Irish mengerjapkan matanya. Tak menyangka Arthur dan Maudy malah membicarakannya di tengah malam begini. Pasti sengaja agar dirinya tak ikut menguping. Namun, semesta lebih berpihak padanya hingga akhirnya ia tetap mendengar pembicaraan mereka. Mendengar sepotong pembicaraan mereka membuat Irish yakin kalau Maudy sudah bercerita pada Arthur jika dirinya pergi dengan Billy tadi siang. Namun, entah kenapa Arthur masih bersikap santai. Seolah itu bukan masalah besar. Atau mungkin Arthur memang sudah tidak peduli lagi. “Jangan gila! Kamu ingin wanita itu terus memperalatmu?!” sembur Maudy dengan suara yang semakin meninggi. Seolah tak peduli jika ada yang mendengar ucapannya. “Irish tidak pernah memperalatku. Aku yang ingin seperti ini. Dan aku harap mama tidak mempersulitku,” jawab Arthur masih dengan suara pelan, namun menyiratkan ketegasan. “Justru, mama ingin mempermudah semuanya. Sekarang dia tidak punya pekerjaan. Dia pasti akan meminta segalanya padamu! Dia akan memanfaatkan an
“Kamu bersikukuh ingin cerai karena menyesal menikah denganku?” tanya Arthur tiba-tiba. Memecahkan kesunyian di antara mereka. Irish spontan kembali membuka matanya dan menoleh ke arah Arthur. Ia pernah mengatakan itu saat sedang emosi-emosinya. Padahal sebenarnya dirinya pun tidak tahu apakah penyesalan itu benar-benar ada atau tidak. Atau mungkin hanya sedikit saja. “Kamu sudah tahu, ‘kan? Kenapa masih bertanya?” sahut Irish yang tak berniat mengelak. Irish mengubah posisi telentangnya menjadi miring menghadap Arthur. Ia dapat melihat ekspresi lelaki itu menggelap. Menyiratkan amarah tertahan. Namun, Irish malah tersenyum miring sembari menopang kepalanya. Seolah sengaja menantang lelaki itu. “Karena harusnya kamu menikah dengan Ardian?” Arthur kembali melontarkan pertanyaan dengan nada datar. Irish menggeleng samar. “Dengan Ardian atau bukan, aku memang tidak sepatutnya menikah dengan orang yang belum selesai dengan masa lalunya. Seandainya aku menikah dengan Ardian dan dia ma
Pertanyaan itu membuat Irish terkesiap. Ia bingung harus memberi jawaban seperti apa dan mengatakan yang sebenarnya adalah opsi terakhirnya. Tak tahu harus menjawab apa, akhirnya Irish berpura-pura tidak mendengar dan fokus memilih pernak-pernik bayi di hadapannya. “Kalian mengunjungi makam orang tua Billy?” tebak Arthur sembari mendorong troli yang yang kosong dan mengikuti langkah Irish. Lorong ini cukup sepi. Hanya ada mereka saja di sini. Oleh karena itu, Arthur dapat bertanya dengan leluasa. Tebakan Arthur membuat Irish lebih terkejut lagi. Namun, tebakan itu akhirnya membuatnya memiliki alasan tanpa harus membongkar rahasianya. Irish berdeham pelan. “Iya. Kamu marah?” Meskipun hanya sebentar, Irish dan Billy memang sempat mengunjungi makam kedua orang tua lelaki itu sebelum pulang. Makam tersebut ternyata berada di tempat yang sama dengan lokasi makam Azura. Irish baru mengetahuinya kemarin. Orang tua Billy mengalami kecelakaan tunggal 5 tahun lalu dan meninggal di tempat.
Gudang rumah ini bukan berisi barang-barang usang tak terpakai seperti yang Irish pikirkan. Mungkin lebih tepatnya tempat ini memang berisi barang bekas milik mendiang ibunya. Hingga foto-foto ibunya yang tak pernah Irish lihat pun terpajang di sini. “Aku yang menyimpan semuanya di sini. Aku memang jahat. Jangan terlalu terkejut,” celetuk Karina seraya membuka pintu lebih lebar. Irish tak menanggapi dan langsung melangkah masuk ke gudang tersebut. Gudang itu terlalu rapi untuk disebut gudang. Foto-foto ibunya terpajang di dinding. Bahkan, ada juga beberapa foto ibu dan ayahnya. Mereka tampak seperti pasangan yang bahagia. Ketika Irish masih kecil, ia sering dibuat penasaran dengan ruangan ini. Namun, tak pernah diizinkan masuk. Karina selalu mengatakan jika gudang itu kotor dan berantakan. Oleh karena itu, ia tidak pernah tahu isi dalam gudang ini sampai sekarang. Dan ternyata, apa yang Karina katakan dulu hanyalah kebohongan. Gudang ini tidak berantakan ataupun kotor. Ruangan ini
“Billy? Apa yang kamu lakukan di sini? Apa kamu berpapasan dengan Arthur?”Irish yang baru keluar kamar dan hendak berbelok ke meja makan terkejut bukan main melihat Billy duduk manis di ruang tengah. Masalahnya, Arthur yang terburu-buru berangkat ke kantor baru berpamitan dengannya kurang dari 10 menit lalu. Namun, jika Arthur benar-benar berpapasan dengan Billy, tak mungkin lelaki itu masih duduk manis di sini. Arthur pasti langsung mengusir bahkan menyeret Billy keluar. Tak mungkin Arthur dan Billy tiba-tiba akur saat bertemu. Kecuali jika di depan umum. Itu pun bukan benar-benar akur. Biasanya Arthur dan Billy akan bersikap seolah tak saling mengenal ataupun menyapa. Kecuali jika ada hal penting yang terpaksa membuat mereka saling bicara. Namun, ketenangan itu tak mungkin terjadi jika mereka hanya berduaan. “Tentu saja tidak. Aku menunggu mobilnya pergi agak jauh sebelum masuk. Kamu se takut itu padanya? Apa dia selalu mengancammu?” tanya Billy seraya bangkit dari sofa dan meng
Irish yang tadinya ingin mengejutkan Arthur malah dibuat terkejut. “Kamu memasang CCTV?”Rumah ini memang dilengkapi CCTV, namun servernya hanya terhubung ke komputer ayahnya yang kini digunakan oleh kakaknya. Jika tidak memasang CCTV baru, kemungkinan besar Arthur meminta akses dari Tristan agar bisa mengawasinya. Irish sudah cukup gerah dengan pengawasan yang Arthur lakukan padanya di luar sana. Meskipun ia tak pernah melihat penguntitnya secara langsung. Irish berusaha memaklumi itu karena berkaitan dengan keselamatannya di luar sana. Namun, jika di dalam rumah pun seperti itu, ia tak terima. “Tidak. Untuk apa aku melakukannya? Ini rumah orang tuamu. Aku tidak akan mengusik keamanannya. Kecuali jika diperlukan,” jawab Arthur seraya merogoh saku dan mengambil ponselnya. Irish menyipitkan matanya. Tak percaya dengan jawaban Arthur. Jika lelaki itu tak memasang apa pun. Tidak mungkin dia tahu Billy baru menyerahkan cek itu hari ini. Sebab, beberapa hari sebelumnya Irish dan Billy m
“Kamu pasti senang, ‘kan?”Maudy yang entah datang dari mana tiba-tiba sudah berdiri di dekat Irish. Ucapan wanita paruh baya itu selalu pedas seperti biasa. Lengkap dengan tatapan sinisnya. Padahal Irish hanya bertanya karena dirinya heran, bukan karena senang atau bagaimana. Pernah dua tahun tinggal bersama dan Irish tak pernah merasa keberatan. Apalagi ini hanya beberapa minggu saja. Dibilang senang atau tidak mendengar jika Maudy akan pindah dari sini, sebenarnya Irish tak merasakan apa pun. Toh, mereka tak se sering itu berinteraksi. “Mama bisa tinggal di sini sampai kapan pun. Aku tidak melarang. Tapi, kalau mama mendapat tempat yang lebih baik, aku senang. Rumah ini memang agak sempit “ jawab Irish dengan senyum tipis. Irish lebih terkejut melihat barang-barang Maudy yang sepertinya baru dikeluarkan dari kamar sebelah. Barang-barang ini jauh lebih banyak dibanding yang ada di kamarnya. Entah bagaimana bisa semuanya masuk, padahal ruangan itu lebih kecil dari kamarnya. Irish
“Aku mengizinkanmu menemani Billy ke makam orang tuanya. Sekarang giliran kamu yang menemaniku,” sambung Arthur sebelum turun dari mobil. Lagi-lagi Irish melupakan sesuatu yang penting. Padahal ia sering mengunjungi pemakaman ini sebelumnya. Pikirannya benar-benar kacau belakangan ini. Hanya karena Arthur mengambil jalur dari pintu lain, dirinya lupa sering mengunjungi tempat ini. Arthur lebih dulu membukakan pintu untuk Irish sebelum sang empunya membuka pintu. Irish menyambut uluran tangan Arthur. Kemudian, membiarkan lelaki itu melingkari pinggangnya. Jalan di sekitar makam agak licin, Irish harus lebih berhati-hati. Irish tak tahu kapan Arthur menyiapkan sebuah buket bunga berukuran sedang. Tahu-tahu Arthur sudah mengambil bunga tersebut di jok bagian belakang. Sepertinya, Arthur membeli buket tersebut sebelum dirinya keluar kamar tadi pagi. “Harusnya kamu bilang kalau mau ke sini. Aku tidak menyiapkan apa-apa,” celetuk Irish yang berpegangan erat pada ujung kemeja Arthur, tak
BRAK! CIITTT ....Irish tak tahu apa yang terjadi hingga seseorang mendorongnya sangat kuat. Wanita itu jatuh terjerembab dan belanjaannya berhamburan ke mana-mana. Di saat yang sama, terdengar suara tabrakan sangat kencang di belakangnya. “Arthur!” pekik Irish melihat Arthur yang kini sudah bersimbah darah di tengah jalan. Tanpa memedulikan luka pada kaki dan tangannya, Irish langsung berlari menghampiri Arthur. Tangannya gemetar bersamaan dengan air matanya yang bercucuran. Lelaki itu masih setengah sadar, namun tampak sudah sangat tak berdaya. “Apa yang kamu lakukan? Bodoh! Kenapa kamu menyelamatkan aku?” tanya Irish dengan suara bergetar di sela isak tangisnya. Arthur terkekeh pelan dengan mata setengah terpejam. “Aku lebih bodoh kalau membiarkan kamu celaka di depan mataku. Mungkin dengan cara ini kamu bisa memaafkaanku. Aku tidak akan bisa mengganggumu lagi setelah ini. Jangan khawatir.”“Kamu bicara apa?! Jangan pejamkan matamu!” Irish bergegas bangkit dan hendak mencari ba
Irish mengejapkan matanya. Ia ingat hari anniversary pernikahannya, namun tak memiliki niatan untuk merayakannya lagi. Irish malah mengantarkan surat gugat cerainya pada Arthur di hari anniversary pernikahan mereka. Tentunya, ia tak berharap Arthur akan mengingat hari itu juga. “Aku ingat. Tapi, baru sempat datang kemari. Aku ingin langsung memberikannya padamu, bukan melalui kurir,” jelas Arthur yang tak ingin Irish salah paham. “Oke, terima kasih.” Irish tetap menerima buket bunga dan paper bag tersebut. Anggap saja untuk menebus rasa bersalahnya karena membuat Arthur semalaman berada di sini. “Harusnya kamu tidak perlu repot-repot membelikan apa pun. Proses perceraian kita sedang berjalan. Tidak ada yang perlu dirayakan,” imbuh Irish datar. Irish meletakkan buket dan paper bag pemberian Arthur di bangku taman yang tersedia. Kemudian, duduk di sana tanpa menawari Arthur untuk duduk juga. Lelaki itu sudah kembali berlutut di depan stroller si kembar sembari mengajak keduanya meng
Mendengar pemberitahuan pelayan tersebut membuat ekspresi Irish berubah seketika. Ia nyaris tak percaya. Namun, ketika mengintip dari jendela di kamarnya yang terhubung dengan halaman depan rumah, Irish tak bisa menyangkal. Arthur benar-benar ada di sini. Arthur tahu dirinya dan anak-anak mereka berada di sini sejak melarikan diri dari rumah ayahnya. Selama itu juga, Arthur tak pernah sekali pun datang kemari. Dan sekarang, setelah lelaki itu mengacaukan sidang perceraian mereka, dia malah muncul di depan rumah kakeknya. “Apa dia ingin cari mati?” gerutu Irish sembari menatap Arthur yang bersandar di belakang pintu gerbang tinggi yang kini masih tertutup rapat. Dari kamarnya yang berada di lantai dua, Irish dapat melihat lelaki itu dengan jelas. Pintu gerbang yang tak dibuka padahal ada tamu menunjukkan jika Arthur tak boleh masuk. Seharusnya lelaki itu mengerti dan langsung pergi, bukan malah menunggu. Hari ini, kakeknya dan Billy memang sedang berada di luar kota. Seharusnya Iri
Penuturan Arthur membuat Irish terbelalak. Ia bisa menerima jika Arthur marah padanya karena dirinya tiba-tiba menggugat cerai lelaki itu. Namun, seharusnya kemarahan itu hanya Arthur perlihatkan saat bersamanya saja. Tak perlu membuat onar di tempat seperti ini. Irish tak menyangka Arthur akan melakukan ini. Memfitnah keluarganya seolah-olah keluarganya telah melakukan kesalahan. Keluarganya tak pernah memperalatnya. Justru, Irish mengurus gugatan ini sendirian. Kakeknya hanya membantunya mencari pengacara saja. “Jangan bicara sembarangan! Aku memang ingin bercerai denganmu!” balas Irish tajam. Irish sampai spontan berdiri. Jika akhirnya akan seperti ini, lebih baik Arthur tak perlu mendatangi persidangan ini. Ia kembali duduk saat menyadari orang-orang mulai menatapnya dengan sorot aneh. Ia memejamkan matanya sejenak, tak ingin semakin tersulut emosi. “Hubungan kita baik-baik saja. Lalu, tiba-tiba keluargamu membawamu pergi diam-diam. Kalai mereka mengancammu, harusnya kamu kata
“Mario masih belum mau mengaku siapa yang menyuruhnya. Tapi, aku sudah yakin orangnya pasti Arthur. Dia sangat loyal pada Arthur. Apa pun yang Arthur katakan pasti dituruti,” ucap Billy pada Irish yang sengaja ia ajak makan siang di ruangannya. Kunyahan Irish terhenti sejenak. Namun, setelah itu ia kembali melanjutkan makan siangnya dengan tenang. Sebenarnya Irish sudah mengetahui persoalan ini dari kakeknya. Dan entah bagaimana cara menyelesaikannya karena Mario benar-benar tak mau mengatakan apa pun. Mario sudah Billy jebloskan ke penjara sejak lelaki itu menyerangnya tempo hari. Akan tetapi, hingga saat ini Mario tak mau membuka suara tentang siapa yang menyuruhnya. Lelaki itu malah mengatakan bergerak sendiri karena keinginannya. Alasan tersebut kurang masuk akal karena Irish tak memiliki masalah dengan Mario. Jangankan bersinggungan, saling berbicara pun hanya beberapa kali saja selama bertahun-tahun ini. Padahal jika lelaki itu mengaku, penyidikan akan lebih mudah dilakukan.
Bunyi ketukan high heelsnya terdengar seiring laju langkah Irish. Hampir setahun dirinya tak berani memakai high heels lagi karena khawatir akan membahayakan kandungannya. Setelah itu pun, sandal biasa masih menjadi andalannya karena lebih nyaman digunakan. Irish sudah terbiasa menangani butik, namun belum pernah bekerja di kantor sungguhan. Apalagi kantor sebesar milik kakeknya. Namun, cepat atau lambat, ia memang harus ikut mengelola perusahaan tersebut. Sebenarnya kakeknya memberinya pilihan, bekerja di kantor atau mencari butik baru, dan Irish memilih bekerja di kantor. Irish masih belum selesai dengan traumanya atas insiden di butik lamanya. Ia belum siap mengelola butik baru, lengkap dengan segala persiapannya. Untuk saat ini, masuk ke perusahaan kakeknya lebih masuk akal. Ini juga menjadi caranya untuk mempelajari strategi bisnis yang baik.“Selamat pagi, Bu Irish!” sapa beberapa karyawan yang berpapasan dengan Irish. “Pagi semuanya!” Irish menghentikan langkah sejenak dan m
Bukan hanya Arthur yang terkejut, Irish tampak jauh lebih terkejut lagi. Mendadak wanita itu menyentuh tangan Arthur, khawatir Arthur kalap dan memukul kakeknya. Dan benar saja, Arthur sudah menunjukkan gelagat akan mengamuk. Namun, orang-orang kakeknya lebih dulu datang. “Belum cukup Anda membunuh ayahku?! Anda juga ingin membunuh ibuku dan semua orang yang ada di sana?!” sentak Arthur dengan suara menggelegar. Beberapa orang sudah memegangi Arthur, seolah takut lelaki itu akan bertindak nekat. Melihat itu membuat Irish tak tega. Seharusnya tak perlu sampai seperti itu. Lelaki itu hanya ingin menuntut penjelasan darinya, bukan ingin menyakiti siapa pun. “Itu karena kamu membakar butik milik mendiang putriku. Ibunya Irish. Kamu yang menggunakan cara kotor untuk menjerat cucuku, itu hanya balasan kecil yang aku berikan. Rumahmu tidak rata dengan tanah seperti butik milik putriku!” balas Prayoga tak kalah tegas. “Aku menentang hubunganmu dan Irish. Selama ini kamu hanya menyakiti cu
Arthur menjadi tamu terakhir yang tiba di pesta yang diselenggarakan oleh Prayoga Mahesa. Ekspresi malas dan enggan tampak jelas di wajahnya. Namun, Arthur terpaksa mendatangi pesta tak penting ini demi mencari keberadaan Irish. Asistennya mengatakan jika supir taksi online yang Irish tumpangi saat melarikan diri itu pernah menemui Billy dan pergi bersama. Sejak awal, Arthur sudah curiga jika Billy ada kaitannya dengan menghilangnya Irish dan anak-anaknya. Dan ia harus menemukan Irish di sini. Arthur dan sekretarisnya menempati satu-satunya meja yang kosong di dekat pintu masuk. Karena saat ini sudah detik-detik menjelang waktu pembukaan acara, tidak perlu ada basa-basi tak penting. Arthur bisa langsung duduk dan mengabaikan beberapa orang yang menyapanya. “Ck! Kenapa acaranya lama sekali?!” Belum sampai 10 menit duduk, Arthur sudah mulai menggerutu. Arthur hanya ingin melihat Irish. Namun, sejauh mata memandang, ia belum menemukan keberadaan wanita itu. Entah karena memang Irish
“Bagaimana pun caranya, cari keberadaan istri dan anak-anakku secepatnya. Atau kalian akan aku pecat!” titah Arthur pada asisten dan lima orang anak buahnya. Sudah seminggu berlalu dan tidak ada satu pun anak buahnya yang berhasil menemukan Irish. Memang tak ada petunjuk mengenai keberadaan istri dan anak-anaknya. Meskipun begitu, seharusnya mereka tetap bisa menemukan petunjuk. Satu minggu bukan waktu yang singkat. “Baik, Tuan!” jawab seluruh anak buah Arthur secara bersamaan sebelum melenggang pergi dari ruangan sang tuan. Hanya asisten baru Arthur yang tersisa di sana. Sang asisten meletakkan sebuah undangan di atas meja Arthur. “Ada undangan dari Billy Mahesa. Acaranya pekan depan.”Arthur tak berminat melirik undangan tersebut sama sekali. Ia sedang tidak mau menghadiri acara tak penting, apalagi hanya undangan dari Billy. Fokusnya sekarang adalah mencari dan menemukan keberadaan Irish dan anak-anaknya. Bahkan, selama seminggu ini ia selalu menolak undangan di luar jam kerjany