"Berhenti mengejar apa yang bukan untukmu. Maka Tuhan akan mendatangkan apa yang paling baik untukmu. Pernah mendengar kalimat itu?” Maha terkekeh begitu Friska—teman kuliahnya dulu menggeleng. Netra mata Maha berpendar ke penjuru ruangan restoran melihat Pulung yang fokus berbincang pada asisten Friska untuk katering pernikahannya pekan depan. “Lo terlalu nyatu sama kehidupan Amerika sampai lupa ada kabar booming apa di negara sendiri.” Friska memberengut mendengar cibiran Maha.Lelaki itu hanya sedang jujur tapi Friska yang terlampau galau mengambil hati perkataannya. Dan kuaran tawa kencang benar-benar Maha ledakkan. “Ini negara berfollowers dengan kode +62. Galau sudah nggak zaman di sini. Adanya, lo balas dengan selingkuh lah.” Friska melotot. Benar-benar saran Maha tidak masuk akal. “Hei! Jangan jadi bodoh. Lo tuh kenapa menggantungkan harapan di tempat yang nggak bisa lo gapai? Lo nggak capek? Lo nggak lelah? Tidur lo nyenyak? Yakin? Kok mata lo bengkak.” Aduh super duper ce
“Kamu suka melebih-lebihkan,” kata Pulung. Usai berpamitan dengan Friska dan men-deal-kan pesanannya untuk tanggal dan waktu yang telah di tentukan. “Aku maunya yang biasa saja. Sederhana. Tapi kamu selalu bertindak di bagian yang enggak terduga.”Hm, bagaimana Maha jelaskan, ya?Karena sederhana baginya ternyata berbeda pandang dengan Pulung. Yang entah seperti apa selayaknya sederhana bagi calon istrinya itu. Tapi membuang uang jutaan rupiah yang biasa Maha dapatkan dalam hitungan menit, itu bukan perkara sulit. Tabungannya takkan terkuras, sahamnya takkan anjlok dan menghamburkan sedikit demi menyenangkan Pulung itu suatu kewajiban yang harus Maha tepati. Janjinya pernah terucap demikian.“Kamu marah?” Pulung berdecak. Oke, Maha paham kenapa sampai begitu. Rumit, ya berurusan dengan perempuan. Padahal Maha tahu, para perempuan hanya ingin di turuti saja apa yang sudah menjadi keinginannya. “Aku mikirnya pasti kejauhan. Soalnya tiap cewek bilang ‘nggak apa-apa’ itu artinya ada yang
Belum bisa Dante ungkapkan dengan rentetan kalimat. Hanya kata-kata yang baru terangkai untuk bisa di tuliskan. Dengan pelan, sebuah bolpoin Dante goreskan di atas kertas putih. Sejumput kata mulai terangkai membentuk kalimat yang sesungguhnya cukup mengiris hatinya. Namun tidak mengapa, karena Dante tahu risikonya. Dan ini yang sedang di tanggungnya. Maka cara ini jalannya untuk menikmati prosesnya. Mungkin masalah waktu yang bisa menjawab. Dan hanya menunggu yang bisa Dante lakukan alih-alih untuk mengeluh.Yang Dante inginkan hanyalah rindu yang jauh dari jarak. Dekat dengan pelukan dan kesiapan dirinya untuk menjadi seorang pendengar yang setia. Yang selalu berdiri dengan kokoh di sisi Ardika untuk lelaki itu yang hendak mencurahkan segala keluh kesahnya. Tawa dan senyum Dante berharap bisa menawarkan luka lelah di hati yang penuh tanggungan beban. Tidak banyak yang bisa Dante lakukan kecuali menawarkan kedua bahunya untuk Ardika sandari. Yang lelah menghadapi pekerjaannya yang m
Sementang anak-anak sekolah demam dengan musim ujian, kehidupan Maha dan Pulung juga sama-sama mendapat ujian. Yang mana dalam beberapa hari ke depan hendak melangsungkan pernikahan. Datang seorang wanita berkisar 40-an ke rumahnya. Masalahnya—yang membuat Pulung uring-uringan—adalah bayi dalam gendongan yang sialannya sangat cantik milik Maharaja Askara, katanya. Yang artinya itu putri Maha bersama dengan entah siapa nama wanita itu.Pagi hari yang cerah seketika redup. Oleh gulungan awan gelap di wajah Pulung Rinjani. Maha sampai-sampai takut untuk melirik. Perempuan itu menatapi secara tajam wanita di hadapannya tanpa berkedip sekali pun. Catat itu; TANPA BERKEDIP. Duh, perut Maha mulas. Sakitnya melilit seperti di pelintir-pelintir. Kepalanya juga pening maksimal. Air mineral yang sudah tawar kian hambar tak berasa di indera pencecapnya. Kopi hitam pekatnya yang tanpa gula terasa seperti racun sewaktu melewati kerongkongannya.“Jadi?” Begitu vokal Pulung terdengar, pasokan udara
Check up kedua Ayana dilalui seorang diri—ah, ralat—ada asisten Rambe yang mengemban amanat untuk menemaninya. Dari mulai menjemput ke unit apartemen sampai di sini tubuhnya berada. Namanya Natalie. Dan Ayana suka memanggilnya dengan ‘Nat’ karena terdengar unik dan lain dari lainnya. Seperti orang luar negeri kedengarannya. Padahal orangnya sangat Indonesia sekali.Berasal dari Padang. Di tanah jam gadang itu tanah kelahiran Natalie. Wajahnya cantik dan manis khas milik orang-orang Padang pada umumnya. Rambutnya hitam, di bagian atasnya. Karena bawahnya berwarna-warni—paduan hijau dan kuning menyala menghias di sana. Semakin mempercantik tampilannya yang kasual meski tipe pekerja kantoran. Asli, Ayana like sama cewek model begini. Fashion modenya bikin Ayana yang sedang mood swing melek seketika.Dan cara Natalie memperlakukan Ayana amatlah ramah. Tidak memandang siapa dirinya yang sebagai kekasih bosnya, Natalie melihat Ayana selayaknya teman dan sahabat. Jadi wajar jika bibir tipisn
Aksara tidak tahu dari mana cucunya mendapatkan sumber kesenangan berupa dua kucing kembar berjenis kelamin lelaki dan perempuan. Bentuknya lucu sekali. Bulu-bulunya yang baru tumbuh—karena kedua hewan itu memang baru lahir—terlihat menggemaskan. Ketika Aksara bertanya, dari mana asalnya, Naomi menjawab: dari om baik. Yang tentu tidak Aksara ketahui siapa orangnya dan bagaimana bentuknya. Ingin mengikuti bahasa gaul anak zaman sekarang, kepo, Aksara takut cucunya akan ngambek. Kadang-kadang Naomi sukar untuk di tebak. Entah dalam mood mau pun keinginan. Selalu berubah-ubah.“Namanya siapa?”“Cia sama Cio.”“Yang Cia mana, yang Cio mana?” Bodo amat lah semisal Naomi akan meledak-ledak. Bibir Aksara sangat gatal ingin bertanya. Makhluk dua itu pun sangat yahud di pandangi.“Cia yang ini opa, kalungnya pink muda dan pink tua. Dia cewek, opa jangan lupa. Kalau Cio yang kalungnya putih sama hitam. Dia cowok dan mereka saudara.”Innalilah. Aksara memasang wajah yang tidak enak meski seteng
Seperti cerita hujan yang menghadirkan sejuta kenangan bagi orang-orang. Mereka yang berteduh di bawah payung mengembangkan senyumnya karena bahagia air turun dari langit. Membasahi bumi yang gersang. Rintik-rintiknya beragam ukuran. Ada yang besar dan ada yang kecil. Suaranya juga berbagai macam. Kadang keras dan kadang kalem. Begitu juga sama dengan yang tidak berada di bawah teduhan payung. Ada lelehan air yang turun dari sudut mata tanpa orang lain lihat. Mereka juga mengingat tentang kenangan-kenangan yang berkelebat.Sejatinya rintik dan senja saling menyatu. Hanya berbeda waktu kehadirannya. Kedatangan keduanya paling di nanti-nanti oleh beberapa umat pecinta rintik dan penikmat senja. Sembari duduk di balkon, menyeruput teh panasnya. Dengan mata yang menatap luas hamparan ciptaan Tuhan. Tidak ada yang memungkiri betapa damainya hidup ini kala pagi di sambut binaran mentari dan sore di tutup oleh senja jingga yang cantik.Sama halnya dengan Ayana. Perempuan hamil itu berdiri me
Selama kau mencintaikuAku tertekan Tujuh milyar orang di dunia berusaha selarasTerus bersamaWajahmu tersenyum meskipun hatimu kecutTapi kini kau tahuKita berdua tahu dunia ini kejam Tapi kan kuambil kesempatankuPulung bersenandung lirih. Lewat earphone dengan kepala yang sesekali terangguk. Nyanyian di atas menunjukkan bahwa si pemilik cinta tidak mendapatkan restu entah karena apa. Yang pasti, keduanya saling mencintai dan mau memperjuangkan satu sama lain. Rasanya sangat manis ketika apa yang menjadi impian kita bisa terwujud bersama orang tersayang.Cinta dan penderitaan selalu berdampingan. Entah karena apa. Heran saja. Zaman sekarang perkara memberi restu punya syarat sepanjang pembangunan tol baru. Bangun jalan saja jika izin resmi sudah turun, maka lekas segera di laksanakan. Nggak buang-buang waktu sampai berkelit sana-sini. Lah ini? Cuma perkara dua anak manusia yang saling suka, saling sayang, dan saling cinta. Ngasih restu apa masih susah? Kalau masalahnya cuma mad
Tiap orang punya rahasia yang tak bisa di ungkapkan secara gamblang. Dan tiap orang juga punya sisi lain yang disebut topeng untuk menutupi wujud keasliannya alih-alih yang terlihat di hari-harinya. Begitu juga dengan Pulung yang paham betul akan makna itu. Bahkan mungkin keberadaan dirinya yang ada di rumah ini selama hampir sepuluh tahun belum mengetahui sampai bagian terdalamnya. Karena memang ada tempat lain yang belum bisa Pulung jamah.Mungkin juga lewat sebuah rahasia yang tak bisa diucapkan lewat kata-kata, ada jiwa-jiwa lelah yang menghadapi sikap kekanak-kanakannya selama masa kehamilan ini. Bukan maunya Pulung, sungguh. Murni bawaan sang jabang bayi yang mengharuskan sikapnya berubah drastis. Mulai keluar dari jalur keaslian siapa dirinya sampai ke akar-akar sikapnya yang paling menyebalkan.Namun di atas itu semua yang paling membuat Pulung terkesan adalah Maharaja Askara yang dua puluh empat jam penuh mau mengurusi dirinya dengan telaten. Penuh kesabaran tanpa mengeluh a
Yang semalam tak bisa Ardika berikan jawaban.Pagi ini semuanya berjalan seolah memang tidak pernah terjadi apa-apa. Tidak ada obrolan seputar perasaan Naomi Aksara dengan B.S Negara yang membuat Ardika penasaran setengah mati. Ingin searching pun rasanya belum sempat. Ardika betul-betul melupakan di mana letak ponselnya berada dan fokus menghabiskan waktu bersama ketiga anaknya.Usai sarapan, agenda yang sangat di tunggu oleh Baraja pun terkabulkan. Paralayang yang sudah di incarnya sejak masih dalam perjalanan. Dan selesai dengan itu, mereka akan segera turun untuk Ardika bawa ke rumah orangtua Pulung.Tentu yang bingung tidak hanya para krucil itu saja. Bahkan ibunya Pulung tertegun selama berdetik-detik sebelum memeluk Baraja seraya menghujani dengan ciuman.“Ada milik Pulung di sini. Matanya punya Pulung. Hidungnya punya Pulung. Sisanya dia cetakanmu.”Ardika tersenyum kikuk. Dan di persilakan untuk duduk di ruang tamu sederhananya. Sudah ada suguhan padahal Ardika tidak memberi
Tidak ada halangan apa pun untuk sampai ke puncak Gunung Putri. Suasana cukup ramai karena ini weekend. Dan semilir angin malam mulai menyapa. Sepoi-sepoi menerbangkan helaian rambut milik Naomi yang mencuat. Sejauh mata memandang, kerlipan lampu malam kota Garut tersaji dengan indah. Tidak ada suara bising di sini. Sunyi dan senyap namun menenangkan. Suara jangkrik malam menjadi pengiring semesta menunjukkan keunggulannya.Embusan napas Naomi terhela dengan teratur. Seulas senyum terbit dengan jari menyelipkan anak-anak rambut.“Kakak belum bobok?” Adalah Ardika yang menatapi putri sulungnya sejak 15 menit yang lalu. Ada gejolak aneh di dalam hatinya. Desirannya penuh kesakitan dan sesaknya kesakitan. Bergumul jadi satu menyumbat saluran pernapasannya.“Mau ngelukis bentar lagi.”“Malam-malam begini?” Naomi mengangguk. “Nggak bisa besok saja kak?”“Papa lihat deh.” Ardika baru sadar bahwa anaknya yang satu ini tidak suka banyak bicara dan lebih menyukai tindakan. “Aku suka kerlipan l
Membutuhkan waktu 3 jam 42 menit dengan jarak tempuh 217 km Jakarta-Garut via tol.Ardika kemudikan mobilnya sendiri di dampingi Baraja dan Naomi serta Armani di kursi belakang. Kedua kakak adik perempuan itu anteng bersama tablet soal edukasi mendaki bagi pemula. Sesekali canda tawa akan terkuar dan berebut channel untuk di play lebih dulu.Hati Ardika tenang melihatnya dan Baraja yang bermain rubrik di sampingnya kentara fokusnya. Anak ini persis dirinya di masa kecil dulu jika boleh Ardika katakan demikian. Pasti tidak akan adil bagi Maharaja kalau mendengar keegoisan hatinya tentang ini. Tapi memang kadang hati tak mau munafik juga enggan di tampik.“Papa … Garut.” Rengek Baraja yang sudah lelah dengan permainannya. Menagih janji yang kemarin Ardika cetuskan. “Oh, iya. Papa lupa.” Ardika tengok lewat spion tengahnya. Kedua putrinya sedang asik jadi tidak perlu di usik. “Kabupaten Garut. Ada tulisan Aksara Sundanya yang papa nggak tahu bacanya gimana. Adalah sebuah Kabupaten di pr
Sudah matang semua persiapan yang Ardika kumpulkan. Jadi satu di atas meja ruang tengah milik Maha. Ketiga anaknya sedang asik bercengkerama—lebih merecoki Naomi yang hendak membawa peralatan melukisnya. Ardika setujui. Memberi dukungan untuk putri sulungnya serta merta mengembangkan bakat di gunung.“Tapi pemandangan gunung lebih cocok dengan ini teteh.” Suara Armani tak mau kalah dengan Baraja yang terus melengkingkan ketinggiannya. Kepala Ardika menggeleng dengan senyum yang tak pudar sedikit pun.“Kan pepohonan hijau adek.” Naomi tetap kekeuh pada pendiriannya karena—yeah—menurutnya dia lah sang pelukis sejati. Aduh memang ya.“Sentuhan cokelat juga bagus kakak. Kaka kapa nggak tahu? Nih abang kasih lihat ya.” Tablet Baraja sudah memutar sebuah video dengan pemandangan pegunungan-pegunungan berbagai pilihan. “Dari jauh iya biru. Pas dekat itu malah cokelat kayak gini tahu. Jadi kak, warna cokelat pun berguna untuk kakak bawa.”Mulai dari sini terlihat wajah bimbang Naomi. Semula y
"Gitu ya sementang punya rumah sendiri.”“Nggak tahu saja yang nunggu sampai keroncongan.”“Ini sejak kapan tamu malah pesan delivery?”“Heran Gusti heran!”Sindiran demi sindiran yang tersentil ke rungu Maha maupun Pulung tak menjadi halangan bagi pasangan yang sedang menanti kelahiran sang buah hati terusik.“Pasangan budak cinta mah gitu.”“Gaes … Sudah punya masing-masing jangan ngeledek.”“Iri bilang bos!”Kan maen! Jawaban Maha lebih estetik dari mulut tetangga yang di sumpal lombok setan sepuluh kilo. “Ibu hamil apa kabar nih? Makin adem ayem saja kayaknya.” Adalah Ayana yang pertama kali menyapa.Perempuan itu pun sedang hamil muda. Dan menurut cerita Maha, Rambe di buat kelimpungan habis-habisan. Mulai dari terpangkasnya jatah waktu untuk berduaan sampai harus rela memomong putra pertamanya. Salut dengan Rambe yang berbesar hati.“Ih teteh mah jorok pisan. Masa tiga hari nggak mandi?” Dante ikut serta nimbrung. “Asli aku mau semaput di certain itu.”Pada akhirnya hubungan me
'Aku sudah melewati banyak waktu untuk sembuh. Banyak hari untuk pulih. Banyak memori yang terkikis. Aku sudah jauh berjalan dalam gelap. Menyingsing lengan dan menggulung panjangnya hampara. Dari tajam menyayat yang kurasakan sepanjang jalan. Namun aku bertahan hingga akhirnya sakit itu tumbuh sendiri. Tatapan kelam. Kernyitan dahi karena silaunya putih di depan. Haruskah tertawa? Atau menangis? Sudah tak tampak lagi bagian belakang. Aku lupa bagaimana rasanya tertusuk duri.’Jadi begini para pemirsa dan saudara setanah air setumpah darah, ehm.Ada cerita tersembunyi kenapa Maharaja Askara harus berpuisi di tengah semua orang yang berkumpul. Di ruang keluarganya di mana mestinya terjadi acara liburan karena ini weekend. Juga sebagai libur pertama kedua anak-anaknya; Baraja dan Naomi.Tapi seolah nasib sial—boleh tidak mengatakan demikian? Takutnya ada setan lewat terus mampir. Tercatat sudah itu omongan untuk di jadikan karma kemudian hari. Kan berabe, Hyung!“Lagi, Sayang.”Ini sum
Kehamilan anak Maharaja yang pertama ini memanglah luar biasa. Mulai dari sikap manja Pulung yang tiada duanya (menggemaskan bagi Maha) namun terlihat menyebalkan bagi orang sekitar. Sampai hal-hal aneh yang tak terduga.Pagi ini misalnya.Tumben-tumbenan Pulung mager (malas gerak). Dan hanya gegulingan di atas kasur. Biasanya, usai salah subuh dan mengaji, aktivitas Pulung langsung yoga karena memang itu olahraga teraman rekomendasi dari dokter. Di samping memudahkan untuk kelahiran nanti, yoga mengurangi stres. Pulung tidak ke dapur. Memasak seperti biasanya. Tidak Maha hiraukan. Mencoba paham dengan kondisi sang istri yang di yakini bawaan anaknya.“Nggak mau mandi?” Maha elusi rambut Pulung. Tidur menyamping dan memegang ponsel dengan asik. Entah video apa yang di tonton hingga asik tanpa merasa terganggu sedikit pun. “Mau mas masakin sesuatu nggak?”Sejak Pulung hamil, Maha tidak bisa semena-mena. Urusan makan tak seleluasa request seperti saat awal-awal menikah. Meski dengan mu
Maharaja Askara jadi punya hobi baru; nyanyi. Yang menurut Pulung, boleh juga. Suaranya berat dan serak-serak gimana gitu. Ketika di dengarkan—apa lagi ketika Pulung letakkan kepalanya di dada Maha—uwah sensasinya nggak kaleng-kaleng.Dugun-dugun di jantung Maha terdengar sangat jelas. Dan Pulung suka sekali mendengar detakannya. Iramanya selaras dengan nyanyian yang terlantun dari mulut Maha. Malam ini, begitu Bara dan Naomi memasuki kamarnya masing-masing. Terlelap setelah berdebat mengenai tugas sekolah. Maha dan Pulung bergelung malas di depan ruang televisi. Ada kasur lipat yang biasa Maha gunakan untuk rebahan malas-malasan di sana. Pulung ikut saja. Dengan daster hamilnya, rambutnya yang tak berbentuk lagi dan manja-manja time bersama suami di mulai.“Semua ini pasti akan musnah. Tetapi tidak cintaku padamu. Karena aku sang pangeran cinta.” Lirik yang Maha senandungkan mengikuti penyanyi aslinya di televisi. Once Mekel masih saja tampan sejak Pulung duduk di bangku Sekolah Da