia bisa dapat pengakuan jika tanpa persetujuan Mama? Yang pada akhirnya tentu dia akan meraunh-raung minta Papa mengemis sama Mama supaya mengijinkan Papa menikahi dirnya secara sah. Mama udah paham Pa, trik pelakor ngerebut hati laki orang. Belum lagi nanti kalau dari rahimnya lahir seorang bayi, tentu anak itu juga butuh pengakuan seorang ayah. Yang jelas, nikah kedua kalau didasari nafsu, hasilnya tak baik. Apalagi jika dilakukan sembunyi-sembunyi, seperti yang Papa lakukan ini. Papa merusak segalanya, hati Mama, kepercayaan dan cinta yang Mama punya, Pa."

Air mataku mengalir kembali. Tak dapat kututupi kekecewaan yang menghujam diri.

"Tolong Ma, jangan menangis lagi. Kasih tahu apa yang Mama mau? Papa janji akan melakukannya. Asal jangan begini terus, Mama bisa sakit."

Pandangan kami kembali bertemu. Dia tanya mauku? Apa jika kuberitahu dia akan bisa memenuhinya?

"Papa tanya apa yang Mama mau? Apa Papa yakin bisa memenuhinya jika Mama sebutkan keinginan Mama?"

"Papa janji, Ma. Asal jangan bercerai."

"Baik, jika Papa tidak mau kita bercerai. Maka putuskan hubungan Papa dengan Dita."

Dua netra Mas Wisnu membelalak.

"Ini permintaan yang berat, Ma. Janganlah yang ini, tolong minta yang lain."

"Kenapa? Karena Papa masih mencintainya? Masih belum puas berbulan madu?"

"Bukan itu, Ma. Dita sekarang istri Papa juga. Bagaimana kalau dia hamil, tentu Papa punya tanggung jawab pada anak yang ada dalam kandungannya itu."

"Kalau begitu, tinggalkan Mama," bentakku dengan tangis yang seketika kembali pecah.

"Mama tolong mengertilah. Jangan bercerai, Ma. Bagaimana perasaan anak-anak kita jika tahu kedua orang tuanya memilih bercerai? Pasti mereka akan tersakiti."

"Papa tidak tega menyakiti mereka, tapi Papa tega menyakitiku."

"Ma, kasih kesempatan untuk Papa membuktikan bahwa Papa bisa adil pada Mama dan juga Dita."

Hah? Jantung ini serasa ada yang menghunus dengan tajam. Dia bahkan tega berkali-kali menabur garam pada lukaku yang dia tabur sebelumnya.

"Maaf Pa, tidak sampai kapanpun."

"Apa alasan Mama menolak Papa berpoligami?"

"Astaghfirullah, Papa. Sekarang Mama tanya sama Papa, apa alasan Mama menerima Papa poligami? Apa Mama mandul? Tiga orang anak sudah Mama beri. Apa Mama berpenyakitan hingga tak bisa layani Papa? Nggak. Bahkan saat kita bertemu, Papa minta sampai berkali-kali pun Mama sanggup. Nggak ada alasan poligami yang disyariatkan yang Papa punya untuk meminta kesetujuan Mama."

"Tapi ini sudah terjadi, Ma. Papa mohon Mama legowo sedikit saja."

"Apapun yang Mama lakukan dalam pernikahan, semua Mama niatkan demi mendapat ridha Allah. Bagaimana mungkin Mama menerima Dita, jika hati Mama tidak rela. Mama takut jika ketidakridhaan ini akan mengubah perasaan Mama kepada Papa, akan membuat Mama membenci bahkan mendoakan Papa yang tidak baik. Sebab keikhlasan bukan hanya untuk diucapkan dalam lisan saja, tetapi untuk dilakukan sungguh sungguh dengan hati dan diwujudkan dengan tindakan. Jika Papa tidak bisa meninggalkan Dita. Tidak masalah. Toh, Mama juga tidak boleh meminta Papa menceraikan wanita itu. Tapi tolong, lepaskan Mama."

Mas Wisnu terdiam seribu kata. Apalagi yang bisa dia katakan. Sebagai istri yang sudah membersamainya selama belasan tahun, kini dia membuatku tak berarti apapun dalam pernikahan kami.

Aku dan Mas Wisnu masih terdiam, hingga terdengar suara pintu diketuk. Air mata yang mengalir di kedua pipi kuusap perlahan. 

"Papa buka pintunya dulu."

Mas Wisnu berjalan ke luar kamar. 

Karena merasa tak enak hati, akupun ikut keluar untuk mengecek siapa yang datang. 

Dua netra ini kini menatap tamu itu, yang tengah beradu mulut dengan Mas Wisnu di ruang tamu.

Dialah sahabat durjana yang kini menjadi adik maduku. Sudah kukatakan, dia tidak akan menunggu hamil untuk minta diakui. 

Lihatlah Mas, apa yang kukatakan benar bukan?

***

Bersambung

Terima kasih.

Utamakan baca Al-Quran.

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Anggiria Dewi
banyak bawang nya ...
goodnovel comment avatar
KokoSan
baguasshalwa iyim
goodnovel comment avatar
KokoSan
lumayaanlah
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   5. Kesaksian Dita

    "Ijinkan aku bicara sebentar saja Mas dengan Dila.""Kumohon jangan sekarang, Dit.""Kenapa, Mas? Aku mau menjelaskan semuanya. Tentang kita yang sudah tidak bisa terpisahkan lagi. Tolong, Mas."Aku mendengar semuanya. Jadi ini maunya? Baik, aku akan memberi apa yang dia mau, tapi sebelumnya, biar kuajarlan bagaimana sakitnya menginginkan sesuatu dengan cara yang tidak baik."Siapa, Mas?"Aku pura-pura tidak tahu. Lalu berjalan hingga mendekati mereka berdua. Barulah kupasang wajah marah."Dila, aku minta maaf sama kamu. Sungguh aku tidak tahu jika Mas Wisnu adalah suamimu."Aku menatapnya tenang, meski hati sekuat tenaga ingin mengamuk."Sekarang kamu 'kan sudah tahu semuanya, maka mundurlah. Aku sebagai istri pertama merasa tersakiti dengan pernikahan kalian yang terjadi tanpa sepengetahuanku. Coba kau ada di posisiku, Dit. Suami yang kau cintai ternyata tega menikah diam-diam dengan wanita lain yang ternyata adalah sahabatmu sendiri. Bagaimana perasaanmu, Dit?"Dia terdiam. "Terus

    Last Updated : 2022-07-04
  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   6. Melepasnya Dengan Berat Hati

    "Kenapa? Papa takut 'kan karena sudah menikah tanpa sepengetahuan Mama?""Papa benar-benar minta maaf, Ma.""Tidak cukup dengan kata maaf saja, Pa. Mama mau Ibu tahu persoalan ini. Beliau yang lebih paham secara agama tentu punya pandangan yang lebih baik. Apakah benar caramu meminta Mama bersedia menerima poligami atau sebaliknya."Mas Wisnu tak dapat lagi menjawab, wajahnya menunduk lemah."Hari ini juga Mama mau pulang. Papa ikut atau mau bersenang-senang lagi dengan istri muda di pulau ini?""Tolong jangan bicara seperti itu, Ma."Aku membuang wajah, sedang Mas Wisnu tampak menghela napas berat, seolah merasa pilihan yang kuberi sangat berat untuk dia jalani. Menyadari hal demikian, tanpa menunggu aku segera meraih ponsel untuk mengecek tiket seorang diri."Papa ikut sama Mama, biar Papa yang pesan tiketnya."Dia menghentikan tanganku lalu mengeluarkan ponsel untuk mengecek tiket pesawat. Beberapa kali ia menekan tombol pada layar ponsel hingga akhirnya mengatakan,"Selesai. Kebe

    Last Updated : 2022-07-04
  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   7. Tangis Lara Wisnu

    [Handphone Wisnu dari tadi sore sudah dihubungi, tapi tidak bisa terhubung, Dila. Apa kamu punya nomornya yang lain?][Nggak, Ma. Seharian ini aku juga belum menghubunginya.][Atau coba telpon ke perusahaannya aja, Dil. Siapa tahu mereka bisa menyampaikan kabar duka ini pada suamimu. Kasihan Wisnu Dil, jika sampai besok pagi dia tidak pulang, kemungkinan besar jenazah langsung dikebumikan, walau nantinya Wisnu pasti akan kecewa karena tak dapat melihat sang Ibu untuk terakhir kali.][Iya, Ma. Biar Dila coba nelpon.]Hati teriris, tapi aku mencoba tegar. Dengan perasaan tak karuan akhirnya aku menelpon Mas Wisnu. Siapa tahu sudah aktif.Jurusan yang anda tuju sedang berada diluar jangkauan.Ternyata benar kata Mama, nomornya tidak aktif. Dasar lelaki, mau lanjut drama apa lagi Mas Wisnu bersama Dita?Ya Allah, hati ini seperti teremas-remas dengan kuat. Bayangan bahwa semua yang dikatakan Mas Wisnu kemarin adalah bohong kini memenuhi kalbu. Apa jangan-jangan, dia sengaja mengatakan jik

    Last Updated : 2022-07-04
  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   8. Noda Pernikahan

    POV WisnuAku berjalan dengan perasaan resah, perkiraan bahwa semua akan berjalan baik-baik saja ternyata seratus delapan puluh derajat tak sama. Yang semula tertutup rapat kini terbuka secara gamblang. Tak menunggu lama, bahkan istri pertamaku tahu pernikahan kedua ini hanya dalam hitungan satu bulan.Sungguh bak memakan buah simalakama. Aku masih sangat mencintai Dila, terlebih dari pernikahan kami sudah ada tiga buah hati yang begitu kusayangi. Namun, meninggalkan Dita pun tak dapat aku lakukan. Sebab kenyataan, wanita itu pun sudah sedemikian mengisi hati ini."Semua bukan salah Dita."Aku meyakinkan diri sendiri bahwa rahasia ini terkuak bukan karena Dita yang sengaja membocorkan tapi entah siapa yang menjadi dalang dibalik semuanya. Siapapun itu, kenyataan Dila sudah mengetahui, kini yang harus aku lakukan adalah meyakinkan Dila agar bisa menerima kehadiran Dita, begitu pula dengan anak-anak.Kuleluarkan ponsel dalam saku celana dan menelpon Raul. Sahabat yang sudah mengenalka

    Last Updated : 2022-07-04
  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   9. Tak Seperti Khayalan

    Setelah mempertimbangkan dengan matang, aku memutuskan untuk tidak menjalankan saran Raul. Hatiku menciut jika harus berbohong untuk kedua kalinya. Maka, tidak ada pilihan lain, meski terlihat tak adil tapi aku harus melepaskan Dita. Demi keutuhan rumah tanggaku bersama Dila. Renungan sebelum akhirnya dua netra ini terpejam perlahan.Tepat jam dua belas malam, netra ini terbuka karena merasakan getaran ponsel. Dita mengirim pesan dan memintaku menemuinya.Padahal tadi aku dan Dila baru saja bertengkar hebat hingga diri tertidur tanpa sadar.Mungkin ini saatnya kuselesaikan semua. Kubalikkan tubuh dan mendapati Dila sudah tertidur dengan tubuh sepenuhnya tertutup selimut."Ma, Papa pergi dulu ya. Papa akan selesaikan semuanya malam ini juga. Maafkan Papa."Kukecup kepala Dila dari balik selimut lalu perlahan keluar dari mess. Langkah kini menjejak rumah istri keduaku, walau sudah lewat tengah malam, Dita tetap menyambut seperti biasa, dengan pelayanan prima. Gaun selutut dan rambut te

    Last Updated : 2022-07-05
  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   10. Kecemburuan Wisnu

    Aku sampai di depan perusahaan dimana selama ini Fanya bekerja. Netra kualihkan ke segala penjuru untuk memastikan keberadaan adik sepupuku itu. Dan di kejauhan beberapa meter, terlihat seorang gadis cantik berhijab melambaikan tangannya.Itu dia Fanya.Diripun menarik langkah mendekat."Hai Fan, udah lama nunggu?""Baru juga, Mbak. Ayo Mbak masuk."Aku dan Fanya kini sudah memasuki lobi dan duduk sejenak di kursi tunggu. Beberapa orang lalu lalang dan saling melempar sapa pada adik sepupuku. Tak menyia-nyiakan kesempatan, Fanya pun mengenalkan diri ini pada hampir semua teman-temannya yang menyapa.Tak lama, seorang lelaki berbadan tegap dan cukup berwibawa masuk melalui pintu utama. Aku menajamkan penglihatan.Astaghfirullah. Raka? Kenapa bisa ada di perusahaan ini?"Mbak, itu lo direktur di perusahaan ini."Suara Fanya bagai busur yang memanah tepat di jantung. Aku tidak mungkin bekerja di sini, jika berkepalakan lelaki yang dulu kutolak cintanya karena lebih memilih Mas Wisnu.

    Last Updated : 2022-07-06
  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   11. Tak Beradab

    "Angkat saja, Bi. Letakkan di pinggir jalan. Palingan ini cuma penipuan," ucapku lantang. Sengaja supaya Dita segera bangkit jika memang sedang bermaksud membuat drama."Diletakkan di pinggir jalan, Bu? Tapi sepertinya wanita ini tidak berbohong. Dia benaran pingsan, Bu."Mendengar ucapan Bu Surti membuat diri ini pada akhirnya memilih berjongkok dan mengecek napas serta keadaan mata. Kuangkat tangannya lalu kulepas, jatuh seketika.Sepertinya Dita memang tidak sedang berbohong, dia benar-benar pingsan. Apa maunya sih perempuan ini? Kenapa dia kemari dan malah pingsan begini?Aku melirik jam di tangan, sebelum Mas Wisnu pulang, aku harus segera membawanya ke tempat lain.Segera aku menelpon grab dan meminta dijemput. Hanya berselang lima menit, kendaraan itu sampai di depan rumah."Tolong bantu saya Bi, angkat perempuan ini ke mobil.""Oh baik, Bu.""Mama mau kemana?""Mama pergi ke rumah sakit sebentar ya Nak, nganterin Bunda ini.""Emang dia siapa sih, Ma?""Mama juga nggak kenal. T

    Last Updated : 2022-07-08
  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   12. Talak Yang Diucapkan Wisnu

    Dada ini berdegup kencang mendengar ucapan Rifka. Entah kenapa rasa takut mengerjap.[Pengakuan apa, Rif?][Gimana ya, em tapi Mbak selidiki lagi ya kebenarannya.][Iya, cepat katakan, Rif.][Mas Wisnu semalam bawa perempuan ke hotel, Mbak. Temanku yang ngomong. Dia bahkan kirim barang bukti sebuah foto Mas Wisnu sama perempuan itu. Aku kirim ke hp Mbak, ya.][Iya, Rif.][Tapi Mbak nanti kalau nanyakan sama Mas Wisnu jangan bawa-bawa nama aku ya, Mbak.][Iya, Rif. Mbak nggak akan bawa nama kamu. Makasih ya, Rif.][Iya, Mbak. Sama-sama. Sedih aja aku, Mbak. Ibu baru aja menutup usia, tapi Mas Wisnu sudah begituan sama perempuan lain. Pokoknya Mbak harus kuat, ya. Jangan sampai kalah sama pelakor.][Iya, sayang. Makasih ya.][Iya, Mbak.]Kututup telpon dari Rifka. Selama ini Rifka dan ibu memang sangat menyayangiku, terlebih apapun yang diberikan Mas Wisnu kepada keluarganya, sedikitpun tak pernah kutahan. Selama kebutuhanku dan anak-anak terpenuhi, ya biarlah. Ibu juga sudah renta, jad

    Last Updated : 2022-07-08

Latest chapter

  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   67. Akhir Kisah (TAMAT)

    "Semua salah Papa, Kak. Papa yang sudah membuat keluarga kita hancur."Wisnu berucap dengan suara bergetar dan dua matanya yang basah. Hal itu membuat Safia ikut menangis. Terenyuh dengan keadaan, Dila mendekati sang anak dan memeluknya."Sudah jangan menangis, Nak."Ia mengusap kepala sang anak yang berbalut hijab."Benarkah tidak ada kesempatan kedua untuk Papa, Ma?"Dila menghela napas dalam, wajahnya menatap Wisnu sejenak."Mama sudah pernah mengatakan hal ini, Kak. Kesempatan kedua selalu ada, tapi masalahnya saat ini Mama adalah seorang janda dari lelaki lain. Perasaan Mama sudah berbeda, ada cinta yang berusaha ingin Mama jaga untuk almarhum Abi Farhan. Tapi seandainya saat ini Mama tidak pernah dipertemukan Allah dalam sebuah mahligai yang suci bersama Abi, mungkin Mama akan menerima untuk kembali bersama Papa."Dia memberi jeda pada ucapannya."Mas Wisnu, apa Mas ridha dengan keputusan saya ini?"Wisnu menatap Dila lalu berpindah pada sang anak, detik berikutnya dia mengangg

  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   66. Pilihan Berat

    Perasaan Dila seketika berubah, yang tadi sepenuhnya diliputi bahagia kini berganti cemas. Dia menutup telpon."Kenapa, Ma?"Hamid bertanya juga dengan perasaan khawatir."Safia sedang menemani Papa di rumah sakit.""Rumah sakit, Papa kenapa, Ma?""Mama belum tahu, Nak."Mereka terdiam sejenak."Yaudah gini aja, Papa biarkan sama Safia. Nanti setelah semua tamu undangan meninggalkan rumah ini, kita sama-sama ke rumah sakit ya."Dila memberi solusi."Jangan Ma, Mama ke rumah sakit aja nemani Safia. Kalau Papa parah, pastinya dia ketakutan. Di sini biar aku sepenuhnya yang handle."Dila menghela napas berat, situasi ini benar-benar tidak dia kehendaki. Tapi inilah yang dinamakan takdir, ia harus ikhlas dan mencoba melakukan yang terbaik. Hamid benar, di sana Safia pasti ketakutan. Terdengar dari suaranya di telpon yang bergetar. Dila tidak mungkin membiarkan anak gadis itu berjuang seorang diri. Meski tidak untuk melakukan apapun, tapi setidaknya bisa mendampingi buah hati tercinta.*

  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   65. Berdamai Dengan Takdir

    Detik berikutnya ia menghela napas berat."Menikah bukan perkara mudah Kak, umur Mama sekarang sudah lima puluh tahun. Sudah tidak cocok lagi untuk menikah.""Kenapa Ma, bahagia 'kan tidak perlu memikirkan orang lain. Jika kita bahagia, umur tujuh puluh tahun pun boleh menikah.""Iya Sayang, tapi permasalahannya nggak semudah yang Kakak pikir. Mama bahkan masih merasa Abi membersamai Mama hingga detik ini. Jadi Mama tidak bisa menikah kembali dengan Papa. Mama mohon Kakak sama anak Mama yang lain bisa mengerti ya, Nak."Safia menatap wajah sang ibu dengan tatap kekecewaan, tapi diusia yang kini sudah menginjak 21 tahun, dia tentu memahami perasaan sang ibu. Ya, mungkin cinta Mama ke Abi masih terlalu besar, hingga tak mampu jika harus kembali pada papa. Ia kembali melipat rapat keinginan melihat Mama-Papanya bisa tersenyum bersama dalam satu rumah.*Dila berbaring di atas ranjang, pandangannya lurus menatap langit-langit kamar yang hanya bersinarkan cahaya remang lampu tidur. Permin

  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   64. Permintaan Anak-Anak

    Mereka duduk di teras villa milik Wisnu, sejenak hening. Keduanya benar-benar diliputi kecanggungan."Mas mau bicara apa?" tanya Dila terlihat begitu tenang. Sedang di tempatnya, Wisnu merasa teramat berdebar. Seakan kembali ke jaman dahulu saat hendak meminta sang wanita menjadi istri, kini perasaan itu kembali membersamai."Apa kabar?"Bingung mau menanyakan apa, akhirnya Wisnu berbasa basi menanyakan kabar.Dila justru tersenyum. "Mas 'kan hampir setiap minggu ketemu saya. Apa Mas menemukan saya dalam keadaan tidak baik?"Mereka saling memandang, detik berikutnya sama-sama tertawa kecil. Alhamdulillah, setidaknya ini awal yang baik setelah tadi sempat memanas. Hati Wisnu berkata."Maksud Mas bukan kabar yang itu?""Jadi kabar apa lagi?"Wisnu memaksakan diri untuk tersenyum. Sepertinya dengan bertambah umur, kosakata jadi berkurang? Lelaki itu menarik napas dalam."Maksud Mas kabar hati kamu. Yah, setelah Farhan tiada?""Beginilah Mas, sepi. Sebab dia adalah lelaki yang bisa memb

  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   63. Cinta Untuk Dila

    "Kamarmya luas banget ya, Ma. Duh, sepi kalau cuma kita berdua. Coba aja ada Adek, Faro sama Papa.""Kak."Dila tampak tak senang dengan perandaian sang anak anak. Membuat Safia tersenyum mengatup mulut, merasa salah berucap yang pada akhirnya membuat mamanya tak suka. Gadis itu memilih mengganti topik pembicaraan."Gimana kalau kita ke kolam renang, Ma?"Dila menghela napas dalam."Yaudah, yuk."Dila mencoba menghubungi Fatma dan mengajak ke kolam renang, tapi wanita itu menolak secara halus karena anak-anak sama ayahnya lagi ada kegiatan di kamar. Mereka berencana menyusul sekitar satu jam kemudian.Safia tampak menerima telpon.[Iya Mas, lagi dimana?][...][Hah? Di sini juga. Sama siapa?][....][Oh gitu, jadi ramai-ramai sama teman?][...][Sama keluarga.][....][Ketemuan?]Safia menatap sang Mama.[Lain kali aja deh, lagi family time soalnya.][...][Sorry yah.][...]Safia menutup telpon dengan perasaa tidak enak. Selama ini memang sang Mama kerap mengingatkan untuk tidak terl

  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   62. Setelah Tujuh Tahun Berlalu

    Tujuh tahun, rasanya masih kurang waktuku mendampinginya. Mas Farhan, lelaki yang selama ini menemani dengan penuh kasih dan cinta akhirnya menutup mata diusia ke lima puluh lima tahun.Sedih? Ya. Jiwaku seperti kembali menemukan kehampaan. Selama pernikahan kami, dia memberi apa yang kubutuhkan. Tak ada satu hal pun yang membuatnya bisa menaruh amarah padaku, dia terlalu baik dan bahkan bagiku jelmaan bidadara.Bersamanya, hanya ada Ammar yang kini berusia enam tahun dua bulan. Meskipun baru duduk di kelas satu SD, tapi dia sangat paham akan kehilangan yang kami semua rasakan. Dua hari terlewati, putraku tersebut masih berteman dengan kebisuan.Ya, bagaimanapun selama ini dia begitu dekat dengan Abinya. Perpisahan ini tentu meninggalkan goresan dalam sanubari. Aku mencoba menghibur, tapi dia justru memintaku untuk membiarkannya sendiri.Ya Allah ...Semoga keadaan segera membaik. Juga hati ini, semoga segera menemukan kembali ketenangan dan keceriaan. Karena bagaimanapun, bahagia an

  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   61. Penolakan Wisnu

    "Assalamualaikum Pak Wisnu, saya boleh menumpang di mobil Bapak tidak? Kebetulan mobil saya mogok. Dan sore ini saya harus sudah punya sebuah hadiah yang akan saya berikan untuk Uminya anak-anak. Kebetulan hari ini adalah hari milad beliau.""Tentu boleh Ustadz. Mari masuk.""Ini entah sejalan atau tidak, tapi saya minta diantar sampai ke toko sepatu saja Pak Wisnu."Wisnu terhenyak saat mendapati Ustadz Syafiq memintanya mengantar ke toko sepatu. Mimpi beberapa malam lalu kembali terlintas. Ah, tapi ia abaikan ingatan itu. Menurutnya mimpi hanya bunga tidur, tidak usah terlalu dipercaya.Lelaki itu kembali menjalankan mobil, sampai di depan sebuah toko sepatu Ustadz Syafiq turun dan berterima kasih telah memberi tumpangan."Ustadz yakin saya tidak perlu menunggu?""In Syaa Allah Pak, nanti saya naik taksi saja. Terima kasih sekali sudah mau mengantar sampai di sini.""Sama-sama Ustadz, yasudah saya pamit duluan ya."Wisnu kembali menjalankan mobilnya tapi seketika terhenti saat melih

  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   60. Jodoh Wisnu

    Hamid telah selesai menjalani bakti di PMDG Ponorogo. Setelah melalui serangkaian acara pelepasan dari ponpes, akhirnya Dila dapat memeluk kembali putra pertamanya itu. Walau hanya sebentar karena setelah ini justru dia akan kehilangan sang putra lebih lama dan besar kemungkinan untuk tidak dapat dijenguk seperti dahulu saat masih di Gontor. Karena Hamid telah dinyatakan lulus pada seleksi ujian masuk ke Universitas Al-Azhar, Mesir.Dila sekeluarga kompak dengan pakaian berwarna hijau muda. Mereka terlihat begitu bahagia, memeluk sang anak dan menyempatkan diri berfoto untuk terakhir kali di ponpes tersebut.Sementara itu Hamid terlihat gelisah, ia terus melirik jam di pergelangan tangan. Seseorang yang janjinya juga akan datang belum jua sampai. Ia masih menunggu kehadiran sang Papa. Karena diliputi rasa khawatir, akhirnya ia meminta ponsel yang dititip pada sang mama selama mengikuti pendidikan. Tujuannya hanya satu, menelpon papa.Pamit sebentar ke tempat yang lebih sepi, Hamid me

  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   59. Perjuangan Berbuah Bahagia

    Satu tahun kemudian ...Tangis bayi terdengar membelah langit subuh kala itu. Air mata Dila jatuh di kedua pipi. Sang suami mengusap perlahan. Rasa sakit karena kontraksi yang terus menerjang rahim terbayar sudah dengan merasakan gerakan jemari kecil sang bayi yang kini diletakkan di atas perut untuk mencari-cari puting susunya.Farhan mengusap bulir keringat yang membasahi pelipis, pelan mengecup kening sang istri dengan lembut."Makasih ya, Ma. Kamu sudah menyempurnakanku sebagai seorang ayah."Dila menanggapinya dengan senyuman serta usapan pada pipi sang suami."Mau diberi nama apa Ma bayinya?"Dila kembali menatap sang suami. "Mama serahkan sama Abi aja, karena tebakan Mama salah."Dila mengulum senyum, selama hamil mereka memang sepakat untuk tidak mencari tahu jenis kelamin.Namun, mereka menyiapkan dua nama, jika perempuan Dila yang beri nama. Dan jika lelaki maka Farhanlah yang memberi nama anak mereka.Farhan terlihat berpikir sejenak. Sebuah nama memang kerap melintas di b

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status