“Atas dasar apa kamu bisa berasumsi seperti itu?” tanya Irish spontan. Nada bicaranya terdengar seolah tak terima dengan tuduhan Billy pada Arthur. Ketika Billy menduga jika asistennya terlibat, Irish menganggap itu cukup masuk akal. Namun, tidak dengan yang ini. Arthur yang menyelamatkannya. Tak mungkin lelaki itu terlibat. Ini bukan karena Irish pernah memiliki perasaan lebih pada Arthur. Akan tetapi, dilihat dari sisi manapun, menurutnya tuduhan Billy tak masuk akal. Jika Arthur adalah dalang dari insiden malam itu, Arthur tidak mungkin nekat menyelamatkannya padahal itu sangat berbahaya. “Aku tahu kalian selalu bersaing dalam segala hal. Tapi, kamu tidak bisa asal menuduhnya tanpa alasan yang jelas,” lanjut Irish. “Biar bagaimanapun, dia yang menyelamatkan aku malam itu. Jika dia tidak datang, mungkin aku tidak berada di sini lagi.”Irish tahu Billy sangat mengkhawatirkan dirinya. Namun, bukan berarti lelaki itu dapat menuduh banyak orang tanpa bukti yang jelas. Terlebih belum
“Mau ke mana?” tanya Irish yang masih enggan membuka mata. Namun, pergerakan Arthur membuatnya terbangun. Sekarang hari minggu, seharusnya Arthur tidak pergi ke mana pun. Semalam, lelaki itu berjanji akan menemaninya hari ini. Sepertinya sekarang masih terlalu pagi dan Arthur sudah membuat kegaduhan yang membuatnya tak bisa tidur lagi. “Aku ada urusan sebentar. Aku akan segera kembali,” jawab Arthur seraya turun pelan-pelan dari bangsal Irish. Mendengar jawaban Arthur membuat Irish benar-benar membuka mata. Ia pikir Arthur hanya ingin ke toilet atau pergi mencari sarapan. Namun, ternyata lelaki itu benar-benar ingin pergi. Irish yang sudah membuka matanya langsung melirik jam yang menggantung di dinding. 04.30. Sekarang memang masih sangat pagi. “Se pagi ini? Kurasa di luar juga masih gelap,” jawab Irish heran. “Ya. Lebih baik kamu tidur lagi. Ada yang berjaga di depan, kamu bisa minta bantuan kalau butuh sesuatu. Aku pergi dulu.” Arthur mengambil jaketnya yang tergeletak di sofa
Penolakan Arthur membuat Irish mengingat apa yang pernah Billy sampaikan tentang kemungkinan Arthur juga tahu sesuatu. Sebenarnya ia tidak menaruh kecurigaan sama sekali pada lelaki itu. Dan sekarang kecurigaan itu mendadak muncul. Butik itu kini menjadi miliknya, Irish memiliki hak untuk melihat sehancur apa pun keadaannya. Bahkan, seharusnya ia sudah melihatnya dalam bentuk foto ataupun video. Namun, tak ada yang menunjukkan bagaimana keadaan butiknya sekarang padanya. Bahkan, pihak kepolisian yang kata Arthur akan memintai Irish keterangan pun tak datang sampai sekarang. Billy pun malah membahas kecurigaan aneh-aneh tentang orang-orang yang kemungkinan terlibat. Padahal untuk saat ini yang ingin Irish tahu adalah kondisi butiknya terlebih dahulu. “Apa maksudmu? Tahu apa? Kondisi butikmu hancur, apa yang mau kamu lihat? Puing-piungnya juga sudah dibereskan,” jawab Arthur yang kembali menoleh ke arah Irish. “Bagaimana pun kondisinya, aku ingin datang ke sana dan melihatnya sec
Jawaban santai Arthur membuat Irish melongo. Ia tak membenci ibu mertuanya, namun setidaknya jika ingin pindah ke sini meskipun hanya sementara waktu, dirinya perlu tahu. Tahu sejak awal. Bukan tahu paling akhir, itu pun karena ketahuan. Irish curiga Arthur melarangnya pulang lebih cepat dari rumah sakit karena tak ingin rencananya terbongkar. Bukan karena lelaki itu masih mengkhawatirkan kondisinya. Menyebalkannya, Karina juga tidak bercerita jika Maudy pindah kemari untuk sementara waktu. “Kamu punya banyak waktu untuk bercerita. Kurasa di rumah ini tidak ada kamar lain yang bisa digunakan Mama,” balas Irish yang berusaha tampak santai. Meskipun Irish merasa tersinggung karena tak ada yang memberitahunya. Namun, ia tak ingin Arthur merasakan hal yang sama. Toh, sebenarnya ini wajar saja karena mereka memang masih berstatus sebagai keluarga. Walaupun tak mirip dengan keluarga. “Untuk sementara waktu aku memindahkan ruang kerjaku ke kamar kita. Jadi, Mama memakai ruangan itu. A
[Kamu di mana? Sudah siap? Aku menunggu di dekat pos satpam. Aku memakai mobil kakek.]Irish yang masih mengaplikasikan makeup di wajahnya melirik ponselnya yang menyala. Satu pesan masuk dari nomor Billy. Seperti biasa, lelaki itu akan datang lebih cepat dari waktu janjian mereka. Tak pernah membuatnya menunggu, malah dirinya yang membuat lelaki itu menunggu. “Sebentar lagi aku ke sana.” Irish pun langsung mengirim pesan balasan sebelum menyelesaikan kegiatan makeup-nya. Ia mempercepat pergerakannya agar Billy tidak menunggu terlalu lama. Setelah dirasa tak ada yang kurang, Irish bergegas keluar dari kamarnya. Irish meminta Billy mengantarnya pergi. Meskipun awalnya meminta diantar hari ini, Irish sempat meralat permintaannya dan mengatakan akan mengikuti waktu luang lelaki itu. Namun, Billy mengatakan memiliki waktu untuk mengantarnya hari ini juga. “Kamu mau ke mana?” Pertanyaan sinis itu membuat langkah Irish kontan terhenti. Sekarang sudah agak siang, ia mengira tak akan ada
“Apa? Elyza mengatakan itu pada mama?” tanya Irish dengan mata membulat sempurna. Irish berusaha menerima saat dirinya dibandingkan dengan Elyza. Ia tetap diam di saat Arthur mementingkan wanita itu. Namun, Irish tak bisa menerima tuduhan keji yang Elyza katakan tentangnya. Dirinya bukan wanita murahan yang menjajakan tubuhnya pada lelaki lain. Irish memang pernah mengatakan jika anak dalam kandungannya ini bukan darah daging Arthur. Namun, itu hanya bualan semata agar lelaki itu melepasnya. Elyza tak berhak menilainya terlalu jauh. Apalagi sampai mengatakan itu pada Maudy. “Kenapa? Kamu tidak terima?” Bukannya merasa bersalah atas perkataannya, Maudy malah kembali melontarkan balasan dengan nada tak kalah sinis. “Kamu pikir dengan kamu pergi diam-diam dengan lelaki lain tidak akan membuat orang berpikir macam-macam? Apalagi sudah berapa kali kamu melarikan diri bersamanya? Kamu pikir bisa mempermainkan putraku?!” sembur Maudy lagi. Irish akui dirinya memang salah karena menyembu
Irish mengerjapkan matanya. Tak menyangka Arthur dan Maudy malah membicarakannya di tengah malam begini. Pasti sengaja agar dirinya tak ikut menguping. Namun, semesta lebih berpihak padanya hingga akhirnya ia tetap mendengar pembicaraan mereka. Mendengar sepotong pembicaraan mereka membuat Irish yakin kalau Maudy sudah bercerita pada Arthur jika dirinya pergi dengan Billy tadi siang. Namun, entah kenapa Arthur masih bersikap santai. Seolah itu bukan masalah besar. Atau mungkin Arthur memang sudah tidak peduli lagi. “Jangan gila! Kamu ingin wanita itu terus memperalatmu?!” sembur Maudy dengan suara yang semakin meninggi. Seolah tak peduli jika ada yang mendengar ucapannya. “Irish tidak pernah memperalatku. Aku yang ingin seperti ini. Dan aku harap mama tidak mempersulitku,” jawab Arthur masih dengan suara pelan, namun menyiratkan ketegasan. “Justru, mama ingin mempermudah semuanya. Sekarang dia tidak punya pekerjaan. Dia pasti akan meminta segalanya padamu! Dia akan memanfaatkan an
“Kamu bersikukuh ingin cerai karena menyesal menikah denganku?” tanya Arthur tiba-tiba. Memecahkan kesunyian di antara mereka. Irish spontan kembali membuka matanya dan menoleh ke arah Arthur. Ia pernah mengatakan itu saat sedang emosi-emosinya. Padahal sebenarnya dirinya pun tidak tahu apakah penyesalan itu benar-benar ada atau tidak. Atau mungkin hanya sedikit saja. “Kamu sudah tahu, ‘kan? Kenapa masih bertanya?” sahut Irish yang tak berniat mengelak. Irish mengubah posisi telentangnya menjadi miring menghadap Arthur. Ia dapat melihat ekspresi lelaki itu menggelap. Menyiratkan amarah tertahan. Namun, Irish malah tersenyum miring sembari menopang kepalanya. Seolah sengaja menantang lelaki itu. “Karena harusnya kamu menikah dengan Ardian?” Arthur kembali melontarkan pertanyaan dengan nada datar. Irish menggeleng samar. “Dengan Ardian atau bukan, aku memang tidak sepatutnya menikah dengan orang yang belum selesai dengan masa lalunya. Seandainya aku menikah dengan Ardian dan dia ma
“Selamat atas pembukaan butikmu. Mama akan mengajak teman-teman mama kemari. Mama yakin butikmu akan sukses,” tutur Maudy sembari menggandeng tangan Irish. “Terima masih, Ma. Kalau mama butuh gaun untuk acara apa pun, kabari aku. Aku akan menyiapkan yang terbaik,” jawab Irish seraya mengikuti langkah Maudy menelusuri butiknya yang baru saja diresmikan. Butuh waktu dua tahun hingga Irish yakin untuk kembali terjun ke dunia fashion. Sebenarnya, butik ini telah selesai dibangun sejak tahun lalu, namun karena masih banyak yang perlu dipersiapkan, peresmiannya baru dilaksanakan sekarang. Karina, Tristan, Billy, Prayoga hingga Maudy turut mempromosikan butik ini. Sedangkan Arthur sudah memesan beberapa jas untuk menghadiri beberapa acara besar, sekaligus membantu Irish promosi. Arthur juga telah merekomendasikan pakaian rancangan Irish pada beberapa kolega bisnisnya. Kini, butik Irish dipenuhi oleh teman-teman sosialita Maudy. Kejutan yang luar biasa bagi Irish. Sebab, ia tak menyang
“Kemarilah. Kenapa mengintip di sana?” tanya Arthur yang mendapati keberadaan Irish dari ekor matanya. Irish yang sedang memperhatikan gerakan tangan terampil Arthur kontan tersentak. Lelaki itu sedang menyuapi Kenneth dan Kennedy secara bergantian. Ia hanya ke toilet sebentar setelah menyiapkan makanan untuk si kembar dan anak-anaknya malah sudah disuapi oleh Arthur. “Bisa bicara sebentar?” pinta Irish pada Arthur yang sedang menyuapi Kenneth dan Kennedy di balkon penthouse. “Bicara saja. Kamu tidak perlu meminta izin.” Arthur masih sibuk mengelap mulut putra-putranya yang belepotan. Irish mengelap tangannya yang basah, lalu menyusul ke balkon. Ia duduk di samping Arthur, kemudian mengambil alih mangkuk makanan Kenneth dan menyuapi sang putra. Sedangkan Arthur berlanjut menyuapi Kennedy yang sudah tidak sabaran. “Biar aku yang menyuapi anak-anak. Kamu makan juga. Sekarang sudah siang,” ucap Arthur sembari menatap Irish sekilas. “Nanti saja. Aku masih kenyang,” jawab Irish semba
Arthur masih berbaring dengan posisi membelakangi pintu spontan menoleh ke sumber suara. Bukan suara mamanya yang terdengar, melainkan suara Irish. Dan benar-benar saja, ketika dirinya berbalik, Irish yang berdiri di depan pintu sembari membawa anak-anaknya di dalam stroller. “Ya sudah kalau kamu tidak menerima kami di sini, kami akan pergi.” Irish berpura-pura berbalik dan mendorong stroller si kembar, seolah-olah benar-benar akan pergi. Arthur spontan bangkit dan berakhir meringis karena tubuhnya masih nyeri. Irish yang hendak bermain-main dengan Arthur pun akhirnya dibuat khawatir dan langsung menghampiri lelaki itu. Lalu, membantu Arthur duduk dengan benar. “Mana yang sakit? Kenapa kamu bergerak sekaligus begitu? Apa aku harus menghubungi dokter?” berondong Irish yang tampak benar-benar khawatir. Arthur baru keluar dari rumah sakit kemarin. Lelaki itu belum benar-benar pulih. Pergerakan mendadak mungkin dapat membuat luka Arthur semakin parah. Irish hendak merogoh tasnya dan m
Tangan Maudy nyaris mendarat di wajah Irish, namun Irish lebih dulu menangkis tangan wanita paruh baya itu. Ia dapat membaca pergerakan Maudy dan tentu saja ia tak akan membiarkan itu terjadi. Meskipun saat ini dirinya memang bersalah atas kecelakaan Arthur. “Kamu mulai berani, hah?!” bentak Maudy sembari menarik tangannya yang masih dipegang oleh Irish. “Mama tidak mau menyapaku dulu? Sudah lama kita tidak bertemu.” Irish menyunggingkan senyum tipis. Ia tetap bersikap santai, berbanding terbalik dengan Maudy yang tampak sangat murka. “Mama mau minum apa? Sudah sarapan atau belum? Mau sarapan bersamaku?” tawar Irish yang sebenarnya tak memiliki apa pun untuk disuguhkan pada Maudy. Irish melakukan ini hanya untuk basa-basi saja sekaligus mencairkan suasana. Walaupun tampaknya Maudy sudah tidak mau diajak berbasa-basi lagi. Apalagi dengan banyaknya orang yang wanita paruh baya itu bawa. Ini seperti penggerebekan. Irish sudah bisa menebak jika Maudy akan bersikap seperti ini saat me
“Aku minta maaf. Dugaanku membuat rumah tangga kalian berantakan,” sesal Billy karena selama ini bersikukuh jika Arthur ingin mencelakai Irish. Billy pun tak menduga jika Elyza se licik ini sampai bisa merencanakan semuanya dengan mulus dan menjadikan Arthur sebagai kambing hitam. Billy sampai terkecoh dan mengira Arthur adalah dalang dari semuanya karena seluruh bukti mengarah pada lelaki itu. “Tidak apa-apa. Hubungan kami memang sudah berantakan sejak lama,” jawab Irish dengan senyum kaku. “Aku mau lihat buktinya. Apa saja yang dia katakan?” Irish memilih mengalihkan pembicaraan. Tak ingin memperpanjang pembahasan tentang rumah tangganya. Billy membuka tas dan menyalakan laptopnya. Ia langsung membuka file berisi bukti-bukti tentang keterlibatan Elyza dalam insiden di butik Irish. Bukan itu saja. Namun, juga beberapa insiden yang menimpa Irish. Semuanya karena perbuatan Elyza. Bahkan, orang yang menabrak Irish dan berujung menabrak Arthur hingga membuat lelaki itu lumpuh. Pemil
“Apa maksudmu?” tanya Arthur dengan kening mengerut. “Aku akan ikut denganmu.” Tanpa menunggu respon Arthur, Irish langsung masuk ke bangku bagian belakang mobil lelaki itu. Irish sudah memikirkan ini matang-matang. Ia memang ingin merawat Arthur. Meskipun Arthur tinggal bersama Maudy, ia tetap akan tinggal di tempat lelaki itu berada. Ini sebagai bentuk tanggungjawab dan ungkapan terima kasihnya pada Arthur. Barusan, Irish menelepon kakeknya dan meminta izin untuk tinggal bersama Arthur selama proses pemulihan lelaki itu. Entah sampai kapan, ia belum tahu pasti. Yang jelas, untuk saat ini ia benar-benar ingin merawat Arthur dulu hingga keadaan lelaki itu membaik. Cukup sulit mendapat izin dari Paryoga. Oleh karena itu, Irish agak lama berada di toilet saat bertelepon. Namun, pada akhirnya izin yang dirinya inginkan tetap ia dapatkan. Saat keluar dari sana, ia malah hampir tertinggal. Sedangkan dirinya tak tahu di mana tempat tinggal Arthur sekarang. “Kenapa kalian sangat tidak s
“Itu yang membuatmu di sini sekarang?” tanya Arthur sembari terkekeh pelan. Irish yang hendak menyimpan baskom di toilet spontan kembali berbalik dan melangkah ke bangsal Arthur. Ia menggeleng samar. Dirinya berada di sini bukan karena keadaan Arthur, bukan karena rasa bersalahnya. Namun, karena dirinya memang ingin berada di sini. “Bukan karena itu. Aku memang ingin merawatmu,” jawab Irish yang sudah jatuh berlutut di samping bangsal Arthur. Ia menyentuh tangan lelaki itu yang terpasang infus. Arthur mendengus pelan. “Berarti aku memang lumpuh? Kenapa diam saja? Kamu takut?”Irish mengangkat kepalanya. Membalas tatapan Arthur dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Ia dapat melihat dengan jelas kekecewaan di mata lelaki itu. Kondisi kaki lelaki itu pasti menjadi pukulan besar bagi Arthur dan akan menghambat banyak hal ke depannya. Sungguh, jika bisa bertukar posisi, Irish tak ingin Arthur menyelamatkannya hari itu. Biarlah dirinya yang celaka sebab tabrakan tersebut terjadi karena k
Saat menoleh ke belakang, Irish terbelalak melihat Arthur yang sudah membuka mata dan kini menggenggam tangannya. Ia mengerjapkan matanya, tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Namun, genggaman pada tangannya saat ini membuatnya tersadar jika ini nyata. “Apa sekarang wajahku menyeramkan?” tanya Arthur dengan suara serak dan satu alis terangkat. Irish spontan kembali melangkah ke arah Arthur dan memeluk lelaki itu. Air matanya menetes tanpa bisa dicegah. Lama-kelamaan isak tangisnya mulai terdengar. Ini benar-benar nyata, bukan bagian dari khayalannya. Bukan sekadar kelegaan yang dirinya rasakan. Perasaan menyiksa itu kini sepenuhnya hilang. “Akhirnya kamu sadar,” gumam Irish di sela isak tangisnya. Selama seminggu ini, Irish tak berhenti menyalahkan dirinya sendiri. Apalagi melihat kondisi Arthur yang tak menunjukkan perubahan signifikan. Rasanya, ia ingin bertukar posisi dengan lelaki itu. Sebab, memang seharusnya dirinya yang celaka. Arthur mengangkat tangan kirinya
“Apa ini bagian dari rencanamu juga?” gumam Billy sembari menatap Arthur yang masih memejamkan mata. Billy berhasil memaksa Irish untuk pulang dan istirahat di rumah. Sebagai gantinya, ia yang menjaga Arthur di sini. Arthur sudah dipindahkan ke ruang perawatan VVIP. Namun, hingga saat ini lelaki itu belum sadarkan diri. Dan Irish sudah berulang kali menanyakan kondisi Arthur melalui whatsapp. Billy yang baru kembali dari kantin rumah sakit langsung menarik kursi di samping bangsal Arthur. Ia mengamati wajah dan tubuh Arthur. Bukan hanya patah kaki, tangan kanan Arthur juga patah. Wajah lelaki itu penuh luka dengan kening yang diperban. “Kamu sangat bodoh kalau ini bagian dari rencanamu juga. Kamu bisa mati dan belum tentu Irish bersedia kembali padamu,” monolog Billy pada Arthur yang masih tak sadarkan diri. Arthur terlalu sering membuat skenario untuk menarik perhatian Irish. Oleh karena itu, Billy sedikit curiga jika ini adalah bagian dari rencana Arthur juga. Sebab, lelaki itu