Irish langsung menegang saat menyadari ucapannya yang terlalu frontal. Secara tidak sengaja, ia malah menyatakan perasaannya pada Arthur. Ia tak bisa menutupi kepanikannya saat Arthur menoleh dan menatapnya dengan sorot penuh makna. Irish hendak beranjak pergi dan berpura-pura seolah tak terjadi apa pun. Namun, Arthur malah menahan pergerakannya dan sengaja mengeratkan rangkulan di pundaknya. Membuatnya tak bisa pergi ke mana pun dan hanya bisa merutuki dirinya sendiri dalam hati. “Apa? Ulang sekali lagi,” pinta Arthur dengan tatapan intens. “Tidak. Kamu salah dengar,” tolak Irish gelagapan. Ia berdeham pelan. “Aku ingin kembali ke villa, di sini mulai panas.”Wajahnya sudah merah padam dengan dada berdebar. Irish benar-benar tak ingin memperpanjang perbincangan ini. Ia menyesal tidak berpikir dulu sebelum menjawab. Meskipun kenyataannya memang begitu, Arthur tidak perlu mengetahuinya. Di saat Irish sibuk melepaskan diri, Arthur langsung membungkam bibir wanita itu. Gerakannya ama
“Aku tidak yakin kamu akan mendapatkannya,” bisik Irish dengan senyum miring sembari melepas rangkulan di pundak Arthur. Irish meraih tas dan ponselnya, kemudian beranjak lebih dulu dari ruangannya. Kemarin-kemarin pertahanannya terlalu longgar hingga Arthur berpikir bisa mendapat yang lelaki itu inginkan. Apalagi setelah pernyataan perasaannya tak sengaja terlontar, Arthur tampak semakin percaya diri. “Aku dengar minggu depan kamu ikut peragaan busana. Mana undanganku?” tanya Arthur begitu mereka memasuki mobilnya. “Itu hanya peragaan busana kecil-kecilan. Undangannya terbatas. Memangnya orang sepertimu punya waktu?” sahut Irish yang sedang melakukan touch up. Sahabat mendiang ibunya mengadakan acara peragaan busana pekan depan. Wanita itu meminta Irish ikut serta. Acaranya memang tidak semewah fashion show lainnya. Namun, ini bisa menjadi awal yang baik untuk memperkenalkan rancangan Irish.Irish memberikan undangan tersebut pada Billy dan kakeknya juga ibu dan kakak tirinya. Ia
Irish merasa familiar dengan perawakan orang itu. Namun, saat ia ingin mengejar, lelaki itu sudah menghilang entah ke mana. “Siapa dia? Apa yang dia lakukan di sini?”Firasat Irish mendadak tak enak. Tempat ini memang bisa dilalui oleh siapa pun. Akan tetapi, lelaki dengan pakaian serba hitam tadi tampak sangat mencurigakan. Apalagi lelaki itu tampak ketakutan dan menghindar saat bertemu pandang dengannya. Arthur sudah pergi, Irish tak bisa meminta bantuan lelaki itu. Ia menghentikan langkah di ujung jalan dan mengedarkan pandangan, mencari sosok itu. Dirinya benar-benar kehilangan jejak. Irish hendak menyeberangi jalan, namun seseorang menyentuh lengannya. “Maaf membuat Ibu terkejut,” tutur asisten Irish yang menyusul wanita itu keluar. “Ada yang menunggu Ibu di ruangan.”“Oh baiklah,” jawab Irish seraya berbalik dan mengikuti langkah asistennya. Irish mengusir pikiran buruknya. Bisa jadi, ia salah sangka. Irish tak ingin asal menuduh orang tanpa alasan yang jelas. Firasatnya saja
Bentakan Arthur membuat Irish terlonjak. Namun, Irish di buat lebih terkejut lagi saat Arthur tiba-tiba memeluknya. Matanya langsung memerah dan berkaca-kaca. Arthur sering marah, namun tak pernah membentaknya sampai seperti barusan. Seharusnya sekarang Arthur tak berada di rumah. Irish tahu perjalanan dinas lelaki itu paling sebentar tiga hari. Sebab, ada banyak hal yang perlu lelaki itu selesaikan. Setelah itu dilanjut dengan acara Elyza yang sudah masuk dalam agenda kegiatan lelaki itu. Namun, belum genap 24 jam pergi, Arthur malah sudah kembali. Arthur mengurai pelukan dan menangkup wajah Irish. Saat itu pula ia baru menyadari jika wajah cantik itu berlinang air mata. Ia menghapus lelehan air mata itu dengan ibu jarinya dan bergumam, “Maaf, aku tidak bermaksud membentakmu. Ayo masuk.”Arthur menggandeng Irish memasuki kamar dan mengunci pintu. Irish yang terlihat syok membuatnya merasa bersalah. Ia membantu Irish duduk dan mengambilkan air minum untuk Irish dari galon yang terse
“Kenapa pintunya terkunci?!” pekik Irish panik. Kunci itu tak menempel di tempatnya. Irish kelimpungan mencari kunci ruangannya di setiap sudut. Bahkan, isi tanya sudah berhamburan ke mana-mana. Namun, tetap saja ia tak dapat menemukan kunci ruangannya. Padahal seingatnya ia tidak mengunci ruangannya. “Tolong! Tolong! Siapa pun tolong aku!”Irish berteriak sekuat tenaga sembari berusaha membuka pintu. Berharap ada orang yang melintas dan mendengar suaranya. Namun, sekarang sudah larut malam. Toko-toko di dekat butik ini pasti sudah tutup. Bahkan, seharusnya Irish juga tak berada di sini lagi. Asap yang mengepul sudah memenuhi ruangannya. Irish terus terbatuk karena sesak yang membelenggu dadanya. Ia masih berusaha membuka pintu ruangannya, namun tak berhasil. Ia mundur dari pintu dan berusaha mencari ponselnya yang entah berada di mana. Matanya perih dan berair, membuat penglihatannya kian minim. Irish nyaris tak bisa melihat apa pun. Listrik di butiknya juga sudah padam. Satu-sat
Arthur bangkit dari tempat duduknya dan berbicara dengan sang penelepon di dekat pintu. Irish dapat menangkap ekspresi panik sekaligus marah dari wajah lelaki itu. Sepertinya terjadi sesuatu yang fatal lagi hingga memancing amarah lelaki itu. “Arthur, ada apa?” tanya Irish khawatir. “Rumahku kebakaran,” jawab Arthur setelah mengakhiri panggilan tersebut. Irish terbelalak. “Ya ampun. Kapan kejadiannya? Apa penyebabnya? Bagaimana dengan Mama? Mama baik-baik saja, ‘kan?”Hubungan Irish dan Maudy memang sangat kacau. Namun, Irish pernah menganggap wanita paruh baya itu seperti ibunya sendiri. Mendengar kabar seperti ini membuatnya khawatir. Selain itu, ada banyak orang yang menempati rumah tersebut. Meskipun tak banyak kenangan indah yang Irish rasakan di rumah tersebut. Rumah itu telah menjadi tempat tinggalnya selama dua tahun pernikahannya dengan Arthur. Mendengar kabar ini membuat Irish sedih. Sebab, tak akan ada lagi kenangan yang tersisa. “Satu jam lalu. Aku tidak tahu apa peny
“Berapa banyak dia membayarmu?” Bukannya senang apalagi terharu, malah pertanyaan seperti itu yang meluncur dari bibir Irish. Sejak dulu, Karina selalu membela apa pun yang berkaitan dengan keluarga Jumantara. Tak peduli benar atau salah. Bahkan, saat wanita paruh baya itu mengetahui Arthur telah memiliki kekasih, dia tetap meminta Irish melanjutkan pernikahan. Oleh karena itu, Irish hanya menganggap pujian Karina pada Arthur sebatas bualan semata. Baiklah, Irish akui kepedulian Arthur padanya memang meningkat belakangan ini. Namun, itu pasti karena dirinya sedang mengandung darah daging lelaki itu. Namun, tentang cinta, tentu saja Irish tak percaya. Jelas-jelas yang Arthur cintai adalah Elyza. Itu tidak akan berubah apa pun yang terjadi. Kepedulian Arthur padanya hanya sebatas tanggungjawab dan kebetulan lelaki itu sedang gemar merecokinya belakangan ini. “Kenapa kamu sulit sekali mempercayai orang?” cibir Karina mendengar sindiran Irish. “Biar bagaimanapun, dia masih suamimu, j
Ucapan Karina pada seseorang di telepon itu membuat Irish heran. Tanpa sadar, ia mulai fokus menguping. Entah siapa yang menghubungi wanita paruh baya itu. Tetapi, sepertinya seseorang yang hendak datang kemari. Tak mungkin orang itu Elyza, kan?Karina selalu berada di kubu Arthur. Namun, seharusnya ibu tirinya itu tak mengenal Elyza. Akan tetapi, Karina memang sering mendekati orang-orang yang memiliki koneksi ataupun ketenaran. Dan jika Karina benar-benar bersekongkol dengan Elyza, Irish tak akan segan mengusir ibu tirinya itu. “Tenang saja. Aku akan mengaturnya. Tapi, aku tidak bisa menjamin kapan Arthur kembali,” ucap Karina lagi. “Baiklah, aku tunggu!” Karina langsung mengakhiri panggilan tersebut usai selesai berbincang dengan sang penelepon di seberang sana. Selepas bertelepon, Karina kembali melangkah mendekati bangsal Irish. Kemudian, meletakkan ponselnya pada tas jinjing yang dibawanya. Setelah itu, Karina langsung membereskan sampah bungkus makanan yang berserakan di sof
“Billy? Apa yang kamu lakukan di sini? Apa kamu berpapasan dengan Arthur?”Irish yang baru keluar kamar dan hendak berbelok ke meja makan terkejut bukan main melihat Billy duduk manis di ruang tengah. Masalahnya, Arthur yang terburu-buru berangkat ke kantor baru berpamitan dengannya kurang dari 10 menit lalu. Namun, jika Arthur benar-benar berpapasan dengan Billy, tak mungkin lelaki itu masih duduk manis di sini. Arthur pasti langsung mengusir bahkan menyeret Billy keluar. Tak mungkin Arthur dan Billy tiba-tiba akur saat bertemu. Kecuali jika di depan umum. Itu pun bukan benar-benar akur. Biasanya Arthur dan Billy akan bersikap seolah tak saling mengenal ataupun menyapa. Kecuali jika ada hal penting yang terpaksa membuat mereka saling bicara. Namun, ketenangan itu tak mungkin terjadi jika mereka hanya berduaan. “Tentu saja tidak. Aku menunggu mobilnya pergi agak jauh sebelum masuk. Kamu se takut itu padanya? Apa dia selalu mengancammu?” tanya Billy seraya bangkit dari sofa dan meng
Gudang rumah ini bukan berisi barang-barang usang tak terpakai seperti yang Irish pikirkan. Mungkin lebih tepatnya tempat ini memang berisi barang bekas milik mendiang ibunya. Hingga foto-foto ibunya yang tak pernah Irish lihat pun terpajang di sini. “Aku yang menyimpan semuanya di sini. Aku memang jahat. Jangan terlalu terkejut,” celetuk Karina seraya membuka pintu lebih lebar. Irish tak menanggapi dan langsung melangkah masuk ke gudang tersebut. Gudang itu terlalu rapi untuk disebut gudang. Foto-foto ibunya terpajang di dinding. Bahkan, ada juga beberapa foto ibu dan ayahnya. Mereka tampak seperti pasangan yang bahagia. Ketika Irish masih kecil, ia sering dibuat penasaran dengan ruangan ini. Namun, tak pernah diizinkan masuk. Karina selalu mengatakan jika gudang itu kotor dan berantakan. Oleh karena itu, ia tidak pernah tahu isi dalam gudang ini sampai sekarang. Dan ternyata, apa yang Karina katakan dulu hanyalah kebohongan. Gudang ini tidak berantakan ataupun kotor. Ruangan ini
Pertanyaan itu membuat Irish terkesiap. Ia bingung harus memberi jawaban seperti apa dan mengatakan yang sebenarnya adalah opsi terakhirnya. Tak tahu harus menjawab apa, akhirnya Irish berpura-pura tidak mendengar dan fokus memilih pernak-pernik bayi di hadapannya. “Kalian mengunjungi makam orang tua Billy?” tebak Arthur sembari mendorong troli yang yang kosong dan mengikuti langkah Irish. Lorong ini cukup sepi. Hanya ada mereka saja di sini. Oleh karena itu, Arthur dapat bertanya dengan leluasa. Tebakan Arthur membuat Irish lebih terkejut lagi. Namun, tebakan itu akhirnya membuatnya memiliki alasan tanpa harus membongkar rahasianya. Irish berdeham pelan. “Iya. Kamu marah?” Meskipun hanya sebentar, Irish dan Billy memang sempat mengunjungi makam kedua orang tua lelaki itu sebelum pulang. Makam tersebut ternyata berada di tempat yang sama dengan lokasi makam Azura. Irish baru mengetahuinya kemarin. Orang tua Billy mengalami kecelakaan tunggal 5 tahun lalu dan meninggal di tempat.
“Kamu bersikukuh ingin cerai karena menyesal menikah denganku?” tanya Arthur tiba-tiba. Memecahkan kesunyian di antara mereka. Irish spontan kembali membuka matanya dan menoleh ke arah Arthur. Ia pernah mengatakan itu saat sedang emosi-emosinya. Padahal sebenarnya dirinya pun tidak tahu apakah penyesalan itu benar-benar ada atau tidak. Atau mungkin hanya sedikit saja. “Kamu sudah tahu, ‘kan? Kenapa masih bertanya?” sahut Irish yang tak berniat mengelak. Irish mengubah posisi telentangnya menjadi miring menghadap Arthur. Ia dapat melihat ekspresi lelaki itu menggelap. Menyiratkan amarah tertahan. Namun, Irish malah tersenyum miring sembari menopang kepalanya. Seolah sengaja menantang lelaki itu. “Karena harusnya kamu menikah dengan Ardian?” Arthur kembali melontarkan pertanyaan dengan nada datar. Irish menggeleng samar. “Dengan Ardian atau bukan, aku memang tidak sepatutnya menikah dengan orang yang belum selesai dengan masa lalunya. Seandainya aku menikah dengan Ardian dan dia ma
Irish mengerjapkan matanya. Tak menyangka Arthur dan Maudy malah membicarakannya di tengah malam begini. Pasti sengaja agar dirinya tak ikut menguping. Namun, semesta lebih berpihak padanya hingga akhirnya ia tetap mendengar pembicaraan mereka. Mendengar sepotong pembicaraan mereka membuat Irish yakin kalau Maudy sudah bercerita pada Arthur jika dirinya pergi dengan Billy tadi siang. Namun, entah kenapa Arthur masih bersikap santai. Seolah itu bukan masalah besar. Atau mungkin Arthur memang sudah tidak peduli lagi. “Jangan gila! Kamu ingin wanita itu terus memperalatmu?!” sembur Maudy dengan suara yang semakin meninggi. Seolah tak peduli jika ada yang mendengar ucapannya. “Irish tidak pernah memperalatku. Aku yang ingin seperti ini. Dan aku harap mama tidak mempersulitku,” jawab Arthur masih dengan suara pelan, namun menyiratkan ketegasan. “Justru, mama ingin mempermudah semuanya. Sekarang dia tidak punya pekerjaan. Dia pasti akan meminta segalanya padamu! Dia akan memanfaatkan an
“Apa? Elyza mengatakan itu pada mama?” tanya Irish dengan mata membulat sempurna. Irish berusaha menerima saat dirinya dibandingkan dengan Elyza. Ia tetap diam di saat Arthur mementingkan wanita itu. Namun, Irish tak bisa menerima tuduhan keji yang Elyza katakan tentangnya. Dirinya bukan wanita murahan yang menjajakan tubuhnya pada lelaki lain. Irish memang pernah mengatakan jika anak dalam kandungannya ini bukan darah daging Arthur. Namun, itu hanya bualan semata agar lelaki itu melepasnya. Elyza tak berhak menilainya terlalu jauh. Apalagi sampai mengatakan itu pada Maudy. “Kenapa? Kamu tidak terima?” Bukannya merasa bersalah atas perkataannya, Maudy malah kembali melontarkan balasan dengan nada tak kalah sinis. “Kamu pikir dengan kamu pergi diam-diam dengan lelaki lain tidak akan membuat orang berpikir macam-macam? Apalagi sudah berapa kali kamu melarikan diri bersamanya? Kamu pikir bisa mempermainkan putraku?!” sembur Maudy lagi. Irish akui dirinya memang salah karena menyembu
[Kamu di mana? Sudah siap? Aku menunggu di dekat pos satpam. Aku memakai mobil kakek.]Irish yang masih mengaplikasikan makeup di wajahnya melirik ponselnya yang menyala. Satu pesan masuk dari nomor Billy. Seperti biasa, lelaki itu akan datang lebih cepat dari waktu janjian mereka. Tak pernah membuatnya menunggu, malah dirinya yang membuat lelaki itu menunggu. “Sebentar lagi aku ke sana.” Irish pun langsung mengirim pesan balasan sebelum menyelesaikan kegiatan makeup-nya. Ia mempercepat pergerakannya agar Billy tidak menunggu terlalu lama. Setelah dirasa tak ada yang kurang, Irish bergegas keluar dari kamarnya. Irish meminta Billy mengantarnya pergi. Meskipun awalnya meminta diantar hari ini, Irish sempat meralat permintaannya dan mengatakan akan mengikuti waktu luang lelaki itu. Namun, Billy mengatakan memiliki waktu untuk mengantarnya hari ini juga. “Kamu mau ke mana?” Pertanyaan sinis itu membuat langkah Irish kontan terhenti. Sekarang sudah agak siang, ia mengira tak akan ada
Jawaban santai Arthur membuat Irish melongo. Ia tak membenci ibu mertuanya, namun setidaknya jika ingin pindah ke sini meskipun hanya sementara waktu, dirinya perlu tahu. Tahu sejak awal. Bukan tahu paling akhir, itu pun karena ketahuan. Irish curiga Arthur melarangnya pulang lebih cepat dari rumah sakit karena tak ingin rencananya terbongkar. Bukan karena lelaki itu masih mengkhawatirkan kondisinya. Menyebalkannya, Karina juga tidak bercerita jika Maudy pindah kemari untuk sementara waktu. “Kamu punya banyak waktu untuk bercerita. Kurasa di rumah ini tidak ada kamar lain yang bisa digunakan Mama,” balas Irish yang berusaha tampak santai. Meskipun Irish merasa tersinggung karena tak ada yang memberitahunya. Namun, ia tak ingin Arthur merasakan hal yang sama. Toh, sebenarnya ini wajar saja karena mereka memang masih berstatus sebagai keluarga. Walaupun tak mirip dengan keluarga. “Untuk sementara waktu aku memindahkan ruang kerjaku ke kamar kita. Jadi, Mama memakai ruangan itu. A
Penolakan Arthur membuat Irish mengingat apa yang pernah Billy sampaikan tentang kemungkinan Arthur juga tahu sesuatu. Sebenarnya ia tidak menaruh kecurigaan sama sekali pada lelaki itu. Dan sekarang kecurigaan itu mendadak muncul. Butik itu kini menjadi miliknya, Irish memiliki hak untuk melihat sehancur apa pun keadaannya. Bahkan, seharusnya ia sudah melihatnya dalam bentuk foto ataupun video. Namun, tak ada yang menunjukkan bagaimana keadaan butiknya sekarang padanya. Bahkan, pihak kepolisian yang kata Arthur akan memintai Irish keterangan pun tak datang sampai sekarang. Billy pun malah membahas kecurigaan aneh-aneh tentang orang-orang yang kemungkinan terlibat. Padahal untuk saat ini yang ingin Irish tahu adalah kondisi butiknya terlebih dahulu. “Apa maksudmu? Tahu apa? Kondisi butikmu hancur, apa yang mau kamu lihat? Puing-piungnya juga sudah dibereskan,” jawab Arthur yang kembali menoleh ke arah Irish. “Bagaimana pun kondisinya, aku ingin datang ke sana dan melihatnya sec