Beranda / Romansa / Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan / 6. Melepasnya Dengan Berat Hati

Share

6. Melepasnya Dengan Berat Hati

Penulis: Wahyuni SST
last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-04 16:24:10

"Kenapa? Papa takut 'kan karena sudah menikah tanpa sepengetahuan Mama?"

"Papa benar-benar minta maaf, Ma."

"Tidak cukup dengan kata maaf saja, Pa. Mama mau Ibu tahu persoalan ini. Beliau yang lebih paham secara agama tentu punya pandangan yang lebih baik. Apakah benar caramu meminta Mama bersedia menerima poligami atau sebaliknya."

Mas Wisnu tak dapat lagi menjawab, wajahnya menunduk lemah.

"Hari ini juga Mama mau pulang. Papa ikut atau mau bersenang-senang lagi dengan istri muda di pulau ini?"

"Tolong jangan bicara seperti itu, Ma."

Aku membuang wajah, sedang Mas Wisnu tampak menghela napas berat, seolah merasa pilihan yang kuberi sangat berat untuk dia jalani. 

Menyadari hal demikian, tanpa menunggu aku segera meraih ponsel untuk mengecek tiket seorang diri.

"Papa ikut sama Mama, biar Papa yang pesan tiketnya."

Dia menghentikan tanganku lalu mengeluarkan ponsel untuk mengecek tiket pesawat. Beberapa kali ia menekan tombol pada layar ponsel hingga akhirnya mengatakan,

"Selesai. Kebetulan ada yang cancel dua orang. Penerbangan jam setengah delapan malam, Ma. Sekarang Papa keluar dulu cari makan, setelah itu kita langsung berkemas ya, Ma."

Aku kembali menghela napas, lalu memilih merebahkan diri di atas ranjang. Dua netra terus memerhatikan Mas Wisnu yang melangkah keluar kamar. Entah kenapa hatiku berbisik, dia akan menemui Dita. 

*

Setengah jam berlalu, aku mendengar deru mobil Mas Wisnu kembali. Pintu kamar kini terbuka, dengan tergopoh lelaki itu bersimpuh di kakiku, membuat dada berdegup tak karuan.

"Ma, Papa mohon sekali ini saja. Dita kecelakaan, saat ini sudah dilarikan ke rumah sakit. Keadaannya kritis. Papa minta ijin sama Mama untuk tetap tinggal di pulau ini sampai Dita sadarkan diri."

Deg.

Hatiku bagai ada yang menusuk dengan kuat. Berita apa lagi ini? Kupikir semua akan selesai di hadapan ibu, biar hatiku tenang. Tapi ternyata?

"Papa mohon, Ma. Setelah Dita sadar, Papa akan kembali ke Jakarta. Papa berjanji akan jujur pada Ibu tentang kesalahan Papa ini."

Wajahku yang tertunduk kini terangkat, membaca dalamnya sorot mata lelaki yang sudah membersamai hingga tiga belas tahun. Baru kali ini aku melihat ia memendam ketakutan selain saat mendengar berita bahwa aku atau anak-anakku sakit. Ah, aku lupa. Kini di hati Mas Wisnu, sudah ada nama wanita lain di sana.

"Pergilah," jawabku dengan suara berat.

Mas Wisnu terhenyak, dia lalu meraih dua jemari tanganku, tapi aku menariknya. Aku tahu dia sadar bahwa diri tak ikhlas, tapi karena kekhawatirannya pada Dita, kesadaran itu diabaikan. 

"Terima kasih Ma."

Mas Wisnu kini bangkit lalu tanpa kusadari ia mengusap pucuk kepala ini.

"Nanti Mama diantar sama supir kemarin ya, Ma," ucapnya seraya mengeluarkan sejumlah uang dari dalam dompet dan meletakkan di atas nakas.

"Pakai uang ini untuk membeli anak-anak sesuatu. Papa minta maaf tidak bisa mengantar."

Dia menatapku kembali sebelum akhirnya menghilang di balik pintu. Terasa ada yang mendesak keluar pada kedua mata. Aku menahan sekuat tenaga. Antara sakit, kecewa dan keinginan untuk menyerah. 

Andai tak teringat ada tiga buah hati, mungkin hati sudah memilih mundur. Menerima dimadu adalah perkara sulit, jika tak siap lahir bathin maka hanya akan menyakiti diri. Dan kukatakan bahwa diri ini tidak siap.

Beberapa tetangga tampak memperhatikanku yang kini menaiki mobil pesanan Mas Wisnu. Aku yakin karena keributan tadi pagi, sesuatu yang seharusnya menjadi rahasia pribadi kini menjadi rahasia umum. Semoga saja tidak akan berpengaruh pada kontrak kerja Mas Wisnu di perusahaannya.

Aku duduk di belakang supir. Ada beberapa orang lainnya yang ternyata punya tujuan sama denganku. Pandangan ini kuedarkan keluar, menatap keindahan alam salah satu kabupaten yang ada di kota Kalimantan ini. 

Harusnya perjalanan pertamaku ke sini, menimbulkan kesan indah yang tak terlupakan. 

Masih terbayang dengan jelas bagaimana jadwal kuatur dengan baik agar moment mengunjungi Dita menjadi kesempatan yang baik pula untukku bernostalgia berdua bersama Mas Wisnu. Tapi ternyata semua hancur saat tahu kebenaran yang sudah terjadi. 

Kini aku harus ikhlas meninggalkan suamiku bersama wanita keduanya. Haruskah aku bertahan?

*

Setelah melalui perjalanan lebih dari lima jam, aku sampai di ruang tunggu pemberangkatan. Semenjak tadi pagi perut ini hanya kuisi sepotong kue, nasi yang dibelikan Mas Wisnu bahkan tak kusentuh satu sendokpun. 

Demikian uang pemberiannya di atas nakas. Tak kusentuh walau satu lembar.

Kududukkan tubuh di sisi seorang wanita berkerudung lebar yang tengah memangku bocah lelaki. Dia menawarkan sepotong roti. Karena memang merasa lapar, kuanggukkan kepala dan menerima pemberiannya.

"Sendiri Mbak?" tanyaku memecah kekakuan.

"Nggak Mbak, sama keluarga besar," jawabnya seraya tersenyum.

"Khalid mau kue, Nak?" 

Wanita itu kini berbicara pada bocah di pangkuannya.

"Nggak, Bunda."

Karena penasaran, akhirnya kuberanikan diri bertanya.

"Ini adiknya, Mbak?"

Wanita di sampingku tersenyum.

"Bukan, Mbak. Ini anak saya. Anak terkecil dari istri pertama suami saya."

Dua netraku membelalak.

"Saya ini istri kedua dari suami saya Mbak. Rencananya kami sekeluarga mau berkunjung ke rumah saudara di Jakarta. Suami sama Umi kebetulan tadi sedang ke kamar mandi. Makanya saya jadi nunggu sendirian di sini."

"Mohon maaf yang sebesar-besarnya, Mbak, apa maksudnya suami Mbak melakukan poligami, betul begitu ya, Mbak?"

Dia kembali tersenyum.

"Benar, Mbak. Saya dipoligami sudah sepuluh tahun, Alhamdulillah rumah tangga kami sangat akur dan bahagia."

"Alhamdulilah, ikut senang dengarnya, Mbak."

Hati ini terenyuh mendengar penuturan wanita tersebut. Jujur, aku tak melihat kebohongan dalam setiap ucapan yang keluar dari mulutnya.

"Bolehkah saya tahu lebih banyak, Mbak. Kebetulan saya sedang mengadakan penelitian tentang praktik poligami."

Dia menatapku dengan dua alis terpaut.

"Mbak mau tahu apa? Boleh, tanya saja. In Syaa Allah akan saya jawab semampunya."

Seulas senyum terkembang begitu saja di bibir ini, degup di dada yang sedari tadi menyentak kuat, perlahan kembali normal. Ternyata wanita di hadapanku cukup ramah meski baru berkenalan belum satu jam.

"Saya hanya ingin tahu bagaimana Mbak memposisikan diri dalam rumah tangga hingga bisa sangat akur?"

"Hem ... Saya tahu pasti banyak orang memandang wanita kedua dari sisi negatif. Namun, meskipun yang kedua, saya ini wanita terhormat, Mbak. Saya datang dalam rumah tangga sepasang suami istri atas dasar permintaan."

"Karena permintaan?"

Dia mengangguk.

"Sebelumnya perkenalkan nama saya Savitri. Waktu itu umur saya tepat dua puluh lima tahun saat wanita yang selama ini begitu saya hormati yang tak lain adalah Umi istri pertama dari suami saya datang dengan membawa sebuah lamaran. Saya kira beliau membawa lamaran untuk adiknya, tapi ternyata Umi bermaksud melamar saya untuk suaminya."

"Hah?"

Aku semakin tak mengerti dengan ucapan wanita ini.

"Mohon maaf bertanya lagi, Mbak. Jadi yang meminta Mbak menjadi istri kedua adalah istri pertama dari suami Mbak sekarang?"

Savitri mengangguk.

"Apa alasannya?"

"Sebenarnya ini sangat pribadi."

"Maaf Mbak, jika Mbak tidak mau membicarakannya lagi tidak apa-apa. Justru saya yang sudah keterlaluan bertanya sangat privasi sama Mbak."

Savitri kembali menyunggingkan selarik senyum.

"Suami kami punya banyak harta dan usaha."

Aku pikir dia tidak akan melanjutkan ucapannya.

"Suami kami mempunyai banyak harta dan usaha. Ada sebuah pesantren yang harus dikelola, belum lagi beberapa usaha yang tersebar di berbagai daerah. Suatu ketika dia mengatakan kepada istrinya, ingin sekali menjalankan syariat poligami untuk memiliki banyak keturunan dan bisa ikut melanjutkan usaha-usahanya tersebut. Saat itu Umi Khalida sangat terkejut. Namun, setelah cukup matang berpikir akhirnya dengan lapang dada beliau menerima niat suaminya itu dengan satu syarat. Wanita yang akan menjadi madu dipilih langsung oleh dirinya sendiri."

"Begitukah, Mbak?"

"Iya, Mbak. Saya ini adalah murid dari suami saya sendiri, Mbak. Umi yang menunjuk saya langsung untuk menjadi saudaranya."

Bergetar kalbu ini mendengar penuturan Savitri.

"Mbak tidak menolak?"

"Tentu saja pada awalnya saja menolak. Tapi Umi beberapa kali meyakinkan saya bahwa kami pasti akan bisa hidup rukun dan bahagia dalam satu rumah tangga. Hingga akhirnya saya setuju dan mau dinikahi oleh Abati. Begitu kebanyakan orang memanggil suami kami."

Aku masih menarik napas, dada berdebar demikian hebat. Tak terbayang bagiku kebesaran hati istri pertama lelaki tersebut. Aku tak percaya jika dibalik sikapnya itu tak ada perjuangan besar untuk mengalahkan ego dan berdamai dengan keinginan suaminya. Sebab yang kutahu hakikat seorang wanita tetap tidak ingin berbagi. Jika dia terlihat sangat ikhlas, itu tentu karena jaminan yang diberikan sang suami berupa keadilan dalam segala hal.

"Walau Umi terlihat begitu ikhlas, tapi entah kenapa saya tahu bahwa dibalik itu semua, beliau berjuang keras untuk menyatukan rumah tangga kami ini, Mbak. Beliau selalu ada untuk saya, jika saya salah beliau selalu membimbing dan mengajarkan saya ke arah yang benar. Dan buat saya beliau adalah yang pertama di hati suami saya dan tetap akan menjadi yang utama. Saya terus mengingatkan pada diri saya bahwa saya hanyalah yang kedua. Meski Umi tak pernah menampakkan kecemburuannya tapi saya tahu menempatkan diri. Tidak ada wanita yang tidak cemburu ketika melihat kebersamaan suami dengan istrinya yang lain. Oleh karena itu, saya pun amat sangat menjaga sikap dan lebih bersabar. Selama ini saya punya banyak kekurangan, tapi beliau selalu menutupi kekurangan saya itu. Dan itulah kenapa saya menyayangi Umi sebesar saya menyayangi suami saya sendiri. Alhamdulillah, kami sangat bahagia. Dan semua itu juga tidak terlepas dari kepemimpinan suami. Beliau sangat paham tentang ketentuan berpoligami, beliau adil, tak pernah menampakkan kemesraan dengan satu istri di hadapan istri yang lain. "

Wanita itu mengakhiri ceritanya dengan senyuman tulus.

Ya Allah, aku percaya setiap syariat yang Engkau turunkan tentu untuk mendatangkan kebahagiaan bagi hamba-Mu. Tapi jika seperti yang dilakukan suamiku? 

Aku menarik napas panjang.

Mas Wisnu harus paham bahwa praktik poligami yang dilakukannya ini keliru, agar ke depan ia tidak lagi melakukannya. 

"Bunda, ke sana sebentar yuk. Khalid bosan."

"Iya, Nak."

Lalu wajah Savitri kembali menatapku.

"Mohon maaf ya, Mbak. Kita nggak bisa lanjut berbicara. Saya mau nemeni Khalid ke sana sebentar."

"Iya nggak papa, Mbak. Makasih banyak Mbak, sudah mau berbagi sama saya."

"Jangan sungkan. Permisi."

Aku menatap kepergian mereka, hingga setengah jam berlalu dan akhirnya langkah ini memasuki pesawat. 

Ada yang menderu di dalam dada. Setelah berjam-jam aku pergi, tak adakah niat Mas Wisnu untuk tahu kabar dariku? 

Huhft ...

Kupikir, jika aku berusaha ikhlas dan menerima kehadiran Dita, kamu tetap takkan bisa adil, Mas. Karena apa yang kamu lakukan inipun hanya didorong nafsu semata tanpa ilmu. 

Sebab itu aku tetap memutuskan untuk tidak berdamai, karena aku tidak ingin terluka untuk kesekian kalinya, Mas. Maaf.

*

Pesawat baru saja mendarat saat sebuah panggilan terdengar di ponsel. 

Mama?

Ada apa ya, kenapa Mama menelpon? Lekas aku mengangkat.

[Assalamualaikum, Ma]

[Waalaikum salam. Kamu dimana Dila?]

[Sudah di Jakarta, Ma.]

[Alhamdulillah, Dil ibu mertuamu ....]

Ucapan Mama terpotong oleh isakan.

[Ibu kenapa, Ma?]

[Ibu mertuamu tadi pagi terjatuh di kamar mandi.]

[Astaghfirullah, lalu sekarang bagaimana keadaannya, Ma?]

[Beliau sudah berpulang ke Rahmatullah, Dila.]

[Innalilahi wainnailaihi rajiun.]

Ya Allah, padahal aku pulang dengan membawa maksud ingin bertemu dengannya. Namun, Engkau justru mengambilnya kembali ya Allah ...

***

Bersambung.

Terima kasih sudah membaca, jika ada kesalahan dalam penulisan, monggo tegur saya ya.

Utamakan baca Al-Quran.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Gimo
bagus ceritanya
goodnovel comment avatar
Mira damayanti
Kok kisahnya sama ya sama aku bgt cma bedanya nama desa nya aja ...Kota pun sma kalimantan ...Tp udah berlalu kini aku mngambil jalan sdri aja
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   7. Tangis Lara Wisnu

    [Handphone Wisnu dari tadi sore sudah dihubungi, tapi tidak bisa terhubung, Dila. Apa kamu punya nomornya yang lain?][Nggak, Ma. Seharian ini aku juga belum menghubunginya.][Atau coba telpon ke perusahaannya aja, Dil. Siapa tahu mereka bisa menyampaikan kabar duka ini pada suamimu. Kasihan Wisnu Dil, jika sampai besok pagi dia tidak pulang, kemungkinan besar jenazah langsung dikebumikan, walau nantinya Wisnu pasti akan kecewa karena tak dapat melihat sang Ibu untuk terakhir kali.][Iya, Ma. Biar Dila coba nelpon.]Hati teriris, tapi aku mencoba tegar. Dengan perasaan tak karuan akhirnya aku menelpon Mas Wisnu. Siapa tahu sudah aktif.Jurusan yang anda tuju sedang berada diluar jangkauan.Ternyata benar kata Mama, nomornya tidak aktif. Dasar lelaki, mau lanjut drama apa lagi Mas Wisnu bersama Dita?Ya Allah, hati ini seperti teremas-remas dengan kuat. Bayangan bahwa semua yang dikatakan Mas Wisnu kemarin adalah bohong kini memenuhi kalbu. Apa jangan-jangan, dia sengaja mengatakan jik

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-04
  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   8. Noda Pernikahan

    POV WisnuAku berjalan dengan perasaan resah, perkiraan bahwa semua akan berjalan baik-baik saja ternyata seratus delapan puluh derajat tak sama. Yang semula tertutup rapat kini terbuka secara gamblang. Tak menunggu lama, bahkan istri pertamaku tahu pernikahan kedua ini hanya dalam hitungan satu bulan.Sungguh bak memakan buah simalakama. Aku masih sangat mencintai Dila, terlebih dari pernikahan kami sudah ada tiga buah hati yang begitu kusayangi. Namun, meninggalkan Dita pun tak dapat aku lakukan. Sebab kenyataan, wanita itu pun sudah sedemikian mengisi hati ini."Semua bukan salah Dita."Aku meyakinkan diri sendiri bahwa rahasia ini terkuak bukan karena Dita yang sengaja membocorkan tapi entah siapa yang menjadi dalang dibalik semuanya. Siapapun itu, kenyataan Dila sudah mengetahui, kini yang harus aku lakukan adalah meyakinkan Dila agar bisa menerima kehadiran Dita, begitu pula dengan anak-anak.Kuleluarkan ponsel dalam saku celana dan menelpon Raul. Sahabat yang sudah mengenalka

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-04
  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   9. Tak Seperti Khayalan

    Setelah mempertimbangkan dengan matang, aku memutuskan untuk tidak menjalankan saran Raul. Hatiku menciut jika harus berbohong untuk kedua kalinya. Maka, tidak ada pilihan lain, meski terlihat tak adil tapi aku harus melepaskan Dita. Demi keutuhan rumah tanggaku bersama Dila. Renungan sebelum akhirnya dua netra ini terpejam perlahan.Tepat jam dua belas malam, netra ini terbuka karena merasakan getaran ponsel. Dita mengirim pesan dan memintaku menemuinya.Padahal tadi aku dan Dila baru saja bertengkar hebat hingga diri tertidur tanpa sadar.Mungkin ini saatnya kuselesaikan semua. Kubalikkan tubuh dan mendapati Dila sudah tertidur dengan tubuh sepenuhnya tertutup selimut."Ma, Papa pergi dulu ya. Papa akan selesaikan semuanya malam ini juga. Maafkan Papa."Kukecup kepala Dila dari balik selimut lalu perlahan keluar dari mess. Langkah kini menjejak rumah istri keduaku, walau sudah lewat tengah malam, Dita tetap menyambut seperti biasa, dengan pelayanan prima. Gaun selutut dan rambut te

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-05
  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   10. Kecemburuan Wisnu

    Aku sampai di depan perusahaan dimana selama ini Fanya bekerja. Netra kualihkan ke segala penjuru untuk memastikan keberadaan adik sepupuku itu. Dan di kejauhan beberapa meter, terlihat seorang gadis cantik berhijab melambaikan tangannya.Itu dia Fanya.Diripun menarik langkah mendekat."Hai Fan, udah lama nunggu?""Baru juga, Mbak. Ayo Mbak masuk."Aku dan Fanya kini sudah memasuki lobi dan duduk sejenak di kursi tunggu. Beberapa orang lalu lalang dan saling melempar sapa pada adik sepupuku. Tak menyia-nyiakan kesempatan, Fanya pun mengenalkan diri ini pada hampir semua teman-temannya yang menyapa.Tak lama, seorang lelaki berbadan tegap dan cukup berwibawa masuk melalui pintu utama. Aku menajamkan penglihatan.Astaghfirullah. Raka? Kenapa bisa ada di perusahaan ini?"Mbak, itu lo direktur di perusahaan ini."Suara Fanya bagai busur yang memanah tepat di jantung. Aku tidak mungkin bekerja di sini, jika berkepalakan lelaki yang dulu kutolak cintanya karena lebih memilih Mas Wisnu.

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-06
  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   11. Tak Beradab

    "Angkat saja, Bi. Letakkan di pinggir jalan. Palingan ini cuma penipuan," ucapku lantang. Sengaja supaya Dita segera bangkit jika memang sedang bermaksud membuat drama."Diletakkan di pinggir jalan, Bu? Tapi sepertinya wanita ini tidak berbohong. Dia benaran pingsan, Bu."Mendengar ucapan Bu Surti membuat diri ini pada akhirnya memilih berjongkok dan mengecek napas serta keadaan mata. Kuangkat tangannya lalu kulepas, jatuh seketika.Sepertinya Dita memang tidak sedang berbohong, dia benar-benar pingsan. Apa maunya sih perempuan ini? Kenapa dia kemari dan malah pingsan begini?Aku melirik jam di tangan, sebelum Mas Wisnu pulang, aku harus segera membawanya ke tempat lain.Segera aku menelpon grab dan meminta dijemput. Hanya berselang lima menit, kendaraan itu sampai di depan rumah."Tolong bantu saya Bi, angkat perempuan ini ke mobil.""Oh baik, Bu.""Mama mau kemana?""Mama pergi ke rumah sakit sebentar ya Nak, nganterin Bunda ini.""Emang dia siapa sih, Ma?""Mama juga nggak kenal. T

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-08
  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   12. Talak Yang Diucapkan Wisnu

    Dada ini berdegup kencang mendengar ucapan Rifka. Entah kenapa rasa takut mengerjap.[Pengakuan apa, Rif?][Gimana ya, em tapi Mbak selidiki lagi ya kebenarannya.][Iya, cepat katakan, Rif.][Mas Wisnu semalam bawa perempuan ke hotel, Mbak. Temanku yang ngomong. Dia bahkan kirim barang bukti sebuah foto Mas Wisnu sama perempuan itu. Aku kirim ke hp Mbak, ya.][Iya, Rif.][Tapi Mbak nanti kalau nanyakan sama Mas Wisnu jangan bawa-bawa nama aku ya, Mbak.][Iya, Rif. Mbak nggak akan bawa nama kamu. Makasih ya, Rif.][Iya, Mbak. Sama-sama. Sedih aja aku, Mbak. Ibu baru aja menutup usia, tapi Mas Wisnu sudah begituan sama perempuan lain. Pokoknya Mbak harus kuat, ya. Jangan sampai kalah sama pelakor.][Iya, sayang. Makasih ya.][Iya, Mbak.]Kututup telpon dari Rifka. Selama ini Rifka dan ibu memang sangat menyayangiku, terlebih apapun yang diberikan Mas Wisnu kepada keluarganya, sedikitpun tak pernah kutahan. Selama kebutuhanku dan anak-anak terpenuhi, ya biarlah. Ibu juga sudah renta, jad

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-08
  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   13. Akhir Kisah Kita

    Azan berkumandang, tapi keadaan rumah sudah seperti neraka. Terasa panas, hingga sekujur tubuh bergetar menahan hawanya."Istighfar, Bu. Istighfar."Syukur ada Bi Surti yang mengingatkanku untuk memohon ampun kepada Allah. Seketika bibir mengucap istighfar dan setelahnya aku memeluk anak-anak untuk kemudian mengajak mereka keluar. Tapi, Safia menolak."Papa ...."Tangis Safia hampir meruntuhkan benteng pertahananku. Aku goyah. Namun, kucoba untuk membujuknya ikut."Ikut Mama ya, Nak. Biar Papa di sini dulu nenangin diri."Safia masih menatap Mas Wisnu, pun sama halnya dengan lelaki itu. Tapi aku segera menghalau pandangan mereka dengan berdiri di tengah. "Ayo Nak, kita pergi."Safia mengangguk lalu berjalan lunglai seiring langkahku."Kita mau kemana, Ma?""Sementara ke rumah Bunda Fanya.""Papa gimana, Ma?" tanya Hamid."Papa biar tenang dulu, nanti Mama bicara lagi sama Papa, ya."Ketiga buah hatiku mengangguk paham, lalu lekas diri menelpon grab. Tepatnya lepas azan, mobil pesanan

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-12
  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   14. Wisnu Bimbang

    Bahkan sejauh ini, masih aku yang salah dimatanya? Aku yang tak bisa menerima akibat kesalahannya? Ya Rabbi, tentu tidak semudah itu berbagi cinta, Mas. Kenapa kau masih tidak bisa memahami perasaanku?Kuusap wajah perlahan, menyapu cairan yang sudah membanjiri wajah. Sampai kapan mau menangis lemah seperti ini? Aku harus kuat. Mas Wisnu pergi, itu artinya dia ingin aku yang membereskan surat cerai kami.Ya Allah, aku tahu cerai adalah perbuatan yang paling Engkau benci. Tapi aku tak kuat berbagi. Aku takut tersakiti hingga khawatir akan semakin menambah kebencian pada suamiku sendiri. Ampuni hamba ya Allah, hamba belum bisa berlemah lembut dalam mengungkapkan kekecewaan. Ampuni hamba telah melakukan hal yang paling Engkau benci ya Rabbi.Meskipun Mas Wisnu mengatakan bahwa rumah ini adalah milik kami, tapi aku tetap tidak akan membawa anak-anak kembali ke tempat ini, sebelum hakim sendiri yang melakukan pembagian harta gono gini.Kuambil semua barang-barang yang sudah siap di dalam

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-12

Bab terbaru

  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   67. Akhir Kisah (TAMAT)

    "Semua salah Papa, Kak. Papa yang sudah membuat keluarga kita hancur."Wisnu berucap dengan suara bergetar dan dua matanya yang basah. Hal itu membuat Safia ikut menangis. Terenyuh dengan keadaan, Dila mendekati sang anak dan memeluknya."Sudah jangan menangis, Nak."Ia mengusap kepala sang anak yang berbalut hijab."Benarkah tidak ada kesempatan kedua untuk Papa, Ma?"Dila menghela napas dalam, wajahnya menatap Wisnu sejenak."Mama sudah pernah mengatakan hal ini, Kak. Kesempatan kedua selalu ada, tapi masalahnya saat ini Mama adalah seorang janda dari lelaki lain. Perasaan Mama sudah berbeda, ada cinta yang berusaha ingin Mama jaga untuk almarhum Abi Farhan. Tapi seandainya saat ini Mama tidak pernah dipertemukan Allah dalam sebuah mahligai yang suci bersama Abi, mungkin Mama akan menerima untuk kembali bersama Papa."Dia memberi jeda pada ucapannya."Mas Wisnu, apa Mas ridha dengan keputusan saya ini?"Wisnu menatap Dila lalu berpindah pada sang anak, detik berikutnya dia mengangg

  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   66. Pilihan Berat

    Perasaan Dila seketika berubah, yang tadi sepenuhnya diliputi bahagia kini berganti cemas. Dia menutup telpon."Kenapa, Ma?"Hamid bertanya juga dengan perasaan khawatir."Safia sedang menemani Papa di rumah sakit.""Rumah sakit, Papa kenapa, Ma?""Mama belum tahu, Nak."Mereka terdiam sejenak."Yaudah gini aja, Papa biarkan sama Safia. Nanti setelah semua tamu undangan meninggalkan rumah ini, kita sama-sama ke rumah sakit ya."Dila memberi solusi."Jangan Ma, Mama ke rumah sakit aja nemani Safia. Kalau Papa parah, pastinya dia ketakutan. Di sini biar aku sepenuhnya yang handle."Dila menghela napas berat, situasi ini benar-benar tidak dia kehendaki. Tapi inilah yang dinamakan takdir, ia harus ikhlas dan mencoba melakukan yang terbaik. Hamid benar, di sana Safia pasti ketakutan. Terdengar dari suaranya di telpon yang bergetar. Dila tidak mungkin membiarkan anak gadis itu berjuang seorang diri. Meski tidak untuk melakukan apapun, tapi setidaknya bisa mendampingi buah hati tercinta.*

  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   65. Berdamai Dengan Takdir

    Detik berikutnya ia menghela napas berat."Menikah bukan perkara mudah Kak, umur Mama sekarang sudah lima puluh tahun. Sudah tidak cocok lagi untuk menikah.""Kenapa Ma, bahagia 'kan tidak perlu memikirkan orang lain. Jika kita bahagia, umur tujuh puluh tahun pun boleh menikah.""Iya Sayang, tapi permasalahannya nggak semudah yang Kakak pikir. Mama bahkan masih merasa Abi membersamai Mama hingga detik ini. Jadi Mama tidak bisa menikah kembali dengan Papa. Mama mohon Kakak sama anak Mama yang lain bisa mengerti ya, Nak."Safia menatap wajah sang ibu dengan tatap kekecewaan, tapi diusia yang kini sudah menginjak 21 tahun, dia tentu memahami perasaan sang ibu. Ya, mungkin cinta Mama ke Abi masih terlalu besar, hingga tak mampu jika harus kembali pada papa. Ia kembali melipat rapat keinginan melihat Mama-Papanya bisa tersenyum bersama dalam satu rumah.*Dila berbaring di atas ranjang, pandangannya lurus menatap langit-langit kamar yang hanya bersinarkan cahaya remang lampu tidur. Permin

  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   64. Permintaan Anak-Anak

    Mereka duduk di teras villa milik Wisnu, sejenak hening. Keduanya benar-benar diliputi kecanggungan."Mas mau bicara apa?" tanya Dila terlihat begitu tenang. Sedang di tempatnya, Wisnu merasa teramat berdebar. Seakan kembali ke jaman dahulu saat hendak meminta sang wanita menjadi istri, kini perasaan itu kembali membersamai."Apa kabar?"Bingung mau menanyakan apa, akhirnya Wisnu berbasa basi menanyakan kabar.Dila justru tersenyum. "Mas 'kan hampir setiap minggu ketemu saya. Apa Mas menemukan saya dalam keadaan tidak baik?"Mereka saling memandang, detik berikutnya sama-sama tertawa kecil. Alhamdulillah, setidaknya ini awal yang baik setelah tadi sempat memanas. Hati Wisnu berkata."Maksud Mas bukan kabar yang itu?""Jadi kabar apa lagi?"Wisnu memaksakan diri untuk tersenyum. Sepertinya dengan bertambah umur, kosakata jadi berkurang? Lelaki itu menarik napas dalam."Maksud Mas kabar hati kamu. Yah, setelah Farhan tiada?""Beginilah Mas, sepi. Sebab dia adalah lelaki yang bisa memb

  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   63. Cinta Untuk Dila

    "Kamarmya luas banget ya, Ma. Duh, sepi kalau cuma kita berdua. Coba aja ada Adek, Faro sama Papa.""Kak."Dila tampak tak senang dengan perandaian sang anak anak. Membuat Safia tersenyum mengatup mulut, merasa salah berucap yang pada akhirnya membuat mamanya tak suka. Gadis itu memilih mengganti topik pembicaraan."Gimana kalau kita ke kolam renang, Ma?"Dila menghela napas dalam."Yaudah, yuk."Dila mencoba menghubungi Fatma dan mengajak ke kolam renang, tapi wanita itu menolak secara halus karena anak-anak sama ayahnya lagi ada kegiatan di kamar. Mereka berencana menyusul sekitar satu jam kemudian.Safia tampak menerima telpon.[Iya Mas, lagi dimana?][...][Hah? Di sini juga. Sama siapa?][....][Oh gitu, jadi ramai-ramai sama teman?][...][Sama keluarga.][....][Ketemuan?]Safia menatap sang Mama.[Lain kali aja deh, lagi family time soalnya.][...][Sorry yah.][...]Safia menutup telpon dengan perasaa tidak enak. Selama ini memang sang Mama kerap mengingatkan untuk tidak terl

  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   62. Setelah Tujuh Tahun Berlalu

    Tujuh tahun, rasanya masih kurang waktuku mendampinginya. Mas Farhan, lelaki yang selama ini menemani dengan penuh kasih dan cinta akhirnya menutup mata diusia ke lima puluh lima tahun.Sedih? Ya. Jiwaku seperti kembali menemukan kehampaan. Selama pernikahan kami, dia memberi apa yang kubutuhkan. Tak ada satu hal pun yang membuatnya bisa menaruh amarah padaku, dia terlalu baik dan bahkan bagiku jelmaan bidadara.Bersamanya, hanya ada Ammar yang kini berusia enam tahun dua bulan. Meskipun baru duduk di kelas satu SD, tapi dia sangat paham akan kehilangan yang kami semua rasakan. Dua hari terlewati, putraku tersebut masih berteman dengan kebisuan.Ya, bagaimanapun selama ini dia begitu dekat dengan Abinya. Perpisahan ini tentu meninggalkan goresan dalam sanubari. Aku mencoba menghibur, tapi dia justru memintaku untuk membiarkannya sendiri.Ya Allah ...Semoga keadaan segera membaik. Juga hati ini, semoga segera menemukan kembali ketenangan dan keceriaan. Karena bagaimanapun, bahagia an

  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   61. Penolakan Wisnu

    "Assalamualaikum Pak Wisnu, saya boleh menumpang di mobil Bapak tidak? Kebetulan mobil saya mogok. Dan sore ini saya harus sudah punya sebuah hadiah yang akan saya berikan untuk Uminya anak-anak. Kebetulan hari ini adalah hari milad beliau.""Tentu boleh Ustadz. Mari masuk.""Ini entah sejalan atau tidak, tapi saya minta diantar sampai ke toko sepatu saja Pak Wisnu."Wisnu terhenyak saat mendapati Ustadz Syafiq memintanya mengantar ke toko sepatu. Mimpi beberapa malam lalu kembali terlintas. Ah, tapi ia abaikan ingatan itu. Menurutnya mimpi hanya bunga tidur, tidak usah terlalu dipercaya.Lelaki itu kembali menjalankan mobil, sampai di depan sebuah toko sepatu Ustadz Syafiq turun dan berterima kasih telah memberi tumpangan."Ustadz yakin saya tidak perlu menunggu?""In Syaa Allah Pak, nanti saya naik taksi saja. Terima kasih sekali sudah mau mengantar sampai di sini.""Sama-sama Ustadz, yasudah saya pamit duluan ya."Wisnu kembali menjalankan mobilnya tapi seketika terhenti saat melih

  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   60. Jodoh Wisnu

    Hamid telah selesai menjalani bakti di PMDG Ponorogo. Setelah melalui serangkaian acara pelepasan dari ponpes, akhirnya Dila dapat memeluk kembali putra pertamanya itu. Walau hanya sebentar karena setelah ini justru dia akan kehilangan sang putra lebih lama dan besar kemungkinan untuk tidak dapat dijenguk seperti dahulu saat masih di Gontor. Karena Hamid telah dinyatakan lulus pada seleksi ujian masuk ke Universitas Al-Azhar, Mesir.Dila sekeluarga kompak dengan pakaian berwarna hijau muda. Mereka terlihat begitu bahagia, memeluk sang anak dan menyempatkan diri berfoto untuk terakhir kali di ponpes tersebut.Sementara itu Hamid terlihat gelisah, ia terus melirik jam di pergelangan tangan. Seseorang yang janjinya juga akan datang belum jua sampai. Ia masih menunggu kehadiran sang Papa. Karena diliputi rasa khawatir, akhirnya ia meminta ponsel yang dititip pada sang mama selama mengikuti pendidikan. Tujuannya hanya satu, menelpon papa.Pamit sebentar ke tempat yang lebih sepi, Hamid me

  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   59. Perjuangan Berbuah Bahagia

    Satu tahun kemudian ...Tangis bayi terdengar membelah langit subuh kala itu. Air mata Dila jatuh di kedua pipi. Sang suami mengusap perlahan. Rasa sakit karena kontraksi yang terus menerjang rahim terbayar sudah dengan merasakan gerakan jemari kecil sang bayi yang kini diletakkan di atas perut untuk mencari-cari puting susunya.Farhan mengusap bulir keringat yang membasahi pelipis, pelan mengecup kening sang istri dengan lembut."Makasih ya, Ma. Kamu sudah menyempurnakanku sebagai seorang ayah."Dila menanggapinya dengan senyuman serta usapan pada pipi sang suami."Mau diberi nama apa Ma bayinya?"Dila kembali menatap sang suami. "Mama serahkan sama Abi aja, karena tebakan Mama salah."Dila mengulum senyum, selama hamil mereka memang sepakat untuk tidak mencari tahu jenis kelamin.Namun, mereka menyiapkan dua nama, jika perempuan Dila yang beri nama. Dan jika lelaki maka Farhanlah yang memberi nama anak mereka.Farhan terlihat berpikir sejenak. Sebuah nama memang kerap melintas di b

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status