Share

7. Tangis Lara Wisnu

Author: Wahyuni SST
last update Last Updated: 2022-07-04 16:25:38

[Handphone Wisnu dari tadi sore sudah dihubungi, tapi tidak bisa terhubung, Dila. Apa kamu punya nomornya yang lain?]

[Nggak, Ma. Seharian ini aku juga belum menghubunginya.]

[Atau coba telpon ke perusahaannya aja, Dil. Siapa tahu mereka bisa menyampaikan kabar duka ini pada suamimu. Kasihan Wisnu Dil, jika sampai besok pagi dia tidak pulang, kemungkinan besar jenazah langsung dikebumikan, walau nantinya Wisnu pasti akan kecewa karena tak dapat melihat sang Ibu untuk terakhir kali.]

[Iya, Ma. Biar Dila coba nelpon.]

Hati teriris, tapi aku mencoba tegar. Dengan perasaan tak karuan akhirnya aku menelpon Mas Wisnu. Siapa tahu sudah aktif.

Jurusan yang anda tuju sedang berada diluar jangkauan.

Ternyata benar kata Mama, nomornya tidak aktif. Dasar lelaki, mau lanjut drama apa lagi Mas Wisnu bersama Dita?

Ya Allah, hati ini seperti teremas-remas dengan kuat. Bayangan bahwa semua yang dikatakan Mas Wisnu kemarin adalah bohong kini memenuhi kalbu. Apa jangan-jangan, dia sengaja mengatakan jika Dita kecelakaan supaya bisa berduaan tanpa ada yang mengganggu.

Jika benar hal itu yang kamu inginkan, maka selamat Mas. Kamu akan menangis darah saat tahu ibumu telah tiada dan kamu tak bisa melihat jenazahnya untuk terakhir kali.

Kubuang napas panjang, rasanya ingin mengabaikan saja permintaan mama tapi rasa kasihan membuat tangan ini akhirnya menelpon ke nomor perusahaan. Berbicara sejenak menyampaikan maksud pada seseorang di seberang sana, tapi ternyata suamiku tidak masuk dinas. 

Dengan begitu, hanya tersisa satu cara untuk memberitahu Mas Wisnu, yaitu dengan menghubungi Dita.

Tapi maaf Mas, untuk yang satu ini aku tidak bisa melakukannya. 

Sebab itulah kuputuskan untuk menyimpan kembali ponsel dan meneruskan perjalanan pulang.

*

Pemakaman telah selesai, aku dan keluarga besar suami kembali ke rumah. Terlihat sebuah nomor tak dikenal menelpon ke ponselku. 

Jujur sangat malas melayani. Dengan beban yang kini kupikul saja, aku merasa ingin menyerah dan pergi menjauh dari kehidupan yang sudah kujalani ini. Tapi jika memandang tiga buah hati, akal pikiran ini menuntut untuk tegar.

Setelah panggilan kuabaikan, kini sebuah pesan masuk masuk kembali ke ponsel ini. Tangan mencoba mengecek.

[Ma, ini Papa. Tolong diangkat telponnya.]

Mas Wisnu? 

Nomor itu kembali memanggil. Kali ini aku menjawab panggilan tersebut.

[Ma, ini Papa. Ponsel Papa hilang dari kemarin. Papa mau keluar, tapi Dita belum bisa ditinggal.]

Dita lagi?

Mendengar nama wanita itu, apa yang ingin kukatakan pada Mas Wisnu seakan menghilang begitu saja dari benak.

[Oya, semalam Mama ada nelpon Papa ke kantor?]

[Iya.]

[Maafkan Papa ya, Ma. Papa jadi terlihat mengabaikan Mama. Papa janji setelah Dita sehat, Papa akan pulang.]

Aku menahan sakit di dada. Lalu mencoba membuka suara.

[Mama nelpon Papa karena ingin memberitahu, bahwa Ibu sudah meninggalkan kita semua.]

Sejenak Mas Wisnu terdiam.

[Ibu pergi kemana?]

Air mataku kembali mengenang di pelupuk. Dia bahkan tak punya firasat tentang kepergian ibunya sendiri?

[Ibu sudah berpulang ke Rahmatullah.]

[Apa? Mama jangan bercanda, Ma.]

[Mana berani Mama bercanda tentang kematian, Pa. Papa terlalu sibuk dengan wanita itu, lalu sekarang lihat apa yang terjadi?]

[Tidak, Ibu masih hidup. Mana bohong 'kan?]

Tangis Mas Wisnu pecah di seberang sana.

[Tolong, jangan biarkan Ibu dikebumikan sebelum Papa sampai.]

[Papa terlambat. Ibu meninggal sudah semenjak kemarin sore, jadi tidak bisa menunggu lebih lama lagi.]

[Apa? Tega Mama membiarkan mereka mengebumikan jenazah Ibu, sedang Papa belum sempat melihatnya.]

[Papa pikir ini semua kehendak Mama. Asal Papa tahu, Pak Le yang menyarankan semua itu, Mama bisa apa.]

[Seharusnya Mama menelpon Papa ke ponselnya Dita? Untuk hal penting seperti ini, harusnya Mama bisa lebih peka. Berkorban sedikit akan menampakkan kemuliaan Mama di mata Papa, bukan seperti ini.]

[Buat apa Mama menampakkan kemuliaan di mata Papa, untuk mengemis cinta. Maaf Pa, Mama tidak bisa melakukan hal itu. Seharusnya Papa membuka cara berpikir, jika kemarin Papa ikut Mama, tentu Papa bisa mengantar jenazah ibu sampai ke tempat peristirahat terakhirnya. Tapi yang Papa lakukan apa? Membiarkan Mama pulang sendiri dengan alasan Dita. Jujur ya Pa, Mama yakin Dita kecelakaan itu cuma alasan 'kan?]

[Kenapa ini terus sih yang didebatkan, Ma? Sudah Papa tidak mau dengar lagi. Yang jelas, Mama sudah benar-benar mengecewakan Papa hari ini!]

Tut ...

Dia mematikan telpon. Ya Allah ... Seumur pernikahan, tak pernah Mas Wisnu berbicara dengan nada tinggi padaku apalagi sampai mematikan telpon tanpa basa basi. Tapi hari ini ia membuktikan bahwa kehadiran wanita itu telah mengubah segalanya.

*

Mas Wisnu bersimpuh di depan makam sang ibu, air mata mengalir di kedua pipi. Pasti ini adalah duka terberat untuknya. Wanita yang teramat dimuliakan di dunia ini, menutup usia tanpa bisa ia menatap untuk terakhir kali.

Semoga ini menjadi pengalaman berharga untukmu, Mas. Kamu harus tahu satu hal, bahwa akan ada ganjaran dari setiap kesalahan. Kau ingin punya dua istri, tapi jika kau tak bisa menjaga perasaan salah satunya, maka akan dicatat di sisi Allah sebagai sebuah kesalahan. Karena pada hakikatnya poligami sunnah jika membawa kebahagiaan, dan berubah menjadi dosa apalagi saling menyakiti.

Semakin banyak kesalahan yang kamu perbuat, maka semakin banyak cobaan yang Allah beri untuk menggugurkan dosa-dosamu itu. 

Aku membalikkan tubuh dan kembali ke rumah, setelah melihatnya di pemakaman secara diam-diam.

Sekitar dua jam Mas Wisnu di sana, saat pulang ia memasang muka masam padaku. Mungkin masih menganggap semua ini karena kesalahanku yang tidak mau menghubungi Dita.

Sampai mama melihat gerak-gerik kami dan akhirnya menanyakan apa yang terjadi. 

"Ada apa, Dila? Selama ini yang Mama tahu kamu selalu menyambut kepulangan suamimu, tapi kenapa dengan hari ini? Apa Wisnu melakukan kesalahan?"

Aku menoleh dan menatap matanya. Tak lagi terbendung, air mata terlebih dahulu menggambarkan keadaan hati. Baru setelahnya satu persatu kejujuran itu keluar dari bibir ini.

"Dila ingin bercerai, Ma."

Aku menutup ceritaku dengan kata cerai.

"Bercerai? Astaghfirullah. Dila, hatimu sedang dipenuhi amarah. Jangan gegabah mengambil keputusan."

"Tiga belas tahun, Ma. Aku menemaninya dari dia bukan siapa-siapa hingga punya segalanya. Hampir dua tahun, aku berjuang merawat tiga buah hatinya seorang diri. Aku ikhlaskan ia pergi ke pulau lain dengan alasan mencari rejeki. Dan apa yang kudapat, sebuah pengkhianatan. Hatiku hancur, Ma." 

"Istighfar, Nak. Jangan biarkan amarah menghancurkan semuanya."

"Dila berbicara apa adanya, Ma. Buat apa bertahan jika hanya menciptakan rasa sakit."

"Anakku, rasa sakit yang dialami seorang manusia, sebenarnya bersumber dari hati dan pikirannya sendiri. Karena hati adalah tempatnya segala penyakit. Jika kamu memilih bercerai, maka wanita itu menang. Kamu tak dapat apapun. Tapi bertahanlah, tunjukkan pada wanita itu bahwa dia salah telah merebut suamimu dengan curang seperti ini. Dan tunjukkan pada Wisnu, bahwa kamu lebih baik dari yang lain, dan yang paling utama kamu harus menunjukkan pada suamimu bahwa kamu tidak patut diduakan dengan cara seperti ini, Dila."

"Mama memintaku bersedia dimadu?"

"Dila, Mama tidak memintamu seperti itu. Mama hanya ingin, apapun yang kamu lakukan, keputusan apapun yang akan kamu ambil, hendaklah dilakukan dengan pikiran jernih dan hati yang tenang. Agar syaitan tidak membisikkan kata-kata yang akan membuat manusia pada akhirnya salah dalam memilih langkah. Beri hatimu waktu untuk berpikir dengan matang. Dibarengi doa dan ihktiar, In Syaa Allah, Allah akan membimbing langkahmu ke jalan yang baik."

Aku kembali menatap mama. Meski tak sepenuhnya menghilangkan lara, tapi nasehat beliau sedikit banyak bisa meredam amarah yang terus bergejolak. Benar, aku harus bisa menenangkan diri agar bisa mengambil keputusan tepat hingga tidak menimbulkan penyesalan dikemudian hari.

*

[Gimana Fa, surat lamaran kerja Mbak kemarin?] tanyaku pada adik sepupu di seberang telpon.

[Beres Mbak. Besok langsung test.]

[Hah, besok? Aduh persiapannya belum matang ini, gimana?]

[Santai aja Mbakku Sayang. Fanya yakin kalau Mbak Dila yang ikutan, pasti langsung diterima.]

[Aamiinn makasih banyak Fanya sayang atas segala bantuannya.]

[Jangan sungkan, Mbak. Besok tak tunggu di kantor ya.]

[Oke siap.]

Kututup telpon dari Fanya dengan perasaan sedikit berdebar. Esok aku akan kembali bekerja. Aku harus bisa mengendalikan amarahku dengan mencari kesibukan di luar rumah. 

Aku paham, kesuksesan dan produktifitas akan membawa seseorang untuk lebih berlaku dan berpikir positif, yang mana hal itu akan mendorong semangat hidup mereka demi mencapai target yang diinginkan. 

Bismillah, aku akan bekerja agar bisa sukses dan memiliki penghasilan pribadi.

Kuletakkan kembali ponsel dan berniat hendak keluar kamar. Tapi sangat terhenyak saat membalikkan tubuh dan mendapati Mas Wisnu sudah berada di sini. 

Netra kami saling memandang.

Semenjak kemarin dia pulang, kami belum berbicara satu patah katapun. Dan semalam juga aku memutuskan untuk tidur di kamar anak-anak. 

Kira-kira apakah dia akan menyalahkanku lagi?

"Mama habis nelpon siapa?"

"Fanya," jawabku singkat sambil meneruskan langkah keluar kamar.

"Ada keperluan apa Fanya menelpon Mama?"

"Mama mau kerja, Fanya yang bantu masukkan lamaran Mama di perusahaan tempatnya bekerja."

"Apa, kerja?"

***

Bersambung

Utamakan baca Al-Quran.

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Asrida Asrida
ingin kali baca sampai habis karena penasaran
goodnovel comment avatar
Hairita Dwi Astuti
biasa yaa laki laki kl jauh dr keluarga.. semoga kita selalu dlm bimbingandan lindungan Alloh yaa..Aamiin
goodnovel comment avatar
Tukang nulis
penasaran, tapi ujungnya nanti istrinya akan lebih sukses dari suaminya..
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   8. Noda Pernikahan

    POV WisnuAku berjalan dengan perasaan resah, perkiraan bahwa semua akan berjalan baik-baik saja ternyata seratus delapan puluh derajat tak sama. Yang semula tertutup rapat kini terbuka secara gamblang. Tak menunggu lama, bahkan istri pertamaku tahu pernikahan kedua ini hanya dalam hitungan satu bulan.Sungguh bak memakan buah simalakama. Aku masih sangat mencintai Dila, terlebih dari pernikahan kami sudah ada tiga buah hati yang begitu kusayangi. Namun, meninggalkan Dita pun tak dapat aku lakukan. Sebab kenyataan, wanita itu pun sudah sedemikian mengisi hati ini."Semua bukan salah Dita."Aku meyakinkan diri sendiri bahwa rahasia ini terkuak bukan karena Dita yang sengaja membocorkan tapi entah siapa yang menjadi dalang dibalik semuanya. Siapapun itu, kenyataan Dila sudah mengetahui, kini yang harus aku lakukan adalah meyakinkan Dila agar bisa menerima kehadiran Dita, begitu pula dengan anak-anak.Kuleluarkan ponsel dalam saku celana dan menelpon Raul. Sahabat yang sudah mengenalka

    Last Updated : 2022-07-04
  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   9. Tak Seperti Khayalan

    Setelah mempertimbangkan dengan matang, aku memutuskan untuk tidak menjalankan saran Raul. Hatiku menciut jika harus berbohong untuk kedua kalinya. Maka, tidak ada pilihan lain, meski terlihat tak adil tapi aku harus melepaskan Dita. Demi keutuhan rumah tanggaku bersama Dila. Renungan sebelum akhirnya dua netra ini terpejam perlahan.Tepat jam dua belas malam, netra ini terbuka karena merasakan getaran ponsel. Dita mengirim pesan dan memintaku menemuinya.Padahal tadi aku dan Dila baru saja bertengkar hebat hingga diri tertidur tanpa sadar.Mungkin ini saatnya kuselesaikan semua. Kubalikkan tubuh dan mendapati Dila sudah tertidur dengan tubuh sepenuhnya tertutup selimut."Ma, Papa pergi dulu ya. Papa akan selesaikan semuanya malam ini juga. Maafkan Papa."Kukecup kepala Dila dari balik selimut lalu perlahan keluar dari mess. Langkah kini menjejak rumah istri keduaku, walau sudah lewat tengah malam, Dita tetap menyambut seperti biasa, dengan pelayanan prima. Gaun selutut dan rambut te

    Last Updated : 2022-07-05
  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   10. Kecemburuan Wisnu

    Aku sampai di depan perusahaan dimana selama ini Fanya bekerja. Netra kualihkan ke segala penjuru untuk memastikan keberadaan adik sepupuku itu. Dan di kejauhan beberapa meter, terlihat seorang gadis cantik berhijab melambaikan tangannya.Itu dia Fanya.Diripun menarik langkah mendekat."Hai Fan, udah lama nunggu?""Baru juga, Mbak. Ayo Mbak masuk."Aku dan Fanya kini sudah memasuki lobi dan duduk sejenak di kursi tunggu. Beberapa orang lalu lalang dan saling melempar sapa pada adik sepupuku. Tak menyia-nyiakan kesempatan, Fanya pun mengenalkan diri ini pada hampir semua teman-temannya yang menyapa.Tak lama, seorang lelaki berbadan tegap dan cukup berwibawa masuk melalui pintu utama. Aku menajamkan penglihatan.Astaghfirullah. Raka? Kenapa bisa ada di perusahaan ini?"Mbak, itu lo direktur di perusahaan ini."Suara Fanya bagai busur yang memanah tepat di jantung. Aku tidak mungkin bekerja di sini, jika berkepalakan lelaki yang dulu kutolak cintanya karena lebih memilih Mas Wisnu.

    Last Updated : 2022-07-06
  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   11. Tak Beradab

    "Angkat saja, Bi. Letakkan di pinggir jalan. Palingan ini cuma penipuan," ucapku lantang. Sengaja supaya Dita segera bangkit jika memang sedang bermaksud membuat drama."Diletakkan di pinggir jalan, Bu? Tapi sepertinya wanita ini tidak berbohong. Dia benaran pingsan, Bu."Mendengar ucapan Bu Surti membuat diri ini pada akhirnya memilih berjongkok dan mengecek napas serta keadaan mata. Kuangkat tangannya lalu kulepas, jatuh seketika.Sepertinya Dita memang tidak sedang berbohong, dia benar-benar pingsan. Apa maunya sih perempuan ini? Kenapa dia kemari dan malah pingsan begini?Aku melirik jam di tangan, sebelum Mas Wisnu pulang, aku harus segera membawanya ke tempat lain.Segera aku menelpon grab dan meminta dijemput. Hanya berselang lima menit, kendaraan itu sampai di depan rumah."Tolong bantu saya Bi, angkat perempuan ini ke mobil.""Oh baik, Bu.""Mama mau kemana?""Mama pergi ke rumah sakit sebentar ya Nak, nganterin Bunda ini.""Emang dia siapa sih, Ma?""Mama juga nggak kenal. T

    Last Updated : 2022-07-08
  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   12. Talak Yang Diucapkan Wisnu

    Dada ini berdegup kencang mendengar ucapan Rifka. Entah kenapa rasa takut mengerjap.[Pengakuan apa, Rif?][Gimana ya, em tapi Mbak selidiki lagi ya kebenarannya.][Iya, cepat katakan, Rif.][Mas Wisnu semalam bawa perempuan ke hotel, Mbak. Temanku yang ngomong. Dia bahkan kirim barang bukti sebuah foto Mas Wisnu sama perempuan itu. Aku kirim ke hp Mbak, ya.][Iya, Rif.][Tapi Mbak nanti kalau nanyakan sama Mas Wisnu jangan bawa-bawa nama aku ya, Mbak.][Iya, Rif. Mbak nggak akan bawa nama kamu. Makasih ya, Rif.][Iya, Mbak. Sama-sama. Sedih aja aku, Mbak. Ibu baru aja menutup usia, tapi Mas Wisnu sudah begituan sama perempuan lain. Pokoknya Mbak harus kuat, ya. Jangan sampai kalah sama pelakor.][Iya, sayang. Makasih ya.][Iya, Mbak.]Kututup telpon dari Rifka. Selama ini Rifka dan ibu memang sangat menyayangiku, terlebih apapun yang diberikan Mas Wisnu kepada keluarganya, sedikitpun tak pernah kutahan. Selama kebutuhanku dan anak-anak terpenuhi, ya biarlah. Ibu juga sudah renta, jad

    Last Updated : 2022-07-08
  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   13. Akhir Kisah Kita

    Azan berkumandang, tapi keadaan rumah sudah seperti neraka. Terasa panas, hingga sekujur tubuh bergetar menahan hawanya."Istighfar, Bu. Istighfar."Syukur ada Bi Surti yang mengingatkanku untuk memohon ampun kepada Allah. Seketika bibir mengucap istighfar dan setelahnya aku memeluk anak-anak untuk kemudian mengajak mereka keluar. Tapi, Safia menolak."Papa ...."Tangis Safia hampir meruntuhkan benteng pertahananku. Aku goyah. Namun, kucoba untuk membujuknya ikut."Ikut Mama ya, Nak. Biar Papa di sini dulu nenangin diri."Safia masih menatap Mas Wisnu, pun sama halnya dengan lelaki itu. Tapi aku segera menghalau pandangan mereka dengan berdiri di tengah. "Ayo Nak, kita pergi."Safia mengangguk lalu berjalan lunglai seiring langkahku."Kita mau kemana, Ma?""Sementara ke rumah Bunda Fanya.""Papa gimana, Ma?" tanya Hamid."Papa biar tenang dulu, nanti Mama bicara lagi sama Papa, ya."Ketiga buah hatiku mengangguk paham, lalu lekas diri menelpon grab. Tepatnya lepas azan, mobil pesanan

    Last Updated : 2022-07-12
  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   14. Wisnu Bimbang

    Bahkan sejauh ini, masih aku yang salah dimatanya? Aku yang tak bisa menerima akibat kesalahannya? Ya Rabbi, tentu tidak semudah itu berbagi cinta, Mas. Kenapa kau masih tidak bisa memahami perasaanku?Kuusap wajah perlahan, menyapu cairan yang sudah membanjiri wajah. Sampai kapan mau menangis lemah seperti ini? Aku harus kuat. Mas Wisnu pergi, itu artinya dia ingin aku yang membereskan surat cerai kami.Ya Allah, aku tahu cerai adalah perbuatan yang paling Engkau benci. Tapi aku tak kuat berbagi. Aku takut tersakiti hingga khawatir akan semakin menambah kebencian pada suamiku sendiri. Ampuni hamba ya Allah, hamba belum bisa berlemah lembut dalam mengungkapkan kekecewaan. Ampuni hamba telah melakukan hal yang paling Engkau benci ya Rabbi.Meskipun Mas Wisnu mengatakan bahwa rumah ini adalah milik kami, tapi aku tetap tidak akan membawa anak-anak kembali ke tempat ini, sebelum hakim sendiri yang melakukan pembagian harta gono gini.Kuambil semua barang-barang yang sudah siap di dalam

    Last Updated : 2022-07-12
  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   15. Terpecah Dua

    Setelah membayar sejumlah uang, aku menuruni grab dan menatap bangunan yang ada di depan mata. Sekian banyak kamar dengan cat berwarna hijau terletak hampir memenuhi seluruh halaman.Aku menghela napas, bukan rumah seperti ini yang kuinginkan. Ya Allah, dimana aku bisa menemukan rumah yang nyaman dengan harga murah?Kutatap cincin palladium pemberian Mas Wisnu sebagai hadiah ulangtahun pernikahan kami tahun lalu. Ya Allah, bahkan benda ini masih melingkar pada jemari dengan indah.Kuelus beberapa kali sebelum akhirnya kumantapkan hati untuk menjualnya. Bismillah, semoga gantinya akan lebih baik dari ini. Sinar matahari semakin terik, panas menyengat membuat peluh mengucur di pelipis. Aku tidak boleh membuang-buang waktu. Lebih baik kucari melalui aplikasi saja biar lebih mudah.Kubuka beberapa aplikasi, tapi kenapa semua tidak ada yang cocok dengan keinginan hati. Sejenak melirik jam di tangan yang sudah menunjukkan pukul dua belas siang.Besar keinginan diri untuk bertanya pada sal

    Last Updated : 2022-07-12

Latest chapter

  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   67. Akhir Kisah (TAMAT)

    "Semua salah Papa, Kak. Papa yang sudah membuat keluarga kita hancur."Wisnu berucap dengan suara bergetar dan dua matanya yang basah. Hal itu membuat Safia ikut menangis. Terenyuh dengan keadaan, Dila mendekati sang anak dan memeluknya."Sudah jangan menangis, Nak."Ia mengusap kepala sang anak yang berbalut hijab."Benarkah tidak ada kesempatan kedua untuk Papa, Ma?"Dila menghela napas dalam, wajahnya menatap Wisnu sejenak."Mama sudah pernah mengatakan hal ini, Kak. Kesempatan kedua selalu ada, tapi masalahnya saat ini Mama adalah seorang janda dari lelaki lain. Perasaan Mama sudah berbeda, ada cinta yang berusaha ingin Mama jaga untuk almarhum Abi Farhan. Tapi seandainya saat ini Mama tidak pernah dipertemukan Allah dalam sebuah mahligai yang suci bersama Abi, mungkin Mama akan menerima untuk kembali bersama Papa."Dia memberi jeda pada ucapannya."Mas Wisnu, apa Mas ridha dengan keputusan saya ini?"Wisnu menatap Dila lalu berpindah pada sang anak, detik berikutnya dia mengangg

  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   66. Pilihan Berat

    Perasaan Dila seketika berubah, yang tadi sepenuhnya diliputi bahagia kini berganti cemas. Dia menutup telpon."Kenapa, Ma?"Hamid bertanya juga dengan perasaan khawatir."Safia sedang menemani Papa di rumah sakit.""Rumah sakit, Papa kenapa, Ma?""Mama belum tahu, Nak."Mereka terdiam sejenak."Yaudah gini aja, Papa biarkan sama Safia. Nanti setelah semua tamu undangan meninggalkan rumah ini, kita sama-sama ke rumah sakit ya."Dila memberi solusi."Jangan Ma, Mama ke rumah sakit aja nemani Safia. Kalau Papa parah, pastinya dia ketakutan. Di sini biar aku sepenuhnya yang handle."Dila menghela napas berat, situasi ini benar-benar tidak dia kehendaki. Tapi inilah yang dinamakan takdir, ia harus ikhlas dan mencoba melakukan yang terbaik. Hamid benar, di sana Safia pasti ketakutan. Terdengar dari suaranya di telpon yang bergetar. Dila tidak mungkin membiarkan anak gadis itu berjuang seorang diri. Meski tidak untuk melakukan apapun, tapi setidaknya bisa mendampingi buah hati tercinta.*

  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   65. Berdamai Dengan Takdir

    Detik berikutnya ia menghela napas berat."Menikah bukan perkara mudah Kak, umur Mama sekarang sudah lima puluh tahun. Sudah tidak cocok lagi untuk menikah.""Kenapa Ma, bahagia 'kan tidak perlu memikirkan orang lain. Jika kita bahagia, umur tujuh puluh tahun pun boleh menikah.""Iya Sayang, tapi permasalahannya nggak semudah yang Kakak pikir. Mama bahkan masih merasa Abi membersamai Mama hingga detik ini. Jadi Mama tidak bisa menikah kembali dengan Papa. Mama mohon Kakak sama anak Mama yang lain bisa mengerti ya, Nak."Safia menatap wajah sang ibu dengan tatap kekecewaan, tapi diusia yang kini sudah menginjak 21 tahun, dia tentu memahami perasaan sang ibu. Ya, mungkin cinta Mama ke Abi masih terlalu besar, hingga tak mampu jika harus kembali pada papa. Ia kembali melipat rapat keinginan melihat Mama-Papanya bisa tersenyum bersama dalam satu rumah.*Dila berbaring di atas ranjang, pandangannya lurus menatap langit-langit kamar yang hanya bersinarkan cahaya remang lampu tidur. Permin

  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   64. Permintaan Anak-Anak

    Mereka duduk di teras villa milik Wisnu, sejenak hening. Keduanya benar-benar diliputi kecanggungan."Mas mau bicara apa?" tanya Dila terlihat begitu tenang. Sedang di tempatnya, Wisnu merasa teramat berdebar. Seakan kembali ke jaman dahulu saat hendak meminta sang wanita menjadi istri, kini perasaan itu kembali membersamai."Apa kabar?"Bingung mau menanyakan apa, akhirnya Wisnu berbasa basi menanyakan kabar.Dila justru tersenyum. "Mas 'kan hampir setiap minggu ketemu saya. Apa Mas menemukan saya dalam keadaan tidak baik?"Mereka saling memandang, detik berikutnya sama-sama tertawa kecil. Alhamdulillah, setidaknya ini awal yang baik setelah tadi sempat memanas. Hati Wisnu berkata."Maksud Mas bukan kabar yang itu?""Jadi kabar apa lagi?"Wisnu memaksakan diri untuk tersenyum. Sepertinya dengan bertambah umur, kosakata jadi berkurang? Lelaki itu menarik napas dalam."Maksud Mas kabar hati kamu. Yah, setelah Farhan tiada?""Beginilah Mas, sepi. Sebab dia adalah lelaki yang bisa memb

  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   63. Cinta Untuk Dila

    "Kamarmya luas banget ya, Ma. Duh, sepi kalau cuma kita berdua. Coba aja ada Adek, Faro sama Papa.""Kak."Dila tampak tak senang dengan perandaian sang anak anak. Membuat Safia tersenyum mengatup mulut, merasa salah berucap yang pada akhirnya membuat mamanya tak suka. Gadis itu memilih mengganti topik pembicaraan."Gimana kalau kita ke kolam renang, Ma?"Dila menghela napas dalam."Yaudah, yuk."Dila mencoba menghubungi Fatma dan mengajak ke kolam renang, tapi wanita itu menolak secara halus karena anak-anak sama ayahnya lagi ada kegiatan di kamar. Mereka berencana menyusul sekitar satu jam kemudian.Safia tampak menerima telpon.[Iya Mas, lagi dimana?][...][Hah? Di sini juga. Sama siapa?][....][Oh gitu, jadi ramai-ramai sama teman?][...][Sama keluarga.][....][Ketemuan?]Safia menatap sang Mama.[Lain kali aja deh, lagi family time soalnya.][...][Sorry yah.][...]Safia menutup telpon dengan perasaa tidak enak. Selama ini memang sang Mama kerap mengingatkan untuk tidak terl

  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   62. Setelah Tujuh Tahun Berlalu

    Tujuh tahun, rasanya masih kurang waktuku mendampinginya. Mas Farhan, lelaki yang selama ini menemani dengan penuh kasih dan cinta akhirnya menutup mata diusia ke lima puluh lima tahun.Sedih? Ya. Jiwaku seperti kembali menemukan kehampaan. Selama pernikahan kami, dia memberi apa yang kubutuhkan. Tak ada satu hal pun yang membuatnya bisa menaruh amarah padaku, dia terlalu baik dan bahkan bagiku jelmaan bidadara.Bersamanya, hanya ada Ammar yang kini berusia enam tahun dua bulan. Meskipun baru duduk di kelas satu SD, tapi dia sangat paham akan kehilangan yang kami semua rasakan. Dua hari terlewati, putraku tersebut masih berteman dengan kebisuan.Ya, bagaimanapun selama ini dia begitu dekat dengan Abinya. Perpisahan ini tentu meninggalkan goresan dalam sanubari. Aku mencoba menghibur, tapi dia justru memintaku untuk membiarkannya sendiri.Ya Allah ...Semoga keadaan segera membaik. Juga hati ini, semoga segera menemukan kembali ketenangan dan keceriaan. Karena bagaimanapun, bahagia an

  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   61. Penolakan Wisnu

    "Assalamualaikum Pak Wisnu, saya boleh menumpang di mobil Bapak tidak? Kebetulan mobil saya mogok. Dan sore ini saya harus sudah punya sebuah hadiah yang akan saya berikan untuk Uminya anak-anak. Kebetulan hari ini adalah hari milad beliau.""Tentu boleh Ustadz. Mari masuk.""Ini entah sejalan atau tidak, tapi saya minta diantar sampai ke toko sepatu saja Pak Wisnu."Wisnu terhenyak saat mendapati Ustadz Syafiq memintanya mengantar ke toko sepatu. Mimpi beberapa malam lalu kembali terlintas. Ah, tapi ia abaikan ingatan itu. Menurutnya mimpi hanya bunga tidur, tidak usah terlalu dipercaya.Lelaki itu kembali menjalankan mobil, sampai di depan sebuah toko sepatu Ustadz Syafiq turun dan berterima kasih telah memberi tumpangan."Ustadz yakin saya tidak perlu menunggu?""In Syaa Allah Pak, nanti saya naik taksi saja. Terima kasih sekali sudah mau mengantar sampai di sini.""Sama-sama Ustadz, yasudah saya pamit duluan ya."Wisnu kembali menjalankan mobilnya tapi seketika terhenti saat melih

  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   60. Jodoh Wisnu

    Hamid telah selesai menjalani bakti di PMDG Ponorogo. Setelah melalui serangkaian acara pelepasan dari ponpes, akhirnya Dila dapat memeluk kembali putra pertamanya itu. Walau hanya sebentar karena setelah ini justru dia akan kehilangan sang putra lebih lama dan besar kemungkinan untuk tidak dapat dijenguk seperti dahulu saat masih di Gontor. Karena Hamid telah dinyatakan lulus pada seleksi ujian masuk ke Universitas Al-Azhar, Mesir.Dila sekeluarga kompak dengan pakaian berwarna hijau muda. Mereka terlihat begitu bahagia, memeluk sang anak dan menyempatkan diri berfoto untuk terakhir kali di ponpes tersebut.Sementara itu Hamid terlihat gelisah, ia terus melirik jam di pergelangan tangan. Seseorang yang janjinya juga akan datang belum jua sampai. Ia masih menunggu kehadiran sang Papa. Karena diliputi rasa khawatir, akhirnya ia meminta ponsel yang dititip pada sang mama selama mengikuti pendidikan. Tujuannya hanya satu, menelpon papa.Pamit sebentar ke tempat yang lebih sepi, Hamid me

  • Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan   59. Perjuangan Berbuah Bahagia

    Satu tahun kemudian ...Tangis bayi terdengar membelah langit subuh kala itu. Air mata Dila jatuh di kedua pipi. Sang suami mengusap perlahan. Rasa sakit karena kontraksi yang terus menerjang rahim terbayar sudah dengan merasakan gerakan jemari kecil sang bayi yang kini diletakkan di atas perut untuk mencari-cari puting susunya.Farhan mengusap bulir keringat yang membasahi pelipis, pelan mengecup kening sang istri dengan lembut."Makasih ya, Ma. Kamu sudah menyempurnakanku sebagai seorang ayah."Dila menanggapinya dengan senyuman serta usapan pada pipi sang suami."Mau diberi nama apa Ma bayinya?"Dila kembali menatap sang suami. "Mama serahkan sama Abi aja, karena tebakan Mama salah."Dila mengulum senyum, selama hamil mereka memang sepakat untuk tidak mencari tahu jenis kelamin.Namun, mereka menyiapkan dua nama, jika perempuan Dila yang beri nama. Dan jika lelaki maka Farhanlah yang memberi nama anak mereka.Farhan terlihat berpikir sejenak. Sebuah nama memang kerap melintas di b

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status