"Gio, kamu adalah pria terbejat sedunia! Anak kembar tiga yang dikandung Nadia semuanya adalah anak-anakmu! Darah dagingmu sendiri! Kamu malah membiarkan Yuvira membunuh Nadia dan ketiga anakmu!"Setiap kata Sena seperti pedang yang menghujam jantung Gio.Gio menggigit bibirnya kuat-kuat dan mengepalkan tinjunya erat-erat.Gio tidak percaya!Selama Gio tidak melihat jasad Nadia dengan mata kepalanya sendiri, dia tidak akan percaya Nadia meninggalkannya begitu saja.Mereka semua melakukan semua ini karena ingin melarang Gio menemukan Nadia, 'kan?Gio bersumpah akan menemukannya!Nadia belum mati!Gio pasti akan menemukannya!...Lima tahun kemudian.Pintu ruang rapat Perusahaan MK terbuka, Yuda langsung menyambut Gio yang keluar dari ruang rapat."Tuan Muda Ketiga, G menolak bekerja sama dengan perusahaan kita."Gio menghentikan langkahnya lalu menatap Yuda dengan tegas, "Kamu belum menemukan informasinya?"Yuda menggeleng, lalu menjawab, "Kami hanya berhasil mengetahui dia adalah satu-
Nadia tersenyum kecil dan menyahut, "Nggak kok, aku juga baru sampai. Kak, jangan berdiri saja, ayo duduk di sini."Gavin pun duduk sambil memeluk Mona.Kemudian, Gavin memberi kotak hadiah lainnya pada anak laki-laki itu, "Timmy, ini prosesor khusus pesananmu."Timmy menerima hadiah pemberian pamannya dan tersenyum, "Terima kasih, paman."Setelah itu, Timmy mengambil ransel kecilnya, mengeluarkan komputer dan peralatannya lalu mulai merakitnya.Hati Nadia terasa pedih saat melihat punggung Timmy.Nadia memang mengalami persalinan yang sulit saat melahirkan ketiga buah hatinya.Setelah bangun dari koma, dokter memberi tahu Nadia bahwa bayinya yang ketiga meninggal.Kalau anak ketiganya masih hidup, pasti sekarang dia akan lincah dan sehat seperti Mona dan Timmy, 'kan?Nadia menyimpan kesedihannya lalu berkata pada Gavin, "Kak, apa urusan dengan Bibi Ratih sudah beres?""Bibi Ratih akan sampai lusa," sahut Gavin sambil menyesap tehnya.Nadia mengangguk, kembali mengenakan kacamata hitam
Gavin mengangkat wajah tampannya dan bertanya dengan cemas, "Nad, kamu bisa sendiri?"Nadia terkekeh, "Aku 'kan nggak bisa memintamu menemaniku terus. Selain itu, aku juga mau lihat-lihat TK swasta.""Sudah waktunya Mona dan Timmy ke sekolah."Sebelum pulang, Nadia sudah banyak mencari informasi sekolah di sekitar sini lewat internet.Awalnya dia ingin langsung memutuskan sehingga anak-anaknya bisa langsung sekolah, tetapi setelah dipikir-pikir, dia lebih tenang kalau menyurvei langsung."Ok, kalau begitu aku nggak ikut ya supaya nggak menarik perhatian orang." Gavin dengan enggan menyerah.Nadia mengangguk, bersiap dan berpamitan pada anak-anaknya.Begitu pintu rumah ditutup, Timmy menatap Gavin yang sedang sibuk menemani Mona bermain.Kemudian tangan mungilnya yang putih dan lembut dengan cepat berselancar di komputer.Layar yang awalnya menampilkan sebuah permainan langsung berganti ke halaman masuk sebuah aplikasi.Platform kelompok peretas muncul di layar komputernya.Lalu, sebuah
Bunyi benturan pun terdengar dan Nadia mengerang kesakitan.Tubuh mungil Ivan yang berada dalam pelukan Nadia sontak menegang. Begitu mendengar bunyi yang aneh itu, Ivan langsung menengadah.Dia sontak menatap Nadia dengan panik dan tidak percaya.Nadia menggunakan satu tangannya untuk memeluk Ivan sementara tangannya yang satu lagi mengusap-usap punggungnya yang terasa nyeri.Nadia pun duduk dan menegakkan tubuhnya sambil meringis kesakitan. Hal pertama yang dia lakukan setelah itu adalah memastikan apakah Ivan terluka atau tidak."Nak, kamu baik-baik saja, 'kan?"Otak Ivan langsung bekerja, tetapi entah kenapa dia tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Tubuhnya seolah membeku.Saat samar-samar menghirup aroma tubuh Nadia, perasaan gelisah yang selama ini memenuhi benak Ivan pun lenyap secara perlahan.Selama ini Ivan benci bersentuhan dengan orang lain, tetapi dia tidak membenci wanita ini.Selain itu, wanita itu yang terjatuh, tetapi dia juga yang bertanya apakah Ivan baik-baik saja atau
"Tunggu, tunggu, aku ke situ sekarang juga!" kata Sena."Sena! Jangan sampai kamu ketahuan oleh bawahannya!" ujar Nadia memperingatkan dengan gelisah.Sena pun mulai mengomel lagi di telepon, "Ternyata si Gio sabar banget, ya!""Selama lima tahun ini, dialah yang membersihkan rumput liar di makammu! Kenapa dia masih segigih ini?""Maaf, ini semua salahku sudah menyeretmu," ujar Nadia."Ya ampun, aku 'kan cuma komentar! Lagi pula, dia juga nggak mungkin tahu aku menghubungimu, 'kan?" sahut Sena dengan nada jahil.Nadia pun tertawa kecil, lalu berkata, "Nanti akan kukirimkan alamat rumahku. Kita ngobrol lagi pas udah ketemu, ya.""Oke."Telepon pun ditutup.Begitu Nadia membuka pintu, suara tawa Mona langsung terdengar olehnya.Nadia refleks ikut tersenyum. Dia menatap Mona yang sedang bersenang-senang di ruang tamu, lalu menyapa anak itu, "Mona, Ibu pulang."Mona pun refleks menoleh ke arah sumber suara. Begitu melihat Nadia, Mona langsung menjatuhkan boneka yang sedang dia pegang dan b
Malam harinya.Sena pun ke rumah Nadia untuk makan malam bersama. Nadia dan Gavin bekerja sama menghidangkan berbagai macam makanan lezat di atas meja.Begitu Sena datang, Mona langsung menempel padanya."Bibi!" sapa Mona kepada Sena dengan lembut.Sena segera memeluk Mona. "Aduh, Mona! Mona kangen Bibi, ya! Sini, biar Bibi cium!"Mona menurut dan menyodorkan wajahnya yang mungil.Setelah mencium Mona, Sena menoleh menatap Timmy."Anak baik, kenapa kamu tetap diam di situ saat Bibi ada di sini? Kamu nggak bisa meniru Mona?" tanya Sena berpura-pura kesal."Ibu bilang pria dan wanita nggak boleh dekat-dekat," kata Timmy dengan nada bicara seolah-olah dia sudah tua.Sena sontak terdiam. Wah, sifat bocah satu ini mirip sekali dengan Gio!"Dasar anak mama," keluh Sena."Aku bangga, kok. Ini bentuk aku sayang ibuku," jawab Timmy dengan tenang.Ekspresi bangga pun terlihat jelas pada wajah mungil Timmy."Nadia! Anakmu, nih!" protes Sena dengan kesal.Nadia meletakkan piring lauk yang terakhir
Tanggal 1 September.Nadia bangun pagi-pagi untuk membuatkan Timmy dan Mona sarapan, lalu mengantar kedua anaknya ke TK Internasional Cordova.Sesampainya di gerbang gedung TK, Nadia berjalan masuk bersama kedua anaknya.Di sepanjang perjalanan, mereka selalu melihat ada saja anak-anak yang menangis.Di sisi lain, Mona dan Timmy tampak penurut dan tenang.Mona pun meremas tangan Nadia sambil bertanya, "Ibu, kenapa mereka semua menangis? Apa pergi ke sekolah itu sangat menakutkan?"Timmy mendahului ibunya menjawab.Dia memandang Mona sambil tersenyum tipis, lalu berkata, "Di sekolah ini nggak ada guru yang kanibal, kok.""Nggak ada juga kepala sekolah yang galak. Kamu nggak usah khawatir, Mona."Rasanya Nadia ingin menepuk dahinya sendiri. Timmy ini berusaha menghibur Mona atau malah menakuti Mona, sih?Mona pun memajukan wajahnya sambil mengeluh, "Kakak mau menakuti Mona lagi, ya! Mona nggak takut!""Ya, ya, ya. Nggak takut, tapi sukanya ngompol," sahut Timmy sambil tertawa dengan jahi
Begitu mendengar suara itu, Gio langsung menyipitkan matanya sambil bertanya, "Siapa kamu?"Nadia refleks mengeluh dalam hati.Gio ini sakit jiwa, ya? Masa tiba-tiba dia bertanya kepada orang asing siapa mereka?"Tuan, kita nggak saling kenal, 'kan? Apa sopan Tuan main bertanya begitu?" sahut Nadia.Gio menyipitkan matanya, lalu mengubah nada bicaranya dan menjawab, "Anak saya sekolah di sini, jadi saya berhak bertanya untuk memastikan keselamatan anak saya. Bagaimanapun juga, saya melihat Anda sebagai seorang wanita yang perilakunya mencurigakan karena bahkan nggak berani menunjukkan wajah Anda."Nadia sontak terdiam. Wah, itu alasan yang sangat sempurna!"Oh, maaf! Wajah saya lagi alergi, jadi saya sengaja berpakaian seperti ini supaya nggak membuat orang lain ketakutan!" jawab Nadia."Kalau Anda mau tahu saya ini siapa, lebih baik Anda tanyakan langsung kepada Kepala Sekolah."Setelah berkata seperti itu, Nadia segera mengambil jalan memutar dan berlalu.Sewaktu mendaftarkan putra-p