Jantung sudah berdenyut hebat, sedang napas terasa tercekat di tenggorokan. Apa yang harus kulakukan jika benar yang dikatakan Dita bahwa lelaki beristri yang sudah menikahinya adalah Mas Wisnu, suamiku?
Ah, aku tidak boleh berprasangka buruk. Lebih baik aku mengulik lebih dalam dari sahabatku itu.
Dengan perasaan tak karuan, aku melihat Dita mengambil ponsel dan menelpon suaminya.
[Mas, kok putar balik?]
[...]
[Oh gitu, yaudah Mas hati-hati, ya.]
[....]
[Lo kok bisa? Kita 'kan baru nikah, Mas?]
[....]
[Makanya aku bilang, Mas berhenti aja. Ikut jualan sama aku ngurus toko peninggalan suami aku beres. Daripada gini, diperintah terus sama orang lain 'kan?]
[....]
Aku melihat Dita tersipu malu. Lalu dia mengangguk dan menutup telpon. Wajahnya kini tertuju padaku.
"Suamiku nggak jadi pulang, katanya boss minta diantar lagi. Yah, begitulah kalau kerja jadi bawahan orang lain, Dil. Udah lama aku minta dia berhenti kerja, lalu kerja sama aku aja ngurusi semua toko-toko peninggalan suamiku, tapi dia nggak mau. Memang kalau nikah sama lelaki pekerja keras, kudu sabar, ya."
Aku memaksakan diri tersenyum, sedang hati meletup-letup karena penasaran. Bagaimana ya caranya bertanya supaya tidak terkesan ingin tahu.
Kuhela napas berat.
"Dil, suamimu asli orang Balik Papan?"
Pandangan Dita tertuju padaku.
"Bukan, emang kenapa?"
"Ah, nggak. Aku cuma penasaran aja."
Ayo Dit, jawab.
"Eh, masuk lagi yuk. Kita nostalgia sambil karaoke. Kamu masih suka nyanyi 'kan?"
Duh, pertanyaanku diabaikan. Dita kini menarik tanganku dan membawa ke sebuah ruangan kedap suara.
"Di sini aku kerap menumpahkan segala emosi. Ini ambil kamu satu."
"Anakmu mana, Dit?"
"Sekolah dia, udah ayuk kamu duluan."
Kutarik napas berat. Oke tak mengapa sejenak aku mengikuti kemauannya. Setelah ini aku akan kembali mencari tahu.
*
Sudah sepuluh lagu kami jambani berdua. Karena lelah, Dita mengajakku makan. Dia masih sering menatap ponsel. Sepertinya satu-satunya cara untuk tahu siapa suami Dita, hanya dengan melihat ponselnya.
Kami sudah selesai makan.
"Kok kamu kelihatan resah gitu, Dit?" tanyaku melihatnya yang masih saja terus memerhatikan ponsel.
"Kangen aku Dil sama suamiku. Ah, mana malam ini dia nggak bisa nginap di rumah lagi."
"Kenapa?" tanyaku penasaran.
"Barusan dia kirim pesan, katanya ada saudara yang datang berkunjung."
"Emang suamimu tinggal dimana, Dit?"
"Tadinya di Mess khusus untuk pekerja di pertambangan. Tapi beberapa bulan lalu, aku membelikannya rumah. Jadi sekarang dia udah tinggal di rumah itu, di daerah Tanjung."
Alhamdulillah, dugaanku keliru. Mas Wisnu 'kan masih tinggal di mess pertambangan.
"Emang nama suamimu siapa, Dit?"
Dua netranya menatapku tajam. Membuat jantung ini berdegup cepat.
"Dari tadi kamu nanya suamiku terus, emang ada apa sih?"
"Enggak Dit, aku cuma waspada aja. Takutnya suamiku sama suamimu malah orang yang sama. 'Kan tadi kamu bilang suamimu udah beristri, ya?"
"Idih kamu, emang suamimu tipe nggak setia, ya?"
"Ya laki mana tahu Dit, jauh sama istri takutnya tergoda. Apalagi aku sama Mas Wisnu udah LDR selama dua tahun."
Dita terhenyak.
"Kenapa, Dit?"
"Nggak papa," jawabnya dengan mimik wajah berubah.
"Tapi kalau aku sama suami, nggak seperti yang kamu ceritakan itu. In Syaa Allah aku nggak pernah mengabaikan Mas Wisnu walaupun kamu berjauhan. Aku malah yang selalu minta ikut, tapi dia yang minta aku bersabar. Nunggu anak pertama kami selesai menuntut ilmu di sekolah dasarnya."
"Oh gitu. Oh iya, Dil. Aku lupa harus jemput anakku di sekolahnya. Kamu mau nungguin aku di rumah? Tapi habis jemput dia, aku harus singgah ke toko sebentar. Mau ngecek kata karyawan ada barang baru masuk. Gimana?"
Aku menatap Dita yang kelihatan tergesa-gesa bangkit, tak seperti tadi dia terlihat sangat semangat dengan kedatanganku. Kini justru nampak keberatan.
"Aku pulang aja, Dit."
"Yah, padahal baru sebentar kita ketemu. Tapi yaudah deh, semoga bisa ketemu lain kali, ya."
Dita kok nggak ngelarang aku pulang, ya? Padahal kupikir pertemuan sama Dita bakalan seru seperti yang dulu-dulu, mana jauh-jauh lagi datang dari Jakarta sampai merogoh isi dompet yang tidak seberapa. Duh, nasib. Sampai sini malah bawaannya jadi curigaan.
"Oya Dil, kamu diantar supirku aja ya sampai ke Tabalong. Biar nggak kerepotan naik angkutan umum."
"Ah, jangan Dit. Nanti malah ngerepotin supirmu."
"Nggaklah. Yuk bareng supirku aja ya. Tapi bentar, aku ganti pakaian dulu."
Kuanggukkan kepala lalu memilih duduk di sofa tepat di depan ruang karaoke. Sedang Dita berjalan menuju kamarnya. Selepas kepergian Dita, dua netraku menatap sebuah benda yang tanpa sengaja diletakkan begitu saja di atas meja.
Ponsel.
Dada terasa berdebar, kala aku memutuskan untuk bangkit dan menyentuh benda pipih itu.
Dengan melihat kontak suami Dita di ponsel ini, aku pasti bisa tahu siapa sebenarnya lelaki yang sudah memperistri sahabatku itu.
Ponsel kini sudah di tangan, tapi mata kugunakan kembali untuk memastikan apakah ada yang memantau.
Bismillah.
Aku menghidupkan ponsel itu, syukur tidak terkunci. Lanjut jemari ini lalu menekan tombol menu hingga terlihat seluruh aplikasi.
Tujuanku cuma satu, W******p.
Dada semakin berdebar, tapi kucoba untuk tetap tenang. Aplikasi berwarna hijau itu kini sudah kubuka. Selangkah lagi diri akan tahu siapa suami Dita sebenarnya.
Paling atas, aku menemukan sebuah nama yang membuat jantung ini seketika berdegup sangat kencang.
My lovely hubby.
Foto profilnya pernikahan mereka, dimana wajah lelaki yang menjadi suami Dita tertutup stiker. Aku mencoba mengecek nomor ponsel.
Ya Allah, dada ini berdegup tak karuan. Takut jika dugaanku menjadi kenyataan.
Fuih ...
Aku membuang napas lega, saat tahu bahwa nomor yang tertera di nama ini bukanlah nomor Mas Wisnu suamiku. Tapi aku harus lebih jauh mencari tahu. Kembali tangan ini menscroll pesan dalam akun tersebut.
Semua isinya hanya sebatas percakapan suami istri. Ya Allah, sepertinya kecurigaan sungguh-sungguh tak beralasan.
Dengan segera aku keluar dari aplikasi tersebut, apalagi setelah mendapati mereka berbicara lebih pribadi soal urusan ranjang.
Kini jemari pindah ke galeri foto. Siapa tahu ada satu saja foto suami Dita yang jelas terlihat wajahnya. Tentunya, supaya dugaan burukku sempurna patah.
Tapi, tak ada satupun foto suami Dita yang tidak dipakaikan stiker. Kenapa masih terasa mengganjal di hati ya Allah?
Aku menghela napas berat. Lalu meletakkan kembali ponsel Dita di atas meja.
"Lama nunggu, Dil?"
Aku terhenyak, untung saja ponsel Dita sudah kuletakkan pada tempatnya semula.
"Yuk kuantar kamu sampai ke mobil."
Lekas tubuh mengikuti langkah Dita hingga sampai di mobilnya.
"Pak, tolong antar sahabat saya ke Tabalong."
"Iya baik, Mbak."
Aku berpamitan pada Dita, lalu menaiki mobilnya. Ah, hati masih penuh tanda tanya. Padahal sudah jelas 'kan bukan Mas Wisnu suami Dita. Tapi perasaan ini kenapa masih tidak tenang?
Sudah lima belas menit perjalanan, aku hanya terdiam sembari membuka-buka ponsel. Hingga supir mobil ini melempar pertanyaan.
"Mbak asli orang Tabalong?"
"Nggak Pak, saya orang Jakarta."
"Wah, jauh juga melancong sampai ke Kalimantan?"
"Iya, Pak. Udah lama nggak ketemu Dita. Pas lihat dia posting foto pernikahan, jadi pengen ketemu. Pas kebetulan, suami saya juga kerja di Tabalong, yaudah sekali bisa ke tempat beliau," jawabku panjang lebar.
"Oh begitu. Mbak di Jakarta mananya?Suami Mbak Dita juga orang Jakarta."
"Orang Jakarta?"
Aku sedikit terhenyak mendapati ucapan lelaki itu.
"Iya, Mbak. Saya dengar sih begitu."
"Bapak punya fotonya nggak, kok saya jadi penasaran ya? Tadi justru lupa minta lihat foto orangnya sama Dita."
"Wah, kalau foto, semua foto Pak Wisnu diminta pakaikan stiker, Mbak."
"Wisnu? Nama suami Dita Wisnu?"
Ya Allah, hatiku semakin cenat cenut. Dan semakin kemari terasa sangat takut jika ternyata benar Mas Wisnu sudah mengkhianati diri ini.
"Iya, Mbak. Wisnu Pratama."
Astaghfirullah, kenapa namanya bisa sama? Tapi Dita kenapa diam saja tadi saat kusebut nama suamiku Wisnu?
"Bapak benar-benar nggak punya fotonya satupun yang tanpa stiker?"
"Sebenarnya ada, Mbak. Foto yang saya ambil diam-diam. Tapi ya itu saya nggak berani nyebarin atau perlihatkan sama siapapun. Karena ini sesuai perintah Mbak Dita."
"Sama saya saja kok, Pak. Saya janji tidak akan memberitahu pada siapapun juga pada Dita. Saya penasaran banget, Pak. Padahal jauh-jauh dari Jakarta ke Kalimantan pengen kenal sama lelaki yang sudah berhasil memperistri Dita. Sampai sini malah lupa, keasyikan karaoke tadi," bujukku dengan segala cara.
Dan sepertinya kali ini, lelaki paruh baya itu tampak setuju. Sambil sebelah tangan memegang setir, tangannya yang lain mengambil hp dari saku tali pinggang lalu membuka galeri dan memperlihatkan sebuah foto yang berhasil membuat tubuh ini seolah tersengat aliran listrik beribu-ribu volt.
"Mas Wisnu? Jadi benar dugaanku, Mas Wisnu sudah menikahi wanita lain?
Astaghfirullah, kenapa Mas? Kenapa sampai begini?"
"Boleh saya lihat secara dekat, Pak?" tawarku pada lelaki itu.
Tiba-tiba mobil yang ada di depan mobil kami mengerem mendadak. Ponsel di tangan supir itu jatuh ke bawah. Lekas aku mengambil ponsel tersebut, dan mengirimkan foto secara cepat ke ponselku.
Dengan bukti foto ini, Mas Wisnu tidak bisa lagi mengelak.
Tunggu kamu, Mas. Kamu berani bermain api, maka bersiaplah untuk terbakar.
***
Bersambung
Terima kasih.
Utamakan baca Al-Quran.
Sesampai di mess, denyut jantung sudah berdegup tak karuan. Tidak bisa kukatakan lagi bagaimana berkecemuknya jiwa, hati yang ingin menjerit sekencang-kencangnya. Meski beberapa kali menarik dan membuang napas panjang, tapi perasaan masih saja seperti badai. Bergejolak kesana kemari.Dengan gemetar, kugerakkan tangan untuk menelpon Mas Wisnu. Degup di dada semakin berpacu.Ya Allah, tolong tenangkan lah jiwa ini.Panggilan masukTut .[Hallo Ma]Aku menggigit bibir yang bergetar tiba-tiba, pita suara ini bahkan tak bisa mengeluarkan suara. Ingin rasanya menangis dan meraung-raung, tapi tidak bisa.[Hallo, Mama ...][Iya, Pa][Mama nggak papa 'kan?][Nggak Pa. Papa dimana sekarang?][Papa masih dijalan, Mama udah pulang?][Udah. Kapan Papa pulang?]Aku mencoba sekuat tenaga untuk tidak memangis, meski sejujurnya hati menjerit.[Papa baru bisa pulang nanti malam, Ma. Ini masih ada kegiatan sama boss]Alasannya sama, di sana dia membuat pengakuan boss minta jemput. Padahal kedapatan ada
"Jangan terus menyebut pisah, Ma. Kita tidak boleh berpisah, jika memang Mama tidak setuju ...." Mas Wisnu menarik napas panjang. "Papa akan melepas Dita. Yang penting kita tetap bersama, kasihan anak-anak Ma jika pada akhirnya tahu kedua orang tua mereka justru bercerai." Suara Mas Wisnu terdengar berat, aku tak menjawab karena satu kata lagi saja keluar dari mulut ini, maka tangisku akan pecah. Kubekap kembali mulut sekuat tenaga. Dia tak lagi berbicara. Hingga waktu yang lama, kami terus terbalut dalam kebisuan tentunya dengan dua kegundahan yang berbeda. Jam terus bergulir, kini mata terasa lelah untuk terbuka dan ingin sekali kupejamkan walau sejenak. Namun, dering ponsel membuat kedua netraku kembali terbelalak. Siapa yang sudah menelpon, apa Dita? Mengingat nama sahabatku itu, rasanya amarah menyerbu kewarasan. Teganya dia menjadi yang ketiga diantara aku dan Mas Wisnu. Benarkah dia tidak tahu sama sekali jika yang menikahinya adalah suamiku? Kutarik napas berat lalu memb
"Ijinkan aku bicara sebentar saja Mas dengan Dila.""Kumohon jangan sekarang, Dit.""Kenapa, Mas? Aku mau menjelaskan semuanya. Tentang kita yang sudah tidak bisa terpisahkan lagi. Tolong, Mas."Aku mendengar semuanya. Jadi ini maunya? Baik, aku akan memberi apa yang dia mau, tapi sebelumnya, biar kuajarlan bagaimana sakitnya menginginkan sesuatu dengan cara yang tidak baik."Siapa, Mas?"Aku pura-pura tidak tahu. Lalu berjalan hingga mendekati mereka berdua. Barulah kupasang wajah marah."Dila, aku minta maaf sama kamu. Sungguh aku tidak tahu jika Mas Wisnu adalah suamimu."Aku menatapnya tenang, meski hati sekuat tenaga ingin mengamuk."Sekarang kamu 'kan sudah tahu semuanya, maka mundurlah. Aku sebagai istri pertama merasa tersakiti dengan pernikahan kalian yang terjadi tanpa sepengetahuanku. Coba kau ada di posisiku, Dit. Suami yang kau cintai ternyata tega menikah diam-diam dengan wanita lain yang ternyata adalah sahabatmu sendiri. Bagaimana perasaanmu, Dit?"Dia terdiam. "Terus
"Kenapa? Papa takut 'kan karena sudah menikah tanpa sepengetahuan Mama?""Papa benar-benar minta maaf, Ma.""Tidak cukup dengan kata maaf saja, Pa. Mama mau Ibu tahu persoalan ini. Beliau yang lebih paham secara agama tentu punya pandangan yang lebih baik. Apakah benar caramu meminta Mama bersedia menerima poligami atau sebaliknya."Mas Wisnu tak dapat lagi menjawab, wajahnya menunduk lemah."Hari ini juga Mama mau pulang. Papa ikut atau mau bersenang-senang lagi dengan istri muda di pulau ini?""Tolong jangan bicara seperti itu, Ma."Aku membuang wajah, sedang Mas Wisnu tampak menghela napas berat, seolah merasa pilihan yang kuberi sangat berat untuk dia jalani. Menyadari hal demikian, tanpa menunggu aku segera meraih ponsel untuk mengecek tiket seorang diri."Papa ikut sama Mama, biar Papa yang pesan tiketnya."Dia menghentikan tanganku lalu mengeluarkan ponsel untuk mengecek tiket pesawat. Beberapa kali ia menekan tombol pada layar ponsel hingga akhirnya mengatakan,"Selesai. Kebe
[Handphone Wisnu dari tadi sore sudah dihubungi, tapi tidak bisa terhubung, Dila. Apa kamu punya nomornya yang lain?][Nggak, Ma. Seharian ini aku juga belum menghubunginya.][Atau coba telpon ke perusahaannya aja, Dil. Siapa tahu mereka bisa menyampaikan kabar duka ini pada suamimu. Kasihan Wisnu Dil, jika sampai besok pagi dia tidak pulang, kemungkinan besar jenazah langsung dikebumikan, walau nantinya Wisnu pasti akan kecewa karena tak dapat melihat sang Ibu untuk terakhir kali.][Iya, Ma. Biar Dila coba nelpon.]Hati teriris, tapi aku mencoba tegar. Dengan perasaan tak karuan akhirnya aku menelpon Mas Wisnu. Siapa tahu sudah aktif.Jurusan yang anda tuju sedang berada diluar jangkauan.Ternyata benar kata Mama, nomornya tidak aktif. Dasar lelaki, mau lanjut drama apa lagi Mas Wisnu bersama Dita?Ya Allah, hati ini seperti teremas-remas dengan kuat. Bayangan bahwa semua yang dikatakan Mas Wisnu kemarin adalah bohong kini memenuhi kalbu. Apa jangan-jangan, dia sengaja mengatakan jik
POV WisnuAku berjalan dengan perasaan resah, perkiraan bahwa semua akan berjalan baik-baik saja ternyata seratus delapan puluh derajat tak sama. Yang semula tertutup rapat kini terbuka secara gamblang. Tak menunggu lama, bahkan istri pertamaku tahu pernikahan kedua ini hanya dalam hitungan satu bulan.Sungguh bak memakan buah simalakama. Aku masih sangat mencintai Dila, terlebih dari pernikahan kami sudah ada tiga buah hati yang begitu kusayangi. Namun, meninggalkan Dita pun tak dapat aku lakukan. Sebab kenyataan, wanita itu pun sudah sedemikian mengisi hati ini."Semua bukan salah Dita."Aku meyakinkan diri sendiri bahwa rahasia ini terkuak bukan karena Dita yang sengaja membocorkan tapi entah siapa yang menjadi dalang dibalik semuanya. Siapapun itu, kenyataan Dila sudah mengetahui, kini yang harus aku lakukan adalah meyakinkan Dila agar bisa menerima kehadiran Dita, begitu pula dengan anak-anak.Kuleluarkan ponsel dalam saku celana dan menelpon Raul. Sahabat yang sudah mengenalka
Setelah mempertimbangkan dengan matang, aku memutuskan untuk tidak menjalankan saran Raul. Hatiku menciut jika harus berbohong untuk kedua kalinya. Maka, tidak ada pilihan lain, meski terlihat tak adil tapi aku harus melepaskan Dita. Demi keutuhan rumah tanggaku bersama Dila. Renungan sebelum akhirnya dua netra ini terpejam perlahan.Tepat jam dua belas malam, netra ini terbuka karena merasakan getaran ponsel. Dita mengirim pesan dan memintaku menemuinya.Padahal tadi aku dan Dila baru saja bertengkar hebat hingga diri tertidur tanpa sadar.Mungkin ini saatnya kuselesaikan semua. Kubalikkan tubuh dan mendapati Dila sudah tertidur dengan tubuh sepenuhnya tertutup selimut."Ma, Papa pergi dulu ya. Papa akan selesaikan semuanya malam ini juga. Maafkan Papa."Kukecup kepala Dila dari balik selimut lalu perlahan keluar dari mess. Langkah kini menjejak rumah istri keduaku, walau sudah lewat tengah malam, Dita tetap menyambut seperti biasa, dengan pelayanan prima. Gaun selutut dan rambut te
Aku sampai di depan perusahaan dimana selama ini Fanya bekerja. Netra kualihkan ke segala penjuru untuk memastikan keberadaan adik sepupuku itu. Dan di kejauhan beberapa meter, terlihat seorang gadis cantik berhijab melambaikan tangannya.Itu dia Fanya.Diripun menarik langkah mendekat."Hai Fan, udah lama nunggu?""Baru juga, Mbak. Ayo Mbak masuk."Aku dan Fanya kini sudah memasuki lobi dan duduk sejenak di kursi tunggu. Beberapa orang lalu lalang dan saling melempar sapa pada adik sepupuku. Tak menyia-nyiakan kesempatan, Fanya pun mengenalkan diri ini pada hampir semua teman-temannya yang menyapa.Tak lama, seorang lelaki berbadan tegap dan cukup berwibawa masuk melalui pintu utama. Aku menajamkan penglihatan.Astaghfirullah. Raka? Kenapa bisa ada di perusahaan ini?"Mbak, itu lo direktur di perusahaan ini."Suara Fanya bagai busur yang memanah tepat di jantung. Aku tidak mungkin bekerja di sini, jika berkepalakan lelaki yang dulu kutolak cintanya karena lebih memilih Mas Wisnu.
"Semua salah Papa, Kak. Papa yang sudah membuat keluarga kita hancur."Wisnu berucap dengan suara bergetar dan dua matanya yang basah. Hal itu membuat Safia ikut menangis. Terenyuh dengan keadaan, Dila mendekati sang anak dan memeluknya."Sudah jangan menangis, Nak."Ia mengusap kepala sang anak yang berbalut hijab."Benarkah tidak ada kesempatan kedua untuk Papa, Ma?"Dila menghela napas dalam, wajahnya menatap Wisnu sejenak."Mama sudah pernah mengatakan hal ini, Kak. Kesempatan kedua selalu ada, tapi masalahnya saat ini Mama adalah seorang janda dari lelaki lain. Perasaan Mama sudah berbeda, ada cinta yang berusaha ingin Mama jaga untuk almarhum Abi Farhan. Tapi seandainya saat ini Mama tidak pernah dipertemukan Allah dalam sebuah mahligai yang suci bersama Abi, mungkin Mama akan menerima untuk kembali bersama Papa."Dia memberi jeda pada ucapannya."Mas Wisnu, apa Mas ridha dengan keputusan saya ini?"Wisnu menatap Dila lalu berpindah pada sang anak, detik berikutnya dia mengangg
Perasaan Dila seketika berubah, yang tadi sepenuhnya diliputi bahagia kini berganti cemas. Dia menutup telpon."Kenapa, Ma?"Hamid bertanya juga dengan perasaan khawatir."Safia sedang menemani Papa di rumah sakit.""Rumah sakit, Papa kenapa, Ma?""Mama belum tahu, Nak."Mereka terdiam sejenak."Yaudah gini aja, Papa biarkan sama Safia. Nanti setelah semua tamu undangan meninggalkan rumah ini, kita sama-sama ke rumah sakit ya."Dila memberi solusi."Jangan Ma, Mama ke rumah sakit aja nemani Safia. Kalau Papa parah, pastinya dia ketakutan. Di sini biar aku sepenuhnya yang handle."Dila menghela napas berat, situasi ini benar-benar tidak dia kehendaki. Tapi inilah yang dinamakan takdir, ia harus ikhlas dan mencoba melakukan yang terbaik. Hamid benar, di sana Safia pasti ketakutan. Terdengar dari suaranya di telpon yang bergetar. Dila tidak mungkin membiarkan anak gadis itu berjuang seorang diri. Meski tidak untuk melakukan apapun, tapi setidaknya bisa mendampingi buah hati tercinta.*
Detik berikutnya ia menghela napas berat."Menikah bukan perkara mudah Kak, umur Mama sekarang sudah lima puluh tahun. Sudah tidak cocok lagi untuk menikah.""Kenapa Ma, bahagia 'kan tidak perlu memikirkan orang lain. Jika kita bahagia, umur tujuh puluh tahun pun boleh menikah.""Iya Sayang, tapi permasalahannya nggak semudah yang Kakak pikir. Mama bahkan masih merasa Abi membersamai Mama hingga detik ini. Jadi Mama tidak bisa menikah kembali dengan Papa. Mama mohon Kakak sama anak Mama yang lain bisa mengerti ya, Nak."Safia menatap wajah sang ibu dengan tatap kekecewaan, tapi diusia yang kini sudah menginjak 21 tahun, dia tentu memahami perasaan sang ibu. Ya, mungkin cinta Mama ke Abi masih terlalu besar, hingga tak mampu jika harus kembali pada papa. Ia kembali melipat rapat keinginan melihat Mama-Papanya bisa tersenyum bersama dalam satu rumah.*Dila berbaring di atas ranjang, pandangannya lurus menatap langit-langit kamar yang hanya bersinarkan cahaya remang lampu tidur. Permin
Mereka duduk di teras villa milik Wisnu, sejenak hening. Keduanya benar-benar diliputi kecanggungan."Mas mau bicara apa?" tanya Dila terlihat begitu tenang. Sedang di tempatnya, Wisnu merasa teramat berdebar. Seakan kembali ke jaman dahulu saat hendak meminta sang wanita menjadi istri, kini perasaan itu kembali membersamai."Apa kabar?"Bingung mau menanyakan apa, akhirnya Wisnu berbasa basi menanyakan kabar.Dila justru tersenyum. "Mas 'kan hampir setiap minggu ketemu saya. Apa Mas menemukan saya dalam keadaan tidak baik?"Mereka saling memandang, detik berikutnya sama-sama tertawa kecil. Alhamdulillah, setidaknya ini awal yang baik setelah tadi sempat memanas. Hati Wisnu berkata."Maksud Mas bukan kabar yang itu?""Jadi kabar apa lagi?"Wisnu memaksakan diri untuk tersenyum. Sepertinya dengan bertambah umur, kosakata jadi berkurang? Lelaki itu menarik napas dalam."Maksud Mas kabar hati kamu. Yah, setelah Farhan tiada?""Beginilah Mas, sepi. Sebab dia adalah lelaki yang bisa memb
"Kamarmya luas banget ya, Ma. Duh, sepi kalau cuma kita berdua. Coba aja ada Adek, Faro sama Papa.""Kak."Dila tampak tak senang dengan perandaian sang anak anak. Membuat Safia tersenyum mengatup mulut, merasa salah berucap yang pada akhirnya membuat mamanya tak suka. Gadis itu memilih mengganti topik pembicaraan."Gimana kalau kita ke kolam renang, Ma?"Dila menghela napas dalam."Yaudah, yuk."Dila mencoba menghubungi Fatma dan mengajak ke kolam renang, tapi wanita itu menolak secara halus karena anak-anak sama ayahnya lagi ada kegiatan di kamar. Mereka berencana menyusul sekitar satu jam kemudian.Safia tampak menerima telpon.[Iya Mas, lagi dimana?][...][Hah? Di sini juga. Sama siapa?][....][Oh gitu, jadi ramai-ramai sama teman?][...][Sama keluarga.][....][Ketemuan?]Safia menatap sang Mama.[Lain kali aja deh, lagi family time soalnya.][...][Sorry yah.][...]Safia menutup telpon dengan perasaa tidak enak. Selama ini memang sang Mama kerap mengingatkan untuk tidak terl
Tujuh tahun, rasanya masih kurang waktuku mendampinginya. Mas Farhan, lelaki yang selama ini menemani dengan penuh kasih dan cinta akhirnya menutup mata diusia ke lima puluh lima tahun.Sedih? Ya. Jiwaku seperti kembali menemukan kehampaan. Selama pernikahan kami, dia memberi apa yang kubutuhkan. Tak ada satu hal pun yang membuatnya bisa menaruh amarah padaku, dia terlalu baik dan bahkan bagiku jelmaan bidadara.Bersamanya, hanya ada Ammar yang kini berusia enam tahun dua bulan. Meskipun baru duduk di kelas satu SD, tapi dia sangat paham akan kehilangan yang kami semua rasakan. Dua hari terlewati, putraku tersebut masih berteman dengan kebisuan.Ya, bagaimanapun selama ini dia begitu dekat dengan Abinya. Perpisahan ini tentu meninggalkan goresan dalam sanubari. Aku mencoba menghibur, tapi dia justru memintaku untuk membiarkannya sendiri.Ya Allah ...Semoga keadaan segera membaik. Juga hati ini, semoga segera menemukan kembali ketenangan dan keceriaan. Karena bagaimanapun, bahagia an
"Assalamualaikum Pak Wisnu, saya boleh menumpang di mobil Bapak tidak? Kebetulan mobil saya mogok. Dan sore ini saya harus sudah punya sebuah hadiah yang akan saya berikan untuk Uminya anak-anak. Kebetulan hari ini adalah hari milad beliau.""Tentu boleh Ustadz. Mari masuk.""Ini entah sejalan atau tidak, tapi saya minta diantar sampai ke toko sepatu saja Pak Wisnu."Wisnu terhenyak saat mendapati Ustadz Syafiq memintanya mengantar ke toko sepatu. Mimpi beberapa malam lalu kembali terlintas. Ah, tapi ia abaikan ingatan itu. Menurutnya mimpi hanya bunga tidur, tidak usah terlalu dipercaya.Lelaki itu kembali menjalankan mobil, sampai di depan sebuah toko sepatu Ustadz Syafiq turun dan berterima kasih telah memberi tumpangan."Ustadz yakin saya tidak perlu menunggu?""In Syaa Allah Pak, nanti saya naik taksi saja. Terima kasih sekali sudah mau mengantar sampai di sini.""Sama-sama Ustadz, yasudah saya pamit duluan ya."Wisnu kembali menjalankan mobilnya tapi seketika terhenti saat melih
Hamid telah selesai menjalani bakti di PMDG Ponorogo. Setelah melalui serangkaian acara pelepasan dari ponpes, akhirnya Dila dapat memeluk kembali putra pertamanya itu. Walau hanya sebentar karena setelah ini justru dia akan kehilangan sang putra lebih lama dan besar kemungkinan untuk tidak dapat dijenguk seperti dahulu saat masih di Gontor. Karena Hamid telah dinyatakan lulus pada seleksi ujian masuk ke Universitas Al-Azhar, Mesir.Dila sekeluarga kompak dengan pakaian berwarna hijau muda. Mereka terlihat begitu bahagia, memeluk sang anak dan menyempatkan diri berfoto untuk terakhir kali di ponpes tersebut.Sementara itu Hamid terlihat gelisah, ia terus melirik jam di pergelangan tangan. Seseorang yang janjinya juga akan datang belum jua sampai. Ia masih menunggu kehadiran sang Papa. Karena diliputi rasa khawatir, akhirnya ia meminta ponsel yang dititip pada sang mama selama mengikuti pendidikan. Tujuannya hanya satu, menelpon papa.Pamit sebentar ke tempat yang lebih sepi, Hamid me
Satu tahun kemudian ...Tangis bayi terdengar membelah langit subuh kala itu. Air mata Dila jatuh di kedua pipi. Sang suami mengusap perlahan. Rasa sakit karena kontraksi yang terus menerjang rahim terbayar sudah dengan merasakan gerakan jemari kecil sang bayi yang kini diletakkan di atas perut untuk mencari-cari puting susunya.Farhan mengusap bulir keringat yang membasahi pelipis, pelan mengecup kening sang istri dengan lembut."Makasih ya, Ma. Kamu sudah menyempurnakanku sebagai seorang ayah."Dila menanggapinya dengan senyuman serta usapan pada pipi sang suami."Mau diberi nama apa Ma bayinya?"Dila kembali menatap sang suami. "Mama serahkan sama Abi aja, karena tebakan Mama salah."Dila mengulum senyum, selama hamil mereka memang sepakat untuk tidak mencari tahu jenis kelamin.Namun, mereka menyiapkan dua nama, jika perempuan Dila yang beri nama. Dan jika lelaki maka Farhanlah yang memberi nama anak mereka.Farhan terlihat berpikir sejenak. Sebuah nama memang kerap melintas di b