“Aku ingin mengunjungi kakakku,” lanjut Arthur seraya mengubah genggamannya menjadi rangkulan pada pinggang Irish. “Kamu belum pernah mengunjunginya, ‘kan? Biar bagaimana pun, dia pernah menjadi calon suamimu.”Ucapan Arthur lantas membuat ingatan Irish tertarik ke dua setengah tahun lalu. Tepat dua minggu sebelum pesta pernikahannya berlangsung. Calon suaminya Ardian—saudara kembar Arthur meninggal dunia karena kecelakaan tunggal. Seharusnya, Irish memang tidak menikah dengan Arthur, tetapi dengan kembaran lelaki itu. Namun, kecelakaan tersebut menyebabkan Arthur harus menggantikan Ardian untuk menikahinya. Sebab, saat itu seluruh undangan telah disebar dan persiapan pernikahan telah mencapai 90%.Saat itu, Irish tak keberatan. Sejak awal, yang dirinya sukai memang Arthur. Ia berpikir pernikahannya dengan Arthur akan berakhir lebih baik. Namun, yang dirinya hadapi malah sikap dingin lelaki itu selama dua tahun pernikahan mereka. “Maaf, aku tidak pernah datang. Aku tidak tahu di man
Irish langsung menegang saat menyadari ucapannya yang terlalu frontal. Secara tidak sengaja, ia malah menyatakan perasaannya pada Arthur. Ia tak bisa menutupi kepanikannya saat Arthur menoleh dan menatapnya dengan sorot penuh makna. Irish hendak beranjak pergi dan berpura-pura seolah tak terjadi apa pun. Namun, Arthur malah menahan pergerakannya dan sengaja mengeratkan rangkulan di pundaknya. Membuatnya tak bisa pergi ke mana pun dan hanya bisa merutuki dirinya sendiri dalam hati. “Apa? Ulang sekali lagi,” pinta Arthur dengan tatapan intens. “Tidak. Kamu salah dengar,” tolak Irish gelagapan. Ia berdeham pelan. “Aku ingin kembali ke villa, di sini mulai panas.”Wajahnya sudah merah padam dengan dada berdebar. Irish benar-benar tak ingin memperpanjang perbincangan ini. Ia menyesal tidak berpikir dulu sebelum menjawab. Meskipun kenyataannya memang begitu, Arthur tidak perlu mengetahuinya. Di saat Irish sibuk melepaskan diri, Arthur langsung membungkam bibir wanita itu. Gerakannya ama
“Aku tidak yakin kamu akan mendapatkannya,” bisik Irish dengan senyum miring sembari melepas rangkulan di pundak Arthur. Irish meraih tas dan ponselnya, kemudian beranjak lebih dulu dari ruangannya. Kemarin-kemarin pertahanannya terlalu longgar hingga Arthur berpikir bisa mendapat yang lelaki itu inginkan. Apalagi setelah pernyataan perasaannya tak sengaja terlontar, Arthur tampak semakin percaya diri. “Aku dengar minggu depan kamu ikut peragaan busana. Mana undanganku?” tanya Arthur begitu mereka memasuki mobilnya. “Itu hanya peragaan busana kecil-kecilan. Undangannya terbatas. Memangnya orang sepertimu punya waktu?” sahut Irish yang sedang melakukan touch up. Sahabat mendiang ibunya mengadakan acara peragaan busana pekan depan. Wanita itu meminta Irish ikut serta. Acaranya memang tidak semewah fashion show lainnya. Namun, ini bisa menjadi awal yang baik untuk memperkenalkan rancangan Irish.Irish memberikan undangan tersebut pada Billy dan kakeknya juga ibu dan kakak tirinya. Ia
Irish merasa familiar dengan perawakan orang itu. Namun, saat ia ingin mengejar, lelaki itu sudah menghilang entah ke mana. “Siapa dia? Apa yang dia lakukan di sini?”Firasat Irish mendadak tak enak. Tempat ini memang bisa dilalui oleh siapa pun. Akan tetapi, lelaki dengan pakaian serba hitam tadi tampak sangat mencurigakan. Apalagi lelaki itu tampak ketakutan dan menghindar saat bertemu pandang dengannya. Arthur sudah pergi, Irish tak bisa meminta bantuan lelaki itu. Ia menghentikan langkah di ujung jalan dan mengedarkan pandangan, mencari sosok itu. Dirinya benar-benar kehilangan jejak. Irish hendak menyeberangi jalan, namun seseorang menyentuh lengannya. “Maaf membuat Ibu terkejut,” tutur asisten Irish yang menyusul wanita itu keluar. “Ada yang menunggu Ibu di ruangan.”“Oh baiklah,” jawab Irish seraya berbalik dan mengikuti langkah asistennya. Irish mengusir pikiran buruknya. Bisa jadi, ia salah sangka. Irish tak ingin asal menuduh orang tanpa alasan yang jelas. Firasatnya saja
Bentakan Arthur membuat Irish terlonjak. Namun, Irish di buat lebih terkejut lagi saat Arthur tiba-tiba memeluknya. Matanya langsung memerah dan berkaca-kaca. Arthur sering marah, namun tak pernah membentaknya sampai seperti barusan. Seharusnya sekarang Arthur tak berada di rumah. Irish tahu perjalanan dinas lelaki itu paling sebentar tiga hari. Sebab, ada banyak hal yang perlu lelaki itu selesaikan. Setelah itu dilanjut dengan acara Elyza yang sudah masuk dalam agenda kegiatan lelaki itu. Namun, belum genap 24 jam pergi, Arthur malah sudah kembali. Arthur mengurai pelukan dan menangkup wajah Irish. Saat itu pula ia baru menyadari jika wajah cantik itu berlinang air mata. Ia menghapus lelehan air mata itu dengan ibu jarinya dan bergumam, “Maaf, aku tidak bermaksud membentakmu. Ayo masuk.”Arthur menggandeng Irish memasuki kamar dan mengunci pintu. Irish yang terlihat syok membuatnya merasa bersalah. Ia membantu Irish duduk dan mengambilkan air minum untuk Irish dari galon yang terse
“Kenapa pintunya terkunci?!” pekik Irish panik. Kunci itu tak menempel di tempatnya. Irish kelimpungan mencari kunci ruangannya di setiap sudut. Bahkan, isi tanya sudah berhamburan ke mana-mana. Namun, tetap saja ia tak dapat menemukan kunci ruangannya. Padahal seingatnya ia tidak mengunci ruangannya. “Tolong! Tolong! Siapa pun tolong aku!”Irish berteriak sekuat tenaga sembari berusaha membuka pintu. Berharap ada orang yang melintas dan mendengar suaranya. Namun, sekarang sudah larut malam. Toko-toko di dekat butik ini pasti sudah tutup. Bahkan, seharusnya Irish juga tak berada di sini lagi. Asap yang mengepul sudah memenuhi ruangannya. Irish terus terbatuk karena sesak yang membelenggu dadanya. Ia masih berusaha membuka pintu ruangannya, namun tak berhasil. Ia mundur dari pintu dan berusaha mencari ponselnya yang entah berada di mana. Matanya perih dan berair, membuat penglihatannya kian minim. Irish nyaris tak bisa melihat apa pun. Listrik di butiknya juga sudah padam. Satu-sat
Arthur bangkit dari tempat duduknya dan berbicara dengan sang penelepon di dekat pintu. Irish dapat menangkap ekspresi panik sekaligus marah dari wajah lelaki itu. Sepertinya terjadi sesuatu yang fatal lagi hingga memancing amarah lelaki itu. “Arthur, ada apa?” tanya Irish khawatir. “Rumahku kebakaran,” jawab Arthur setelah mengakhiri panggilan tersebut. Irish terbelalak. “Ya ampun. Kapan kejadiannya? Apa penyebabnya? Bagaimana dengan Mama? Mama baik-baik saja, ‘kan?”Hubungan Irish dan Maudy memang sangat kacau. Namun, Irish pernah menganggap wanita paruh baya itu seperti ibunya sendiri. Mendengar kabar seperti ini membuatnya khawatir. Selain itu, ada banyak orang yang menempati rumah tersebut. Meskipun tak banyak kenangan indah yang Irish rasakan di rumah tersebut. Rumah itu telah menjadi tempat tinggalnya selama dua tahun pernikahannya dengan Arthur. Mendengar kabar ini membuat Irish sedih. Sebab, tak akan ada lagi kenangan yang tersisa. “Satu jam lalu. Aku tidak tahu apa peny
“Berapa banyak dia membayarmu?” Bukannya senang apalagi terharu, malah pertanyaan seperti itu yang meluncur dari bibir Irish. Sejak dulu, Karina selalu membela apa pun yang berkaitan dengan keluarga Jumantara. Tak peduli benar atau salah. Bahkan, saat wanita paruh baya itu mengetahui Arthur telah memiliki kekasih, dia tetap meminta Irish melanjutkan pernikahan. Oleh karena itu, Irish hanya menganggap pujian Karina pada Arthur sebatas bualan semata. Baiklah, Irish akui kepedulian Arthur padanya memang meningkat belakangan ini. Namun, itu pasti karena dirinya sedang mengandung darah daging lelaki itu. Namun, tentang cinta, tentu saja Irish tak percaya. Jelas-jelas yang Arthur cintai adalah Elyza. Itu tidak akan berubah apa pun yang terjadi. Kepedulian Arthur padanya hanya sebatas tanggungjawab dan kebetulan lelaki itu sedang gemar merecokinya belakangan ini. “Kenapa kamu sulit sekali mempercayai orang?” cibir Karina mendengar sindiran Irish. “Biar bagaimanapun, dia masih suamimu, j
“Selamat atas pembukaan butikmu. Mama akan mengajak teman-teman mama kemari. Mama yakin butikmu akan sukses,” tutur Maudy sembari menggandeng tangan Irish. “Terima masih, Ma. Kalau mama butuh gaun untuk acara apa pun, kabari aku. Aku akan menyiapkan yang terbaik,” jawab Irish seraya mengikuti langkah Maudy menelusuri butiknya yang baru saja diresmikan. Butuh waktu dua tahun hingga Irish yakin untuk kembali terjun ke dunia fashion. Sebenarnya, butik ini telah selesai dibangun sejak tahun lalu, namun karena masih banyak yang perlu dipersiapkan, peresmiannya baru dilaksanakan sekarang. Karina, Tristan, Billy, Prayoga hingga Maudy turut mempromosikan butik ini. Sedangkan Arthur sudah memesan beberapa jas untuk menghadiri beberapa acara besar, sekaligus membantu Irish promosi. Arthur juga telah merekomendasikan pakaian rancangan Irish pada beberapa kolega bisnisnya. Kini, butik Irish dipenuhi oleh teman-teman sosialita Maudy. Kejutan yang luar biasa bagi Irish. Sebab, ia tak menyang
“Kemarilah. Kenapa mengintip di sana?” tanya Arthur yang mendapati keberadaan Irish dari ekor matanya. Irish yang sedang memperhatikan gerakan tangan terampil Arthur kontan tersentak. Lelaki itu sedang menyuapi Kenneth dan Kennedy secara bergantian. Ia hanya ke toilet sebentar setelah menyiapkan makanan untuk si kembar dan anak-anaknya malah sudah disuapi oleh Arthur. “Bisa bicara sebentar?” pinta Irish pada Arthur yang sedang menyuapi Kenneth dan Kennedy di balkon penthouse. “Bicara saja. Kamu tidak perlu meminta izin.” Arthur masih sibuk mengelap mulut putra-putranya yang belepotan. Irish mengelap tangannya yang basah, lalu menyusul ke balkon. Ia duduk di samping Arthur, kemudian mengambil alih mangkuk makanan Kenneth dan menyuapi sang putra. Sedangkan Arthur berlanjut menyuapi Kennedy yang sudah tidak sabaran. “Biar aku yang menyuapi anak-anak. Kamu makan juga. Sekarang sudah siang,” ucap Arthur sembari menatap Irish sekilas. “Nanti saja. Aku masih kenyang,” jawab Irish semba
Arthur masih berbaring dengan posisi membelakangi pintu spontan menoleh ke sumber suara. Bukan suara mamanya yang terdengar, melainkan suara Irish. Dan benar-benar saja, ketika dirinya berbalik, Irish yang berdiri di depan pintu sembari membawa anak-anaknya di dalam stroller. “Ya sudah kalau kamu tidak menerima kami di sini, kami akan pergi.” Irish berpura-pura berbalik dan mendorong stroller si kembar, seolah-olah benar-benar akan pergi. Arthur spontan bangkit dan berakhir meringis karena tubuhnya masih nyeri. Irish yang hendak bermain-main dengan Arthur pun akhirnya dibuat khawatir dan langsung menghampiri lelaki itu. Lalu, membantu Arthur duduk dengan benar. “Mana yang sakit? Kenapa kamu bergerak sekaligus begitu? Apa aku harus menghubungi dokter?” berondong Irish yang tampak benar-benar khawatir. Arthur baru keluar dari rumah sakit kemarin. Lelaki itu belum benar-benar pulih. Pergerakan mendadak mungkin dapat membuat luka Arthur semakin parah. Irish hendak merogoh tasnya dan m
Tangan Maudy nyaris mendarat di wajah Irish, namun Irish lebih dulu menangkis tangan wanita paruh baya itu. Ia dapat membaca pergerakan Maudy dan tentu saja ia tak akan membiarkan itu terjadi. Meskipun saat ini dirinya memang bersalah atas kecelakaan Arthur. “Kamu mulai berani, hah?!” bentak Maudy sembari menarik tangannya yang masih dipegang oleh Irish. “Mama tidak mau menyapaku dulu? Sudah lama kita tidak bertemu.” Irish menyunggingkan senyum tipis. Ia tetap bersikap santai, berbanding terbalik dengan Maudy yang tampak sangat murka. “Mama mau minum apa? Sudah sarapan atau belum? Mau sarapan bersamaku?” tawar Irish yang sebenarnya tak memiliki apa pun untuk disuguhkan pada Maudy. Irish melakukan ini hanya untuk basa-basi saja sekaligus mencairkan suasana. Walaupun tampaknya Maudy sudah tidak mau diajak berbasa-basi lagi. Apalagi dengan banyaknya orang yang wanita paruh baya itu bawa. Ini seperti penggerebekan. Irish sudah bisa menebak jika Maudy akan bersikap seperti ini saat me
“Aku minta maaf. Dugaanku membuat rumah tangga kalian berantakan,” sesal Billy karena selama ini bersikukuh jika Arthur ingin mencelakai Irish. Billy pun tak menduga jika Elyza se licik ini sampai bisa merencanakan semuanya dengan mulus dan menjadikan Arthur sebagai kambing hitam. Billy sampai terkecoh dan mengira Arthur adalah dalang dari semuanya karena seluruh bukti mengarah pada lelaki itu. “Tidak apa-apa. Hubungan kami memang sudah berantakan sejak lama,” jawab Irish dengan senyum kaku. “Aku mau lihat buktinya. Apa saja yang dia katakan?” Irish memilih mengalihkan pembicaraan. Tak ingin memperpanjang pembahasan tentang rumah tangganya. Billy membuka tas dan menyalakan laptopnya. Ia langsung membuka file berisi bukti-bukti tentang keterlibatan Elyza dalam insiden di butik Irish. Bukan itu saja. Namun, juga beberapa insiden yang menimpa Irish. Semuanya karena perbuatan Elyza. Bahkan, orang yang menabrak Irish dan berujung menabrak Arthur hingga membuat lelaki itu lumpuh. Pemil
“Apa maksudmu?” tanya Arthur dengan kening mengerut. “Aku akan ikut denganmu.” Tanpa menunggu respon Arthur, Irish langsung masuk ke bangku bagian belakang mobil lelaki itu. Irish sudah memikirkan ini matang-matang. Ia memang ingin merawat Arthur. Meskipun Arthur tinggal bersama Maudy, ia tetap akan tinggal di tempat lelaki itu berada. Ini sebagai bentuk tanggungjawab dan ungkapan terima kasihnya pada Arthur. Barusan, Irish menelepon kakeknya dan meminta izin untuk tinggal bersama Arthur selama proses pemulihan lelaki itu. Entah sampai kapan, ia belum tahu pasti. Yang jelas, untuk saat ini ia benar-benar ingin merawat Arthur dulu hingga keadaan lelaki itu membaik. Cukup sulit mendapat izin dari Paryoga. Oleh karena itu, Irish agak lama berada di toilet saat bertelepon. Namun, pada akhirnya izin yang dirinya inginkan tetap ia dapatkan. Saat keluar dari sana, ia malah hampir tertinggal. Sedangkan dirinya tak tahu di mana tempat tinggal Arthur sekarang. “Kenapa kalian sangat tidak s
“Itu yang membuatmu di sini sekarang?” tanya Arthur sembari terkekeh pelan. Irish yang hendak menyimpan baskom di toilet spontan kembali berbalik dan melangkah ke bangsal Arthur. Ia menggeleng samar. Dirinya berada di sini bukan karena keadaan Arthur, bukan karena rasa bersalahnya. Namun, karena dirinya memang ingin berada di sini. “Bukan karena itu. Aku memang ingin merawatmu,” jawab Irish yang sudah jatuh berlutut di samping bangsal Arthur. Ia menyentuh tangan lelaki itu yang terpasang infus. Arthur mendengus pelan. “Berarti aku memang lumpuh? Kenapa diam saja? Kamu takut?”Irish mengangkat kepalanya. Membalas tatapan Arthur dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Ia dapat melihat dengan jelas kekecewaan di mata lelaki itu. Kondisi kaki lelaki itu pasti menjadi pukulan besar bagi Arthur dan akan menghambat banyak hal ke depannya. Sungguh, jika bisa bertukar posisi, Irish tak ingin Arthur menyelamatkannya hari itu. Biarlah dirinya yang celaka sebab tabrakan tersebut terjadi karena k
Saat menoleh ke belakang, Irish terbelalak melihat Arthur yang sudah membuka mata dan kini menggenggam tangannya. Ia mengerjapkan matanya, tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Namun, genggaman pada tangannya saat ini membuatnya tersadar jika ini nyata. “Apa sekarang wajahku menyeramkan?” tanya Arthur dengan suara serak dan satu alis terangkat. Irish spontan kembali melangkah ke arah Arthur dan memeluk lelaki itu. Air matanya menetes tanpa bisa dicegah. Lama-kelamaan isak tangisnya mulai terdengar. Ini benar-benar nyata, bukan bagian dari khayalannya. Bukan sekadar kelegaan yang dirinya rasakan. Perasaan menyiksa itu kini sepenuhnya hilang. “Akhirnya kamu sadar,” gumam Irish di sela isak tangisnya. Selama seminggu ini, Irish tak berhenti menyalahkan dirinya sendiri. Apalagi melihat kondisi Arthur yang tak menunjukkan perubahan signifikan. Rasanya, ia ingin bertukar posisi dengan lelaki itu. Sebab, memang seharusnya dirinya yang celaka. Arthur mengangkat tangan kirinya
“Apa ini bagian dari rencanamu juga?” gumam Billy sembari menatap Arthur yang masih memejamkan mata. Billy berhasil memaksa Irish untuk pulang dan istirahat di rumah. Sebagai gantinya, ia yang menjaga Arthur di sini. Arthur sudah dipindahkan ke ruang perawatan VVIP. Namun, hingga saat ini lelaki itu belum sadarkan diri. Dan Irish sudah berulang kali menanyakan kondisi Arthur melalui whatsapp. Billy yang baru kembali dari kantin rumah sakit langsung menarik kursi di samping bangsal Arthur. Ia mengamati wajah dan tubuh Arthur. Bukan hanya patah kaki, tangan kanan Arthur juga patah. Wajah lelaki itu penuh luka dengan kening yang diperban. “Kamu sangat bodoh kalau ini bagian dari rencanamu juga. Kamu bisa mati dan belum tentu Irish bersedia kembali padamu,” monolog Billy pada Arthur yang masih tak sadarkan diri. Arthur terlalu sering membuat skenario untuk menarik perhatian Irish. Oleh karena itu, Billy sedikit curiga jika ini adalah bagian dari rencana Arthur juga. Sebab, lelaki itu