Sesampai di mess, denyut jantung sudah berdegup tak karuan. Tidak bisa kukatakan lagi bagaimana berkecemuknya jiwa, hati yang ingin menjerit sekencang-kencangnya. Meski beberapa kali menarik dan membuang napas panjang, tapi perasaan masih saja seperti badai. Bergejolak kesana kemari.
Dengan gemetar, kugerakkan tangan untuk menelpon Mas Wisnu. Degup di dada semakin berpacu.
Ya Allah, tolong tenangkan lah jiwa ini.
Panggilan masuk
Tut .
[Hallo Ma]
Aku menggigit bibir yang bergetar tiba-tiba, pita suara ini bahkan tak bisa mengeluarkan suara. Ingin rasanya menangis dan meraung-raung, tapi tidak bisa.
[Hallo, Mama ...]
[Iya, Pa]
[Mama nggak papa 'kan?]
[Nggak Pa. Papa dimana sekarang?]
[Papa masih dijalan, Mama udah pulang?]
[Udah. Kapan Papa pulang?]
Aku mencoba sekuat tenaga untuk tidak memangis, meski sejujurnya hati menjerit.
[Papa baru bisa pulang nanti malam, Ma. Ini masih ada kegiatan sama boss]
Alasannya sama, di sana dia membuat pengakuan boss minta jemput. Padahal kedapatan ada aku di rumah Dita. Lalu sekarang ketika aku mengajak bicara, dia beralasan boss lagi. Padahal pastinya sudah kembali ke rumah Dita untuk bersenang-senang.
Sayangnya, aku tidak bisa lagi kamu tipu, Mas. Aku sudah memegang kartu merahmu.
[Oya nggak papa, Pa. Mama tunggu Papa pulang.] jawabku dengan rasa sakit yang sedemikian besar.
[Yaudah, baik-baik ya, Ma]
[Iya, Pa.]
Kututup telpon lalu menghempaskan diri ke atas ranjang. Kedua mata kini sudah basah oleh cairan, dada ini terasa begitu sesak. Sedang hati mendadak terasa perih.
Mas Wisnu, teganya kau menipuku Mas. Kau katakan pada Dita bahwa aku yang bersalah. Aku yang selalu menolak ajakanmu ke Kalimantan. Lalu kau katakan aku berselingkuh. Semuanya adalah dusta. Padahal kau yang melarangku ikut denganmu, kau juga yang berselingkuh dengan sahabatku sendiri.
Kenapa kamu setega ini padaku Mas. Padahal kita menikah bukan setahun dua tahun, tapi tiga belas tahun, Mas.
Tak adakah dari semua kebaikanku dan kesabaranku yang bisa membuatmu mengunci hatimu, Mas?
Sekujur tubuh terasa lemah. Kubiarkan air mata mengalir tanpa jeda. Jika dengan menangis bisa menghilangkan segala duka. Maka akan aku lakukan sampai tak ada lagi air mata yang bisa keluar.
Sakit, sakit rasanya dikhianati. Apalagi oleh seseorang yang kita anggap tidak akan pernah menyakiti.
Ya Allah, apa salahku, hingga tega Mas Wisnu menduakanku dengan wanita lain? Apa kurangnya diri ini, betapa aku melupakan semua karir demi berbakti padanya, mengurus anak dan rumah tangga kami. Tapi dengan begitu mudahnya ia berpaling, menodai kesucian cintaku yang begitu sempurna untuknya.
Jam terus bergulir. Aku tak bangkit kecuali untuk menunaikan shalat magrib. Tepat pukul delapan malam, terdengar deru mobil Mas Wisnu memasuki halaman. Masih enggan, aku bangkit untuk membukakan pintu.
Dia menatapku dan menyunggingkan selarik senyuman. Tapi aku menerimanya dengan perasaan sakit dan terluka.
"Mata Mama kok bengkak, wajah Mama juga pucat? Mama pasti belum makan 'kan? Ini Papa bawakan Mama nasi khas kota ini," ucapnya sembari menyerahkan dua buah kotak nasi.
Tak ingin menyalaminya, aku hanya meraih dan melangkah masuk lebih dulu. Tapi ternyata Mas Wisnu menghentikan, dia sepeti hendak merangkul tubuh ini. Namun, dengan segera aku mengelak. Membuat lelaki itu sedikit terkejut.
"Mama kenapa?"
Pertanyaannya membuat dua netraku kembali basah. Padahal tadi aku sudah tidak bisa lagi menangis.
"Mama buatkan kopi untuk Papa, ada bubuknya sama gula?"
"Em ... Nggak ada, Ma. Papa nggak pernah buat apapun di rumah, kalau mau ya tinggal beli," ucapnya kini duduk di kursi tamu.
Kenyataan semakin jelas, kemana kubawa hati yang sudah tak lagi berwujud ini?
"Rumah ini juga tampaknya sudah lama tak ditempati ya, Pa? Mama lihat dapurnya berdebu?" tanyaku lagi dengan sekuat tenaga menutupi gemuruh di dada.
"Kalau tidak tidur di sini, Papa mau tidur dimana lagi? Cuma ini satu-satunya rumah yang Papa punya saat ini. Kalau kelihatan kotor, namanya yang ngurus cuma Papa doank. Ya Mama tahu sendirilah gimana kalau lelaki ngurus rumah.
Astaghfirullah, andai yang kamu katakan ini benar, Mas. Maka aku adalah wanita paling beruntung di dunia punya suami jujur dan setia. Tapi kenyataannya? aku benar-benar tak ingin percaya jika ternyata kamu telah mendua.
Meski hati ini sakit, diri kini duduk di kursi di hadapan Mas Wisnu. Mata kami sejenak saling memandang. Kembali pelupuk ini terasa hangat. Dua mata itukah yang telah terpikat pada pesona wanita lain?
"Anak-anak gimana saat Mama pergi tadi? Ada nanyain Papa, nggak?"
Mendengar pertanyaan itu, hatiku semakin terasa perih. Apa yang harus kulakukan? Setelah tahu semua kebohongan Mas Wisnu, masih bisakah aku bertahan, demi menjaga perasaan tiga putra putriku yang masih sangat membutuhkan sosok kedua orang tuanya?
Ya Allah .
"Anak-anak sehat, Pa. Hanya tadi Rizky yang menangis saat Mama pergi. Tapi sudah berhasil didiemin sama Neneknya.
"Kita telpon mereka, ya? Papa kangen."
Tanpa menungguku mengiyakan, Mas Wisnu langsung mengeluarkan ponsel dan melakukan video call ke Jakarta.
[Hallo Sayang]
[Papa ...]
Jeritan anak-anak membuat tulangku terasa ngilu.
[Papa kapan pulang, aku kangen, Pa.]
Anak kami nomor dua berbicara. Dia memang yang paling dekat dengan papanya karena menjadi satu-satunya yang cantik diantara dua yang lain.
[In Syaa Allah segera ya, Nak. Ini ada Mama di sini.]
Mas Wisnu mengarahkan ponsel padaku. Aku memaksakan diri tersenyum.
[Mama curang, pergi ke tempat Papa nggak ajak kami]
Wajah mereka bertiga kini tampak di layar handphone. Hatiku semakin terluka.
[Maaf ya, Sayang. Lain kali Mama ajak, tadi itu ada dadakan banget.]
[Iya, Ma. Jangan lupa bawa pulang oleh-oleh ya, Ma]
[Iya, Nak]
[Dada Mama, dada Papa]
[Dada Sayang ....] ucapku dan Mas Wisnu berbarengan.
Ya Allah, begini sempurna sudah kebahagiaan kami. Kenapa Mas Wisnu bisa berpikir untuk mendua.
Aku membuang napas berat. Sejenak mata kembali menatapnya. Gemuruh di dada semakin menjadi.
"Papa sayang nggak sama Mama dan ketiga anak-anak kita?" tanyaku dengan segenap luka yang masih berusaha kututupi.
"Mama kok nanya gitu? Ya pastinya sayang, kalau nggak mana mungkin Papa mau jauh-jauh kerja sampai terabaikan gini hidup Papa. Semua demi kalian, supaya kalian bisa tidur enak, makan enak, pakai baju bagus, kemana pergi nggak harus kepanasan naik motor."
"Tapi Mama lebih milih hidup sederhana asalkan tidak kehilangan kesetiaan seorang suami, Pa."
"Maksud Mama apa."
"Pa, tolong jawab dengan jujur pertanyaan Mama ini? Benar hanya Mama satu-satunya wanita yang bertahta di hati Papa?"
Mas Wisnu terhenyak. Tapi wajahnya kini menunduk.
"Tolong jujur, Pa. Mama hanya butuh kejujuran dari Papa."
"Kejujuran apa sih, Ma?"
"Mama sudah tahu semuanya, Pa. Mama hanya butuh Papa yang jujur."
Mas Wisnu kini bangkit dan bersimpuh di kakiku. Dan ini membuatku semakin hancur.
"Maaf Ma. Maafkan Papa. Papa khilaf," ucapnya disertai isakan.
Astaghfirullah, aku memegang dada yang terasa begitu nyeri.
"Sudah sejauh mana, Pa?"
Sejenak hening, sampai akhirnya Mas Wisnu berbicara.
"Kami sudah menikah."
Air mata tak dapat lagi kubendung. Mengalir begitu saja di kedua pelupuk.
"Sejak kapan?"
"Satu bulan ini, Ma."
Lemah sekujur tubuh mendengar kesaksiannya. Aku harus menunggu apa lagi?
"Kalau begitu, biarkan Mama yang mundur."
"Tidak Ma, tidak ada yang akan mundur. Tak ada sedikitpun cinta Papa berkurang untuk Mama, semua masih utuh. Papa sangat mencintai Mama, dan Papa mencintai Dita pada sudut hati Papa yang lain. Papa minta maaf karena tidak jujur, Papa hanya tidak ingin Mama terluka."
"Tapi andai Papa tahu, seperti ini Mama hancur, Pa. Dita adalah sahabat Mama. Karena dialah Mama ke kota ini. Tapi apa yang Mama dapat? Justru perselingkuhan Papa yang terkuak. Kenapa Papa tega sama Mama? Jika LDR menjadi alasan, bukankah Mama sudah pernah minta ikut tapi Papa melarang."
Mas Wisnu terdiam, dia mengecup kedua tanganku.
"Maafkan Papa, Ma."
Aku memejam mata, permintaan maafnya terasa amat sakit terdengar di telinga.
"Lalu kenapa, Pa? Apa Mama sudah tak cantik lagi di mata Papa?"
"Tidak Ma, bukan itu."
"Lalu apa, Pa?"
"Papa mencintainya dan Papa juga mencintai Mama. Kalian adalah dua wanita dengan kelebihan masing-masing. Papa mohon Mama bisa mengerti perasaan Papa ini."
"Tidak, Pa. Mama tidak bisa mengerti, banyak kok lelaki diluar sana yang bisa hanya dengan mencintai satu wanita. Jadi, kalau Papa mencintainya, maka tetaplah bersama dia. Mama mundur."
"Jangan Ma, Papa mohon. Kasihan anak-anak."
Tak sanggup mendengar lagi kata-kata Mas Wisnu, akhirnya kulepas kedua tangan lalu berjalan kembali ke kamar."
Kuhempas tubuh ini di atas ranjang, lalu menutup wajah dengan selimut. Air mata kini mengalir tanpa jeda. Lelaki yang sangat kupercaya, yang cinta untuknya tak pernah berubah semenjak ijab Qabul terucap, lelaki yang sudah memberiku tiga orang putra dan putri, kini telah membagi cintanya untuk wanita lain.
Sedih, marah, kecewa, semua kini menyatu dengan jiwa. Kemana harus kulabuhkan segala duka, jika yang menjadi cobaan adalah sumber kekuatanku selama ini.
Ya Allah ... Apa yang harus kulakukan?
Terdengar ranjang berderit, tanda Mas Wisnu kini naik ke atasnya.
"Mama ...."
Tangan lelaki itu merangkulku dari belakang.
Aku memindahkannya.
"Jangan sentuh Mama, Pa. Biarkan Mama sendiri."
Mas Wisnu menghela napas berat, kupikir dia sudah meluruskan tubuhnya. Entahlah, sebab aku tak sedikitpun membuka selimut yang menutupi seluruh tubuh.
Malam ini adalah malam terburuk sepanjang umur pernikahan kami. Dua belas tahun bersama, tak kutemukan satu cacat apapun padanya. Tapi kini, kesalahan terbesar ia lakukan.
Mungkin aku bisa memaafkannya. Tapi untuk berdamai, aku tak bisa.
"Ijinkan Papa poligami, Ma?" ucapnya lirih.
Aku menahan sesak di dada. Kubuka sedikit selimut lalu menjawab,
"Mama tidak pernah menentang syariat poligami. Tapi hingga detik ini, Mama belum mampu membagi cinta dengan wanita lain, Papa. Jika Papa mencintainya, maka mari kita berpisah
***
Bersambung
"Jangan terus menyebut pisah, Ma. Kita tidak boleh berpisah, jika memang Mama tidak setuju ...." Mas Wisnu menarik napas panjang. "Papa akan melepas Dita. Yang penting kita tetap bersama, kasihan anak-anak Ma jika pada akhirnya tahu kedua orang tua mereka justru bercerai." Suara Mas Wisnu terdengar berat, aku tak menjawab karena satu kata lagi saja keluar dari mulut ini, maka tangisku akan pecah. Kubekap kembali mulut sekuat tenaga. Dia tak lagi berbicara. Hingga waktu yang lama, kami terus terbalut dalam kebisuan tentunya dengan dua kegundahan yang berbeda. Jam terus bergulir, kini mata terasa lelah untuk terbuka dan ingin sekali kupejamkan walau sejenak. Namun, dering ponsel membuat kedua netraku kembali terbelalak. Siapa yang sudah menelpon, apa Dita? Mengingat nama sahabatku itu, rasanya amarah menyerbu kewarasan. Teganya dia menjadi yang ketiga diantara aku dan Mas Wisnu. Benarkah dia tidak tahu sama sekali jika yang menikahinya adalah suamiku? Kutarik napas berat lalu memb
"Ijinkan aku bicara sebentar saja Mas dengan Dila.""Kumohon jangan sekarang, Dit.""Kenapa, Mas? Aku mau menjelaskan semuanya. Tentang kita yang sudah tidak bisa terpisahkan lagi. Tolong, Mas."Aku mendengar semuanya. Jadi ini maunya? Baik, aku akan memberi apa yang dia mau, tapi sebelumnya, biar kuajarlan bagaimana sakitnya menginginkan sesuatu dengan cara yang tidak baik."Siapa, Mas?"Aku pura-pura tidak tahu. Lalu berjalan hingga mendekati mereka berdua. Barulah kupasang wajah marah."Dila, aku minta maaf sama kamu. Sungguh aku tidak tahu jika Mas Wisnu adalah suamimu."Aku menatapnya tenang, meski hati sekuat tenaga ingin mengamuk."Sekarang kamu 'kan sudah tahu semuanya, maka mundurlah. Aku sebagai istri pertama merasa tersakiti dengan pernikahan kalian yang terjadi tanpa sepengetahuanku. Coba kau ada di posisiku, Dit. Suami yang kau cintai ternyata tega menikah diam-diam dengan wanita lain yang ternyata adalah sahabatmu sendiri. Bagaimana perasaanmu, Dit?"Dia terdiam. "Terus
"Kenapa? Papa takut 'kan karena sudah menikah tanpa sepengetahuan Mama?""Papa benar-benar minta maaf, Ma.""Tidak cukup dengan kata maaf saja, Pa. Mama mau Ibu tahu persoalan ini. Beliau yang lebih paham secara agama tentu punya pandangan yang lebih baik. Apakah benar caramu meminta Mama bersedia menerima poligami atau sebaliknya."Mas Wisnu tak dapat lagi menjawab, wajahnya menunduk lemah."Hari ini juga Mama mau pulang. Papa ikut atau mau bersenang-senang lagi dengan istri muda di pulau ini?""Tolong jangan bicara seperti itu, Ma."Aku membuang wajah, sedang Mas Wisnu tampak menghela napas berat, seolah merasa pilihan yang kuberi sangat berat untuk dia jalani. Menyadari hal demikian, tanpa menunggu aku segera meraih ponsel untuk mengecek tiket seorang diri."Papa ikut sama Mama, biar Papa yang pesan tiketnya."Dia menghentikan tanganku lalu mengeluarkan ponsel untuk mengecek tiket pesawat. Beberapa kali ia menekan tombol pada layar ponsel hingga akhirnya mengatakan,"Selesai. Kebe
[Handphone Wisnu dari tadi sore sudah dihubungi, tapi tidak bisa terhubung, Dila. Apa kamu punya nomornya yang lain?][Nggak, Ma. Seharian ini aku juga belum menghubunginya.][Atau coba telpon ke perusahaannya aja, Dil. Siapa tahu mereka bisa menyampaikan kabar duka ini pada suamimu. Kasihan Wisnu Dil, jika sampai besok pagi dia tidak pulang, kemungkinan besar jenazah langsung dikebumikan, walau nantinya Wisnu pasti akan kecewa karena tak dapat melihat sang Ibu untuk terakhir kali.][Iya, Ma. Biar Dila coba nelpon.]Hati teriris, tapi aku mencoba tegar. Dengan perasaan tak karuan akhirnya aku menelpon Mas Wisnu. Siapa tahu sudah aktif.Jurusan yang anda tuju sedang berada diluar jangkauan.Ternyata benar kata Mama, nomornya tidak aktif. Dasar lelaki, mau lanjut drama apa lagi Mas Wisnu bersama Dita?Ya Allah, hati ini seperti teremas-remas dengan kuat. Bayangan bahwa semua yang dikatakan Mas Wisnu kemarin adalah bohong kini memenuhi kalbu. Apa jangan-jangan, dia sengaja mengatakan jik
POV WisnuAku berjalan dengan perasaan resah, perkiraan bahwa semua akan berjalan baik-baik saja ternyata seratus delapan puluh derajat tak sama. Yang semula tertutup rapat kini terbuka secara gamblang. Tak menunggu lama, bahkan istri pertamaku tahu pernikahan kedua ini hanya dalam hitungan satu bulan.Sungguh bak memakan buah simalakama. Aku masih sangat mencintai Dila, terlebih dari pernikahan kami sudah ada tiga buah hati yang begitu kusayangi. Namun, meninggalkan Dita pun tak dapat aku lakukan. Sebab kenyataan, wanita itu pun sudah sedemikian mengisi hati ini."Semua bukan salah Dita."Aku meyakinkan diri sendiri bahwa rahasia ini terkuak bukan karena Dita yang sengaja membocorkan tapi entah siapa yang menjadi dalang dibalik semuanya. Siapapun itu, kenyataan Dila sudah mengetahui, kini yang harus aku lakukan adalah meyakinkan Dila agar bisa menerima kehadiran Dita, begitu pula dengan anak-anak.Kuleluarkan ponsel dalam saku celana dan menelpon Raul. Sahabat yang sudah mengenalka
Setelah mempertimbangkan dengan matang, aku memutuskan untuk tidak menjalankan saran Raul. Hatiku menciut jika harus berbohong untuk kedua kalinya. Maka, tidak ada pilihan lain, meski terlihat tak adil tapi aku harus melepaskan Dita. Demi keutuhan rumah tanggaku bersama Dila. Renungan sebelum akhirnya dua netra ini terpejam perlahan.Tepat jam dua belas malam, netra ini terbuka karena merasakan getaran ponsel. Dita mengirim pesan dan memintaku menemuinya.Padahal tadi aku dan Dila baru saja bertengkar hebat hingga diri tertidur tanpa sadar.Mungkin ini saatnya kuselesaikan semua. Kubalikkan tubuh dan mendapati Dila sudah tertidur dengan tubuh sepenuhnya tertutup selimut."Ma, Papa pergi dulu ya. Papa akan selesaikan semuanya malam ini juga. Maafkan Papa."Kukecup kepala Dila dari balik selimut lalu perlahan keluar dari mess. Langkah kini menjejak rumah istri keduaku, walau sudah lewat tengah malam, Dita tetap menyambut seperti biasa, dengan pelayanan prima. Gaun selutut dan rambut te
Aku sampai di depan perusahaan dimana selama ini Fanya bekerja. Netra kualihkan ke segala penjuru untuk memastikan keberadaan adik sepupuku itu. Dan di kejauhan beberapa meter, terlihat seorang gadis cantik berhijab melambaikan tangannya.Itu dia Fanya.Diripun menarik langkah mendekat."Hai Fan, udah lama nunggu?""Baru juga, Mbak. Ayo Mbak masuk."Aku dan Fanya kini sudah memasuki lobi dan duduk sejenak di kursi tunggu. Beberapa orang lalu lalang dan saling melempar sapa pada adik sepupuku. Tak menyia-nyiakan kesempatan, Fanya pun mengenalkan diri ini pada hampir semua teman-temannya yang menyapa.Tak lama, seorang lelaki berbadan tegap dan cukup berwibawa masuk melalui pintu utama. Aku menajamkan penglihatan.Astaghfirullah. Raka? Kenapa bisa ada di perusahaan ini?"Mbak, itu lo direktur di perusahaan ini."Suara Fanya bagai busur yang memanah tepat di jantung. Aku tidak mungkin bekerja di sini, jika berkepalakan lelaki yang dulu kutolak cintanya karena lebih memilih Mas Wisnu.
"Angkat saja, Bi. Letakkan di pinggir jalan. Palingan ini cuma penipuan," ucapku lantang. Sengaja supaya Dita segera bangkit jika memang sedang bermaksud membuat drama."Diletakkan di pinggir jalan, Bu? Tapi sepertinya wanita ini tidak berbohong. Dia benaran pingsan, Bu."Mendengar ucapan Bu Surti membuat diri ini pada akhirnya memilih berjongkok dan mengecek napas serta keadaan mata. Kuangkat tangannya lalu kulepas, jatuh seketika.Sepertinya Dita memang tidak sedang berbohong, dia benar-benar pingsan. Apa maunya sih perempuan ini? Kenapa dia kemari dan malah pingsan begini?Aku melirik jam di tangan, sebelum Mas Wisnu pulang, aku harus segera membawanya ke tempat lain.Segera aku menelpon grab dan meminta dijemput. Hanya berselang lima menit, kendaraan itu sampai di depan rumah."Tolong bantu saya Bi, angkat perempuan ini ke mobil.""Oh baik, Bu.""Mama mau kemana?""Mama pergi ke rumah sakit sebentar ya Nak, nganterin Bunda ini.""Emang dia siapa sih, Ma?""Mama juga nggak kenal. T
"Semua salah Papa, Kak. Papa yang sudah membuat keluarga kita hancur."Wisnu berucap dengan suara bergetar dan dua matanya yang basah. Hal itu membuat Safia ikut menangis. Terenyuh dengan keadaan, Dila mendekati sang anak dan memeluknya."Sudah jangan menangis, Nak."Ia mengusap kepala sang anak yang berbalut hijab."Benarkah tidak ada kesempatan kedua untuk Papa, Ma?"Dila menghela napas dalam, wajahnya menatap Wisnu sejenak."Mama sudah pernah mengatakan hal ini, Kak. Kesempatan kedua selalu ada, tapi masalahnya saat ini Mama adalah seorang janda dari lelaki lain. Perasaan Mama sudah berbeda, ada cinta yang berusaha ingin Mama jaga untuk almarhum Abi Farhan. Tapi seandainya saat ini Mama tidak pernah dipertemukan Allah dalam sebuah mahligai yang suci bersama Abi, mungkin Mama akan menerima untuk kembali bersama Papa."Dia memberi jeda pada ucapannya."Mas Wisnu, apa Mas ridha dengan keputusan saya ini?"Wisnu menatap Dila lalu berpindah pada sang anak, detik berikutnya dia mengangg
Perasaan Dila seketika berubah, yang tadi sepenuhnya diliputi bahagia kini berganti cemas. Dia menutup telpon."Kenapa, Ma?"Hamid bertanya juga dengan perasaan khawatir."Safia sedang menemani Papa di rumah sakit.""Rumah sakit, Papa kenapa, Ma?""Mama belum tahu, Nak."Mereka terdiam sejenak."Yaudah gini aja, Papa biarkan sama Safia. Nanti setelah semua tamu undangan meninggalkan rumah ini, kita sama-sama ke rumah sakit ya."Dila memberi solusi."Jangan Ma, Mama ke rumah sakit aja nemani Safia. Kalau Papa parah, pastinya dia ketakutan. Di sini biar aku sepenuhnya yang handle."Dila menghela napas berat, situasi ini benar-benar tidak dia kehendaki. Tapi inilah yang dinamakan takdir, ia harus ikhlas dan mencoba melakukan yang terbaik. Hamid benar, di sana Safia pasti ketakutan. Terdengar dari suaranya di telpon yang bergetar. Dila tidak mungkin membiarkan anak gadis itu berjuang seorang diri. Meski tidak untuk melakukan apapun, tapi setidaknya bisa mendampingi buah hati tercinta.*
Detik berikutnya ia menghela napas berat."Menikah bukan perkara mudah Kak, umur Mama sekarang sudah lima puluh tahun. Sudah tidak cocok lagi untuk menikah.""Kenapa Ma, bahagia 'kan tidak perlu memikirkan orang lain. Jika kita bahagia, umur tujuh puluh tahun pun boleh menikah.""Iya Sayang, tapi permasalahannya nggak semudah yang Kakak pikir. Mama bahkan masih merasa Abi membersamai Mama hingga detik ini. Jadi Mama tidak bisa menikah kembali dengan Papa. Mama mohon Kakak sama anak Mama yang lain bisa mengerti ya, Nak."Safia menatap wajah sang ibu dengan tatap kekecewaan, tapi diusia yang kini sudah menginjak 21 tahun, dia tentu memahami perasaan sang ibu. Ya, mungkin cinta Mama ke Abi masih terlalu besar, hingga tak mampu jika harus kembali pada papa. Ia kembali melipat rapat keinginan melihat Mama-Papanya bisa tersenyum bersama dalam satu rumah.*Dila berbaring di atas ranjang, pandangannya lurus menatap langit-langit kamar yang hanya bersinarkan cahaya remang lampu tidur. Permin
Mereka duduk di teras villa milik Wisnu, sejenak hening. Keduanya benar-benar diliputi kecanggungan."Mas mau bicara apa?" tanya Dila terlihat begitu tenang. Sedang di tempatnya, Wisnu merasa teramat berdebar. Seakan kembali ke jaman dahulu saat hendak meminta sang wanita menjadi istri, kini perasaan itu kembali membersamai."Apa kabar?"Bingung mau menanyakan apa, akhirnya Wisnu berbasa basi menanyakan kabar.Dila justru tersenyum. "Mas 'kan hampir setiap minggu ketemu saya. Apa Mas menemukan saya dalam keadaan tidak baik?"Mereka saling memandang, detik berikutnya sama-sama tertawa kecil. Alhamdulillah, setidaknya ini awal yang baik setelah tadi sempat memanas. Hati Wisnu berkata."Maksud Mas bukan kabar yang itu?""Jadi kabar apa lagi?"Wisnu memaksakan diri untuk tersenyum. Sepertinya dengan bertambah umur, kosakata jadi berkurang? Lelaki itu menarik napas dalam."Maksud Mas kabar hati kamu. Yah, setelah Farhan tiada?""Beginilah Mas, sepi. Sebab dia adalah lelaki yang bisa memb
"Kamarmya luas banget ya, Ma. Duh, sepi kalau cuma kita berdua. Coba aja ada Adek, Faro sama Papa.""Kak."Dila tampak tak senang dengan perandaian sang anak anak. Membuat Safia tersenyum mengatup mulut, merasa salah berucap yang pada akhirnya membuat mamanya tak suka. Gadis itu memilih mengganti topik pembicaraan."Gimana kalau kita ke kolam renang, Ma?"Dila menghela napas dalam."Yaudah, yuk."Dila mencoba menghubungi Fatma dan mengajak ke kolam renang, tapi wanita itu menolak secara halus karena anak-anak sama ayahnya lagi ada kegiatan di kamar. Mereka berencana menyusul sekitar satu jam kemudian.Safia tampak menerima telpon.[Iya Mas, lagi dimana?][...][Hah? Di sini juga. Sama siapa?][....][Oh gitu, jadi ramai-ramai sama teman?][...][Sama keluarga.][....][Ketemuan?]Safia menatap sang Mama.[Lain kali aja deh, lagi family time soalnya.][...][Sorry yah.][...]Safia menutup telpon dengan perasaa tidak enak. Selama ini memang sang Mama kerap mengingatkan untuk tidak terl
Tujuh tahun, rasanya masih kurang waktuku mendampinginya. Mas Farhan, lelaki yang selama ini menemani dengan penuh kasih dan cinta akhirnya menutup mata diusia ke lima puluh lima tahun.Sedih? Ya. Jiwaku seperti kembali menemukan kehampaan. Selama pernikahan kami, dia memberi apa yang kubutuhkan. Tak ada satu hal pun yang membuatnya bisa menaruh amarah padaku, dia terlalu baik dan bahkan bagiku jelmaan bidadara.Bersamanya, hanya ada Ammar yang kini berusia enam tahun dua bulan. Meskipun baru duduk di kelas satu SD, tapi dia sangat paham akan kehilangan yang kami semua rasakan. Dua hari terlewati, putraku tersebut masih berteman dengan kebisuan.Ya, bagaimanapun selama ini dia begitu dekat dengan Abinya. Perpisahan ini tentu meninggalkan goresan dalam sanubari. Aku mencoba menghibur, tapi dia justru memintaku untuk membiarkannya sendiri.Ya Allah ...Semoga keadaan segera membaik. Juga hati ini, semoga segera menemukan kembali ketenangan dan keceriaan. Karena bagaimanapun, bahagia an
"Assalamualaikum Pak Wisnu, saya boleh menumpang di mobil Bapak tidak? Kebetulan mobil saya mogok. Dan sore ini saya harus sudah punya sebuah hadiah yang akan saya berikan untuk Uminya anak-anak. Kebetulan hari ini adalah hari milad beliau.""Tentu boleh Ustadz. Mari masuk.""Ini entah sejalan atau tidak, tapi saya minta diantar sampai ke toko sepatu saja Pak Wisnu."Wisnu terhenyak saat mendapati Ustadz Syafiq memintanya mengantar ke toko sepatu. Mimpi beberapa malam lalu kembali terlintas. Ah, tapi ia abaikan ingatan itu. Menurutnya mimpi hanya bunga tidur, tidak usah terlalu dipercaya.Lelaki itu kembali menjalankan mobil, sampai di depan sebuah toko sepatu Ustadz Syafiq turun dan berterima kasih telah memberi tumpangan."Ustadz yakin saya tidak perlu menunggu?""In Syaa Allah Pak, nanti saya naik taksi saja. Terima kasih sekali sudah mau mengantar sampai di sini.""Sama-sama Ustadz, yasudah saya pamit duluan ya."Wisnu kembali menjalankan mobilnya tapi seketika terhenti saat melih
Hamid telah selesai menjalani bakti di PMDG Ponorogo. Setelah melalui serangkaian acara pelepasan dari ponpes, akhirnya Dila dapat memeluk kembali putra pertamanya itu. Walau hanya sebentar karena setelah ini justru dia akan kehilangan sang putra lebih lama dan besar kemungkinan untuk tidak dapat dijenguk seperti dahulu saat masih di Gontor. Karena Hamid telah dinyatakan lulus pada seleksi ujian masuk ke Universitas Al-Azhar, Mesir.Dila sekeluarga kompak dengan pakaian berwarna hijau muda. Mereka terlihat begitu bahagia, memeluk sang anak dan menyempatkan diri berfoto untuk terakhir kali di ponpes tersebut.Sementara itu Hamid terlihat gelisah, ia terus melirik jam di pergelangan tangan. Seseorang yang janjinya juga akan datang belum jua sampai. Ia masih menunggu kehadiran sang Papa. Karena diliputi rasa khawatir, akhirnya ia meminta ponsel yang dititip pada sang mama selama mengikuti pendidikan. Tujuannya hanya satu, menelpon papa.Pamit sebentar ke tempat yang lebih sepi, Hamid me
Satu tahun kemudian ...Tangis bayi terdengar membelah langit subuh kala itu. Air mata Dila jatuh di kedua pipi. Sang suami mengusap perlahan. Rasa sakit karena kontraksi yang terus menerjang rahim terbayar sudah dengan merasakan gerakan jemari kecil sang bayi yang kini diletakkan di atas perut untuk mencari-cari puting susunya.Farhan mengusap bulir keringat yang membasahi pelipis, pelan mengecup kening sang istri dengan lembut."Makasih ya, Ma. Kamu sudah menyempurnakanku sebagai seorang ayah."Dila menanggapinya dengan senyuman serta usapan pada pipi sang suami."Mau diberi nama apa Ma bayinya?"Dila kembali menatap sang suami. "Mama serahkan sama Abi aja, karena tebakan Mama salah."Dila mengulum senyum, selama hamil mereka memang sepakat untuk tidak mencari tahu jenis kelamin.Namun, mereka menyiapkan dua nama, jika perempuan Dila yang beri nama. Dan jika lelaki maka Farhanlah yang memberi nama anak mereka.Farhan terlihat berpikir sejenak. Sebuah nama memang kerap melintas di b